Share

KARIN BERULAH

BAB 9

KARIN BERULAH

“Apa sih, Mbak?” sahut Kamila santai.

“Enak banget jadi kamu, santai-santai di rumah ibumu sambil ngabisin uang Adrian. Kasihan sekali adikku itu,” ujar wanita yang usianya di atasnya tersebut.

“Bukannya yang ngabisin gajinya Mas Adrian itu mbak sama ibu ya? Aku kan cuma dapat sisanya,” sahut Kamila seraya terus melangkahkan kakinya ke ruang makan. Sementara itu, kakak iparnya mengikuti langkahnya seraya memperhatikan kantong dalam genggaman Kamila.

“Kalau masalah itu kan memang sudah menjadi kewajiban Adrian memberi nafkah untuk ibu,” sahut Karin tak mau kalah.

“Benar, tapi seharusnya mengutamakan anak dan istrinya . Lagian Mbak juga jangan lupa, Mbak itu sudah menikah dan sudah punya suami. Jadi, Mas Adrian tidak punya kewajiban menafkahi mbak,” sahut kamila lagi.

“Ya terserah dong. Lagian kan kamu itu orang lain yang kebetulan diurus saja, sementara aku ini kakak kandungnya,” sahut Karin sewot. Kamila tak menanggapi lagi. Dia memilih mengalihkan perhatiannya pada putrinya yang masih mengikuti langkahnya tersebut.

“Yasmin mainan di kamar dulu ya? Ibu mau beres-beres rumah,” ujar Kamila pada putri kecilnya  tersebut.

“Iya, bu.” Gadis kecil yang pada dasarnya penurut tersebut pun segera melangkahkan kakinya ke kamar sembari membawa bonekanya.

“Dapat duit dari mana bisa beli boneka seperti itu?” tanya Karin penasaran.

“Bukan urusan situ.”

“Sombong, aku tanya karena boneka seperti itu harganya sangat mahal, kamu tidak mungkin sanggup membelinya,” ujar Karin lagi.

“Kenapa tidak? Kalau Mas Adrian bisa membelikan keponakannya, kenapa dia tidak bisa membeli untuk putrinya?” sahut Kamila seraya menatap kakak iparnya tersebut dengan tajam.

“A—Adrian yang membelikan? Itu tidak mungkin,” ujar Karin shock.

“Terserah, aku juga tidak minta mbak percaya,” sahut Kamila seraya mengedikkan bahu. Dia pun segera berbalik dan kembali fokus pada pekerjaan yang hendak dia lakukan.

“Aku akan tanya sama Adrian langsung nanti,” ujar Karin. Kamila pun tak menanggapinya. Rasanya dia sudah malas harus terus berdebat dengan kakak ipar yang selalu ikut campur urusan rumah tangganya tersebut. Sementara itu, fokus Karin teralih pada kantong yang dibawa Kamila yang hendak dia masukkan ke dalam lemari pendingin.

“Bawa apa itu?” tanya Karin seraya berusaha merebut kantong yang dibawa Kamila. Spontan, Kamila menarik kantong tersebut dan menjauhkannya dari kakak iparnya tersebut.

“Dasar pelit, pengen lihat saja tidak boleh,” ujar Karin sewot.

“Kamu pasti beli makanan kan? Sini aku lihat,” sentak Karin.

“Apaan sih Mbak? Kalau mbak mau, mbak bisa beli sendiri,” sahut Kamila tak terima dengan tingkah kakak iparnya tersebut.

“Sudah berani ya sekarang? Awas saja, aku akan mengadukan kamu sama Ibu karena sudah berani kurang ajar sama aku,” ancam Karin.

“Adukan saja, aku tidak takut,” sahut Kamila tanpa menghiraukan ucapan kakak iparnya tersebut. Karin menatap adik ipar yang tidak pernah dia sukai tersebut dengan geram. Dengan menghentakkan kaki, dia meninggalkan rumah adiknya. 

Kamila menghembuskan nafas lega. Setidaknya setelah wanita tersebut pergi, dia bisa kembali fokus membersihkan rumah dengan hati yang tenang. Sayangnya, ketenangannya tak berlangsung lama karena selang tak berapa lama kemudian, suara teriakan menggema ke seluruh rumah hingga mengagetkan siapapun yang mendengarnya.

