“Jadi ini nomor Rara,” gumamku pelan. Mataku terus menatap lekat layar ponsel yang memperlihatkan deretan angka, tanpa profil apa-apa, serta jarang terlihat online mungkin karena kesibukannya. Sepertinya wanita itu memberi pengaturan jika nomornya tidak disimpan, maka tidak bisa melihat foto profil penggunanya.
Karena itulah, aku mengetikkan namanya sebagai kontak baru.
Nomor itu juga masuk ke grup sekolah, persis dengan timing yang Nabil katakan padaku pagi tadi. Sepertinya benar, jika Rasya Arya adalah siswa pindahan dan baru mengikuti ajaran baru di semester ini. Dan sebab itu juga, nomor baru diundang masuk ke dalam grup yang kebanyakan berisi orang tua murid yang sekelas dengan Nabil.
“Aku save, deh,” putusku dan segera saja jemari ini mengetikkan nama pada kontak baru di ponsel.
Pada akhirnya, aku ikut Mas Hanung ke Le Meridien. Meski sepanjang jalan suamiku merengut, tapi aku tak mau kalah. Lagi pula kalau memang kecurigaanku itu hanya bualan semata, seharusnya suamiku tak perlu menghindarinya, kan? Kendati demikian, di hatiku selalu berdoa semoga saja ketakutanku tak terlaksana.
Aku ... tak bisa membayangkan jika suamiku tercinta selingkuh di belakangku.
“Hai,”
Sapa seseorang yang membuat aku menoleh. Padahal aku baru saja berkonsentrasi memeriksa laporan keuangan yang diberikan Luna—asistenku di butik. Saat aku mendongak, wanita cantik berambut kecokelatan berdiri tak jauh dari posisiku. Tersenyum ramah sembari mengulurkan tangan. Agak canggung serta bertanya-tanya, aku menyambutnya. “Siapa, ya?”
“Aku Rara, Mbak. Ini ... Mbak Lisa, kan? Istrinya Mas Hanung?”
Ah, jadi wanita ini yang bernama Rara? Ibunya Rasya Arya? Asisten pribadinya Pak Bimo, klien suamiku itu? Sebagai basa basi, aku tersenyum tak kalah ramah. Mempersilakan wanita itu untuk duduk di dekatku. Dan meminta pelayan membawakan menu, agar Rara memesan sesuatu untuk teman kami bicara.
“Aku datang menemui Mbak karena Mas Hanung bilang, Mbak ada di kafe ini menunggu beliau meeting. Aku ibunya Arya. Dan kebetulan sekali aku ini asistennya Pak Bimo, klien Mas Hanung.”
“Iya, Mas Hanung ada cerita sedikit mengenai kamu,” kataku masih berusaha ramah dan menilai, apa tujuan wanita ini menemuiku.
“Duh, maaf ya Mbak. Beberapa hari belakangan aku merepotkan suamimu. Aku ingin banget main ke rumahmu untuk ucapkan terima kasih, tapi Mas Hanung bilang Mbak masih pemulihan dari sakit.”
Aku nyengir canggung saja. “Iya.”
“Tapi aku benar-benar enggak sangka kalau hari ini Mbak Lisa temani Mas Hanung meeting. Jadi ... aku bisa bertemu Mbak.”
Dia meraih tanganku dan menggenggamnya dengan erat. Sekali lagi dia mengucapkan rasa terima kasihnya serta permohonan maaf karena telah membuat Mas Hanung repot. Dia juga menceritakan dengan detail apa yang terjadi kala itu hingga berakhir duduk di mobil Mas Hanung.
Segala ucapannya terlihat tulus dan terkesan tak mengada-ada. Sorot matanya juga tampak menyesal dan memiliki beban tersendiri karena sudah membuat Mas Hanung repot. Sepertinya aku terlalu overthinking menanggapi ucapan Nabil. Mungkin benar yang suamiku bilang, tak seharusnya aku terlalu curiga.
“Sekali lagi aku minta maaf, ya, Mbak,” ucapnya dengan tulus.
Aku terkikik jadinya. “Sudah berapa kali kamu minta maaf, Ra?”
