“Bangunlah, Mas. Tolong, jangan semakin menyakiti hatiku. Bila memang kamu benar-benar merasa bersalah, maka, cukuplah jangan bersikap berlebihan terhadapku. Tunjukkan yang sebenarnya, jika kamu benar-benar tidak menginginkanku ….”‘Wanita macam apa dia? Mengapa tidak mau aku perlakukan manis, dan lebih suka jika aku bersikap sesuai dengan perasaanku?’ Itu yang ada dalam pikiran Restu.“Baiklah, Isna, jika itu maumu. Namun, aku tetap akan berusaha bisa mencintaimu,” janji Restu.Isna sebenarnya muak mendengar semua ucapan itu. Karena dari sana jelas, bahwa saat ini, Restu sama sekali tidak memiliki perasaan apapun.Malam merambat naik, suara binatang malam mulai terdengar saling sahut menyahut. Di sebuah kasur kecil, sesosok tubuh berbalut selimut terbungkus rapi, menghadap tembok. Dengkur halusnya sudah mulai terdengar. Ia sendiri yang memilih untuk tidur di tempat itu. Membiarkan Restu menikmati kasur empuknya seorang diri. Sengaja memeluk laranya di tempat yang sempit, agar terbias
“Baik, Bu Ika. Terima kasih sudah mendengarkan keluh kesahku,” ucap Isna setelah ia merasakan cukup lega dan hendak berpamitan.“Isna, jika memang Restu berusaha untuk mencintaimu. Jika dia melakukan usaha itu dan dia berhasil mencintai kamu, apa yang akan kamu lakukan?” tanya Ika menghentikan Isna yang sedang memakai tas.“Aku tidak yakin.” Isna sudah kelihatan pasrah dengan keadaan.“Tidak ada yang tidak mungkin. Berbagai macam jalan dilalui setiap orang untuk menemukan jodohnya. Termasuk kalian. Siapa tahu, memang takdir menggariskan seperti inilah yang harus kalian lalui.”“Aku tidak yakin itu terjadi, Bu Ika. Biarlah seperti ini saja dulu. Yang akan terjadi kapan waktu, itu urusan hatiku di masa depan.”“Jika memang suami kamu sungguh-sungguh dengan ucapannya, maka beri dia kesempatan. Jangan sampai kamu kalah dengan bayangan Marwah. Dia akan bahagia jika kamu menyerah,”Isna menghembuskan napas kasar lalu berujar, “jika itu terjadi, berarti memang Marwah adalah jodoh Restu. Aku
“Tapi, bagaimanapun kita harus melakukan itu. Bukankah kamu bilang, kalau sementara waktu ini, kamu akan menjalani pernikahan kita dengan normal layaknya pengantin lain?” tanya Restu lagi. “Siapa yang bilang begitu? Aku tidak merasa mengatakan itu. Aku hanya bilang, akan bertahan untuk sementara waktu.” “Itu sama artinya dengan bersikap seperti pasangan lain, bukan?” “Beda. Tidak sama.” “Lalu acara besok, kamu akan melewati dengan apa? Apa yang akan kamu katakan pada orang tuamu sebagai alasan?” Isna meletakkan pensil yang ada di tangan. Berpikir sejenak. Jika dia menghindari acara itu, maka artinya harus siap jika orang tuanya curiga. Jari lentiknya menggaruk salah satu alis. Mencoba mencari solusi dari apa yang dihadapi besok. “Baiklah. Aku akan mengikuti acara itu seperti adat dalam desa kita,” ucapnya. “Terima kasih,” ujar Restu sambil tersenyum. Isna hanya memandang sekilas saja. Isna dan Restu menaiki mobil hanya berdua. Mengantar makanan pada saudara-saudara Restu yang ru
POV IsnaLuka ini hanya aku yang paling tahu. Menjadi terhina di malam yang harusnya aku diratukan oleh lelaki bergelar suami, adalah mimpi paling buruk sepanjang hidup. Berkali-kali menahan isak tangis di malam hari, seolah menjadi rutinitas sejak menikah dengan Mas Restu.Ah, bahkan, menyebut namanya dengan panggilan kehormatan, mas, hati sangat tidak ikhlas.Marwah, sebuah nama yang akhirnya aku benci. Iya, hanya mendengar namanya saja hati sudah membencinya apalagi jika bertemu. Namun, aku memilih bertahan menjadi istri formalitasnya karena sebuah kehormatan dan harga diri. Tidak mudah berada dalam posisiku seperti sekarang. Dan akan sangat memalukan jika seorang Isna bercerai hanya karena suami tidak ada hasrat saat bersama. Tekadku sudah bulat, hanya akan berlangsung beberapa bulan saja.Kadang aku berpikir, seperti apakah sosok yang selalu disebut suamiku dalam tidurnya itu. Apa dia begitu sempurna? Atau, Restu hanya gelap mata saja?Malam-malam selalu aku lewati dengan meratap
