Share

PGK 4

“Andre!” Aku melambaikan tangan dan segera menghampiri pria yang baru saja mendekati gedung fakultas.

Andre tersenyum manis dan memelankan langkah. “Hai, Risa.”

Lima langkah, aku mendekatinya. “Aku udah ngerjain yang kemarin, loh.”

“Oke nanti aku cek.”

“Udah dapat ide film yang mau kita garap?”

“Ada beberapa, nanti kita meeting lagi.” Raut ramah itu tak kehilangan senyuman.

“Oke.” Aku tersenyum bersemu.

Setiap kali melihat Andre dan sikap hangatnya, bunga-bunga seperti mengelilingiku.

“Kita kumpul di dalam aja bahasnya. Duluan, ya.”

“Hu'um.”

“Cek, cek, cek. Apa, sih, yang lo lihat dari Andre?” seloroh Natasya tepat di sampingku.

“Dia itu baik, ramah, lucu, terus pinter. Gemesin banget.” Mataku tak bisa beranjak dari punggung Andre. Dia sudah melewati tangga fakultas dan hilang di balik pintu kaca.

Natasya membuang napas kasar.

“Gue rasa mata lu bermasalah. Gara-gara tiap hari liat dua cowok ganteng.”

“Kak Mandala sama Kak Daffa maksud lo?”

“Siapa lagi,” selorohnya sambil jalan duluan.

“Ganteng dari Hongkong.”

Aku dan beberapa teman memilih satu kelas kosong untuk membicarakan rencana proyek film pendek. Di sini, Andre ketuanya. Sebenernya aku gak aktif-aktif banget di kampus. Kalau ada tugas kelompok pun biasanya numpang nama doang. Hanya saja, sekarang agak berbeda karena ketua kelompoknya Andre. Jadi, sekalian SKSD lah.

Masing-masing memberikan hasil kerjanya pada Andre. Lalu kami mendiskusikan hasil kerja masing-masing. Ada yang mau diubah lagi atau tidak.

Waktu satu jam ternyata tidak cukup, kami harus melanjutkan meeting di kemudian hari.

“Gimana kalau next meeting kita ngerjainnya di rumah Klarisa aja. Boleh, kan, Ris?” tanya Mita.

Semua orang melihat ke arahku. Dalam team ini ada empat orang. Andre, Natasya, Mita, dan aku.

“Rumah lo kan luas. Enak tuh di belakang rumah.” Natasya mengutarakan ide.

Aku mempertimbangkan. Cewek-cewek ini mau kumpul di rumah karena pengin ketemu Kak Mandala.

“Boleh, tidak?” Andre bertanya dengan lembut dan sopan. Kalau Andre yang nanya, aku mana bisa nolak.

“Boleh, deh. Hari apa?”

“Minggu.” Natasya dan Mita kompak.

“Minggu terlalu lama.”

“Enggak. Minggu aja Minggu. Gue gak ada waktu selain Minggu.” Natasya bicara rusuh.

“Iya, gue juga gak ada waktu,” sambung Mita.

“Minggu terlalu lama. Waktu kita mepet. Rabu saja. Rabu juga tanggal merah,” jelas Andre.

“Rabu tanggal merah?” Natasya dan Mita saling lirik.  “Boleh!” seru mereka kompak.

Aku menurunkan posisi duduk. Menyandarkan kepala pada sandaran kursi. Modus banget sih mereka. Pasti pengin deketin Kak Mandala sama Kak Daffa. Semoga saja Kak Daffa gak datang ke rumah. Kalau Kak Daffa sampai datang, pasti rusuh.

***

Jadwal mata kuliah pertama jam sembilan. Keluar sekitar jam sebelas. Abis itu ada jadwal lagi pukul satu siang. Jeda sekitar dua jam biasanya kami gunakan untuk isoma atau mengerjakan tugas bareng-bareng.

Melihat bekal Natasya yang diberikan pada Kak Mandala, aku jadi tak enak hati. Dia pasti lapar, tapi tidak bisa jajan sembarangan.

“Sya, lo mau gue traktir gak hari ini?” Aku berbisik pada Natasya di akhir ceramah dosen.

“Lo kan tahu, makanan di sini gak ada yang bisa diterima perut gue.” Natasnya memasukkan binder ke dalam tas.

“Gue traktir di mall, lo boleh pilih apa aja.”

“Serius?”

Yaps.”

“Oke kalau gitu.” Gadis berambut panjang ini tersenyum suka.

Tak mengulur banyak waktu. Aku dan Natasya langsung meninggalkan kampus. Dengan menaiki motor Natasya, kami sampai di sebuah mall dekat  kampus.