Senyum di wajahnya yang cantik belum mau pudar. “Aku takut, Mbak Lisa menyangka hal-hal yang buruk. Aku benar-benar tertolong dengan bantuan Mas Hanung. Semoga saja penjelasan aku enggak membuat Mbak berpikiran aneh ke aku.”
Aku balas menggenggam tangan Rara. “Enggak kok.” Berbohong sedikit tak jadi soal, kan? Lagi pula aku merasa semua ucapannya sesuai dengan apa yang Mas Hanung bagitahu padaku. Jadi ... tak ada alasan untukku tak memercayai mereka, kan?
“Terima kasih, Mbak Lisa. Oiya, kita bisa berteman, kan? Aku dan Arya baru pindah ke Jakarta dan lingkungannya masih terlalu baru untukku, Mbak.”
“Nabil bilang kalian pindahan dari Semarang?”
Tanpa ragu Rara mengangguk. “Iya, aku pindah karena pekerjaanku mulai bulan depan kebanyakan di Jakarta. Aku beruntung sekali bisa kenal Mas Hanung. Beliau banyak memberikanku arahan mengenai tinggal di Jakarta. Pak Bimo dan keluarga juga banyak membantu.”
“Syukurlah kalau begitu,” kataku dengan tulus. Sedikitnya aku bisa merasakan bagaimana terasingnya di tempat baru, di mana tak terlalu banyak orang yang mengenal keberadaan kita. “Tapi ... aku penasaran, di mana suamimu?”
Rara tertawa renyah. “Suamiku melaut, Mbak. Dia kerja di Ocean Overseas.”
“Wah, keren dong?” Jadi apa yang Nabil ucapkan tentang pekerjaan papanya Arya di laut, benar adanya.
Ucapanku ditanggapi dengan helaan lesu. “Keren, sih, keren. Tapi aku seringnya ditinggal. Jadi ... agak kesepian.” Tapi kemudian, tampang murungnya berganti dengan semangat. Aku curiga, perubahan moodnya ini mirip roller coaster. “Tapi enggak, aku enggak kesepian. Ada Arya dan pekerjaanku yang menggunung. Jadi aku sibuk, deh.”
Aku tertawa saja.
“Nabil anak yang pintar, ya. Dia mudah bergaul.”
“Iya, seperti papanya,” kataku dengan bangga.
“Syukurlah Arya kenal dekat dengan Nabil. Jadi Arya enggak terlalu kesulitan berteman dengan teman-teman di sekelasnya. Ditambah mereka satu tempat les, kan?”
Aku mengangguk.
“Mbak beruntung banget, ya, punya suami seperti Mas Hanung. Anak Mbak juga selain pintar juga cantik. Mirip mamahnya,” katanya memujiku.
“Terima kasih.”
“Aku yakin peran Mas Hanung sebagai suami dan ayah, sangat besar. Aku ... jadi iri.”
Aku tertawa dengan gurauannya. “Bisa saja kamu.”
“Iya, lho, Mbak. Mas Hanung itu tipe pria idaman.”
Rara bicara dengan entengnya seolah aku tak akan merasa curiga atau cemburu. Kenapa dia memuji pria lain yang notabenenya sudah beristri? Dan Rara juga sudah memiliki suami?
“Tapi meski Mas Hanung termasuk tipe idaman, aku tetap beruntung memiliki suami seperti Mas Ronald.”
Oh, oke. Nama suaminya adalah Ronald.
“Walau jarang pulang dan aku jarang dibelai,” selorohnya. Dan karena gurauannya itu, terpaksa aku tertawa.
“Jangan terlalu dipikirkan candaan aku, ya, Mbak. Aku hanya ingin bicara sama Mbak dengan santainya. Aku ingin berteman dengan Mbak.”
Aku mengangguk saja.
“Aku rasa Mas Hanung dan Pak Bimo enggak lama lagi keluar dari ruangannya,” kata Rara sembari melirik jam di tangannya. Ucapan itu membuatku melirik jam tangan juga. Tanpa kusadari sudah 30 menit kami bicara. “Nah, itu mereka!”
Atas informasi itu, aku pun menoleh ke pintu masuk kafe. Suamiku dan pria bertubuh tinggi tegap yang aku rasa bernama ‘Bimo’, berjalan berdampingan. Terlihat mereka sepertinya masih membicarakan banyak hal. Langkah mereka mengarah pada kami yang duduk di salah satu sudut kafe.
