Share

[2]

last update Last Updated: 2025-05-19 09:39:10

“Dia itu murid pindahan, Mi,” kata Nabil memberiku penjelasan saat bertanya siapa Arya Arya. Bukan apa, aku baru mendengar namanya. Apa aku yang terlalu ketinggalan berita mengenai sekolah Nabil?

“Oh, murid pindahan?” tegasku. Pantas saja aku tak familier dengan nama anak itu.

“Miss Nina bilang, Arya pindah dari Semarang. Anaknya baik, kok. Les juga di EFF Pondok Indah, satu room sama aku.”

Aku mengangguk paham. “Kamu akrab dengan Arya?” tanyaku pada Nabil sembari diam-diam mencari kontak baru di grup sekolah, siapa tahu aku bisa mendapatkan nomor orang tua Arya. Yang dipanggil Tante Rara oleh Nabil.

“Kami berteman. Dia cerita, kalau papanya kerja di laut. Bukankah laut itu luas, Mi? Enggak ada tanah, kan, di laut? Jadi dia kerjanya bagaimana?”

Aku nyengir. “Ehm ... mungkin di kapal besar?”

Ada banyak hal yang Nabil katakan seputar teman barunya itu. Kebanyakan berisi informasi betapa keren sosok Arya dalam hal seni—menggambar dan mewarnai. Tapi sepanjang cerita itu juga, Mas Hanung diam saja. Seolah keterdiamannya untuk memberitahuku, jika aku sedikit egois memaksakan diri mengikutinya pagi ini.

Tapi aku mencoba untuk mengabaikan karena yang kubutuhkan hanya penjelasan. Bagaimana bisa mereka berangkat bersama tanpa sepengetahuanku? Wajar, kan, jika aku memiliki kekhawatiran berlebih? Apalagi zaman sekarang, musim pelakor yang masuk ke rumah tangga orang lain tanpa tahu diri.

Ugh! Jangan sampai hal itu terjadi dalam rumah tanggaku! Aku tak bisa membayangkan jika itu terjadi. Mengerikan. Amit-amit ...

“Nah, sudah sampai.” Mas Hanung bicara sembari tersenyum tapi bukan untukku, melainkan untuk Nabil.

“Aku masuk dulu, ya, Pa,” Nabil mengulurkan tangannya, meraih tangan ayahnya dan mengecup penuh takzim. Dibalas dengan kecupan sayang di puncak kepala Nabil serta beberapa kecupan ringan di pipi.

“Belajar yang semangat, ya. Dengarkan arahan Miss Nina,” kata Mas Hanung.

“Oke, Papa!” Lalu Nabil mendekat padaku. Aku juga melakukan hal yang sama dengan Mas Hanung disertai iringan doa, semoga Tuhan selalu melindungi putriku di mana pun dia berada.

Nabil pun turun dari mobil dan melangkah riang menuju gerbang sekolah. Terlihat beberapa temannya menghampiri.

“Dadah, Sayang! Semangat belajarnya, ya!” Aku sedikit memekik sembari melambaikan tangan pada Nabil yang berjalan menuju gerbang sekolahnya. Dia menoleh, dan membalas lambaianku penuh semangat.

Tak butuh waktu lama, mobil kami pun beranjak meninggalkan area sekolah Nabil. Mas Hanung kembali tak bersuara. Entah terlalu fokus menatap jalanan atau tak suka aku duduk di sampingnya, ikut mengantar Nabil juga mengekori sampai bertemu dengan kliennya di Le Meridien. Dia juga belum bicara mengenai apa yang menjadi kegelisahanku.

Apa karena sebelumnya ada Nabil? Memang, sih, Mas Hanung tak menyukai jika kami berdebat di depan Nabil. Sebisa mungkin kami menghindari hal itu karena ingin memberi sebuah memori, jika kami—orang tuanya, selalu berkomunikasi dengan baik di depannya.

“Sudah enggak ada Nabil tapi Mas belum mau bicara juga?” tanyaku memulai obrolan.

Suamiku masih diam.

“Mas marah?” Pada akhirnya, aku yang harus mengalah. Jika Mas Hanung sudah mengunci rapat mulutnya, akan sukar bagiku untuk mengajaknya bicara. Sementara aku membutuhkan penjelasan Mas Hanung mengenai ucapan Nabil. Apa anak seusia Nabil bisa berbohong mengenai keadaan yang dia alami? Aku rasa tidak.

Iya, kan?

“Kenapa kamu percaya begitu saja dengan ucapan anak usia delapan tahun?” Mas Hanung berkata sembari menghela napas lelah. Pelipisnya ia pijat pelan mungkin untuk menghalau rasa jengkel yang dimiliki padaku.

