“Dia itu murid pindahan, Mi,” kata Nabil memberiku penjelasan saat bertanya siapa Arya Arya. Bukan apa, aku baru mendengar namanya. Apa aku yang terlalu ketinggalan berita mengenai sekolah Nabil?
“Oh, murid pindahan?” tegasku. Pantas saja aku tak familier dengan nama anak itu.
“Miss Nina bilang, Arya pindah dari Semarang. Anaknya baik, kok. Les juga di EFF Pondok Indah, satu room sama aku.”
Aku mengangguk paham. “Kamu akrab dengan Arya?” tanyaku pada Nabil sembari diam-diam mencari kontak baru di grup sekolah, siapa tahu aku bisa mendapatkan nomor orang tua Arya. Yang dipanggil Tante Rara oleh Nabil.
“Kami berteman. Dia cerita, kalau papanya kerja di laut. Bukankah laut itu luas, Mi? Enggak ada tanah, kan, di laut? Jadi dia kerjanya bagaimana?”
Aku nyengir. “Ehm ... mungkin di kapal besar?”
Ada banyak hal yang Nabil katakan seputar teman barunya itu. Kebanyakan berisi informasi betapa keren sosok Arya dalam hal seni—menggambar dan mewarnai. Tapi sepanjang cerita itu juga, Mas Hanung diam saja. Seolah keterdiamannya untuk memberitahuku, jika aku sedikit egois memaksakan diri mengikutinya pagi ini.
Tapi aku mencoba untuk mengabaikan karena yang kubutuhkan hanya penjelasan. Bagaimana bisa mereka berangkat bersama tanpa sepengetahuanku? Wajar, kan, jika aku memiliki kekhawatiran berlebih? Apalagi zaman sekarang, musim pelakor yang masuk ke rumah tangga orang lain tanpa tahu diri.
Ugh! Jangan sampai hal itu terjadi dalam rumah tanggaku! Aku tak bisa membayangkan jika itu terjadi. Mengerikan. Amit-amit ...
“Nah, sudah sampai.” Mas Hanung bicara sembari tersenyum tapi bukan untukku, melainkan untuk Nabil.
“Aku masuk dulu, ya, Pa,” Nabil mengulurkan tangannya, meraih tangan ayahnya dan mengecup penuh takzim. Dibalas dengan kecupan sayang di puncak kepala Nabil serta beberapa kecupan ringan di pipi.
“Belajar yang semangat, ya. Dengarkan arahan Miss Nina,” kata Mas Hanung.
“Oke, Papa!” Lalu Nabil mendekat padaku. Aku juga melakukan hal yang sama dengan Mas Hanung disertai iringan doa, semoga Tuhan selalu melindungi putriku di mana pun dia berada.
Nabil pun turun dari mobil dan melangkah riang menuju gerbang sekolah. Terlihat beberapa temannya menghampiri.
“Dadah, Sayang! Semangat belajarnya, ya!” Aku sedikit memekik sembari melambaikan tangan pada Nabil yang berjalan menuju gerbang sekolahnya. Dia menoleh, dan membalas lambaianku penuh semangat.
Tak butuh waktu lama, mobil kami pun beranjak meninggalkan area sekolah Nabil. Mas Hanung kembali tak bersuara. Entah terlalu fokus menatap jalanan atau tak suka aku duduk di sampingnya, ikut mengantar Nabil juga mengekori sampai bertemu dengan kliennya di Le Meridien. Dia juga belum bicara mengenai apa yang menjadi kegelisahanku.
Apa karena sebelumnya ada Nabil? Memang, sih, Mas Hanung tak menyukai jika kami berdebat di depan Nabil. Sebisa mungkin kami menghindari hal itu karena ingin memberi sebuah memori, jika kami—orang tuanya, selalu berkomunikasi dengan baik di depannya.
“Sudah enggak ada Nabil tapi Mas belum mau bicara juga?” tanyaku memulai obrolan.
Suamiku masih diam.
“Mas marah?” Pada akhirnya, aku yang harus mengalah. Jika Mas Hanung sudah mengunci rapat mulutnya, akan sukar bagiku untuk mengajaknya bicara. Sementara aku membutuhkan penjelasan Mas Hanung mengenai ucapan Nabil. Apa anak seusia Nabil bisa berbohong mengenai keadaan yang dia alami? Aku rasa tidak.
