"Kangmas Prawara!"Pawana berlari gembira menyambut kakaknya. Pawana tidak menderita penyakit kulit seperti Prawara. Mungkin karena dia memang sudah dipilih jadi tumbal yang tentunya harus bersih dari penyakit. Tetapi tubuhnya tampak lebih kurus, dia hanya mengenakan celana gringsing yang sudah kumal, tangan dan kakinya dirantai.Kedua saudara kembar itu kemudian berbincang sementara Rangga dan Awehpati mengamati dari jauh."Kasihan Pawana, sukmanya terjebak di dunia demit dijadikan budak mereka sampai akhir jaman,"ujar Awehpati dengan suara lirih."Bisakah kita membebaskan sukmanya agar kematiannya bisa sempurna dan dia bisa terlahir kembali?""tanya Rangga."Entahlah, jika selama ini tidak ada yang mendoakan dia, mungkin sulit bagi sukmanya untuk kembali. Apalagi keluarganya adalah pemuja setan. Siapa lagi yang seharusnya mendoakannya kalau bukan dari keluarga sendiri,"ujar AwehpatiTak lama kemudian Pawana dan Prawara datang menghampiri Rangga lalu berkata"Ki Sanak sekalian, kita a
"Aku sudah sering berinteraksi dengan hantu, tapi yang ini benar-benar menjijikan, mana baunya amis dan busuk,"gerutu Rangga."Ssshh...jangan keras-keras, nanti dia ngamuk,"Awehpati memperingatkan.Namun Rangga tak peduli, sambil menutup hidung, Rangga mundur beberapa langkah"Hei...hantu busuk, menjauhlah dariku. Aku tidak takut denganmu tapi aku tidak tahan dengan baumu yang busuk."Penjaga Laut Kidul itu marah lalu kembali menyabetkan cambuknya ke arah Rangga. Dengan sigap spontan Rangga menghindar. Tangannya bergerak mengerahkan energi Sang Hyang Agni ke tangannya. Sejurus kemudian api sudah berkobar di telapak tangannya membentuk selendang api. Lalu dia melemparkan selendang api ke arah si penjaga."Wuuush!"Api berkobar menyambar penjaga itu. Teriakan memilukan keluar dari bibirnya yang sudah tinggal separuh karena busuk."Aaarrrgh!"Rangga terus menyerang, selendang api sudah membelit tubuh penjaga berwajah busuk itu. Tak lama kemudian tubuh penjaga itu musnah jadi abu. Para
Tapi para penagih itu tidak peduli, mereka tetap memukuli bapak itu hingga luka-luka. Lalu salah satu anak buahnya mengambil tiga anak gadis bapak itu, memperkosa mereka lalu membawanya pergi. Tayangan di cermin kemudian berganti, anak kecil yang sakit itu meninggal. Sedangkan tiga anak gadis yang diambil itu terlihat berada di sebuah rumah plesir, berdandan menor melayani berbagai laki-laki yang datang di sana. Prawara dan Pawana menangis melihat penderitaan leluhurnya. "Pawana, kamu lihat sendiri penderitaan leluhur kita. Betapa menyakitkan dan menderita menjadi orang miskin. Entahlah apa keluargaku nanti mampu menghadapi keadaan ketika aku meninggalkan ilmu pesugihan ini,"kata Prawara sambil terisak. "Sudahlah Kangmas Prawara, semuanya sudah terjadi. Semoga saja Sang Hyang Widi masih mengasihani kita dan memberikan kita kesempatan untuk terlahir kembali dengan keadaan yang lebih baik,"Pawana menghibur saudaranya. "Pantas saja dengan penderitaan karena kemiskinan yang sep
