4
“Eh! Berlebihan itu!” Uka terkekeh. “Ayo, Mbak Rindu. Masuk,” ujarnya lagi agar fokus Rindu teralihkan. Ada sejumput rasa penasaran di ruangan dalam dada. Namun, sekali lagi, Rindu tidak ingin mengungkapnya dengan sebuah pertanyaan. Ia merasa sudah menjadi beban bagi Uka. Tidak perlu menambahnya lagi. “Baik. Aku masuk dulu,” jawab Rindu. Ia tak seperti sebelumnya yang bebas menyebut nama lelaki itu. Saat masih bekerja, ia tidak merasa sungkan ketika hanya memanggil nama. Setelah dinikahi dan tahu kalau usianya lebih tua, ya walau sudah tahu sejak awal bertemu dari wajahnya, Rindu menjadi bingung. Untuk sementara, ia menghindari dan tidak memanggil lelaki yang kini sudah bergelar suaminya. “Panggil aku Uka. Jangan seperti tadi. Yang lain juga perintahkan seperti ini. Jangan bertanya atau menyapa kalau bertemu denganku. Mengerti?” Mengetahui Rindu telah duduk di sisi yang agak jauh, sebelum masuk, Uka berbisik pada sopir yang akan membawanya pergi. Raut wajahnya datar, menandakan ucapannya itu sungguhan dan harus dituruti. “Baik, mengerti.” Uka pun masuk dan duduk di dekat Rindu yang banyak diam tanpa mengeluarkan kata. Padahal menurutnya, gadis itu pasti punya banyak sekali pertanyaan. Pun tentang rasa di hatinya yang sedang berantakan. “Kalau capek, tidur saja. Aku bangunkan nanti kalau sudah sampai,” ucap Uka memecah keheningan. Mobil yang sedari tadi melintasi jalanan kota yang tidak terlalu ramai, suasana malam terasa tenang namun hidup. Lampu-lampu jalan berpendar lembut. Sorotan lampu mobil yang melintas sesekali menambah efek cahaya berkelip di kaca jendela. Suara mesin mobil terdengar halus, bersatu dengan gemerisik ringan ban yang menyentuh jalanan. Tak salah jika Uka menyuruh Rindu untuk merangkai mimpi dalam kesunyian ini. “Tapi aku tidak mengantuk,” jawab Rindu dengan suara yang parau. “Iya, tapi jangan menangis lagi. Kasihan matamu akan semakin kelelahan.” “Iya.” Jawaban singkat itu diiringi pergerakan kepala ke arah jendela. Rindu melihat bangunan-bangunan kota yang sebagian besar telah memadamkan lampunya, menyisakan hanya beberapa jendela yang masih bercahaya. Sesekali, ada kendaraan lain yang melintas, lampu belakang mereka tampak redup perlahan menjauh. Jalanan sepi ini memberi kesan damai, seakan dunia melambat dan memberi ruang bagi pikiran untuk meresapi ketenangan malam. Namun, bagi Rindu, ketenangan itu tak bisa seutuhnya direngkuh. Masih banyak pikiran liar yang bergulir tak karuan dalam kepala juga hatinya yang masih diselimuti gelisah. Tak berselang lama dari Uka menyuruh Rindu untuk tidur, lelaki itu tergelitik ketika melihat Rindu sudah sampai ke alam mimpi. Posisinya bersender ke kaca jendela. Tentu akan terbentur karena pergerakan mobil yang masih melintas di jalanan. Pelan-pelan, Uka menggerakkan kedua tangannya untuk memindah kepala Rindu ke posisi yang lebih nyaman untuk tidur. Dari kaca spion, sopir melirik aktivitas para penumpangnya di belakang. Segaris senyum terukir dan kembali fokus melihat jalan. “Mungkin ini garis takdir kita, Rindu,” gumam Uka sambil memperhatikan wajah Rindu yang begitu sendu. Kelopak matanya bahkan tampak bengkak dan menyisakan bulir kristal yang basah di sekitarnya. “Aku