“Andre!” Aku melambaikan tangan dan segera menghampiri pria yang baru saja mendekati gedung fakultas.
Andre tersenyum manis dan memelankan langkah. “Hai, Risa.”
Lima langkah, aku mendekatinya. “Aku udah ngerjain yang kemarin, loh.”
“Oke nanti aku cek.”
“Udah dapat ide film yang mau kita garap?”
“Ada beberapa, nanti kita meeting lagi.” Raut ramah itu tak kehilangan senyuman.
“Oke.” Aku tersenyum bersemu.
Setiap kali melihat Andre dan sikap hangatnya, bunga-bunga seperti mengelilingiku.
“Kita kumpul di dalam aja bahasnya. Duluan, ya.”
“Hu'um.”
“Cek, cek, cek. Apa, sih, yang lo lihat dari Andre?” seloroh Natasya tepat di sampingku.
“Dia itu baik, ramah, lucu, terus pinter. Gemesin banget.” Mataku tak bisa beranjak dari punggung Andre. Dia sudah melewati tangga fakultas dan hilang di balik pintu kaca.
Natasya membuang napas kasar.
“Gue rasa mata lu bermasalah. Gara-gara tiap hari liat dua cowok ganteng.”
“Kak Mandala sama Kak Daffa maksud lo?”
“Siapa lagi,” selorohnya sambil jalan duluan.
“Ganteng dari Hongkong.”
Aku dan beberapa teman memilih satu kelas kosong untuk membicarakan rencana proyek film pendek. Di sini, Andre ketuanya. Sebenernya aku gak aktif-aktif banget di kampus. Kalau ada tugas kelompok pun biasanya numpang nama doang. Hanya saja, sekarang agak berbeda karena ketua kelompoknya Andre. Jadi, sekalian SKSD lah.
Masing-masing memberikan hasil kerjanya pada Andre. Lalu kami mendiskusikan hasil kerja masing-masing. Ada yang mau diubah lagi atau tidak.
Waktu satu jam ternyata tidak cukup, kami harus melanjutkan meeting di kemudian hari.
“Gimana kalau next meeting kita ngerjainnya di rumah Klarisa aja. Boleh, kan, Ris?” tanya Mita.
Semua orang melihat ke arahku. Dalam team ini ada empat orang. Andre, Natasya, Mita, dan aku.
“Rumah lo kan luas. Enak tuh di belakang rumah.” Natasya mengutarakan ide.
Aku mempertimbangkan. Cewek-cewek ini mau kumpul di rumah karena pengin ketemu Kak Mandala.
“Boleh, tidak?” Andre bertanya dengan lembut dan sopan. Kalau Andre yang nanya, aku mana bisa nolak.
“Boleh, deh. Hari apa?”
“Minggu.” Natasya dan Mita kompak.
“Minggu terlalu lama.”
“Enggak. Minggu aja Minggu. Gue gak ada waktu selain Minggu.” Natasya bicara rusuh.
“Iya, gue juga gak ada waktu,” sambung Mita.
“Minggu terlalu lama. Waktu kita mepet. Rabu saja. Rabu juga tanggal merah,” jelas Andre.
“Rabu tanggal merah?” Natasya dan Mita saling lirik. “Boleh!” seru mereka kompak.
Aku menurunkan posisi duduk. Menyandarkan kepala pada sandaran kursi. Modus banget sih mereka. Pasti pengin deketin Kak Mandala sama Kak Daffa. Semoga saja Kak Daffa gak datang ke rumah. Kalau Kak Daffa sampai datang, pasti rusuh.
***
Jadwal mata kuliah pertama jam sembilan. Keluar sekitar jam sebelas. Abis itu ada jadwal lagi pukul satu siang. Jeda sekitar dua jam biasanya kami gunakan untuk isoma atau mengerjakan tugas bareng-bareng.
Melihat bekal Natasya yang diberikan pada Kak Mandala, aku jadi tak enak hati. Dia pasti lapar, tapi tidak bisa jajan sembarangan.
“Sya, lo mau gue traktir gak hari ini?” Aku berbisik pada Natasya di akhir ceramah dosen.
“Lo kan tahu, makanan di sini gak ada yang bisa diterima perut gue.” Natasnya memasukkan binder ke dalam tas.
“Gue traktir di mall, lo boleh pilih apa aja.”
“Serius?”
“Yaps.”
“Oke kalau gitu.” Gadis berambut panjang ini tersenyum suka.
Tak mengulur banyak waktu. Aku dan Natasya langsung meninggalkan kampus. Dengan menaiki motor Natasya, kami sampai di sebuah mall dekat kampus.
Ini mall yang terkenal dengan harganya yang di atas rata-rata. Tempat toko barang-barang branded. Bawa uang seratus ribu tidak ada artinya di sini.
Pada pintu masuk, sekuriti menyambut. Memeriksa barang bawaan. Kami menyimpan tas pada mesin detektor lalu sekuriti itu mempersilakan masuk setelah tugasnya selesai.
