Share

Orang Tua tidak Mengizinkan Aku Menikah Dengan Janda Anak 3

"Eh, Nis. Kenapa lagunya sesuai dengan apa yang ada di hatiku, ya. Bisa aja nih yang memutarnya," aku bernyanyi mengikuti.

"Semoga Mas tidak berubah walau nanti umurku sampai 50 tahun lagi, heee," ungkap Nisa.

"Salat dulu yuk, Nis."

"Ya sudah Mas salat dulu, aku menunggu di sini, aku sedang tidak salat."

"Sebentar ya, Nis."

Aku meninggalkan Nisa sebentar dan anaknya yang masih tidur di sofa. Mencari mushola di dalam Mal. 

Setelah selesai beribadah aku kembali lagi.

"Sudah ya, Mas," sembari Nisa tersenyum.

"Sudah Nis, terus kita mau kemana, lagi," aku membalas senyum dan duduk lagi di dekatnya.

Nisa merapikan lagi rambutku, aku pasrah dan diam saja seperti anak yang mau pergi ke sekolah. Satu sisi merasakan seperti itu dan di sisi lain merasa disayang. Lalu merapikan kemejaku juga. Habis ini sepertinya aku bakal cium tangannya nih, heee. Benar-benar kayak bocil, tapi aku menyenanginya.

"Kita pulang yuk, Mas, soalnya anak-anakku sudah mengirim pesan, maaf ya, Mas," pinta Nisa.

"Oh iya, ya udah kalau gitu, Nis, bentar aku bayar dulu kopinya."

Aku bangun dan berjalan menuju kasir untuk membayar, kembali lagi dan aku lihat anaknya masih tertidur.

"Sini Mas gendong saja, Dede."

Tanganku mengambil Dede dan menggendongnya, kami keluar bersama-sama.

"Aku antar ya, Nis," ucapku.

"Ga usah Mas, nanti di lihat tetangga gak enak, nanti saja ke rumahnya," sahut Nisa.

"Terus kamu naik apa, angkot ya, ya udah Mas antar sampai naik angkot."

Nisa mengangguk dan aku menyiapkan dua lembar uang kertas merah untuknya, sengaja aku telah menyiapkannya sehabis salat tadi. Belajar dewasa dong? Heee. Berucap dalam hati sambil berjalan menelusuri area Mal. 

"Tas kamu kurang rapat tuh Nis, macet kali," sengaja aku mengatakan itu.

"Ah, sudah aku tutup rapat kok, Mas," ujarnya.

"Coba diulang lagi terus tutup lagi dengan benar, secara perlahan." Pintaku.

Dia belum mengetahui dan menuruti permintaanku, secara perlahan dia buka tasnya. Nah! Pada saat tasnya dalam posisi terbuka dengan segera tanganku menaruh uang dua lembar itu.

Sett ...

"Ih Mas, apa ini," tanyanya melihat uang yang aku taruh.

"Untuk anak-anak kamu jajan, cuma sedikit," sambil tersenyum aku menjawabnya.

"Ya ampun, co cweet banget, dewasa sekali Mas Farhan, beneran nih Mas, iklash?" Tanyanya lagi menegaskan.

"Iklash, doakan saja, Mas sehat dan lebih banyak rejekinya, aamiin."

"Makasih ya, Mas. Aamiin."

Nisa tersenyum dan kami telah keluar dari Mal itu, berjalan lagi ke tempat menunggu angkot. Aku masih menggendong anaknya, semoga saja dia belum bangun hingga naik angkot, karena mungkin bisa menangis.

Nisa memegang lengan tanganku mengarahkan tempat menunggu angkot.

"Ciee ... Pegang tangan nih, ye," ledekku.

"Ish! Mas diam, nanti orang dengar, aku cuma pegang lengannya Mas," celotehnya 

"Sama saja, Nisa."

"Dah Mas, sini saja nunggu angkotnya."

Kami berhenti dan berdiri menunggu angkot lewat. 

"Nah itu angkotnya, Mas. Sini Dedenya, pelan-pelan ya, Mas. Supaya tidak bangun."

