Share

[4]

Penulis: Miss_Cha_Riyadi
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-19 09:39:52

“Wah, akhirnya Lisa gabung juga ke sini!”

Aku menyeringai canggung. Kedatanganku ke kafe ini untuk menuntaskan rasa penasaran yang setinggi Gunung Everest. Padahal kesibukanku di butik tak bisa terlalu sering ditinggal hanya demi berkumpul bersama ibu-ibu wali murid di kelas yang sama dengan Nabil. Hanya saja ...

“Iya, Bu Erna. Kebetulan aku lagi lowong.” Aku pun mengambil duduk di tengah kerumunan, karena kebetulan juga, salah satu dari mereka menyodorkan tempat itu untukku. “Lagian sudah lama enggak bertemu ibu-ibu sekalian, kan? Apa kabar semuanya?”

Setidaknya, aku harus ramah dan bersikap seolah akrab dengan mereka semua. Sebenarnya perkumpulan seperti ini, memiliki hal yang positif juga. Tapi terkadang dipandang sebelah mata karena sepertinya lebih banyak hal negatifnya, seperti bersaing satu sama lain terkait anak atau suami. Oh, yang paling parah ... berkaitan dengan keuangan rumah tangga masing-masing.

Mereka bersaing siapa yang lebih unggul di kumpulan ini. Mengenakan pakaian dari merek tertentu, aksesoris yang melingkari tangan serta jemari yang berkilauan, belum lagi gadget yang harus canggih. Serta ... posting liburan di salah satu destinasi wisata terkenal di luar negeri.

Benar-benar berlebihan tapi aku butuh untuk mencari tahu sesuatu.

“Alhamdulillah kami semua baik-baik saja.” Namanya Jihan, dia tersenyum ke arahku dengan lebarnya. “Eh, tapi aku dengar pemulihan kakimu lebih lambat dari biasanya. Kamu ke dokter mana, sih? Aku kenalkan sama sahabatku, ya? Biar cepat sehat. Enggak enak lho kalau kakinya masih terasa nyeri saat berjalan.”

Salah satu manfaat positif dari berkumpul dengan ibu-ibu teman sekolah Nabil—mereka memiliki referensi untuk sesuatu yang kita butuhkan.

“Sudah enggak terlalu parah, sih. Tapi boleh deh aku kirim kontaknya, Mbak Jihan. Untuk second opinion.”

“Iya, lho. Siapa tahu justru cocok dan cepat pulihnya.” Salah satu di antara mereka menimpali. Aku tersenyum kecil sebagai tanggapan.

“Terima kasih. Nanti aku coba hubungi.”

“Ngomong-ngomong, sekarang Nabil yang antar kamu, Lisa?” tanya Erna begitu saja. Aku mengangguk sebagai jawaban.

“Ugh, kamu beruntung banget. Papanya Nabil mau direpotkan antar jemput anak. Ayahnya Irsyad mana mau seperti itu,” keluh Erna dengan sendunya. “Aku pernah sedikit demam tapi ayahnya anak-anak justru milih keluar kota buat tender.”

“Tapi, kan, hasil yang dibawa ayahnya Irsyad bisa beli Jazz satu,” seloroh Jihan dengan santainya. “Aku sih enggak masalah ditinggal keluar kota kalau hasilnya sepadan.”

“Iya, sih,” kata Erna sembari terkekeh.

Hal yang mereka katakan juga aku tanggapi dengan senyum tipis. “Alhamdulillah Mas Hanung mau direpotkan dan enggak keberatan. Mungkin tahu kalau istrinya enggak bisa banyak bergerak selama masa pemulihan.”

“Beruntungnya kamu,” kata Erna sembari mengusap bahuku. “Selama Pak Hanung yang antar Nabil sekolah, dia jadi bahan omongan para wali murid, lho, Lisa.”

Keningku berkerut. “Maksudnya?”