ingin kamu bahagia,” gumamnya lagi. Sedetik kemudian, Rindu bergerak memindahkan posisi. Namun, masih memejamkan mata. Uka seketika menoleh ke depan, takut ketahuan kalau dirinya sedang memperhatikan gadis itu. Embusan pelan keluar dari mulut. Sorot matanya tertuju pada spion dan mengetahui sopirnya sedang memperhatikan sambil mengulas senyum, walau kembali fokus ke depan ketika tatapan mereka beradu. *** Mobil melambatkan lajunya ketika memasuki kawasan perumahan yang masih asri, lingkungannya banyak ditumbuhi oleh pohon yang rindang. Juga semak yang dirawat tidak tumbuh sembarangan. Perumahan ini lebih tepatnya seperti desa yang makmur. Mobil juga sempat menyusuri jalan yang kanan-kirinya adalah sawah. Ada sungai yang mengalir pula. Rumah-rumahnya masih sederhana meski sudah bangunan yang disusun oleh batu bata dan semacamnya. Kali ini, mobil benar-benar berhenti di salah satu rumah yang tampilannya sederhana seperti yang lain. “Tolong bawa barang-barang kami ke dalam rumah, Pak Tirto,” perintah Uka kepada sopirnya sebelum membangunkan Rindu. Suaranya lirih. “Baik, Tuan.” “Ingat, ya! Jangan panggil aku seperti itu saat Rindu ada di dekatku dalam posisi sadar. Katakan juga pada yang lain. Atau nanti aku yang akan mengumpulkan warga di balai perkumpulan.” “Baik, saya mengerti.” “Iya, terima kasih.” Sopir yang bernama Tirto itu turun dari mobil untuk menuntaskan perintah dari Uka. “Mbak Rindu,” ujar Uka pada Rindu yang masih terlelap. Tidak ada tanggapan. Uka kembali memanggil nama Rindu dengan lembut, tetapi tangannya sambil menepuk-nepuk pelan lengan gadis itu. Mata mengerjap merasa ada yang memanggil namanya. “Kita sudah sampai. Bangun, yuk,” ujar Uka lagi makin menambah kesadaran Rindu. “Oh, iya, Mas,” jawab Rindu lumayan kaget. Ia seketika membenarkan posisi duduknya sambil mengulas senyum untuk melunturkan rasa canggung yang mendera. Eh, Mas? Dalam diam, Uka malah salah fokus dengan kata-kata itu. Baru ini dirinya dipanggil seperti itu oleh Rindu. “Sudah sampai, ya?” tanya Rindu yang membenarkan rambutnya yang acak-acakan. Kali ini, ia tak berhijab. Ia belum Istiqomah. Berhijab ketika hendak ada acara tertentu saja. “Iya, ayo, turun. Biar bisa tidur nyenyak di kamar.” Kalimat itu terdengar ambigu bagi Rindu yang kesadarannya sudah terkumpul sepenuhnya. Ia ingat betul tentang statusnya sekarang ini. Untuk sesaat, Rindu membeku. Pikirannya melesat jauh membayangkan aktivitas malam pertama seorang pengantin. Kepala tiba-tiba menggeleng. Uka yang masih memperhatikan Rindu, mengernyitkan kening. Ajakannya seakan ditolak dengan tanggapan yang Rindu lakukan. “Kamu tidak mau turun? Capek kalau tidur di sini, kan?” “Iya, aku mau turun, tapi ....” Ragu untuk berucap, Rindu sengaja menggantungnya membuat Uka makin penasaran. “Tapi apa? Kita sudah sampai di rumah kontrakan yang sudah kupesan walau sederhana. Satu rumah ini bisa kita tempati tanpa ada orang lain. Aku sengaja menyewanya begitu. Biar kamu leluasa saat mau melakukan apa pun.” Rindu mengangguk paham, tetapi tujuan yang tersimpan di dalam hati sulit diungkapkan. “Yuk, turun. Biar kamu bisa melanjutkan tidurmu,” ajak Uka lagi. Ia berbalik, hendak turun dari mobil. “Tunggu! Aku mau