Rangga terkejut, dia mengira Prawara akan kembali bersama-sama. Tapi ternyata dia justru mengorbankan dirinya demi membebaskan keluarganya dari korban tumbal Nyi Blorong. Namun Ranggabtetapmingin membawa Prawara pergi."Ki Prawara, anda tetap ikut dengan kami pulang ke rumah."Ratu Kidul dan Nyi Blorong menatap Rangga dengan pandangan mengejek"Semua sudah ada di perjanjian antara kami dengan dia!"tangan Nyi Blorong menunjuk orang tua tadi.Orang tua itu hanya menunduk dan menangis menyesali keputusannya yang membuat anak keturunannya menderita."Maafkan aku sudah membuat kalian menderita. Ya, aku memang sudah memberikan stempel darah untuk kontrak perjanjian dengan Nyi Blorong bahwa aku bersedia mengorbankan anak cucuku sebagai tumbal dengan imbalan kekayaan tanpa batas,"orang tua itu berbicara sambil terisak.Nyi Blorong tersenyum sinis lalu berkata"Nah, kalian sudah dengar sendiri kan? Kami selalu menepati janji memberi kekayaan. Tapi kalian manusia yang selalu ingkar janji. Bahka
"Kedua isteri dan anak-anaknya masih tinggal di sana tapi para gundiknya sudah pergi meninggaklan tempat itu begitu mendengar Prawara bangkrut. Rumah yang mereka tempati sekarangpun hanya gubug sederhana,"ujar Ki Yasa. Rangga menghela nafas lalu berkata "Kasihan mereka, pastinya berat rasanya sudah terbiasa hidup mewah kini harus hidup miskin seperti leluhurnya dulu." Nyai Yasa masuk kamar dan mengabarkan. "Ki Awehpati masih belum sadar sampai saat ini." Rangga mulai mencemaskan kondisi Awehpati. "Kenapa dia masih belum sadar juga?" "Tidak apa-apa, besok dia sudah bisa sadar. Energi buruk yang didapatnya dari Laut Kidul membuat tubuhnya lemah. Kita bisa minta tolong Pandhita Kasyiwan di pura desa untuk mendoakannya supaya energi buruknya bisa hilang,"Ki Yasa menenangkan Rangga. Ki Yasa lalu memanggil anaknya untuk memanggilkan Pandhita Kasyiwan di pura desa. Setelah anaknya pergi, terdengar pintu rumah diketuk dan suara seorang wanita memberi salam. "Kulonuwun!" N
Rangga melirik Awehpati yang masih saja mengikutinya selama dalam perjalanan. Orang tua itu katanya ingin merantau ke wilayah Kerajaan Sunda Galuh untuk menghindari pasukan Majapahit yang memburunya. Tapi bukannya memikirkan cara untuk segera sampai ke wilayah Sunda Galuh, orang tua itu malah mengikutinya mencari Pasar Dieng di gunung Lawu. "Ki Sanak, mungkin sebaiknya anda meneruskan perjalanan ke Sunda Galuh saja. Biar saya sendirian saja mencari Pasar Dieng,"Rangga menyarankan. Awehpati hanya tersenyum lalu menepuk bahunya dan berkata "Ngger, kamu adalah anak dari sahabat sekaligus guruku. Dia sudah kuanggap seperti Saudara sendiri. Setelah dia tiada, akulah yang bertanggungjawab terhadapmu. Lagipula untuk menuju ke arah barat aku tetap harus melewati gunung ini." Rangga diam-diam merasa terharu dengan kebaikan Awehpati. Namun ada satu hal yang mengganggu pikirannya. Di satu sisi dia gembira karena akhirnya dia mengetahui jati dirinya dan orangtua kandungnya. Namun dia juga
Rangga dan Awehpati berhenti melangkah lalu menoleh. Seorang kakek tua berjalan menghampiri mereka. Warga yang sedang berbincang di pendopo rumah berhenti berbincang memperhatikan mereka. "Ki Sanak, hari sudah malam,apalagi kalian datang dari jauh pasti kalian sudah lelah. Silahkan menginap di rumah saya ,"orang tua itu menawarkan jasanya. Rangga dan Awehpati berpandangan. "Gimana, kita jadi nginep di sini?"tanya Rangga. Sekilas Rangga melihat keraguan dalam mata Awehpati, namun teman seperjalanannya itu hanya mengangguk setuju. "Kalau anda tidak keberatan, kami mau menginap semalam saja di sini,"kata Rangga. Orang tua itu tertawa menepuk bahu Rangga. "Tidak saya tidak keberatan sama sekali. Saya senang bisa menolong orang dari jauh. Siapa nama Ki Sanak sekalian?" "Saya Rangga dan dia teman saya Ki Awehpati." "Saya Jiwan, mari silahkan masuk,"Jiwan mempersilahkan mereka masuk ke rumahnya. Rumah Jiwan rumah gubuk sederhana berlantai tanah. Rangga dan Awehpati samar-s