“Kamu pernah nonton drama korea Love Scout? Nah tampilan Papanya Nabil mirip sama Papanya Byeol, lho.”

Aku meringis bingung. “Aku enggak nonton drama korea.”

Erna mencebik. “Payah. Tapi enggak masalah, deh. Yang jelas, papanya Nabil itu seperti tipe suami idaman. Sudah ganteng, baik, ramah, dan mau direpotin sama kegiatan anak sekolah.”

Dan bukan hanya Erna yang melontarkan pujian. Hampir sebagian dari kami berenam—kecuali aku—sepakat serta memuji, betapa keren dan membanggakan tindakan Mas Hanung yang mau meluangkan waktu hampir 1 bulan mengantar jemput Nabil sekolah. Dan jadilah mereka seperti adu nasib memiliki suami yang super sibuk dan banyak kegiatan di luar sana.

Aku tak tahu harus merespons apa. Sebagian besar hatiku merasa senang, sebagian lagi ... entahlah. Aku merasa gamang.

““Etapi ini semua bukan karena aku naksir suamimu, lho, ya.” Erna segera meralat ucapannya. “Aku cinta mati sama suamiku, hanya sedikit iri karena ternyata ada seorang ayah yang mau meluangkan waktunya antar anak sekolah. Karena suamiku sibuk banget,”

Kami semua tertawa. Karena ucapan Erna adalah perwakilan dari para ibu wali murid yang memuji suamiku. Mungkin pikir mereka, takutnya aku tersinggung dan cemburu. Meski hal itu terbersit di benak tapi ada yang jauh lebih ingin aku cari tahu.

“Terima kasih pujiannya untuk Mas Hanung. Aku rasa kalau Mas Hanung ada di sini, dia pasti over percaya diri,” kataku sembari terkikik geli. “Tapi ngomong-ngomong, kalian kenal ibunya Arya? Anak baru pindahan dari Semarang?”

“Oh, Rara?” sahut Tina dengan semringah. “Kenal, atuh. Kami pernah ngobrol bareng kok di sekolah. Ya, kan, Mbak Erna. Ingat enggak sama Rara?”

“Ingatlah.” Erna segera mengangguk membenarkan. “Orangnya baik, ramah juga. Saat berkenalan pertama kali, dia bawakan hampers untuk semua wali murid. Suaminya orang kapal sih, ya. Wajar banyak uangnya.”

“Tapi dia kerja juga, kan?” sahut Jihan dengan penuh semangat. “Aku lihat statusnya kapan hari itu, dia seperti ada di ruang kantor. Aku pernah tanya, dia kerja di perusahaan eksport pakaian gitu.”

“Wah, keren dong ya.”

Mereka berlima terus membicarakan sosok Rara, yang tanpa perlu banyak usaha untuk aku tahu seperti apa perangainya di depan banyak orang. Tapi sepertinya, kesan baik dan ramah serta senang memberikan beberapa barang pada sebagian orang, melekat begitu kuat.

Apa memang Rara adalah wanita baik-baik? Tapi kenapa hatiku tak tenang?

“Kenapa kamu mendadak tanya tentang Rara, Lis?” tanya Erna dengan sorot penasaran.

“Enggak, sih. Aku baru ngeuh kalau ada kontak baru di grup sekolah.” Tak mungkin aku menjelaskan kalau kami pernah bertemu, kan?

“Oh, tapi kamu sudah pernah ketemu belum? Dia mau ucapkan terima kasih karena suamimu kasih tebengan ke sekolah tempo hari. Kasihan juga, sih, dia sendirian sama anaknya doang. Suaminya sibuk melaut. Untungnya suamimu baik, berikan tumpangan.”

Keningku berkerut. “Kok ... Mbak Erna tahu mengenai hal itu?”

“Lho, si Rara cerita kalau mobilnya mogok ke aku. Sayangnya aku sudah sampai di sekolah. Jadi enggak bisa jemput. Kasihan banget waktu itu. Suaranya sampai gemetaran mungkin takut kali, ya.”