bicara sebelum turun dan masuk ke rumah!” Perkataan itu menghentikan Uka. Ia kembali berbalik dan menatap Rindu. “Iya? Katakan saja.” Rindu membuang napas sebelum merangkai kata. “Aku mau tidur di rumah itu, tapi aku mohon ... aku mohon, jangan menyentuhku. Aku tau, kita sudah menikah. Tapi ... tapi aku belum siap. A-aku takut. Sungguh. Kita menikah tiba-tiba dan kita dipaksa. Maaf ... maafkan aku.” Rindu tertunduk karena rasa tidak enak hatinya makin tak terbendung. Lagi dan lagi selalu membuat beban di pundak Uka. Seseorang yang bukan siapa-siapa, tetapi sekarang terseret dalam masalahnya hingga entah sampai kapan.32“Semua keputusan ada di tangan Ayah. Tentang bagaimana nasib Mama Dewi dan Dini, Ayah pasti akan mengambil keputusan dengan adil,” ujar Ukasya menanggapi ucapan sang mertua.Raden tak bicara lagi. Ia hanya berusaha membuang beban yang membelenggu di dalam dada.***“Tumben Ayah ajak kita makan begini, Ma?” tanya Dini yang sudah duduk di dalam mobil. Mereka pergi diantar sopir biar tidak repot karena Dini masih memakai kursi roda.“Ayah lagi bahagia mungkin. Jadi kita diajak makan. Padahal, dia tidak tahu kalau kita lagi rencanain sesuatu buat Rindu. Belum ada kabar lagi di grup. Pasti lagi eksekusi. Biar mampus si Rindu itu.”“Aku masih takut kalau rencana kita bakal ketahuan, Ma. Mama yakin kan, orang yang kita suruh tidak akan tertangkap?”Mereka berbicara dengan suara pelan agar tidak didengar oleh sopir. Mobil sedang melaju di jalan raya. Sopir itu tersamarkan oleh ramainya kendaraan di jalan dan konsentrasi mengemudi yang tinggi.“Mama jamin semua akan beres sesuai rencana, Di
31Dua bulan telah berlalu setelah adegan saling memaafkan yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Raden jadi sering menanyakan kabarnya Rindu melalui ponsel. Ia sungguhan ingin mengubah diri dan berusaha menjadi seorang ayah yang baik.“Sayang, beneran makannya udahan?” tanya Ukasya ketika melihat makanan di dalam piring sang isi masih lumayan banyak.Rindu mengangguk dengan raut wajah menautkan alis.“Kamu kenapa, Sayang? Ada yang sakit?” tanya Ukasya lagi mengetahui ekspresi yang dibuat oleh istrinya.“Bukan sakit, sih, Mas. Agak mual gimana gitu, rasanya, Mas.”Ukasya membeku seketika. Pikirannya jadi menduga-duga sesuatu yang membuatnya bahagia.“Kenapa, Mas? Malah diam?” tanya Rindu lagi.“Kamu sudah telat belum, Sayang?”Kali ini, Rindu yang terdiam. Ia memikirkan kapan terakhir cairan merah itu bertamu.“Iya, Mas. Baru dua hari, sih. Kadang, aku kan, haidnya mudur paling lama semingguan. Ini juga paling mundur aja, Mas.”“Ish! Doanya yang baik-baik. Kita coba ke dokter aja, yuk
Rindu mendekati Raden. Ia sudah meyakinkan diri tentang apa yang akan menjadi keputusannya. Meski di dalam hati ada yang seolah menahan dan memunculkan kembali rasa sakit yang didapat di masa lalu.Bismillah, semoga keputusanku memang yang terbaik.Tangan Raden yang saling bertaut diraih oleh Rindu. Seketika, lelaki itu menoleh pada anaknya. Tatapannya masih sendu.“Maafkan aku juga, Ayah. Selama ini, aku memang bukan anak yang baik untuk Ayah,” ujar Rindu tidak bisa melihat lama kedua mata sang ayah.Raden menggelengkan kepala.“Tidak, Rindu. Ayah yang banyak salah sama kamu. Ayah tidak bisa menerima takdir yang sudah terjadi. Ayah hanya melampiaskan keegoisan Ayaha padamu. Maafkan, Ayah.”Di waktu yang sama, Raden merengkuh Rindu yang selama ini tak pernah dilakukan.“Maafkan, Ayah. Selama kamu lahir di dunia ini, Ayah selalu menyakiti perasaanmu. Ayah tidak pernah memberikan kasih sayang layaknya orang tua yang baik. Ayah sangat egois. Kamu anak Ayah yang paling menerima semuanya,