“Mila!” seru sebuah suara. Tanpa berbalik pun, Kamila sudah tahu siapa yang memanggilnya. Namun tak urung, dia tetap berbalik dan menatap wanita paruh baya tersebut.

“Ada apa, Bu?” tanya Kamila.

“Ada apa ada apa. Kamu baru pulang dari rumah ibumu jadi berani kurang ajar ya? Ini yang diajarkan ibumu di rumahnya?” sentak wanita paruh baya tersebut. 

“Bu, Ibu boleh marah sama aku, ibu boleh membentak aku, tapi tolong, jangan bawa nama Ibuku. Ibuku itu wanita yang baik,” sahut Kamila. Dia berusaha menekan suaranya agar tidak meninggi akibat menahan emosi.

“Memang kenyataannya begitu kan?” sahut Karin seraya tersenyum sinis.

“Cukup, Mbak. Aku bisa diam saat kalian menghina aku, tapi aku tidak akan tinggal diam jika kalian berani membawa nama ibuku,” ujar Kamila seraya menatap mereka tajam. Mertua Kamila yang biasa barbar pun, jadi bergidik ngeri melihat cara menantunya menatapnya. Spontan, dia pun mengalihkan perhatiannya pada hal lain sebelum semakin terintimidasi.

“Kamu beli apa tadi? Coba ibu lihat? Jangan-jangan kamu beli makanan tapi tidak mau membaginya dengan kami,” ujar wanita paruh baya tersebut.

"Maaf, Bu, aku tadi belinya hanya sedikit, hanya cukup untuk kami bertiga," sahut Kamila.

"Dasar menantu kurang ajar, kamu beli makanan pakai uang anakku tapi tidak mau membelikan ibunya juga? Dasar menantu pelit," sentak wanita paruh baya tersebut.

Kamila menghela nafas panjang sejenak untuk menguraikan emosi yang mulai menghampirinya.

"Maaf, Bu, bukannya aku tidak mau membelikan, tapi memang uangnya tidak cukup," sahut Kamila.

"Alah … itu pasti akal-akalan kamu saja. Hayo ngaku!" sentak Karin.

"Mbak, tolong jangan memperkeruh suasana karena memang pada kenyataannya seperti itu," sahut Kamila masih berusaha tenang.

"Berikan makanan itu pada kami. Kami juga belum makan," ujar Ibu mertua Kamila.

"Saya benar-benar minta maaf, Bu. Kalau ibu mau, ibu bisa membeli sendiri. Bukankah Ibu juga diberi uang bulanan sama Mas Adrian? Bahkan nominalnya lebih besar dari pada jatah untuk aku," sahut Kamila.

"Kebanyakan ngomong kamu. Minggir!" sentak Karin seraya mendorong tubuh Kamila dengan kencang. Karena tak siap dengan serangan mendadak, tubuh Kamila limbung hingga akhirnya dia terhuyung dan terjerembab.

Tanpa memperhatikan kondisi Kamila yang tersungkur, Karin segera merangsek dan membuka pintu lemari pendingin. Senyumnya merekah seketika saat menemukan apa yang dia cari.

"Wuih … sayur nasi Padang, Bu. Pantas saja disembunyikan, memang dasarnya dia tidak pernah makan enak," ejek Karin.

"Mbak, kembalikan. Itu untuk makan malam kami," seru Kamila seraya berusaha merebut kantong tersebut.

"Gak, enak saja. Ini kamu beli pakai uang Adrian, jadi kami juga punya hak," sahut Karin seraya berusaha menyembunyikan kantong tersebut di balik tubuhnya.

"Jangan, Mbak. Nanti kami makan pakai apa kalau lauknya mbak bawa semua? Aku gak punya bahan masakan," ujar Kamila seraya berusaha merebut kantong tersebut kembali. Sayangnya, Karin segera bersembunyi di belakang ibunya. Alhasil, wanita paruh baya tersebut menjadi tameng perseteruan mereka.

"Hentikan!"

Sebuah seruan yang menggelegar, menghentikan aksi mereka seketika.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status