“Iya, benar. Aku pas dia cerita juga jadi was-was. Makanya sekarang lebih baik aku disupiri, deh.” Jihan ikut menimpali.

“Lho memangnya ada kejadian apa?” tanyaku heran. Bukankah mobil Rara hanya mogok saja? dan kebetulan Mas Hanung melewati mobilnya. Nabil yang melihat temannya di pinggir jalan, akhirnya meminta suamiku untuk berhenti? Itulah asal muasal mereka nebeng mobil suamiku?

Apa ada cerita lain yang aku tak tahu?

“Mbak Rara hampir dirampok, Mbak Lisa. Saat itu mobilnya mogok dan saat diperiksa, dia dihampiri beberapa preman. Tasnya sudah direbut tapi untungnya ... memang, ya, pertolongan Tuhan itu dekat banget. Suamimu lewat, Mbak Lisa. Jadi Mbak Rara terselamatkan.” Itu penjelasan dari Tina. “Mungkin kalau aku, sudah pingsan di tengah jalan kali.”

Dan aku tak mengerti, kenapa cerita yang disampaikan berbeda?

“Makanya aku bilang, kamu beruntung banget punya suami seperti papanya Nabil, Lis. Selain ganteng, hatinya juga baik dan enggak sungkan menolong. Rara juga menurutku sebagai perempuan, enggak macam-macam ah. Dia sampai berulang kali tanya, bagaimana cara menghubungi dan bertemu kamu. Tapi suamimu bilang, pemulihan kamu benar-benar enggak bisa diganggu. Padahal Rara mau ucapkan terima kasih.”

Aku terdiam, sibuk mencerna ucapan Erna.

“Kamu enggak perlu merasa cemburu, Lis,” seloroh Erna. “Rara orangnya baik, kok. Kamu mau aku hubungi dia sekarang biar kalian bertemu, bagaimana?”

****

“Mas,” panggilku sesaat setelah menyajikan makan malam. Di samping Mas Hanung, Nabil sudah mulai makan dengan lahap. Tapi suamiku masih sibuk dengan ponselnya. Padahal soto ayam yang kusajikan bisa saja tak lagi hangat jika disantap terlalu lama. “Makan dulu, Mas. Sibuk banget, kah?”

Mas Hanung hanya mengangkat matanya sekilas dan mendengkus. “Masih ada yang harus aku kerjakan, Dek.” Ia pun bangun dari duduknya.

“Mau ke mana, Mas?” tanyaku sembari mencegahnya meninggalkan meja makan.

“Ke ruang kerja. Ikut saja, sekalian awasi aku 24 jam,” katanya penuh sindiran.

“Tapi makannya bagaimana, Mas?”

“Sudah enggak berselera,” katanya begitu saja.

Aku pikir, dia hanya sekadar bicara tapi ternyata ucapannya dijadikan realita. Dia benar-benar meninggalkan kami berdua, di mana putriku menatap punggung ayahnya dengan banyak tanya. “Papa kenapa, Mi? Marah sama Nabil, ya?”

“Enggak, Sayang,” kataku sembari berusaha menenangkan kegelisahan Nabil. “Habiskan, ya. Mami mau susul Papa dulu.”

Ini tak bisa dibiarkan. Kenapa Mas Hanung masih juga marah karena aku yang tanpa sengaja mendengar pembicaraannya di telepon? Padahal itu sudah tiga hari yang lalu dan aku juga sudah meminta maaf. Berulang kali. Karena kesalahpahaman yang menurutnya tanpa dasar. Tapi bagaimana bisa aku tak salah paham jika pembicaraan itu terkesan begitu mesra dan intim?

Aku belum lupa kejadian tiga hari lalu itu.

“Mas!”

“Astaga, Dek!” Mas Hanung menoleh tapi tatapannya terlihat sangat terkejut. “Kamu mau buat aku terkena serangan jantung?”

