Ron dan Rin masuk ke dalam kendaraan milik Ron dan mulai melaju menuju perusahaan tempat Ron memimpin.Selama dalam perjalanan, manik mata Rin terus menoleh ke luar jendela dan duduk dengan gelisah saat mengawasi kendaraan lain yang melaju bersama dengan mobil yang ditumpanginya."Bisakah kau diam? Kepalamu terus menoleh kesana-kemari sejak tadi dan rambutmu menyibak kemana-mana! Kau membuat mataku sakit!" omel Ron kesal."Aku hanya ... ingin melihat situasi saja," ujar Rin dengan suara bergetar."Situasi apanya? Duduk dengan tenang atau aku menendangmu keluar!" cetus Ron."Wajar saja kalau aku mengalami trauma, kan?" protes Rin."Benar, Ron! Aku mengalami trauma parah sejak aku mengenalmu! Kau harus membayar mahal untuk biaya pemeriksaan kesehatan psikis dan mentalku yang hampir rusak karenamu!" gerutu Rin panjang lebar."Membayar mahal apanya? Lunasi dulu hutangmu, baru mengoceh! Berani sekali kau menuntut uang padaku?" ujar Ron sembari menyentil dahi Rin berkali-kali.Beruntung tak
"Ron, kalau aku mati hari ini, berarti hutangku padamu lunas, kan?" bisik Rin dengan tubuh gemetar ketakutan."Kau tetap harus membayar hutangmu di neraka!" sungut Ron.Rin menutup matanya rapat-rapat sembari memeluk erat lengan kekar Ron. Gadis itu sudah pasrah jika hidupnya akan benar-benar berakhir sampai di sini."Malveron, sejak bertemu denganmu ... hari-hariku selalu dipenuhi dengan lumuran darah. Aku akan menghantuimu jika kau masih berhasil selamat dari todongan senjata hari ini!" ucap Rin melontarkan wasiat terakhir, sebelum dirinya menjadi korban keganasan senjata dari orang-orang misterius yang mengelilinginya."Kau tidak ingin hidup lagi? Hutangmu belum lunas!" omel Ron."Aku datang kemari bukan untuk mendengarkan obrolan kalian!" sentak pria berbaju hitam yang menodongkan pistol ke arah Ron dan Rin.Tubuh Rin makin dibanjiri keringat dingin dan kaki mulai bergetar hebat. Badan mungil gadis itu sudah kaku dan tak dapat bergerak sedikitpun karena rasa takut yang melanda."R
"Dokter, dia baik-baik saja, kan? Apa dia terserang trauma tertentu? Atau jiwanya sedikit terguncang? Atau ada yang salah dengan otaknya?" cecar Ron pada dokter yang merawat luka di tubuh Rin."Tuan tenang saja. Pasien memang sedikit mengalami guncangan karena shock. Namun, ini bukan hal yang serius. Pasien bukan lagi anak dibawah umur. Shock yang dialami oleh pasien tidak akan sampai mengganggu kesehatan mental. Istirahat beberapa hari saja sudah cukup untuk menenangkan pasien," terang dokter panjang lebar."Apa dia memiliki gangguan lain? Rin terus melihat dengan pandangan mata kosong. Gadis itu juga mendadak gagu. Apa Rin tiba-tiba—""Aku tidak gagu!" sahut Rin sembari melirik ke arah Ron dengan wajah jutek."Rin! Kau sudah bisa bicara? Ucapkan lebih banyak kata! Sebutkan namaku sepuluh kali!" titah Ron dengan heboh."Aku butuh istirahat. Tenggorokanku mengering karena ketakutan," lirih Rin dengan suara lemas."Kau mau minum? Kau mau apa? Teh? Susu? Kopi? Jus buah?" tawar Ron pada
"Han, apa kau menemukan sesuatu?" tanya Ron pada sang asisten yang kini masih berada di gedung perusahaan sang bos.Han nampak tengah duduk di ruang pusat pengawas dan melihat aksi tembak Ron dengan para penyusup melalui kamera tersembunyi yang terpasang di ruangan Ron."B-belum, Bos!" jawab Han dengan terbata-bata.Pria itu mulai berkeringat dingin saat berbicara dengan sang bos melalui telepon. Sayangnya Ron tak dapat melihat ekspresi Han yang penuh dusta dan gelagat aneh yang ditunjukkan oleh asistennya itu."Apa yang sebenarnya kau lakukan sejak tadi? Sejak kapan kau menjadi tidak becus seperti ini?" omel Ron pada Han."Maaf, Bos.""Aku tidak butuh maaf darimu! Lakukan pekerjaanmu dengan benar!" pungkas Ron, kemudian memutuskan sambungan telepon dengan sang asisten.Ron hampir saja membanting ponsel, karena pencariannya yang tak kunjung membuahkan hasil. Pria itu sudah jengah dan lelah mendapatkan teror berturut-turut yang membuat Rin terus mendapatkan luka.Pria itu mulai tak rel