Aku pun segera bangkit untuk menyambut kedatangan mereka namun ...
“Silakan duduk Mas Hanung.”
Rara jauh lebih sigap dariku. Mempersilakan Mas Hanung untuk duduk serta ...
“Silakan, Pak Bimo.” Ia pun juga menyiapkan kursi untuk bosnya. “Aku panggilkan pelayan, ya. Bapak seperti biasa, kan, espresso?”
“Iya, Rara. Terima kasih,” sahut Pak Bimo dengan senyum lebar.
“Mas Hanung americano?” tanya Rara seolah tak menganggap aku ada.
“Iya.”
“Aku juga pesankan beberapa roti kesukaan kalian, ya.” Wanita itu pun beranjak menjauh. “Oh, hampir saja aku lupa. Mbak Lisa mau tambah kopinya? Atau camilan?”
Aku masih mencerna tingkah Rara barusan. “Memangnya ... kamu tahu roti kesukaan Mas Hanung?”
Tanpa ragu dia mengangguk. “Roti isi keju, kan? Kalau enggak ada, biasanya Mas Hanung menyukai cheesecake. Kebetulan di kafe ini menyediakan roti keju. Jadi kurasa roti isi keju pilihan yang tepat.” Ia tersenyum ramah. “Jadi, Mbak Lisa mau tambah apa? Biar aku pesankan sekalian.”
Ini bukan sekadar tambah pesanan, tapi hal yang semula aku tiadakan, kembali muncul tanpa peringatan. Kenapa Rara tahu roti kesukaan Mas Hanung seolah ... itu sudah menjadi kebiasaannya?
Saat aku menoleh ke arah Mas Hanung, suamiku tampaknya kembali terlibat obrolan dengan kliennya. Padahal aku ingin menegaskan sesuatu. Sebaiknya aku menahan diri untuk bertanya ... seberapa dekat hubungan Mas Hanung dan Rara?
***
Sudah seminggu berlalu sejak kami bertemu. Aku tak sampai menunggu urusan Mas Hanung selesai. Pekerjaanku di butik tak bisa dianggap enteng. Meski aku pulang lebih dulu dengan menyisakan ribuan tanya, tapi Mas Hanung sepertinya tak terpengaruh apa-apa. Sikapnya pun biasa saja.
Aktivitasku kembali normal—mengantar dan menjemput Nabil di tengah kegiatanku di butik. Seolah apa yang menjadi ketakutanku, hanya sebatas pemikiran buruk. Jadi sebaiknya, aku tak terlalu memikirkannya, kan?
“Selamat malam, Sayang.”
Sungguh, aku terkejut. Aku yang tengah menyiapkan makan malam, disodori sebuket mawar merah. Ditambah si pengantar yang tersenyum semringah serta memberiku kecupan mesra.
“Ada apa ini?” tanyaku heran. Mas Hanung tak pernah memberiku buket bunga. Tapi malam ini ...
“Hadiah buat kamu,” katanya dengan senyuman mesra. “Enggak suka.”
Ya, Tuhan! Siapa yang tak suka diberi kejutan seperti ini? Aku pun segera menerima buket itu dengan riang gembira. “Terima kasih, Mas. Bunganya cantik banget.”
“Seperti kamu, Dek,” pujinya yang sekali lagi sembari memberiku kecupan mesra. “Makan malam apa yang lagi kamu siapkan?”
Aku teringat masakanku. “Mas pegang ini dulu, ya. Lebih baik duduk dulu, segera aku siapkan makan malamnya. Nabil minta spageti carbonara pakai udang. Mas enggak masalah, kan?”
Mas Hanung menggeleng. “Apa pun masakan yang kamu buat, Mas enggak pernah protes, kan? Dimasak dengan cinta itu berbeda, Dek. Karena itulah jadinya enak.”
Duh, Mas! Bisa-bisanya berkata semanis itu! “Mas lebih baik duduk, deh. Aku bisa enggak konsentrasi kalau kamu ngegombal terus.”
Dia tertawa. “Baiklah, Mas ganti baju dulu, ya.”
