Kevin menghela napas panjang, dari jawaban Kiara sudah jelas jika istrinya sedang dilanda api cemburu.
"Kamu tidak percaya dengan kesetiaanku?" tanya Kevin.
"Kamu mungkin setia, Mas. Tapi, siapa yang dapat menjamin jika perempuan itu tidak menggodamu saat di kantor? Apa lagi kalian ... ah, sudahlah Mas, terserah kamu saja. Mau meneruskan untuk mempekerjakan dia terus di kantormu juga tidak masalah. Itu kantormu, kamu punya hak untuk menempatkan siapa saja yang bisa bekerja di kantormu," kata Kiara dengan gusar.
Kevin hanya bisa diam, ia menatap Kiara yang benar-benar mengerucutkan bibirnya.
"Ki, aku tidak tau kenapa tante Nancy menerimanya sebagai sekretarisku. Tapi, dia memintaku jangan memecatnya selagi dia mencari pekerjaan yang baru. Tolonglah, Ki. Jika memang perlu kamu ikut saja denganku ke kantor supaya dia tidak bisa mengganggu atau menggodaku."
"Iya, setelah itu, akan tersebar rumor Pakn
"Hah ... langsung dari pohon?" tanya Kevin kebingungan."Ya, iya. Aku nggak mau Mas beli. Harus petik sendiri, dan sebagai bukti aku mau Mas petik sama daunnya yang masih menempel. Kalo nggak, aku nggak mau makan!"Kevin pun menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Ini udah sore loh, Kiara.""Aku nggak peduli. Kalau Mas nggak mau, artinya Mas nggak sayang sama anak kita," cicit Kiara sambil mengerucutkan bibirnya. Mau tak mau, Kevin pun mengangguk dan segera melangkah keluar kamar."Mau ke mana?" tanya Khanza pada mantunya itu. Kevin hanya tersenyum, "Kiara ngidam," jawabnya. Ia pun mengatakan apa keinginan Kiara."Kau lupa, anak buah almarhum papimu punya pohon mangga, kau datang ke sana. Mama rasa ada beberapa buah mangga yang masih mengkal," kata Aulia.*** Agung kebetulan memang sedang berada di rumah hanya tert
"Jadi, kau memutuskan kerja dari rumah, Vin?" tanya Nancy saat Kevin mengatakan niatnya untuk bekerja dari rumah sementara waktu."Iya, Tante. Apa Tante keberatan membantu? Aku ingin fokus pada kehamilan Kiara juga. Lagi pula aku merasa risih dengan kehadiran Amanda di kantor. Aku ingin menjaga perasaan Kiara. Kasian bayi kami jika ibunya merasa stress." Nancy tersenyum kecil, rencananya ternyata berjalan dengan lancar. Memang itu tujuannya meminta Amanda di kantor. Agar Kevin tidak nyaman dan memiliih untuk bekerja dari rumah atau kembali tergoda dengan Amanda. Ternyata Kevin benar-benar mencintai Kiara hingga ia memilih untuk bekerja dari rumah saja. Dan hal itu jauh lebih baik, ia bisa menjalankan rencananya."Ya sudahlah, terserah kamu saja.""Jika memang ada yang perlu saya tanda tangan bawa saja kemari. Tante bisa menyuruh OB atau siapa saja. Aku akan tetap memantau juga," kata Kevin.
"Apa? Aku yang makan?" tanya Kevin sambil membelalakkan mata. "Iya, aku mau kamu yang makan tututnya, Mas," kata Kiara. Kevin hanya menepuk dahi,"Aku nggak tau bagaimana cara makannya." "Begini caranya," kata Kiara sambil memberi contoh. Kevin yang melihat cara Kiara makan hanya mencoba mengikuti. Tapi, karena ia belum biasa sampai bibirnya monyong ia tidak bisa menyedot isinya hingga membuat Kiara tertawa geli. "Loh, siapa yang beli tutut?" tanya Khairani yang baru saja keluar dari kamarnya. "Kiara minta tutut, sudah beli malah saya yang disuruh makan," kata Kevin. "Enak?" tanya Khairani menahan tawa. "Satu saja nggak bisa dari tadi makannya, Bu," lapor Kiara. Tawa renyah Khanza pun terdengar, "Iya, cara makannya yang salah. Kalau tidak bisa jangan disedot begitu. Ni, ibu beri contoh." Khairani pun mengambil tusuk gig
