"Lalu Rizki harus gimana, Bu? Dari pada Keysha dan bayiku kenapa-napa."
"Terus kamu mau dapat uang dari mana dengan waktu sesingkat itu? Kamu punya tabungan?"
Aku menghela nafas dalam-dalam. Itu juga yang aku pikirkan. Uang di rekening tabungan hanya ada 70 juta, sisanya harus kucari kemana?
"Hishh, semenjak kamu sama bocah itu, hidup kita jadi gak tentram gini!"
"Sudah Bu, Rizki mau pergi dulu."
"Kemana?"
"Cari pinjaman Bu, kalau gak ada terpaksa Rizki akan jual mobil."
"Apaaaa...?"
Kutinggalkan ibu yang masih tercengang dengan ucapanku. Ya mau bagaimana lagi. Jual mobil juga gak semudah dan secepat jualan gorengan yang langsung habis.
Aku bergegas menuju ke bengkel dengan naik ojek. Beruntung, sampai di bengkel, mobil sudah diservis karena tidak ada kerusakan yang berarti. Setelah membayar tagihan itu, aku bergegas ke rumah Nadia. Aku akan desak dia, supaya dia bisa membantuku. Aku sangat yakin
Aku mulai membuka mata. Kepalaku terasa begitu pening. Kulihat sekeliling, aku berada di sebuah ruangan kamar. "Akhirnya kau sadar juga, sayang," ujarnya. Aku menoleh ke asal suara. Lelaki itu tersenyum kemudian menyesap minumannya. Aroma kopi tercium begitu wangi. "Andhika, kau?" pekikku. Jadi dia yang sudah membawaku kesini dan membuat om Rizki babak belur? Dia tersenyum kecil. "Jadi kau yang lakukan semua ini?" tanyaku lagi. Dia menaruh kembali gelas itu dan mendekat ke arahku. "Sudah kubilang kan sayang, aku akan buat perhitungan padanya karena dia sudah merebut kekasihku," jawabnya dengan nada lembut tapi penuh penekanan. Dia membelai rambutku. "Kau jahat sekali, Andhika!" ketusku, heran kenapa dia bisa tahu Om Rizki, bagaimana caranya dia mencari tahu semua ini? "Bukan aku yang jahat, sayang. Tapi kamu ..." "Apa maksudmu?" "Kamu yang sudah menduakan cintaku, aku sungguh tak r
Tiinn ... Tiinn ... Suara klakson mobil mengagetkanku yang sedang sibuk di dapur. Kulirik jam yang bertengger di dinding, waktu sudah menunjukkan ke angka sepuluh, pagi menjelang siang. Dengan segera aku bergegas ke depan, untuk memeriksa keadaan disana. Apa itu mobil Mas Rizki? Ada apa sih, dia terus-terusan menggangguku? Seorang pemuda berpakaian rapi, sudah menungguku di teras rumah. Ia tersenyum dengan ramah. "Dengan Ibu Nadia?" tanyanya. "Iya, saya sendiri." "Ini silahkan diterima. Tanda tangan di sebelah sini Bu." Ia menyerahkan sebuah map berisi surat-surat kendaraan yang sudah berganti nama menjadi Nadia Asmarini. Mataku seketika membulat, tapi bukankah ini mobil Mas Rizki? Kenapa jadi berganti namaku? Siapa yang melakukannya? Kalau Mas Rizki, rasanya tidak mungkin. "Ayo Bu, silahkan tanda tangan disini," ujarnya lagi mengejutkanku. "Maaf kalau boleh tahu, siapa yang mengirim mobil itu kes
"Pesan? Pesan apa?" Aku balik bertanya. Tiba-tiba handphonenya berbunyi, memecah ketegangan diantara kami. "Maaf Nadia, aku angkat telepon dulu ya," ujarnya yang dijawab oleh anggukan kepalaku. "Halo, Waalaikum salam, iya. Ah oke, aku segera kesana," ucapnya. Entahlah apa yang dibicarakan. Mendadak ia terlihat buru-buru. Mungkin ada masalah yang serius. "Maaf Nadia, aku harus pamit dulu. Kapan-kapan ya kita ngobrol lagi," ujarnya kemudian. "Kamu gak makan dulu, Mas?" "Gak usah, ini udah ditungguin orang. Maaf ya, lain kali saja." "Iya, hati-hati dijalan mas. Dan terima kasih atas bantuannya." Mas Hasbi tersenyum. "Iya, sama-sama. Aku pulang ya. Assalamualaikum." "Waalaikum salam ..." Diapun pergi melesat dengan mobil mewahnya. Aku tertegun, menatapnya hingga hilang dari pandangan. Pertanyaannya yang tadi, membuatku berpikir kembali. Apa maksud ucapan Mas Hasbi? Pesan, pesan a