Aku pun mengangguk dan membiarkan Mas Hanung meninggalkan area dapur. Itu lebih baik demi kesehatan jantungku. Juga mempercepat persiapan makan malam, siapa tahu Nabil sudah lapar. Tak butuh waktu lama, makan malam sudah tersaji di meja. Buket mawar pemberian Mas Hanung masih tergeletak di meja makan.
“Tumben banget Mas Hanung berikan aku bunga,” Aku menghidu aroma mawar yang terasa segar. “Romantis banget, sih.” Lebih baik aku segera memanggil suamiku untuk segera bergabung di meja makan. Namun saat aku hampir tiba di kamar—pintu kamar kami sedikit terbuka. Tadinya aku berniat untuk segera masuk saja, pikirku Mas Hanung masih di kamar mandi. Setidaknya aku ingin menyiapkan pakaian ganti.
Akan tetapi ...
“Iya, Mas sudah di rumah. Lagi tunggu Lisa selesai masak.”
Mas Hanung bicara sama siapa, ya?
“Enggak, kok. Kamu tenang saja. Masakan kamu enggak kalah enak. Mas suka.”
Aku terperangah. “Apa-apaan ini?”
“Iya, besok Mas jemput sekalian mampir. Anakmu diantar supir, kan? Biar kita enggak diganggu saat bertemu. Mas rindu asal kamu tahu.”
Entah kenapa kakiku justru terpaku di depan pintu. Jantungku berdebar kuat sekali namun tubuh ini tak bisa digerakkan seolah ... aku diminta untuk terus mendengarkan apa yang Mas Hanung katakan. Dan sungguh aku penasaran, siapa lawan bicara Mas Hanung. Kenapa semesra itu? Tak mungkin itu Pak Bimo, kan?
“Kamu jangan tidur terlalu malam, ya. Mas juga maunya selalu temani kamu tapi kamu harus mengerti, Mas enggak mungkin melakukan itu. Jadi ... tahan sebentar, ya.”
Aku sudah tak tahan. Apa maksud ucapan Mas Hanung barusan? Dia bermesraan dengan siapa?!
“Mas!”
Mas Suami :Cintaku, Manisku, Manjaku. Lagi apa? Sudah makan belum?Aku yang baru saja merapikan stok gamis edisi terbaru, mengernyitkan kening membaca pesan dari Mas Hanung. Saking terherannya, aku sampai terduduk dengan mata yang tak lepas dari ponsel.Mas Suami :Kok cuma dibaca saja, Dek? Sibuk ya? Padahal Mas kangen lho.Jemariku refleks menuliskan balasan karena sepertinya responsku ditunggu oleh Mas Hanung.Me :Bukan enggak mau balas, tapi tumben banget Mas panggil aku semanis itu?Bukannya balasan yang kembali aku dapatkan, melainkan telepon di mana saat aku angkat, suara Mas Hanung tertawa dengan renyahnya.“Enggak boleh, ya, aku panggil kamu seperti itu, Dek?”Aku? Ya tersipu malu, lah! Mas Hanung memang orang yang cukup romantis tapi jarang sekali menunjukkan sisi yang seperti ini. Aku bersyukur, kesalahpahaman beberapa waktu lalu berakhir. Mas Hanung meyakinkanku jika pemikiran yang terus menerus ada di kepalaku, hanya kekhawatiran yang tak akan pernah terjadi.Mas Hanung
“Wah, akhirnya Lisa gabung juga ke sini!”Aku menyeringai canggung. Kedatanganku ke kafe ini untuk menuntaskan rasa penasaran yang setinggi Gunung Everest. Padahal kesibukanku di butik tak bisa terlalu sering ditinggal hanya demi berkumpul bersama ibu-ibu wali murid di kelas yang sama dengan Nabil. Hanya saja ...“Iya, Bu Erna. Kebetulan aku lagi lowong.” Aku pun mengambil duduk di tengah kerumunan, karena kebetulan juga, salah satu dari mereka menyodorkan tempat itu untukku. “Lagian sudah lama enggak bertemu ibu-ibu sekalian, kan? Apa kabar semuanya?”Setidaknya, aku harus ramah dan bersikap seolah akrab dengan mereka semua. Sebenarnya perkumpulan seperti ini, memiliki hal yang positif juga. Tapi terkadang dipandang sebelah mata karena sepertinya lebih banyak hal negatifnya, seperti bersaing satu sama lain terkait anak atau suami. Oh, yang paling parah ... berkaitan dengan keuangan rumah tangga masing-masing.Mereka bersaing siapa yang lebih unggul di kumpulan ini. Mengenakan pakaian