Iya, kan?
“Kenapa kamu percaya begitu saja dengan ucapan anak usia delapan tahun?” Mas Hanung berkata sembari menghela napas lelah. Pelipisnya ia pijat pelan mungkin untuk menghalau rasa jengkel yang dimiliki padaku.
“Memangnya Nabil berbohong?”
“Bukan begitu,” Mas Hanung lagi-lagi menghela napas panjang. “Terkadang ucapan anak seusia Nabil membuat orang lain salah paham. Dan kamu salah satunya.”
“Kalau kamu enggak mau aku salah paham, seharusnya kamu jelaskan sedari tadi apa yang sebenarnya terjadi? Siapa Rara dan Arya itu? Kenapa kamu jemput mereka?”
“Bukan jemput,” tukas Mas Hanung segera. “Tapi janjian di perempatan lampu merah Grand Wijaya, Dek. Mas punya alasan sendiri melakukan hal itu.”
Aku merengut, mataku menatap Mas Hanung dengan sorot curiga. “Mas belajar selingkuh?”
Mas Hanung menoleh dan segera saja membalas tatapanku dengan sorot tak suka. “Bisa jangan asal bicara?”
“Ya terus?” desakku tak sabar.
“Arya itu teman sekelas Nabil. Kamu tahu Arya Arya?”
“Tahu, dari ceritanya Nabil tadi,” selaku cepat, tak sabar menunggu kelanjutan ucapan Mas Hanung.
“Aku enggak sengaja membantu ibunya Arya. Minggu lalu mobilnya mogok persis setelah lampu merah perempatan itu. Nabil melihat Arya kebingungan, ibunya juga. Mungkin karena mobilnya mogok dan enggak dapat taksi atau ojek online, Dek. Makanya Mas beri tumpangan.”
Mataku masih memicing curiga. “Dan enggak hanya sekali mereka numpang?” terkaku.
“Lagian kami searah, kan? Kamu enggak perlu khawatir. Enggak ada hal yang mencurigakan terjadi, kok.”
“Yakin?”
Mas Hanung terkikik lalu menggenggam tanganku erat. Kurasa kemarahan Mas Hanung sudah lenyap entah ke mana. “Iya.” Dikecupnya punggung tanganku penuh mesra. “Berhubung kamu ikut Mas ke Le Meridien, nanti Mas kenalkan dengan ibunya Arya. Dia asistennya Pak Bimo ternyata.”
“Tapi Nabil bilang kamu jemput dia? Berarti kamu ke rumahnya, kan?”
Mas Hanung lagi-lagi tertawa. “Itulah kenapa aku bilang, Ucapan anak seusia Nabil belum bisa dipastikan kebenarannya. Kami hanya janjian di lampu merah perempatan itu saja, kok. Enggak setiap hari, hanya sampai mobil ibunya Arya selesai diperbaiki. Mungkin sudah tiga hari belakangan aku enggak bareng sama dia.”
“Yakin hanya seperti itu?”
“Kalau kamu enggak percaya sama aku, itu urusan kamu, Dek. Yang jelas, Mas sudah bicara sejujur mungkin. Mas enggak ingin berdebat untuk membuat kamu percaya. Silakan berpikir sesuai asumsi kamu saja.” Mas Hanung melepaskan genggaman tangannya, lebih memilih sibuk dengan setir dan fokus ke jalanan.
Lagi-lagi seperti ini, Jadilah aku yang harus mengalah meski khawatir yang kumiliki sebesar gunung Himalaya. “Aku takut, Mas,” rengekku akhirnya.
“Makanya jangan terlalu banyak nonton gosip. Aku enggak mungkin selingkuh,” tukas Mas Hanung dengan nada bicaranya yang tegas. “Aku beruntung mendapatkan kamu sebagai istri. Dan memiliki Nabil dalam hidupku.”
Aku mengangguk pelan. “Maaf,” lirihku sembari menggamit tangannya yang kekar. Bersandar manja tanpa mengganggu konsentrasi Mas Hanung berkendara. Suamiku tak memintaku menjauh, justru memberi satu kecupan ringan sebagai pertanda agar aku tenang.
“Lain kali jangan seperti itu.”