Sudah dari pagi aku bersiap-siap menuju ke pengadilan agama. Mirna pun turut datang kembali untuk menjadi saksi dan penyemangatku.Namun sangat disayangkan, Mas Rizki lagi-lagi tidak hadir dipanggilan sidang maupun mengirimkan kuasa hukumnya. Setelah panggilan sidang yang sebelumnya untuk upaya perdamaian dan mediasi gagal karena tergugat tidak hadir.Begitu pula dalam panggilan sidang lanjutan tentang pembacaan surat gugatan serta pengumpulan bukti-bukti tentang perselingkuhan Mas Rizki yang akan memperkuat proses perpisahan ini. Mas Rizki kembali mangkir dalam persidangan. Tak ada bantahan atau eksepsi kompetensi dari pihak Mas Rizki untuk menyanggah semua isi gugatan. Ya, mungkin dia malu atau memang dia sudah tak mau ambil pusing tentang hasil putusan sidang ini.Setelah pembacaan gugatan selesai, dilanjut oleh musyawarah majelis hakim, sesuai dengan jadwal sidang, pada tahap ini dibacakan putusan majelis hakim. Putusan verstek majelis hakim, kar
"Sah!" "Alhamdulillah..." Pernikahan siriku dengan Keysha hanya dihadiri oleh beberapa orang saja, mengingat rencana pernikahan tempo hari gagal karena tragedi penculikan itu. Tapi aku bersyukur akhirnya sekarang aku dan dia sudah menikah. Setelah pernikahanku dengan Keysha, entahlah justru rasanya semakin hambar menjalani hubungan ini. Apalagi Keysha selalu merengek ingin minta tinggal terpisah dengan ibu. Seringkali terjadi percekcokan diantara keduanya, karena salah satu tidak ada yang mau mengalah. Keysha tak mau membantu pekerjaan rumah, dengan alasan dia sedang hamil, gampang capek, padahal dia sudah tidak kuliah lagi, sejak kejadian itu. Aku yang melarangnya pergi, takut kejadian itu terulang kembali. Dengan berat hati, aku mencari rumah kontrakan yang sederhana karena uangku pas-pasan. "Bu, kami pamit," ucapku berpamitan dengan ibu. S
Ucapanku yang penuh penekanan membuat Keysha terdiam, mencerna semua perkataanku. Aku bergegas mandi dan ganti pakaian, lalu berangkat ke kantor. "Ingat, pekerjaanmu di rumah sebagai istri. Masak dan yang lainnya, tapi tetap perhatikan kesehatanmu, kalau capek istirahat. Kau mau kan om tetap betah di rumah?" Keysha mengangguk. "Kalau kamu bingung mau masak apa, kamu tinggal browsing di internet, banyak aneka resep masakan yang tersedia disana," ujarku lagi. "Iya, om." "Dan satu hal lagi, untuk bulan ini dan beberapa bulan ke depan kita harus hemat, apalagi nanti menjelang kamu melahirkan, pasti akan banyak biaya." Keysha mengangguk lagi walaupun dia cemberut. "Ya sudah, om berangkat ke kantor dulu. Ingat nanti sore masak ya." "Kalau masakan Key gak enak, gimana?" "Tidak apa-apa, namanya juga belajar, pasti butuh proses kan?" Kutinggalkan dia setelah aku berpamitan dengannya. Kuhela nafas dalam-dalam, aku
"Lho, Mas Rizki ada disini?" Aku terhenyak mendengar sapaan itu. "Masuk aja, itu Nadia sama Mas Hasbi ada di dalam," lanjutnya lagi. Ia melengos pergi, namun segera kucegah. "Tunggu, Mir. Ada yang ingin aku tanyakan." "Iya, ada apa?" jawab Mirna. "Apa benar Nadia beli ruko ini?" "Iya bener, kenapa?" "Tapii, dia dapat uang dari mana?" "Ih kepo ya Mas Rizki ..., Tanyain aja langsung sama orangnya. Ya siapa tahu kan dia dapat uang dari calon suaminya itu?!" jawabnya penuh penekanan. "Ca-calon Su-suami? Siapa calon suami Nadia?" Aku agak ragu mengatakannya. Masa Nadia secepat itu melupakan aku? "Heeemm, harusnya Mas Rizki tahu sendirilah siapa yang akhir-akhir ini dekat dengan Nadia," jawabnya bertele-tele. "Maksudmu Hasbi?" "Mungkin. Udah ya mas, aku tinggal dulu," pamitnya kemudian pergi begitu saja. Sungguh, aku tercengang mendengar jawabannya. Benarkah mereka akan kembali menikah?
Kubukakan mata secara perlahan. Kulihat Mas Hasbi dan Mas Rizki nampak khawatir padaku. Segera aku bangkit untuk duduk, meskipun kepalaku terasa berdenyut nyeri. Tetiba Mas Rizki berlutut di hadapanku dan minta maaf kalau dia khilaf. Ah itu bukannya khilaf mas, tapi memang disengaja. Kau sengaja ingin memukul Mas Hasbi kembali, namun aku menghalanginya. Hingga pukulan itu mengenai kepalaku. Entahlah kenapa dia bersikap seperti itu. Untuk apa dia marah? Bukankah diantara kita sudah tak ada ikatan lagi? Bahkan dia sudah menikah dengan Keysha, Kenapa dia tetap menggangguku. "Sudahlah mas, kau pulang saja. Kasihan istrimu mas," pungkasku. Aku ingin dia pergi saja dari sini dari pada kembali membuat keributan. "Ya sudah, mas pulang dulu. Kamu hati-hati ya, jangan terlalu dekat sama buaya darat," sindir Mas Rizki sembari melirik ke arah Mas Hasbi. Sebenarnya disini