“Memangnya Nabil berbohong?”

“Bukan begitu,” Mas Hanung lagi-lagi menghela napas panjang. “Terkadang ucapan anak seusia Nabil membuat orang lain salah paham. Dan kamu salah satunya.”

“Kalau kamu enggak mau aku salah paham, seharusnya kamu jelaskan sedari tadi apa yang sebenarnya terjadi? Siapa Rara dan Arya itu? Kenapa kamu jemput mereka?”

“Bukan jemput,” tukas Mas Hanung segera. “Tapi janjian di perempatan lampu merah Grand Wijaya, Dek. Mas punya alasan sendiri melakukan hal itu.”

Aku merengut, mataku menatap Mas Hanung dengan sorot curiga. “Mas belajar selingkuh?”

Mas Hanung menoleh dan segera saja membalas tatapanku dengan sorot tak suka. “Bisa jangan asal bicara?”

“Ya terus?” desakku tak sabar.

“Arya itu teman sekelas Nabil. Kamu tahu Arya Arya?”

“Tahu, dari ceritanya Nabil tadi,” selaku cepat, tak sabar menunggu kelanjutan ucapan Mas Hanung.

“Aku enggak sengaja membantu ibunya Arya. Minggu lalu mobilnya mogok persis setelah lampu merah perempatan itu. Nabil melihat Arya kebingungan, ibunya juga. Mungkin karena mobilnya mogok dan enggak dapat taksi atau ojek online, Dek. Makanya Mas beri tumpangan.”

Mataku masih memicing curiga. “Dan enggak hanya sekali mereka numpang?” terkaku.

“Lagian kami searah, kan? Kamu enggak perlu khawatir. Enggak ada hal yang mencurigakan terjadi, kok.”

“Yakin?”

Mas Hanung terkikik lalu menggenggam tanganku erat. Kurasa kemarahan Mas Hanung sudah lenyap entah ke mana. “Iya.” Dikecupnya punggung tanganku penuh mesra. “Berhubung kamu ikut Mas ke Le Meridien, nanti Mas kenalkan dengan ibunya Arya. Dia asistennya Pak Bimo ternyata.”

“Tapi Nabil bilang kamu jemput dia? Berarti kamu ke rumahnya, kan?”

Mas Hanung lagi-lagi tertawa. “Itulah kenapa aku bilang, Ucapan anak seusia Nabil belum bisa dipastikan kebenarannya. Kami hanya janjian di lampu merah perempatan itu saja, kok. Enggak setiap hari, hanya sampai mobil ibunya Arya selesai diperbaiki. Mungkin sudah tiga hari belakangan aku enggak bareng sama dia.”

“Yakin hanya seperti itu?”

“Kalau kamu enggak percaya sama aku, itu urusan kamu, Dek. Yang jelas, Mas sudah bicara sejujur mungkin. Mas enggak ingin berdebat untuk membuat kamu percaya. Silakan berpikir sesuai asumsi kamu saja.” Mas Hanung melepaskan genggaman tangannya, lebih memilih sibuk dengan setir dan fokus ke jalanan.

Lagi-lagi seperti ini, Jadilah aku yang harus mengalah meski khawatir yang kumiliki sebesar gunung Himalaya. “Aku takut, Mas,” rengekku akhirnya.

“Makanya jangan terlalu banyak nonton gosip. Aku enggak mungkin selingkuh,” tukas Mas Hanung dengan nada bicaranya yang tegas. “Aku beruntung mendapatkan kamu sebagai istri. Dan memiliki Nabil dalam hidupku.”

Aku mengangguk pelan. “Maaf,” lirihku sembari menggamit tangannya yang kekar. Bersandar manja tanpa mengganggu konsentrasi Mas Hanung berkendara. Suamiku tak memintaku menjauh, justru memberi satu kecupan ringan sebagai pertanda agar aku tenang.

“Lain kali jangan seperti itu.”

“Iya, Mas.”

Lalu perjalanan diteruskan menuju ... “Lho, Mas? Bukannya kita ke Le Meridien, ya? Tapi kenapa ambil ke kiri?”

“Aku antar kamu ke butik dulu. Sepertinya aku bakalan lama di Le Meridien, nanti kamu bosan.”

“Enggak,” selaku segera. “Bukannya Mas yang bilang aku ikut ke Le Meridien?” Wajar, lah, aku curiga. Kenapa Mas Hanung berubah sikapnya cepat sekali?

“Sudahlah, aku ada janji temu dengan Pak Bimo bukan untuk main-main, Dek. Lebih baik kamu ke butik dan urus beberapa hal di sana. Bukankah kamu juga lagi repot?”

Ucapan Mas Hanung ada benarnya juga, sih, tapi ...