“Iya, Mas.”
Lalu perjalanan diteruskan menuju ... “Lho, Mas? Bukannya kita ke Le Meridien, ya? Tapi kenapa ambil ke kiri?”
“Aku antar kamu ke butik dulu. Sepertinya aku bakalan lama di Le Meridien, nanti kamu bosan.”
“Enggak,” selaku segera. “Bukannya Mas yang bilang aku ikut ke Le Meridien?” Wajar, lah, aku curiga. Kenapa Mas Hanung berubah sikapnya cepat sekali?
“Sudahlah, aku ada janji temu dengan Pak Bimo bukan untuk main-main, Dek. Lebih baik kamu ke butik dan urus beberapa hal di sana. Bukankah kamu juga lagi repot?”
Ucapan Mas Hanung ada benarnya juga, sih, tapi ...
“Mas bilang mau kenalkan aku dengan ibunya Arya.”
Aku dengar Mas Hanung berdecak kesal. “Kamu benar-benar enggak percaya sama aku, ya?”
“Bukan enggak percaya, Mas. Tapi—“
“Kepentinganmu apa ketemu sama ibunya Arya? Kalau aku, jelas ... ada kaitannya sama bisnis.” Mas Hanung menatapku kesal. “Buang jauh-jauh pemikiran anehmu, Dek. Mas bertemu orang lain untuk proyek garment, untuk nafkah keluarga juga hasilnya.”
“Aku ngerti,” kataku sembari menghela panjang, bersabar agar tidak membuat kata-kata yang memancing pertengkaran. “Memangnya salah kalau aku mau berkenalan sama ibunya Arya? Di grup sekolah, dia jarang banget muncul di obrolan.”
Entah Mas Hanung yang sudah habis sabarnya atau jengkel dengan kekeraskepalaanku ini, dia hanya berkata, “Terserah kamu saja, lah! Heran aku, sudah dijelaskan tapi masih enggak percaya juga.”
“Sudah kubilang bukan aku enggak percaya,” Aku heran, kenapa sih sikap Mas Hanung pagi ini? Aneh sekali. “Apa Mas takut aku berkenalan dengan ibunya Arya?”
Mas Suami :Cintaku, Manisku, Manjaku. Lagi apa? Sudah makan belum?Aku yang baru saja merapikan stok gamis edisi terbaru, mengernyitkan kening membaca pesan dari Mas Hanung. Saking terherannya, aku sampai terduduk dengan mata yang tak lepas dari ponsel.Mas Suami :Kok cuma dibaca saja, Dek? Sibuk ya? Padahal Mas kangen lho.Jemariku refleks menuliskan balasan karena sepertinya responsku ditunggu oleh Mas Hanung.Me :Bukan enggak mau balas, tapi tumben banget Mas panggil aku semanis itu?Bukannya balasan yang kembali aku dapatkan, melainkan telepon di mana saat aku angkat, suara Mas Hanung tertawa dengan renyahnya.“Enggak boleh, ya, aku panggil kamu seperti itu, Dek?”Aku? Ya tersipu malu, lah! Mas Hanung memang orang yang cukup romantis tapi jarang sekali menunjukkan sisi yang seperti ini. Aku bersyukur, kesalahpahaman beberapa waktu lalu berakhir. Mas Hanung meyakinkanku jika pemikiran yang terus menerus ada di kepalaku, hanya kekhawatiran yang tak akan pernah terjadi.Mas Hanung
“Wah, akhirnya Lisa gabung juga ke sini!”Aku menyeringai canggung. Kedatanganku ke kafe ini untuk menuntaskan rasa penasaran yang setinggi Gunung Everest. Padahal kesibukanku di butik tak bisa terlalu sering ditinggal hanya demi berkumpul bersama ibu-ibu wali murid di kelas yang sama dengan Nabil. Hanya saja ...“Iya, Bu Erna. Kebetulan aku lagi lowong.” Aku pun mengambil duduk di tengah kerumunan, karena kebetulan juga, salah satu dari mereka menyodorkan tempat itu untukku. “Lagian sudah lama enggak bertemu ibu-ibu sekalian, kan? Apa kabar semuanya?”Setidaknya, aku harus ramah dan bersikap seolah akrab dengan mereka semua. Sebenarnya perkumpulan seperti ini, memiliki hal yang positif juga. Tapi terkadang dipandang sebelah mata karena sepertinya lebih banyak hal negatifnya, seperti bersaing satu sama lain terkait anak atau suami. Oh, yang paling parah ... berkaitan dengan keuangan rumah tangga masing-masing.Mereka bersaing siapa yang lebih unggul di kumpulan ini. Mengenakan pakaian