Ini mall yang terkenal dengan harganya yang di atas rata-rata. Tempat toko barang-barang branded. Bawa uang seratus ribu tidak ada artinya di sini.

Pada pintu masuk, sekuriti menyambut. Memeriksa barang bawaan. Kami menyimpan tas pada mesin detektor lalu sekuriti itu mempersilakan masuk setelah tugasnya selesai.

Aku dan Natasya menuruni eskalator. Menuju tempat-tempat restoran yang ada di lantai bawah. Jika di luar, panas sangat menyengat. Di sini cukup adem.

Natasya memilih satu restoran yang bisa diterima perutnya. Kami duduk di kursi bar tinggi. Sambil menunggu pesanan jadi, aku memainkan ponsel.

Cek WA. Buka status.

Tiba-tiba, seseorang mencengkeram rambutku dari belakang. Aku limbung dan hampir terjatuh.

“Eh, sialan lo!” Aku berusaha melihat siapa yang melakukan ini. Mataku terbelalak saat sudut mata menemukannya.

“Tante! Ini jalangnya Daffa!”

Aku mencakar tangan Tamara agar cengkeramannya terlepas. Dia memekik kesakitan.

Tante Sovia berjalan cepat ke sini. Parahnya aku tak punya waktu lagi untuk kabur.

“Kamu pacarnya Daffa?” Perempuan berambut pendek ini menatapku dengan raut judes.

“Kamu hamil?” Tatapannya turun ke area perut.

Aku ikut menunduk. Besarnya hoodie tidak memperlihatkan bentuk asli perutku. Tante Sovia bisa menyimpulkan “tidak”, atau malah “ya”.

“Astaga ....” Wanita berkalung berlian itu menutup mulut. Mundur dua langkah ke belakang. “Be-berapa bulan?”

Aku ternganga. Mampus gue. Musti jawab apa?

Otak nge-blank. Gak bisa mikir sama sekali. Yang bisa kulakukan cuma ngambil tas. Abis itu jalan sambil menunduk.

“Heh, Jalang! Tante kok diam aja!” Suara Tamara di belakang. Sepertinya Tante Sovia masih dalam keterkejutannya jadi mereka tak mengejar.

Aku berlari di eskalator naik. Langsung ke luar mall.

Hari ini kacau, sampai jam mata kuliah terakhir selesai, aku penuh kekhawatiran.

***

Jam 16:30, aku sampai rumah. Bangunan bercat putih ini tidak berpenghuni. Jam segini biasanya Mama sedang mengantarkan pesanan kue.

Lempar tas. Buka hoodie. Lalu ke belakang ambil sapu. Baru sepuluh menit berlalu, bel berbunyi.

Dengan masih membawa sapu, aku membuka pintu. Kupikir itu Kak Mandala, ternyata Kak Daffa. Dia memakai kemeja biru langit dan celana hitam.

Tanpa dipersilakan masuk, dia langsung buka sepatu dan kaus kaki.

“Tante mana?” tanya tamu tak tahu diri ini.

“Pergi!” jawabku ketus. Gara-gara dia, hariku berantakan.

Ucapan Tante Sovia bisa didengar Natasya, jelas dia ikut mempertanyakan perihal kehamilanku, parahnya aku bingung harus menjelaskan dari mana.

“Emm.” Kak Daffa langsung ke belakang. Buka kulkas, ambil air. Tidak terlihat batang hidung Kak Mandala di belakangnya.

“Mana Kak Mandala?”

“Lembur,” jawabnya santai sambil menegak minum.

“Heh, Kak! Tadi gue ketemu nyokap lo di mall sama Tamara. Masa dia pikir gue hamil beneran.”

Kalimatku membuatnya terkejut. Kak Daffa menghamburkan minumannya lalu terbatuk-batuk.

“Apa lo bilang? Kok, bisa?”

Dengan kesal, kuceritakan kejadian di mall tadi secara rinci. “Mami lo syok. Dia pikir gue hamil beneran, Kak!” Aku mengernyit khawatir. “Kalau ortu lo sampe kenal gue gimana?”

Kak Daffa diam. Mimiknya jadi serius. “Palingan kita dikawinin.”

Aku menutup wajah dengan telapak tangan. “Enggak mau!” Pengin nangis rasanya.

Kak Daffa melingkarkan tangannya di leher belakangku. Bicara dekat telinga. “Kenapa? Enak, loh, jadi istri gue.”

“Kagak pokoknya.”

“Lo jadi cewek paling beruntung. Istri pewaris tunggal Kuncoro.” Kak Daffa merangkul kepalaku semakin erat.

“Ogah!”

“Lo jadi orang kaya.”

“Gak mau!”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nim Ranah
mau dong sa, Daffa kayak nya suka Ama lo
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status