"Kita pergi sekarang?" tanya Rin pada Ron yang telah menyiapkan puluhan koper yang sudah berisi barang-barang keperluan Rin.Pria itu benar-benar ingin membawa Rin pergi sementara, untuk menghindar sejenak dari rangkaian teror yang mengusik mereka akhir-akhir ini."Sekarang saja! Aku tidak tenang berada di sini," ungkap Ron."Aku masih terbalut perban seperti mummy. Kau ingin aku pergi dengan dengan tampilan seperti ini?" rengek Rin."Kalau begitu, kau ingin menunggu sampai rumah sakit ini dibajak dan kau ditodong pistol lagi?" sungut Ron."Tentu saja aku tidak mau! Traumaku saja belum sembuh!" cetus Rin."Cepat cuci wajahmu! Kita harus berangkat secepatnya!" titah Ron.Tanpa menunggu lama, Rin dan Ron bergegas menuju bandara dengan melewati jalan alternatif yang jarang dilewati.Kedua orang itu terus merasa was-was di mana pun mereka berada dan dilanda prasangka buruk di setiap tempat yang mereka kunjungi, bahkan saat mereka berada dalam kendaraan."Tidak ada orang yang mengikuti kit
Rin dan Ron saling diam tanpa bersuara selama mereka berada di dalam pesawat. Gadis itu tak berani lagi bercicit di depan Ron setelah mendengar kata "kencan" yang keluar dari mulut Ron.Rin dan Ron saling terus mencuri pandang, hingga akhirnya kedua orang itu menjadi salah tingkah di depan satu sama lain."Berapa jam lagi kita akan sampai?" tanya Rin memecah keheningan."Kau tidur saja. Penerbangan masih lama," tukas Ron datar.Pria itu mencoba bersikap sok keren dan menanggapi Rin setenang mungkin, meskipun sebenarnya Ron mengalami kegugupan parah setelah menggoda Rin dengan kata "kencan"."Aku tidak bisa tidur," ungkap Rin sembari mengusap perban yang membalut lukanya."Kenapa? Lukamu masih sakit?"Ron mendekat ke arah Rin dan mengusap lembut lengan Rin yang terkena sayatan pisau darinya."Ini masih sakit?" tanya Ron begitu mencemaskan Rin yang kesakitan karena dirinya.Terlalu merasa bersalah, membuat Ron lebih memperhatikan Rin dan mengurangi sikap judesnya pada gadis tawanannya
"Bisakah kau saring kata-katamu? Sejak tadi kau membuatku merinding," protes Rin."Merinding kenapa?""Aku tidak terbiasa digoda oleh om-om," cetus Rin secara tak langsung mengatai Ron sebagai om-om yang menggodanya."Om-om apanya? Kau tidak lihat kalau aku masih sangat muda?" protes Ron."Muda apanya?" cibir Rin."Kau tidak merasa terkesan sedikit pun pergi berkencan denganku? Aku bahkan menyewa jet untukmu," cetus Ron."Ron, berhenti menyebut kencan!" omel Rin dengan pipi memerah.Ron terdiam sejenak, kemudian pria itu meraih tangan Rin dan menggenggamnya erat."Rin ... kalau pendapatku tentangmu mulai berubah, bagaimana?" tanya Ron tiba-tiba."Pendapat apa?" Rin menoleh ke arah Ron dengan kedua alis terangkat tinggi."Bagaimana pendapatmu tentangku?" tanya Ron lagi."Kau ingin aku mengatakan apa?" tanya Rin malas."Apa kau menyesal bertemu denganku?" tanya Ron sembari menatap manik mata bening milik Rin dengan sorot mata tajam yang begitu menusuk."M-menyesal? Tentu aku tidak akan
"Turun!" titah Ron begitu Ron dan Rin tiba di kediaman Ron yang berada di Roma."Kita akan tinggal di sini?" tanya Rin sembari menatap halaman rumah yang luas di kediaman Ron."Kau boleh tinggal di sini. Biaya satu malam, biaya akomodasi pesawat, mobil, kemudian biaya—""Biaya?"Ron mendekat ke arah Rin, kemudian menarik telinga gadis cantik itu. "Kau pikir ini semua gratis? Aku bis bangkrut kalau terus beramal padamu," bisik Ron begitu menohok."Hei, bukankah kau bilang sendiri kalau kau mengajakku kencan?" protes Rin."Apa begini caramu mengajak kencan seorang wanita?" sungut Rin kesal."Kencan apanya? Anggap saja aku mabuk saat mengatakan hal itu! Aku pasti sudah tidak waras jika bermaksud mengajak kencan gadis tukang utang sepertimu!" ketus Ron dengan kalimat yang begitu kejamnya pada Rin."Kau pikir kalau kau punya uang, kau bisa seenaknya? Aku yang bodoh karena percaya dengan bualanmu mengenai kencan!" ketus Rin begitu kesal pada Ron yang telah mempermainkan dirinya mengenai ken