“Mas bicara sama siapa?” tanyaku tak sabar. Aku segera masuk ke dalam kamar dan merebut ponselnya. Namun ...

“Apa, sih, kamu?” Mas Hanung tak mau kalah. Dia segera merebut ponselnya kembali.

“Mas, aku dengar yang kamu obrolin di telepon. Kamu bicara sama siapa?” tanyaku dengan nada mendesak. “Kamu selingkuh, Mas? Siapa wanita sialan itu, hah!”

“Kamu bicara apa, sih, Dek!” Ponsel milik suamiku sudah kembali di tangannya. “Bisa kurangi pikiran busuk kamu?”

“Mas, aku belum tuli, ya. Aku dengar semuanya. Kamu bicara sama wanita lain, kan? Bilang rindu segala! Siapa dia, Mas!” Aku kalap. Aku tak peduli betapa kerasnya Mas Hanung mempertahankan ponselnya.

“Siapa yang bilang aku bicara dengan wanita lain, hah?!” Mas Hanung tak mau kalah. “Lepas dulu. Kita bicara dengan tenang.”

“Bagaimana aku bisa tenang, Mas!” Aku masih bersikeras sampai Mas Hanung menahan bahuku dengan kerasnya.

“Diam, Lisa!” bentak Mas Hanung yang membuat aku terkejut. Sungguh, selama sembilan tahun pernikahan kami, Mas Hanung belum pernah meninggikan suaranya. Tapi malam ini ...

“Kamu berani bentak aku, Mas?” tanyaku dengan suara gemetar.

“Kamu menguji sabarnya aku, Dek,” Mas Hanung mengusap wajahnya dengan penuh frustrasi. “Dengarkan aku baik-baik. Aku enggak bicara dengan siapa pun di telepon. Siapa pula yang selingkuh? Tuduhan kamu benar-benar keterlaluan.”

“Jadi siapa yang bicara sama kamu, Mas?” Air mataku sudah menggenangi sudut mata, sia tumpah dalam satu kedip saja.

“Ini video kiriman Anas.” Mas Hanung mengeluarkan ponselnya dari saku. “Aku diminta untuk menilai, sudah bagus atau belum. Lihat saja sendiri.”

Aku termangu, ponsel yang tadi kami perebutkan kini ada di tanganku. Lengkap dengan video yang kembali memutar sebuah adegan dua orang tengah bicara dengan mesranya namun ...

“Tapi aku yakin enggak mendengar percakapan ini, Mas.”

“Alah!” Mas Hanung kembali merebut ponselnya. “Kamu itu terlalu lelah mungkin. Jadi berhalusinasi. Sudahlah, aku benar-benar kesal kamu tuduh aku selingkuh, Dek. Kenapa sih sama kamu akhir-akhir ini?”

Aku masih belum memercayai apa yang terjadi.

“Atau jangan-jangan kamu yang selingkuh? Jadi kamu selalu nuduh aku melakukan hal sekotor itu dengan gencarnya?”

Mataku melotot tak percaya. “Kamu jangan ngawur, Mas!”

“Kamu dituduh seperti itu enggak terima, kan?” Mas Hanung mendelik tak suka ke arahku. “Coba pikirkan bagaimana aku yang kamu tuduh? Aku sudah sangat bersabar dengan tuduhan kamu akhir-akhir ini, Dek.”

Aku tak tahu harus bersikap bagaimana. Pendengaranku belum rusak, apa yang diobrolkan meski mirip dengan video tapi sangat berbeda. Aku yakin, suara yang kudengar adalah suara Mas Hanung.

“Kalau kamu menuduhku selingkuh terus menerus, lebih baik aku lakukan hal itu. Biar kamu puas!” Mas Hanung segera keluar dari kamar. Tak memedulikan aku yang beberapa kali memanggil namanya.