“Jadi ini nomor Rara,” gumamku pelan. Mataku terus menatap lekat layar ponsel yang memperlihatkan deretan angka, tanpa profil apa-apa, serta jarang terlihat online mungkin karena kesibukannya. Sepertinya wanita itu memberi pengaturan jika nomornya tidak disimpan, maka tidak bisa melihat foto profil penggunanya.Karena itulah, aku mengetikkan namanya sebagai kontak baru.Nomor itu juga masuk ke grup sekolah, persis dengan timing yang Nabil katakan padaku pagi tadi. Sepertinya benar, jika Rasya Arya adalah siswa pindahan dan baru mengikuti ajaran baru di semester ini. Dan sebab itu juga, nomor baru diundang masuk ke dalam grup yang kebanyakan berisi orang tua murid yang sekelas dengan Nabil.“Aku save, deh,” putusku dan segera saja jemari ini mengetikkan nama pada kontak baru di ponsel.Pada akhirnya, aku ikut Mas Hanung ke Le Meridien. Meski sepanjang jalan suamiku merengut, tapi aku tak mau kalah. Lagi pula kalau memang kecurigaanku itu hanya bualan semata, seharusnya suamiku tak perl
“Dia itu murid pindahan, Mi,” kata Nabil memberiku penjelasan saat bertanya siapa Arya Arya. Bukan apa, aku baru mendengar namanya. Apa aku yang terlalu ketinggalan berita mengenai sekolah Nabil?“Oh, murid pindahan?” tegasku. Pantas saja aku tak familier dengan nama anak itu.“Miss Nina bilang, Arya pindah dari Semarang. Anaknya baik, kok. Les juga di EFF Pondok Indah, satu room sama aku.”Aku mengangguk paham. “Kamu akrab dengan Arya?” tanyaku pada Nabil sembari diam-diam mencari kontak baru di grup sekolah, siapa tahu aku bisa mendapatkan nomor orang tua Arya. Yang dipanggil Tante Rara oleh Nabil.“Kami berteman. Dia cerita, kalau papanya kerja di laut. Bukankah laut itu luas, Mi? Enggak ada tanah, kan, di laut? Jadi dia kerjanya bagaimana?”Aku nyengir. “Ehm ... mungkin di kapal besar?”Ada banyak hal yang Nabil katakan seputar teman barunya itu. Kebanyakan berisi informasi betapa keren sosok Arya dalam hal seni—menggambar dan mewarnai. Tapi sepanjang cerita itu juga, Mas Hanung d
“Lho, Mas? Mau ke mana?” tanyaku heran sesaat setelah meletakkan bekal makanan kesukaan Nabil—putriku, nasi goreng seafood.“Antar Nabil sekolah,” sahut Mas Hanung dengan entengnya. “Memang aku mau ke mana lagi, sih, Dek?” Enteng pula dia beri sebuah kecupan mesra di pipi, kanan dan kiri. Membuat aku merona malu. “Sarapan untukku sudah disiapkan?”“Sudah, Mas.” Aku mengekori langkahnya ke meja makan. “Kopi dan roti bakar lapis madu, kan?”Mas Hanung tersenyum lembut dan mengusap puncak kepalaku. “Istri aku paling tahu apa yang aku sukai. Tapi ... sepertinya kamu lupa kalau semalam aku bilang aku enggak akan sempat sarapan di rumah. Ada janji dengan buyer di Tebet.”Keningku berkerut banyak. “Iya, kah?”Tanpa ragu Mas Hanung mengangguk. “Apa semalam apa yang Mas lakukan buat kamu lupa?”Ugh! Mas Hanung paling bisa membuatku malu dan benar-benar tersipu. Sampai menundukkan pandangan tak lagi berani menatap manik mata kecokelatan milik suamiku yang tampan. “Mas! Jangan begitu. Nanti Nabi