“Su-sudah aku jelaskan tadi, kan, Yah,” sahut Dewi seakan menyembunyikan ketakutan.“Apa benar, orang yang mendonorkan darah untukku bukanlah Rindu, Ma?” tanya Raden lagi dengan penuh penekanan.Rindu dan keluarga suaminya hanya diam melihat drama suami-istri itu yang terasa mulai memanas.Kalau benar, Ayah mulai tergugah hatinya dan mulai mempercayai ucapanku, terima kasih, Tuhan. Engkau memang sangat baik padaku. Semoga Ayah benar-benar mengetahui kebenaran ini dan berubah lebih baik sehingga mau menerimaku sebagai anaknya tanpa menghardikku lagi.Wanita yang selama ini memelihara luka itu, hanya bisa berdoa di dalam dada untuk sang ayah. Rindu ingin berdamai demi ibunya yang sudah berada di alam yang berbeda. Agar dia bisa tenang melihat anak dan suaminya berhubungan layaknya keluarga yang penuh kasih sayang.“Semua bukti sudah aku pegang, Ma. Tolong, katakan yang jujur padaku, Ma!” pinta Raden lagi dengan suara yang agak ditinggikan.Dewi gusar. Ia membuang napas kasar. Tak bisa t
“Buat apa mereka datang ke sini?” gumam Dewi ketika melihat dari jendela kedatangan mobil yang di dalamnya adalah Rindu dan keluarga besannya.Rasa gelisah merongrong di dalam hati. Dugaannya salah. Mereka ternyata masih akan menginjakkan kaki di rumahnya. Apalagi keluarga besannya adalah atasan dan pemilik tempat kerjanya Raden. Makin panas dingin yang dirasakan oleh wanita itu.Bel rumah berbunyi. Pembantu membukakan dan menyuruh para tamu itu untuk duduk sedangkan dirinya memanggil sang empunya rumah.Dewi mengatur perasaan yang tidak menentu di dalam dadanya. Ia berharap, keberuntungan selalu menyertai hidupnya agar tidak menjadi bumerang untuk dirinya sendiri atas semua yang sudah dilakukan.“Ayo, Ma. Kita temui mereka. Mungkin saja, Rindu akan mengemis untuk dimaafkan di depan kita semua,” ujar Raden dengan angkuhnya.Sang istri manggut-manggut seraya berekspresi canggung, tetapi mencoba untuk biasa saja.“Akhirnya, kamu datang juga, Rindu,” ujar Raden tidak bisa menahan diri ke
“Apa anak itu tidak akan menemuiku? Anak durhaka!”Raden diperbolehkan pulang ke rumah setelah kondisinya membaik. Begitu pula dengan Dewi dan Dini, meski Dini masih harus memakai kursi roda.Sesuai rencana, Dewi sengaja menutupi semua kebaikan yang sudah Rindu lakukan. Tentang donor darah pun, ia berhasil merahasiakannya dari Raden. Ia bercerita kalau pendonor itu bukan dari keluarga sendiri. Raden pun percaya.“Sudahlah, Yah. Jangan memikirkan sesuatu yang tidak penting. Nyatanya memang Rindu anak yang durhaka. Sejak kita dirawat di rumah sakit, mana ada anak itu menjenguk kita, Yah. Boro-boro mengkhawatirkanmu yang lagi kritis butuh darah, padahal golongan darahnya sama denganmu, Yah.”Dewi terus saja meniupkan kebencian yang membuat Raden makin murka pada Rindu.Raden berdecap kesal. Dalam lubuk hatinya, masih ada keinginan agar Rindu yang masih darah dagingnya menjenguk dan menanyakan keadaannya. Apalagi kecelakaan itu terjadi setelah dirinya pulang dari pernikahannya Rindu. Buka