“Kita ke rumah ibu dulu,” ucap Restu setelah mobil dekat dengan rumahnya. Aku diam saja.Kulihat beberapa kerabatku yang ikut sedang bercengkrama dengan beberapa kerabat Restu. Hati berusaha untuk meredam amarah agar tidak terlihat. Muak. Harus bersandiwara di hadapan mereka. Rasanya, ingin mempercepat kelender agar tiga bulan bisa terlewati. Setelah itu, aku akan menyusun rencana untuk berpisah dengan Restu. Jika selama tiga bulan ini dia setidaknya, tidak membuatku tambah sakit hati, maka perpisahan akan terjadi dengan tidak diiringi huru hara. Namun, jika dia membuatku sakit hati, maka aku, Arisna Pertiwi binti Ahmad Hasyim akan memberikan pelajaran yang sangat berharga di akhir pernikahan ini.Setelah basa-basi sebentar, keluargaku pamit. Ingin rasanya ikut serta bersama mereka yang naik mobil pick up. Agar bisa menghidu banyak angin di jalan, untuk stok di kamar yang seringnya kurasa sesak. Akan tetapi, ibu mertua bilang ingin berbicara penting setelah ini.Restu masih duduk di r
Part 15“I-ibu, dari mana tahu kalau aku sudah suka anak ibu sejak masih SMA?” Pertanyaan bodoh yang aku lontarkan, jelas menegaskan jika apa yang dikatakan ibu mertua adalah benar. Setelah mengatupkan bibir, aku menyesal bertanya demikian.“Restu cerita, kalau kamu sering melihat dan memandangnya saat dia datang ke rumah. Dan, saat aku tanya sama ibu kamu, Rahayu pun mengiyakan … maafkan kami, Isna. Kami menjodohkan Restu dengan kamu, itu karena kami tahu, kamu bakal menerimanya. Tapi, masalah Restu yang belum bisa melupakan Marwah, kamu tidak keberatan bukan? Ibu yakin, dia tidak akan berani bertemu Marwah. Ibu sangat paham sifatnya ….”Apa yang bisa aku katakan untuk membela perasaanku? Untuk menyalahkan mereka? Jika sejak awal saja, perasaanku sudah sangat salah terhadap Restu. Ah, mulutku terpaksa memanggil mas pada dia, demi menghormati ibu mertua.“Jangan pernah mau kalah dengan keluarga Marwah, Isna. Mari, kamu dan ibu bekerjasama untuk hal ini. ibu sudah mendengar desas desus
Ah, suamiku? Apa Restu sudi aku sebut dengan sebutan itu. Hatiku teriris sakit.“Saya pamit.”“Hati-hati di jalan Mas Restu ….”Setelah melirik Restu memberi uang, mataku mengatup lagi. Dan kurasakan mobil mulai bergerak.“Isna, tolong letakkan ini di belakang.”Aku membuka mata mendengar Restu memerintah.Plastik hitam dengan minyak masih terlihat mengkilat terulur padaku.“Sepertinya berminyak. Tanganku sudah bersih. Kamu saja yang meletakkan di belakang.” Aku menolak agak kasar. Enak saja, ogah sekali bersentuhan dengan bekas tangan dari orang yang ikut membuatku sakit hati.Kini aku paham, mengapa Restu masih mencintai wanita itu. Karena dari kedua belah pihak memang masih berharap dan berusaha menciptakan peluang untuk bisa bersama lagi. Ah, ibu mertua yang malang, pasti sangat muak melihat sikap keluarga Marwah ….***Aku melihat plastik hitam yang dibawa Restu dari mobil kini berpindah ke atas meja makan. Ingin segera membuangnya, tapi akal sehat dan hati nurani melarang. Aku t
POV RESTUAku menatap ransel yang berisi berkas yang harus diserahkan ke kabupaten besok. Di sana, sebagian kertas sudah terkena minyak dari masakan teri yang ada di plastik. Lagi pula, kenapa juga Bu Marini tidak meletakkannya pada toples? Sehingga minyak ataupun teri itu tidak akan tumpah.Ah, Bu Marini hanya wanita tidak berpengalaman. Memberikan makanan kesukaanku saja sudah termasuk hal yang baik. Mulia sekali hati wanita itu. Di saat aku sudah menyakiti anak gadis kesayangannya, masih saja perhatian. Semua ini karena Isna. Ia kenapa gegabah meletakkan masakan teri ke dalam tas? Jika tidak suka, seharusnya cukup bilang saja padaku. Namun, hendak marah? Aku takut dia akan bercerita pada bapak dan ibunya. Terpaksa, kupendam sendiri saja rasa kesalku. Dan terpaksa lagi, harus ngeprint ulang. Sementara sesuai rencana, pagi buta aku akan langsung berangkat ke kabupaten.Kulihat Isna yang santai memainkan ponsel. Ada raut wajah sedih di sana. Itu yang membuatku urung pula untuk memprot