Angkot datang dan aku secara perlahan memberikan anaknya, setelah sampai di pelukan  Ibunya, aku mengusap pipi Nisa pelan.

"Duh Mas, Dasar! Curi-curi saja nih, hahaa." 

Nisa kaget dan tertawa aku menyentuhnya.

"Aku pulang ya, Mas, makasih Mas, hati-hati pulangnya ya, jangan kemana-mana lagi! Haaaa," Nisa mengingatkan.

"Iya, Ibu, aku langsung ke kios, kok,"

Nisa meraih tanganku dan mencium tanganku 

"Uhuyyy ... So sweet dah nih," meledeknya lagi.

"Dada, Mas Farhan, Assalammualaikum."

"Walaikum salam."

Nisa sudah naik angkot, aku masih berdiri melihatnya dan tersenyum, ia melambaikan tangan dari dalam angkot. Pandanganku masih melihatinya hingga angkot itu sudah tidak nampak.

Aku membalikkan badanku dan melangkah ke dalam mal lagi menuju basement. Bahagia rasanya hari ini karena kita sudah berkomitmen dan sepakat.

****

Sampai sudah di kiosku pada sore hari, bergegas aku menunaikan salat terlebih dahulu.

Setelah itu menyapa karyawanku dan mengobrol menanyakan penjualan hari ini. Semua berjalan lancar dan tidak ada masalah katanya.

Cling ....

Pesan masuk dan aku lihat notif dari Nisa, lekas aku tekan dan membacanya.

"Mas sudah sampai apa belum?"

"Sudah Nis, ini habis salat dan ngobrol sama karyawanku, jangan lupa makan Nis," balasku.

"Iya, Mas juga ya, jangan lupa makan, ya sudah kalau begitu, Mas."

"Iya Sayang, nanti Mas w* lagi," meledeknya memanggil sayang.

"Aku tunggu ya, sayang, heee."

Nisa juga membalas demikian, ahay. Senyumku semakin melebar.

****

Malam hari tiba dan aku telah menutup kios, saatnya menelpon Ibuku untuk menanyakan apakah aku boleh mempunyai calon seorang janda. Agak sedikit gugup tapi aku paksakan saja.

Aku menekan tombol panggilan.

"Assalammualaikum, Bu, apa kabar?" Tanyaku pada Ibu.

"Waalaikum salam, Nak, sehat. Gimana jualannya Nak, lancarkan tadi," tanya Ibuku, kemarin juga aku sudah menelponnya.

"Alhamdulillah, lancar Bu, ini Farhan mau ngomong, Bu. Jadikan Farhan kenal seorang Wanita, baik soleha, tapi dia janda anaknya tiga, Bu. Izinkan Farhan ya, Bu."

Tanyaku pada Ibuku, kudengarkan handphone hening, aku menarik ponsel dan melihatnya, takutnya terputus panggilan telponnya, tapi masih menyala. Aku mengucap lagi.

"Bu, kok diam saja, boleh ya, Bu," tegasku lagi memohon.

"Cari yang gadis saja Nak, Ibu kurang setuju, Nak, banyak pertimbangannya ke depannya nanti, pasti beda jauh ya, umurnya, Nak," sahutnya.

"Iya, Bu. Beda 12 tahun," aku menjawab apa adanya saja.

"Hah! Kamu gak salah, Nak. Ibu gak mau ah, masa usianya tidak beda jauh dari Ibu, udah Nak, cari yang lain dulu, nanti Bapak telpon kamu, sudah ya," Ibu memutuskan panggilan telepon.

Langsung lemas dan tidak bersemangat akunya, melihat ponsel dan aku menaruhnya kembali. Aku memikirkan bagaimana caranya, ya. Karena aku sudah yakin dengan pilihanku.

Sepertinya aku butuh bercerita dengan temanku mengenai ini. Semoga aku bisa mendapatkan pencerahannya nanti.

"Duh! Kenapa sih, Ibu tidak mengizinkannya."

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status