Amanda menatap Nancy dengan kesal."Tante, jangan ingkar janji. Aku sudah masuk ke dalam kehidupan Kevin dan Kiara. Sekarang pertemukan aku dengan mama dan adikku!" pekik Amanda. Nancy mendecih, "Enak saja, tugasmu belum selesai. Kau masih harus membuat Kevin menandatangani pengalihan harta kepadaku. Sampai kau berhasil membuatnya menandatangani baru aku akan mempertemukan kau dengan keluargamu!""Curang! Tante bisa-bisanya memanfaatkan aku sampai bertahun-tahun begini. Tante kelewatan sekali!" Nancy mendorong bahu Amanda dengan keras, "Jangan berani membentak aku, di sini aku bosnya! Aku yang berhak membuat kau menuruti semua perkataanku!""Baik, sekarang mari kita akhiri saja. Katakan apa tugas terakhirku, aku akan melakukannya dan setelah itu pertemukan aku dengan mama dan adikku. Kami berada satu kota, tapi kami tidak bisa bertemu.""Kalau begitu lakukan tugasmu dengan baik. Sebagai
"Ibu cukup turuti saja apa mau saya. Saya hanya ingin menjauhkan Amanda dari Kevin. Saya akan membiayai pengobatan Anda sampai selesai juga kuliah Silvia. Bahkan rumah lama Anda sudah saya beli kembali dan sekarang atas nama Silvia. Kalian bisa kembali ke sana setelah saya selesai dengan apa yang ingin saya ambil dari keponakan saya." Zulfa menatap Nancy, ia mengenal wanita di hadapannya ini sebagai tante dari kekasih anaknya."Apa salah anak saya Amanda?" tanya Zulfa lirih."Tidak ada. Tapi, seimbang bukan , saya membiayai pengobatan Anda sampai sejauh ini. Saya juga menanggung hidup Anda dan kuliah Silvia. Memberi Amanda pekerjaan. Apa salah jika saya meminta sedikit bantuan? Tidak, kan?" Zulfa hanya menghela napas panjang, saat ini tidak ada pilihan selain menerima. Sejak kematian suaminya, hidup mereka susah karena utang piutang dan juga menyebabkan ia sakit. Ia tentu tidak ingin jik
Rinjani menatap bayangan wajahnya di cermin. Entah mengapa sejak pertemuannya dengan Kiara di pesta pernikahan gadis itu batinnya seolah terpanggil. Sejak dulu, saat perusahaan belum dipegang oleh Rangga putranya, mereka- suaminya dan Keith ayah Kevin sudah menjalin kerjasama. Itulah mengapa Rinjani merasa wajib datang ke pernikahan Kevin."Ma, lagi mikirin apa sih?"Rinjani menoleh dan tersenyum saat melihat Rangga sudah berdiri di sampingnya."Kamu sudah pulang kantor?" tanya Rinjani."Kalau belum aku nggak akan ada di sini, Mama. Sepertinya, sejak mama pulang dari pesta pernikahan Kevin mama jadi sering melamun. Mama kenapa?" tanya Rangga. Rinjani menghela napas panjang, "Apa yang mama minta beberapa bulan lalu sudah kamu lakukan?""Mencari bik Sita?""Ya, hanya dia yang tau di mana kakakmu berada." Rangga menghela napas
Rudi dan Rinjani baru saja pulang dari pesta pernikahan sahabat mereka. Setelah acara itu selesai, Rinjani dan Rudi kini dalam perjalanan pulang. Mereka tidak bisa berlama-lama karena Rinjani sedang hamil besar dan sebentar lagi ia akan melahirkan."Aku bahagia, melihat Raka pada akhirnya bisa menerima Gadis. Kapan ya, kedua orang tuaku bisa menerima pernikahan kita, Mas?" Rudi tersenyum sambil membelai rambut Rinjani."Sabar, sekarang ini mama dan papamu sudah mulai membuka hati dengan membiarkan aku bekerja di perusahaan mereka. Itu sudah menjadi awal yang indah," ucap Rudi memberikan senyuman sekilas.“Iya, semoga setelah kelahiran anak kita nanti papa dan mama semakin membuka hati,” kata Rinjani.“Iya, sayang.”Mereka pun tersenyum bahagia. Deg!Jantung Rinjani berpacu dengan cepat, pinggangnya mulai kambuh.
Galuh Diningrat dan suaminya Suseno Diningrat bergegas menuju rumah sakit. Baru saja rumah sakit menelepon dan mengabarkan tentang kondisi putri mereka."Bu," rintih Rinjani saat melihat kedua orang tuanya datang."Kenapa di ruangan seperti ini sih? Kan bisa di ruangan yang jauh lebih baik," protes Galuh."Bu, saat ini Tamara sedang merasakan sakit dan juga kondisi Rudi masih kritis. Ibu malah meributkan hal yang tidak penting." Suseno menukas sambil menatap Galuh dengan tajam. Melihat sang suami yang menatap tajam seperti itu nyali Galuh menciut seketika. Wanita itu pun berpaling pada putri tunggal mereka."Kamu nggak apa-apa, toh?""Saya baik, Bu. Tapi, bagaimana dengan Mas Rudi?""Kamu ini, Rudi itu laki-laki dia pasti akan kuat, Tamara." Kedua orangtua Rinjani memang selalu memanggil dengan nama Tamara. Rinjani Tamara Diningrat.