Setelah mencari ruangan tempat Raden dirawat dan diizinkan untuk masuk, Rindu terdiam melihat sang ayah yang berbaring tak berdaya di atas ranjang pesakitan.Kenangan di masa lalu yang isinya hanya rasa sakit kembali memutar secara otomatis di kepala.“Walau semua kenangan yang aku ingat hanya tentang keburukan Ayah, aku datang ke sini untuk membantumu, Yah. Aku tidak ingin menjadi Ayah versi yang lain karena apa yang Ayah lakukan benar-benar terasa sakit. Aku juga tidak ingin mengecewakan Ibu di atas sana kalau aku tidak mau membantu Ayah. Aku tidak ingin menjadi anak durhaka di mata Ibu, Yah. Meski setelah aku mendonorkan darahku, mungkin aku tidak akan menjenguk Ayah lagi. Kalau Ayah sadar, entah apa yang akan Ayah lakukan. Aku hanya tidak ingin merasakan sakit hati lagi.”Bulir kristal pada akhirnya membasahi pipi. Rindu menghapusnya. Lalu, mengatur napasnya agar perasaan yang bergejolak bisa mereda.Rindu yang seorang diri masuk ke ruangan itu, berbalik badan dan keluar dari sana
“Andai kita tidak pergi ke nikahannya Rindu, kecelakaan ini tidak akan terjadi kan, Ma?” Sambil terisak, Dini bicara dengan lirih, tetapi penuh amarah.Ibu dan anak itu sama-sama memikirkan satu orang yang sama. Satu orang yang selama ini sebagai sumber masalah dalam hidupnya yang tak pernah berkesudahan.“Aku pikir, Rindu yang sudah menjauh, sudah tidak akan mengusik hidupku. Tapi, sekarang malah begini, Ma! Kakiku terluka cukup parah dan entah ke depannya akan bisa sembuh seperti sedia kala atau tidak. Semua gara-gara Rindu kan, Ma?”Kepedihan itu nyatanya makin membutakan mata hati dari seorang Dini. Amarah pada Rindu makin menjadi-jadi. Hal buruk yang seandainya menimpanya di masa depan, harus menyalahkan Rindu. Ya, hanya wanita itu yang pantas disalahkan, bahkan dikutuk agar hidupnya lebih sengsara darinya.“Kalau sampai kakiku tidak bisa seperti dulu, aku mengutuk Rindu agar dia lebih menderita ketimbang aku, Ma! Aku tidak ingin dia bahagia, Ma!”Dini makin tersedu. Pikiran buru
“Sayang, kamu yakin? Kalau tidak bisa, tidak usah dipaksakan, ya,” ujar Ukasya lumayan terkejut dengan ucapan tiba-tiba yang dilontarkan oleh Rindu.Beberapa menit yang lalu, Rindu menolak dengan keras bahkan sampai meluapkan emosi dan rasa sakit hati yang mengendap di dalam relung hati.“Iya, Mas. Aku mau melakukannya,” jawab Rindu.Hilda melihat sang menantu sambil tersenyum haru. Nasihatnya ternyata dipikirkan dengan begitu matang dan bijaksana hingga akhirnya keputusan akhir yang membuat kebahagiaan didengar dari lisan wanita itu.“Aku tanya sekali lagi, kamu yakin, Sayang?” Ukasya hanya menegaskan tindakan sang istri bukan karena terpaksa hingga membuatnya makin tersiksa. Begitu cintanya Ukasya pada Rindu.Rindu menganggukkan kepala beberapa kali. Di dalam hati masih ada sedikit keraguan yang mendesir lembut. Namun, nasihat Hilda juga terngiang di pikiran. Nasihat baik yang mungkin saja akan terkabul kalau Rindu sedikit menurunkan egonya meski rasa sakit itu masih membekas.“Iya,