Seharusnya aku yang marah, kan? Kenapa Mas Hanung yang terlihat kesal dan tak terima? Apa ... aku berlebihan?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • PENGGODA DI SEKOLAH ANAKKU   [7]

    Winda datang menjelang sore karena waktu yang sahabatnya punya, hanya di sekitar jam luang. Dan bisa dibilang, Winda sekalian pulang setelah bekerja. Lagi pula pekerjaan Winda sebenarnya bisa saja dikerjakan di rumah. Hanya Winda lebih memilih berangkat ke kantor untuk menghilangkan penat.“Hei, kamu ngelamun lagi,” tegur Winda sambil menjentikkan jari di depan wajah Lisa. “Ini satin udah tiga kali kamu lipat-lipat, tapi enggak rapi-rapi.”Lisa terkesiap. “Hah? Ya ampun, sorry. Aku nggak fokus.”“Kelihatan banget.” Winda meletakkan tote bag-nya di kursi rotan pojok butik, lalu duduk santai. “Udah, sini. Duduk dulu. Cerita.”Winda sejak tadi memerhatikan Lisa. Bukan sekali dua kali sahabatnya melamun seperti ini. Entah apa yang dipikirkan tapi rasanya ... aneh sekali. Saat ada masalah dengan mantan suaminya yang berengsek itu, Lisa tak sampai kehilangan fokus seperti ini.Tapi kali ini ...“Kamu enggak mau cerita?” desak Winda dengan sorot mata penasaran. “Apa yang sebenarnya terjadi?”

  • PENGGODA DI SEKOLAH ANAKKU   [6]

    “Kalian berdua, semangat sekolahnya, ya,” kata Lisa sembari memberi pelukan hangat pada Nabil juga Arya. Tak jauh dari mobil Lisa terparkir, ada Erna serta rekan Lisa lainnya yang turut mengantar anak mereka. Lisa menyapa ramah tapi kembali fokus pada kedua anak yang kini berjalan memasuki area lobby sekolah.“Lho, bukannya itu anaknya si pelakor itu?” tanya Bu Erna dengan wajah terkejut. “Kok bisa bareng sama kamu?”Lisa tersenyum tipis. “Iya, Mbak. Arya nginap di rumah aku seminggu ke depan. Ayahnya lagi ada dinas ke Surabaya seminggu ke depan.”Erna masih belum bisa mencerna perkataan Lisa barusan. “Ta-tapi, kan, dia ...”“Mbak Erna, mohon maaf banget. Aku harus ke butik pagi ini. Bagaimana kalau kita ngobrol pas anak-anak acara berenang? Anakmu ikut, kan?”Erna segera mengangguk. “Kamu benar. Lebih baik kita bicara saat waktunya longgar. Tapi kamu benar-benar harus cerita yang detail, ya, Lis. Aku penasaran banget, lho. Kalau Tina dan Jihan tahu, mereka pasti sama. Menuntut penjel

  • PENGGODA DI SEKOLAH ANAKKU   [5]

    Hari pertama Arya menginap di rumah Lisa, Lisa merasa seperti memiliki 2 anak dengan kepribadian yang sangat berbeda. Nabil dengan tingkahnya yang cerewet dan terkadang banyak protes. Arya lebih banyak diam dan menuruti semua keinginan Nabil. Bocah lelaki itu memosisikan dirinya sebagai kakak laki-laki yang bisa Nabil andalkan.Tapi satu hal yang membuat Lisa senang. Arya tak pernah sungkan untuk bicara dengannya walau perlahan dan terkadang, butuh ditanya ulang apa keinginan anak itu.“Kamu yakin sudah cukup?” tanya Lisa penasaran. Kotak bekal Arya sudah ia buatkan roti lapis dengan selai strawberry juga coklat yang menjadi kesukaan bocah itu. Tapi ternyata, Arya juga menginginkan nasi goreng seafood buatan Lisa. Hanya saja, isinya sedikit sekali.“Iya, Tante. Ini sudah cukup. Lagian kita mau sarapan bersama, kan?”“Iya.” Lisa tersenyum lebar. Diusapnya lembut puncak kepala Arya. “Nah, sementara Tante siapkan jus, boleh panggilkan Nabil? Tante rasa dia sudah selesai merapikan bukunya.