“Mas bilang mau kenalkan aku dengan ibunya Arya.”

Aku dengar Mas Hanung berdecak kesal. “Kamu benar-benar enggak percaya sama aku, ya?”

“Bukan enggak percaya, Mas. Tapi—“

“Kepentinganmu apa ketemu sama ibunya Arya? Kalau aku, jelas ... ada kaitannya sama bisnis.” Mas Hanung menatapku kesal. “Buang jauh-jauh pemikiran anehmu, Dek. Mas bertemu orang lain untuk proyek garment, untuk nafkah keluarga juga hasilnya.”

“Aku ngerti,” kataku sembari menghela panjang, bersabar agar tidak membuat kata-kata yang memancing pertengkaran. “Memangnya salah kalau aku mau berkenalan sama ibunya Arya? Di grup sekolah, dia jarang banget muncul di obrolan.”

Entah Mas Hanung yang sudah habis sabarnya atau jengkel dengan kekeraskepalaanku ini, dia hanya berkata, “Terserah kamu saja, lah! Heran aku, sudah dijelaskan tapi masih enggak percaya juga.”

“Sudah kubilang bukan aku enggak percaya,” Aku heran, kenapa sih sikap Mas Hanung pagi ini? Aneh sekali. “Apa Mas takut aku berkenalan dengan ibunya Arya?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PENGGODA DI SEKOLAH ANAKKU   [9]

    “Nabil, roti lapisnya sudah Mami siapkan dan dibungkus. Jangan lupa dimasukkan ke tas, ya!”Lisa mengangkat suara dari dapur sambil menyusun bekal di kotak makan masing-masing.“Iyaaa, Ma!” Terdengar suara langkah kaki kecil mendekat, disusul Arya yang diam-diam ikut masuk ke dapur.“Ini, Tante,” kata Arya sambil menyerahkan botol minumnya. Juga botol minum Nabil agar diisi oleh air menyegarkan yang dibuatkan Lisa untuk mereka. Arya suka sekali dengan apa yang dibuat Lisa. Dan rasanya ... ia tak ingin pulang dari rumah yang benar-benar hangat ini.Lisa tersenyum dan mengisi botol itu dengan infused water. “Kamu suka yang lemon strawberry, kan?”Arya mengangguk. “Iya. Enak.”Lisa mengusap puncak kepala Arya penuh sayang. “Tante buatkan lagi, ya. Jangan lupa bekalnya dihabiskan, ya. Sarapannya sudah Tante siapkan di meja. Makan dulu sama Nabil..”“Iya, Tante.”Lisa pun sibuk dengan 2 botol milik bocah kecil yang meramaikan rumahnya ini. lantas bergegas mengisi dengan minuman yang diingi

  • PENGGODA DI SEKOLAH ANAKKU   [8]

    “Ayo, anak-anak. Sudah waktunya kalian tidur, kan?” peringat Lisa sembari membawakan dua gelas susu hangat untuk dua anak yang masih berkutat dengan buku gambar. Setelah mengerjakan PR yang cukup banyak, mereka memilih menghilangkan penat dengan menggambar.Tadinya Nabil ingin menonton film tapi Arya tak mau. Katanya nanti bisa terlalu malam tidurnya. Bagus juga peringatan yang Arya ungkapkan untuk Nabil. Jadi anak itu bisa lebih mandiri dan disiplin untuk tidur.“Iya, Mi. Sebentar lagi,” kata Nabil yang masih sibuk mencari salah satu pensil warna yang ia butuhkan.“Minum susunya dulu.”Mereka pun patuh. Duduk bersama menikmati segelas susu hangat buatan Lisa, mereka juga banyak bercerita mengenai kegiatan di tempat les. Terutama Nabil yang mendapatkan nilai sempurna untuk perhitungan dasar. Arya memujinya beberapa kali dan Nabil benar-benar senang dengan pujian itu.“Kalau nanti kamu kesulitan pas belajar menghitung, tanya aku saja, Ya,” kata Nabil.Arya mengangguk sembari tersenyum

  • PENGGODA DI SEKOLAH ANAKKU   [7]

    Winda datang menjelang sore karena waktu yang sahabatnya punya, hanya di sekitar jam luang. Dan bisa dibilang, Winda sekalian pulang setelah bekerja. Lagi pula pekerjaan Winda sebenarnya bisa saja dikerjakan di rumah. Hanya Winda lebih memilih berangkat ke kantor untuk menghilangkan penat.“Hei, kamu ngelamun lagi,” tegur Winda sambil menjentikkan jari di depan wajah Lisa. “Ini satin udah tiga kali kamu lipat-lipat, tapi enggak rapi-rapi.”Lisa terkesiap. “Hah? Ya ampun, sorry. Aku nggak fokus.”“Kelihatan banget.” Winda meletakkan tote bag-nya di kursi rotan pojok butik, lalu duduk santai. “Udah, sini. Duduk dulu. Cerita.”Winda sejak tadi memerhatikan Lisa. Bukan sekali dua kali sahabatnya melamun seperti ini. Entah apa yang dipikirkan tapi rasanya ... aneh sekali. Saat ada masalah dengan mantan suaminya yang berengsek itu, Lisa tak sampai kehilangan fokus seperti ini.Tapi kali ini ...“Kamu enggak mau cerita?” desak Winda dengan sorot mata penasaran. “Apa yang sebenarnya terjadi?”