“Jadi ini nomor Rara,” gumamku pelan. Mataku terus menatap lekat layar ponsel yang memperlihatkan deretan angka, tanpa profil apa-apa, serta jarang terlihat online mungkin karena kesibukannya. Sepertinya wanita itu memberi pengaturan jika nomornya tidak disimpan, maka tidak bisa melihat foto profil penggunanya.Karena itulah, aku mengetikkan namanya sebagai kontak baru.Nomor itu juga masuk ke grup sekolah, persis dengan timing yang Nabil katakan padaku pagi tadi. Sepertinya benar, jika Rasya Arya adalah siswa pindahan dan baru mengikuti ajaran baru di semester ini. Dan sebab itu juga, nomor baru diundang masuk ke dalam grup yang kebanyakan berisi orang tua murid yang sekelas dengan Nabil.“Aku save, deh,” putusku dan segera saja jemari ini mengetikkan nama pada kontak baru di ponsel.Pada akhirnya, aku ikut Mas Hanung ke Le Meridien. Meski sepanjang jalan suamiku merengut, tapi aku tak mau kalah. Lagi pula kalau memang kecurigaanku itu hanya bualan semata, seharusnya suamiku tak perl
“Dia itu murid pindahan, Mi,” kata Nabil memberiku penjelasan saat bertanya siapa Arya Arya. Bukan apa, aku baru mendengar namanya. Apa aku yang terlalu ketinggalan berita mengenai sekolah Nabil?“Oh, murid pindahan?” tegasku. Pantas saja aku tak familier dengan nama anak itu.“Miss Nina bilang, Arya pindah dari Semarang. Anaknya baik, kok. Les juga di EFF Pondok Indah, satu room sama aku.”Aku mengangguk paham. “Kamu akrab dengan Arya?” tanyaku pada Nabil sembari diam-diam mencari kontak baru di grup sekolah, siapa tahu aku bisa mendapatkan nomor orang tua Arya. Yang dipanggil Tante Rara oleh Nabil.“Kami berteman. Dia cerita, kalau papanya kerja di laut. Bukankah laut itu luas, Mi? Enggak ada tanah, kan, di laut? Jadi dia kerjanya bagaimana?”Aku nyengir. “Ehm ... mungkin di kapal besar?”Ada banyak hal yang Nabil katakan seputar teman barunya itu. Kebanyakan berisi informasi betapa keren sosok Arya dalam hal seni—menggambar dan mewarnai. Tapi sepanjang cerita itu juga, Mas Hanung d
“Lho, Mas? Mau ke mana?” tanyaku heran sesaat setelah meletakkan bekal makanan kesukaan Nabil—putriku, nasi goreng seafood.“Antar Nabil sekolah,” sahut Mas Hanung dengan entengnya. “Memang aku mau ke mana lagi, sih, Dek?” Enteng pula dia beri sebuah kecupan mesra di pipi, kanan dan kiri. Membuat aku merona malu. “Sarapan untukku sudah disiapkan?”“Sudah, Mas.” Aku mengekori langkahnya ke meja makan. “Kopi dan roti bakar lapis madu, kan?”Mas Hanung tersenyum lembut dan mengusap puncak kepalaku. “Istri aku paling tahu apa yang aku sukai. Tapi ... sepertinya kamu lupa kalau semalam aku bilang aku enggak akan sempat sarapan di rumah. Ada janji dengan buyer di Tebet.”Keningku berkerut banyak. “Iya, kah?”Tanpa ragu Mas Hanung mengangguk. “Apa semalam apa yang Mas lakukan buat kamu lupa?”Ugh! Mas Hanung paling bisa membuatku malu dan benar-benar tersipu. Sampai menundukkan pandangan tak lagi berani menatap manik mata kecokelatan milik suamiku yang tampan. “Mas! Jangan begitu. Nanti Nabi