"Lalu bagaimana nasib teman-temannya yang lain?"tanya seseorang."Mereka sama-sama terbakar tapi masih bisa selamat,"seseorang menjawab.Terdengar suara ramai warga kampung yang menanggapi berita itu. Lalu seseorang berkata"Sebaiknya kita urus jenazah Randu dulu sajaTak lama kemudian Jiwan muncul di depan pintu kamar mereka berpamitan."Ki Sanak, saya tinggal pergi dulu ya. Ada warga yang meninggal, saya mau mengurus jenazahnya dulu.""Silahkan saja Ki Sanak,"jawab Awehpati.Jiwan keluar rumah menyusul rombongan teman-temannya. Setelah itu suasana kembali sepi. Saat itu juga perasaan Rangga mulai tak enak. Dia menjawil Awehpati yang duduk di dekatnya."Ki Sanak, perasaanku kok tidak enak ya?""Iya, aku juga kita pergi saja dari sini,"jawab Awehpati."Kita pergi sekarang,"Rangga langsung bangun mengemasi barang-barangnya.Usai berkemas Rangga berkata lagi"Kita pamitan dulu dengan Nyai Jiwan, tapi kalau orangnya sudah tidur kita langsung pergi saja."Berdua mereka mencari Nyai Jiwan
Malam itu Rangga tidak bisa tidur karena saat ini tubuhnya terasa meriang panas dingin silih berganti mengjampiri dirinya. Dia meraba kalung Batu Tujuh Cakra di lehernya, barulah dia ingat, sudah lama dia tidak merawat kalung itu dan menjemurnya di bawah sinar bulan untuk membersihkan energi buruk yang melekat. Daripada tidak bisa tidur lebih baik menunggu jemuran kalung, pikir Rangga.Dia bangun dari tidurnya lalu berjalan keluar. Tiba-tiba dia teringat dengan lempeng baja yang dibungkus dengan kulit kerbau. Saraswati menyimpan lempeng baja itu di sudut ruangan goa. Dia mengambil bungkusan lempeng tembaga lalu keluar goa, duduk di tepi api unggun. Ada tiga lempeng tembaga di dalam bungkusan. Diambilnya lempengan-lempengan tembaga itu lalu mulai membacanya. Rangga mulai mempelajari petunjuk yang ada di lempeng tembaga itu. Di lempeng pertama tertulis perintah bahwa latihan ilmu SangbHyang Tirta harus dilakukan di dekat air yang mengalir membasahi tubuh untuk mengambil energi dari
Semua orang terkejut, wajah dan tubuh orang yang baru datang itu tampak bengep seperti habis dipukuli. Ternyata orang itu adalah tetangga mereka juga yang sama-sama berjualan makanan di pasar. Jiwo tertegun melihat kondisi orang itu. Apa yang dikatakan Saloka benar adanya, aku punya khodam pendamping yang tidak hanya sebagai penunjuk jalan tetapi juga membantuku menyelesaikan urusanku, pikir Jiwo. Setelah itu, orang-orang mulai meminta Jiwo untuk memberikan pengobatan, mencari pusaka dan benda yang hilang bahkan meramal nasib. ****** Pagi itu, Rangga berenang di air terjun. Saat di dekat gerojokan air terjun, Rangga melihat ada sebuah lorong di belakang air terjun. Letaknya tersamarkan karena tertutup oleh tumbuh-tumbuhan di sekitar tebing air terjun. Penasaran dengan lorong itu, Rangga berenang lebih dekat lagi, lalu mulai meneliti area di belakang air terjun. Lorong itu cukup untuk dilalui satu orang. Rangga masuk ke dalam lorong dan penelusurannya berakhir di sebuah rua