  • PENGGODA DI SEKOLAH ANAKKU   [6]

    “Kalian berdua, semangat sekolahnya, ya,” kata Lisa sembari memberi pelukan hangat pada Nabil juga Arya. Tak jauh dari mobil Lisa terparkir, ada Erna serta rekan Lisa lainnya yang turut mengantar anak mereka. Lisa menyapa ramah tapi kembali fokus pada kedua anak yang kini berjalan memasuki area lobby sekolah.“Lho, bukannya itu anaknya si pelakor itu?” tanya Bu Erna dengan wajah terkejut. “Kok bisa bareng sama kamu?”Lisa tersenyum tipis. “Iya, Mbak. Arya nginap di rumah aku seminggu ke depan. Ayahnya lagi ada dinas ke Surabaya seminggu ke depan.”Erna masih belum bisa mencerna perkataan Lisa barusan. “Ta-tapi, kan, dia ...”“Mbak Erna, mohon maaf banget. Aku harus ke butik pagi ini. Bagaimana kalau kita ngobrol pas anak-anak acara berenang? Anakmu ikut, kan?”Erna segera mengangguk. “Kamu benar. Lebih baik kita bicara saat waktunya longgar. Tapi kamu benar-benar harus cerita yang detail, ya, Lis. Aku penasaran banget, lho. Kalau Tina dan Jihan tahu, mereka pasti sama. Menuntut penjel

  • PENGGODA DI SEKOLAH ANAKKU   [5]

    Hari pertama Arya menginap di rumah Lisa, Lisa merasa seperti memiliki 2 anak dengan kepribadian yang sangat berbeda. Nabil dengan tingkahnya yang cerewet dan terkadang banyak protes. Arya lebih banyak diam dan menuruti semua keinginan Nabil. Bocah lelaki itu memosisikan dirinya sebagai kakak laki-laki yang bisa Nabil andalkan.Tapi satu hal yang membuat Lisa senang. Arya tak pernah sungkan untuk bicara dengannya walau perlahan dan terkadang, butuh ditanya ulang apa keinginan anak itu.“Kamu yakin sudah cukup?” tanya Lisa penasaran. Kotak bekal Arya sudah ia buatkan roti lapis dengan selai strawberry juga coklat yang menjadi kesukaan bocah itu. Tapi ternyata, Arya juga menginginkan nasi goreng seafood buatan Lisa. Hanya saja, isinya sedikit sekali.“Iya, Tante. Ini sudah cukup. Lagian kita mau sarapan bersama, kan?”“Iya.” Lisa tersenyum lebar. Diusapnya lembut puncak kepala Arya. “Nah, sementara Tante siapkan jus, boleh panggilkan Nabil? Tante rasa dia sudah selesai merapikan bukunya.

  • PENGGODA DI SEKOLAH ANAKKU   [4]

    Kalau ada yang ingin mengatakan betapa konyol dan impulsif tindakan Lisa, silakan utarakan. Lisa sendiri tak tahu apa yang sebenarnya ada di pikirannya. Kenapa juga ia setuju dengan permintaan Ronald.Saat pria itu diberikan keputusan jika Lisa mau membantu, wajah tampannya jauh lebih bersinar dari sebelumnya. Bisa dibilang, mungkin sebagian besar bebannya berkurang banyak.“Mami kenapa?” tanya Nabil bingung. Sejak tadi ibunya berulang kali gonta-ganti siaran TV. biasanya, ia tak pernah seperti itu.“Enggak apa-apa, Sayang,” Lisa menyeringai tipis. “Duduk sini.” Ia pun meminta anaknya untuk duduk di dekatnya. Nabil menuruti dan segera bersandar begitu Lisa merangkulnya penuh sayang. “Ehm ... Mami mau ngomong sama kamu. Bisa?”“Biasanya juga ngomong, kan?”Lisa tertawa jadinya. “Iya, juga, ya.” Tak mungkin ia tak membicarakan dengan anaknya, kan? “Menurutmu, kalau Arya tin

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status