Share

Tidak Dapat Warisan Jika Memaksakan Nikah Dengan Janda

"Nak, Bapak mau ngomong, bisa telepon Bapak, sekarang!"

Masuk pesan dari Bapakku dan aku membaca pesan itu.

"Sepertinya Bapak marah nih, duh gimana ya?"

Gumamku sambil berpikir kira-kira apa yang akan Bapak katakan, ya. Aku telepon saja deh.

Tut ... Tut ...

"Assalammualaikum, Pak," Bapak menjawab panggilan teleponku.

"Waalaikum salam Nak, kata Ibu calon kamu Janda, kenapa cari janda Nak! Yang masih Gadis banyak, pokoknya Bapak tidak setuju!" Ucap Bapak dengan nada marah.

"Yah Bapak, dia baik Pak dan juga masih terlihat muda," rayuku.

"Kamu ini Nak! Secantik apapun tetap saja namanya umur tidak akan bisa dibohongi, kalau dia bisa melahirkan lagi, kalau gak? Gimana! Memangnya kamu tidak mau punya keturunan dari Istrimu, andai juga dia bisa melahirkan, apa nanti umurnya yang sudah tua bisa mengurus anak-anaknya, sudah pasti akan kerepotan, sebaliknya jadi kamu yang kesulitan mengatur waktu." 

Bapak menjelaskan dengan panjang dan aku hanya mendengarkannya saja dengan tidak fokus.

"Ya gak masalah Pak, saya bisa bantu mengurusnya juga, boleh ya Pak, izinin Farhan menikahinya," aku memohon pada Bapakku.

"Pokoknya, gak! Kalau kamu tetap nekat menikah dengan janda itu, Bapak tidak akan memberikan warisan! Ingat itu! Nak."

Tut ... Tut ... Tut.

Panggilan telepon ditutup Bapak.

Aku terdiam memandangi ponselku, menatap etalase di kiosku. Tanganku mengusap-ngusap rambut karena semua ini, membuatku bingung dan aku masih saja berdiri.

Cling ....

Melihat notifikasi pesan masuk, tertulis sebuah nama Nisa. Aku abaikan dahulu, perkataan Bapak menusuk sekali di hati. Sempat terpikir ada benarnya juga ya,  apa yang Bapak katakan, andai Nisa tidak bisa memiliki anak lagi, bagaimana? Aku juga ingin punya buah hati hasil perkawainan. Ah! Tapi aku sudah yakin dan benar-benar cinta kepada Nisa.

"Mas Farhan lagi apa, jangan lupa sarapan."

Aku membaca pesan dari Nisa. 

"Lagi beberes nih, Nis, belum sarapan Mas, kamu dah sarapan belum, anak-anak juga udah makan belum," aku membalas pesan Nisa.

"Sudah pada sarapan semua Mas, uang dari Mas, aku pakai untuk masak," balasnya.

"Oh iya, Nis, ya sudah Mas beresin dulu, ya. Doain Mas, ya," balasanku sambil tersenyum sendiri karena senang uang itu bernanfaat untuknya.

"Iya Mas, Nisa doain sehat selalu dan ramai usahanya, ya sudah kalau gitu Mas, nanti sambung lagi, jangan lupa makan dulu Mas, assalammualaikum," Nisa memberi perhatian pada pesannya.

"Waalaikum salam, makasih, Nis.

"Huft."

Menghembuskan nafas karena aku menyembunyikan kegundahan hati ini, tapi sedikit terobati membaca pesan dari Nisa yang memperhatikanku. Ia sudah benar-benar menganggapku menjadi bagiannya. Akupun senang rasanya bisa sedikit membuatnya bahagia.

Setelah beres ini dan karyawanku datang, aku berencana mau mendatangi sahabatku. Mungkin saja sahabatku bisa memberikan solusi terbaik atas masalahku ini.

****

Setelah selesai aku menitipkan kios sebentar, kebetulan rumah sahabatku dekat dari sini, aku tidak sampai siang hari, soalnya pada siang hari biasanya warung ramai orang membeli makan.

"Mas, aku pergi sebentar ya, sebelum makan siang aku kembali, mau ke rumah sahabatku di ujung jalan itu, kalau ramai kamu telepon saja," ucapku pada karyawanku.

"Iya, Pak."

Karyawanku ini memanggil Pak, padahal sudah aku bilang sebut saja Mas, usia juga sama. Tapj dia bilang tidak enak kalau menyebut Mas. Ya sudah aku menuruti saja.

Aku keluar dari kios mengendarai motorku, melontarkan senyuman kepada tetangga-tetangga kios. Terus melaju perlahan hingga sampailah pada ujung jalan, berhenti pada pagar hijau dan aku turun dari motor.

"Tek ... Tek ... Tek."

Aku mengetuk pagar rumah sahabatku.

"Permisi ... Assalammualaikum."

"Waalaikum salam, eh Farhan, sebentar," kebetulan sahabatku sendiri yang keluar dan menyambut berjalan melangkah membukakan pagar.

Dia adalah Gio, temanku waktu sekolah dulu, keluargaku pernah tinggal tidak jauh dari daerah ini, namun sekarang sudah kembali ke kampung. Hanya aku yang masih di sini mengadu nasib berjualan. Kalau di kampung paling hanya bertani dan pekerjaan juga susah di sana.  Makanya aku menyewa kios dan alhamdulillah berjalan lancar. Usahaku kini sudah beranjak 4 tahun dan kini mempunyai satu karyawan.

"Masuk Bro," Sahut Gio.

Langkahku masuk mengikutinya, 

"Lo lagi ngapain, ganggu gak? " Tanyaku pada Gio.

"Gue lagi santai aja nih, tenang saja, gak ganggu kok, gimana usaha lo lancar, sory ya gue jarang mampir," ungkap Gio.

"Alhamdulillah Bro, ini gue kesini mau curhat, hahaa," cetusku 

"Wadaw! Curhat apa tuh, wanita, ya, haaa," ledek Gio.

"Iya, tahu aja lo."

"Duduk dulu, gue buatin kopi dulu."

Gio lanjut melangkah ke belakang hendak membuat kopi, aku duduk sambil memandangi rumahnya. 

Aku mengeluarkan handphone dari kantong celanaku dan meletakkannya di atas meja. Pasti Nisa menunggu pesan dariku.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status