  • PENGGODA DI SEKOLAH ANAKKU   [4]

    Kalau ada yang ingin mengatakan betapa konyol dan impulsif tindakan Lisa, silakan utarakan. Lisa sendiri tak tahu apa yang sebenarnya ada di pikirannya. Kenapa juga ia setuju dengan permintaan Ronald.Saat pria itu diberikan keputusan jika Lisa mau membantu, wajah tampannya jauh lebih bersinar dari sebelumnya. Bisa dibilang, mungkin sebagian besar bebannya berkurang banyak.“Mami kenapa?” tanya Nabil bingung. Sejak tadi ibunya berulang kali gonta-ganti siaran TV. biasanya, ia tak pernah seperti itu.“Enggak apa-apa, Sayang,” Lisa menyeringai tipis. “Duduk sini.” Ia pun meminta anaknya untuk duduk di dekatnya. Nabil menuruti dan segera bersandar begitu Lisa merangkulnya penuh sayang. “Ehm ... Mami mau ngomong sama kamu. Bisa?”“Biasanya juga ngomong, kan?”Lisa tertawa jadinya. “Iya, juga, ya.” Tak mungkin ia tak membicarakan dengan anaknya, kan? “Menurutmu, kalau Arya tin

  • PENGGODA DI SEKOLAH ANAKKU   [3]

    Apa yang bisa Lisa lakukan sekarang? Di depannya, pria yang lebih sering bertampang datar, bicara singkat, dan jarang sekali menunjukkan basa basi—bahkan sekadar senyum sapaan saja hanya sekadarnya saja. Ditambah, perkenalan mereka dimulai dari sesuatu yang sangat konyol dan tak masuk akal.Tapi ...“Hanya seminggu?” tanya Lisa akhirnya.“Iya, saya pastikan hanya seminggu. Berangkat Senin malam. Pulang maksimal Minggu pagi.”Lisa mengangguk pelan pada akhirnya. Entah apa yang merasuki kepalanya, tapi Lisa tak bisa menolak. Sungguh. Apa karena sorot matanya yang tampak memelas? Lisa tak punya jawaban yang tepat. “Akan saya pertimbangkan dulu..”Ronald tersenyum tipis. “Saya hargai itu. Terima kasih, Lisa.” Ia pun kembali menikmati kopinya meski belum sepenuhnya tenang. “Tapi ... bisakah saya dikabari segera?”Lisa terperangah.“Maaf, terkesan memaksa. Tapi saya but

  • PENGGODA DI SEKOLAH ANAKKU   [2]

    Sebenarnya ... ini tak benar!Itu yang Lisa katakan dalam hati begitu memasuki area kafe tempat di mana mereka memiliki janji temu. Tidak. Ini bukan sekadar janji temu, tapi menghabiskan waktu saat anaknya berkutat di tempat les.“Mari,” kata pria yang ada di jarak aman dari posisi Lisa berdiri, dengan santun.“Terima kasih.” Lisa berusaha mengontrol diri. Wanita itu sering bertemu pria yang ternyata, masih memiliki garis keturunan Belanda. Meski ... bisa dikategorikan sudah lumayan jauh. Adinata Ronaldi Kawalirang, nama aslinya. Wajahnya bisa dibilang cukup rupawan, cara bicaranya simple tapi cukup memberi kesan jika pria itu bukan lawan bicara yang hanya bisa bicara banyak tanpa ada bukti.Mereka memilih duduk di salah satu sudut kafe yang tak terlalu banyak diperhatikan orang lain, namun tetap bisa menikmati bagaimana suasana tenang yang kafe ini suguhkan. Pintar juga si pemilik kafe membuka gerainya tak jauh dari tempat Nabil les—bahkan sengaja dibuat semi outdoor dengan memanfaat

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status