"Sebagai pengganti matamu yang telah kami ambil, aku akan menggantinya dengan penglihatan mata ketiga,"ujar Saloka."Maksudmu aku diberi mata baru? Lalu mata siapa yang akan kalian gunakan sebagai pengganti?"tanya Jiwo keheranan.Saloka hanya tersenyum mendengar pertanyaan Jiwo."Kamu akan memiliki penglihatan mata batin tanpa batas. Kamu bisa melihat apa yang seharusnya tak terlihat."Jiwo tertawa sinis"Kalau cuma kaya gitu sih, dukun-dukun bahkan anak kecil bisa melihat makhluk halus. Apa istimewanya mata ketigaku?"Wajah Saloka berubah, dia tampak tidak suka disepelekan ilmunya."Kamu betul-betul orang yang tidak tahu terimakasih. Pandangan mata ketiga yang kuberikan kepadamu bukanlah mata ketiga biasa seperti yang dimiliki dukun-dukun kelas teri itu. Banyak orang yang menginginkan ilmu itu. Mereka rela bertapa bertahun-tahun untuk mendapatkan penglihatan Mata Ketiga itu tapi tak satupun dari mereka yang mampu memperolehnya karena syaratnya memang berat.""Baiklah kalau memang il
Kulitnya terasa perih karena berjalan menembus semak berduri dan terkena goresan ranting. "Buug!" Jiwo menabrak batang pohon besar yang menghalangi jalannya. Kepalanya pusing, kedua rongga matanya terasa sakit, setelah itu dia pingsan. Saat itu Jiwo merasa tubuhnya menjadi seringan kapas melayang keluar dari tubuhnya sehingga dia dapat melihat dirinya yang sedang terbaring di lantai hutan. Heei... aku bisa melihat sekarang, tapi apa aku sudah mati?pikir Jiwo. Sebuah lorong yang diterangi cahaya tiba-tiba terbentang di depannya. Jiwo terkejut melihat lorong bercahaya itu tiba-tiba sudah berada di depannya. Apakah lorong ini menuju nirwana?batin Jiwo sambil melangkah lebih dekat lagi mendekati pintu lorong. Jiwo terus melangkahkan kaki memasuki lorong, namun baru beberapa langkah masuk lorong, tiba-tiba saja tubuhnya ditarik oleh sebuah kekuatan besar, tersedot masuk lebih dalam ke dalam lorong dengan kecepatan tinggi. Jiwo berusaha keluar dari lorong tapi tak bisa. T
"Kami adalah penghuni tempat ini! Dan sekarang kamu tidur di atas istana Raja kami!""Istana apaan, aku tidur di atas batu kali,"jawab Jiwo setengah mengantuk.Namun orang-orang itu tampaknya tak mau peduli, mereka terus membangunkan Jiwo. Ada yang menggelitiki pinggangnya, menarik kupingnya atau menjambak rambutnya. Jiwo yang sudah kecapekan tak juga bangun walaupun tidurnya diganggu.Akhirnya karena Jiwo tak juga pindah tempat, makhluk-makhluk itu memindahkan Jiwo ke atas pohon Waru. Jiwo yang masih tak sadar dirinya berpindah tempat, dengan santainya berguling membalikan badan."Buug!"Badan jiwo jatuh dari atas pohon. Pemuda itu kesakitan dan memaki"Aduuh...sialan aku dipindah. Siapa yang mindah aku?!"Akhirnya Jiwopun menyerah, sambil memegangi kepalanya yang sedikit pusing gara-gara jatuh dari pohon, Jiwo duduk di bawah pohon. Rasa kantuknya sudah menghilang sama sekali. Tapi Jiwo masih bersyukur, pohonnya tidak tinggi sehingga tidak membahayakan dirinya. Udara yang dingin m
Namun Dhesta tak mengindahkan perintah bapaknya. Dia mengambil Kapak Setan lalu berlari menyongsong lawan dan menghalau pasukan clurit dari Sekte Bulan Sabit Emas suruhan Hasta. Kapak Dhesta berkelebat membabat para penyerang. Jumlah mereka tidak terlalu banyak namun mereka semua memiliki tingkatan ilmu silat di atas rata-rata sehingga membuat mereka kewalahan menghadapinya. "Anak bodoh, kamu pulang ke Lawu saja, apa kamu tidak memikirkan keselamatan Amrita?" Dhesta tertegun, karena sibuk menghadapi musuh, dia melupakan Amrita. "Amrita!"Dhesta langsung berlari mencari Amrita di dalam rumah. Di sana dia melihat Amrita sudah diseret keluar dari tempat persembunyiannya oleh dua laki-laki berambut panjang terurai dengan ikat kepala Bulan Sabit Emas. Masing-masing membawa senjata clurit. "Hei...jangan sentuh dia!" Dua pria bersenjata clurit menengok terkejut ketika melihat ada orang lain di situ. Keduanya menghunus clurit lalu langsung menyerang Dhesta. "Hiyaaa." Di dalam rumah
Nyi Blorong mengejar, berusaha menangkap Saraswati. Gadis itu mencoba melawan, dengan ilmu Sang Hyang Tirta dia menyapu tubuh Nyi Blorong dengan air laut. "Whuuur!" Nyi Blorong hanya mengangkat tangannya, air laut berbalik menghantam Saraswati membuat gadis itu terkejut saat menyadari air laut berbalik mengantam dirinya. Dia berusaha menghindar tapi air laut seolah berada dalam kendali Nyi Blorong. Air laut itu seperti selendang air yang mengejar Saraswati. Kemanapun dia menghindar selendang air laut akan selalu mengejarnya. "Ha ha ha kamu bocah kemarin sore mau melawanku dengan ilmu Sang Hyang Tirta? Akulah si pengendali air yang sejati. Kamu tidak akan bisa melawanku!" Saraswati terus bergerak menghindar, walaupun dia memiliki stamina yang prima, tapi terus-terusan bergerak menghindar makin lama membuatnya semakin kelelahan. Sementara Rangga masih terus berusaha menghabisi pasukan manusia tanpa mata sehingga tak sempat memperhatikan Saraswati. Hingga suatu saat selendang
Rangga menoleh ke arah yang ditunjuk Saraswati. Entah darimana datangnya, ada seorang laki-laki berjalan ke arah mereka dari arah pantai. Berdebar Rangga saat melihat cara jalan orang itu. Orang itu terlihat berjalan biasa. Namun ketika kakinya melangkah, hanya dalam beberapa detik saja orang itu sudah mendekat ke arah mereka. "Saras, kita kembali ke goa, dia bukan orang. Aku tak mau berurusan dengan makhluk-makhluk di sini,"Rangga menarik tangan Saraswati mengajaknya pergi. Tapi Saraswati melepaskan tangannya dari genggaman Rangga. "Dia orang, lihat...kakinya menapak di tanah, penampilannya biasa saja seperti kita. Kalau kamu mau masuk goa, masuk saja sendiri,"Saraswati masih ngotot bertahan. Rangga mulai kesal dengan sikap keras kepala Saraswati. "Ayo kita pergi sebelum dia sampai kemari? Apa kamu tidak curiga dengan cara berjalannya?Lihat dia kelihatannya berjalan biasa, tapi hanya dalam satu langkah saja dia sudah menjangkau.jarak yang cukup jauh!" Saraswati mulai menga
Saraswati tersadar dengan gugup dia berkata "Oh ya tentu saja, bapakku seorang pertapa. Dia sering bertapa di gunung-gunung di pulau Jawa ini. Pastinya dia pernah di sini, simbol makara adalah simbol dari keluarga kami." "Lalu apa maksud bapakmu meletakan patung makara itu di sini? Seharusnya patung ini diletakan di tempat yang mudah terlihat. Bukan di tempat tersembunyi di antara celah bebatuan goa. Sepertinya dia tak ingin tempat ini ditemukan orang,"tulas Rangga. Saraswati terdiam mengingat-ingat sesuatu laku berkata lagi. "Bapakku pernah bercerita tentang jalur menuju Laut Selatan melalui sebuah lorong yang terletak di wilayah Pajang. Mungkinkah lorong ini akan membawa kita langsung menuju Laut Selatan?" Rangga teringat pengalamannya saat membebaskan keluarga Prawara dari perjanjian pesugihan dengan Nyi Blorong. Saat itu dia bisa langsung menuju Laut Selatan dari halaman belakang rumah keluarga Prawara. "Ah, tidak aku tidak mau ke sana lagi. Malas aku bertemu dengan par