Aku dan Natasya menuruni eskalator. Menuju tempat-tempat restoran yang ada di lantai bawah. Jika di luar, panas sangat menyengat. Di sini cukup adem.
Natasya memilih satu restoran yang bisa diterima perutnya. Kami duduk di kursi bar tinggi. Sambil menunggu pesanan jadi, aku memainkan ponsel.
Cek WA. Buka status.
Tiba-tiba, seseorang mencengkeram rambutku dari belakang. Aku limbung dan hampir terjatuh.
“Eh, sialan lo!” Aku berusaha melihat siapa yang melakukan ini. Mataku terbelalak saat sudut mata menemukannya.
“Tante! Ini jalangnya Daffa!”
Aku mencakar tangan Tamara agar cengkeramannya terlepas. Dia memekik kesakitan.
Tante Sovia berjalan cepat ke sini. Parahnya aku tak punya waktu lagi untuk kabur.
“Kamu pacarnya Daffa?” Perempuan berambut pendek ini menatapku dengan raut judes.
“Kamu hamil?” Tatapannya turun ke area perut.
Aku ikut menunduk. Besarnya hoodie tidak memperlihatkan bentuk asli perutku. Tante Sovia bisa menyimpulkan “tidak”, atau malah “ya”.
“Astaga ....” Wanita berkalung berlian itu menutup mulut. Mundur dua langkah ke belakang. “Be-berapa bulan?”
Aku ternganga. Mampus gue. Musti jawab apa?
Otak nge-blank. Gak bisa mikir sama sekali. Yang bisa kulakukan cuma ngambil tas. Abis itu jalan sambil menunduk.
“Heh, Jalang! Tante kok diam aja!” Suara Tamara di belakang. Sepertinya Tante Sovia masih dalam keterkejutannya jadi mereka tak mengejar.
Aku berlari di eskalator naik. Langsung ke luar mall.
Hari ini kacau, sampai jam mata kuliah terakhir selesai, aku penuh kekhawatiran.
***
Jam 16:30, aku sampai rumah. Bangunan bercat putih ini tidak berpenghuni. Jam segini biasanya Mama sedang mengantarkan pesanan kue.
Lempar tas. Buka hoodie. Lalu ke belakang ambil sapu. Baru sepuluh menit berlalu, bel berbunyi.
Dengan masih membawa sapu, aku membuka pintu. Kupikir itu Kak Mandala, ternyata Kak Daffa. Dia memakai kemeja biru langit dan celana hitam.
Tanpa dipersilakan masuk, dia langsung buka sepatu dan kaus kaki.
“Tante mana?” tanya tamu tak tahu diri ini.
“Pergi!” jawabku ketus. Gara-gara dia, hariku berantakan.
Ucapan Tante Sovia bisa didengar Natasya, jelas dia ikut mempertanyakan perihal kehamilanku, parahnya aku bingung harus menjelaskan dari mana.
“Emm.” Kak Daffa langsung ke belakang. Buka kulkas, ambil air. Tidak terlihat batang hidung Kak Mandala di belakangnya.
“Mana Kak Mandala?”
“Lembur,” jawabnya santai sambil menegak minum.
“Heh, Kak! Tadi gue ketemu nyokap lo di mall sama Tamara. Masa dia pikir gue hamil beneran.”
Kalimatku membuatnya terkejut. Kak Daffa menghamburkan minumannya lalu terbatuk-batuk.
“Apa lo bilang? Kok, bisa?”
Dengan kesal, kuceritakan kejadian di mall tadi secara rinci. “Mami lo syok. Dia pikir gue hamil beneran, Kak!” Aku mengernyit khawatir. “Kalau ortu lo sampe kenal gue gimana?”
Kak Daffa diam. Mimiknya jadi serius. “Palingan kita dikawinin.”
Aku menutup wajah dengan telapak tangan. “Enggak mau!” Pengin nangis rasanya.
Kak Daffa melingkarkan tangannya di leher belakangku. Bicara dekat telinga. “Kenapa? Enak, loh, jadi istri gue.”
“Kagak pokoknya.”
“Lo jadi cewek paling beruntung. Istri pewaris tunggal Kuncoro.” Kak Daffa merangkul kepalaku semakin erat.
“Ogah!”
“Lo jadi orang kaya.”
“Gak mau!”
“Gak mau.” Aku menggetok Kak Daffa dengan gagang sapu. “Eh!” Pria tinggi itu mengusap ubun-ubunnya. “Dikasih yang enak gak mau.” Kak Daffa balik kanan. Dia mendekati meja dapur lalu buat kopi sendiri. Emang dasar, tamu kurang asem. “Ngapain ke sini. Kak Mandala aja belum pulang.” “Mau nginep gue.” “Ih, kenapa? Udah gak punya rumah?” “Diusir gara-gara hamilin anak orang.” Aku ternganga. Lalu mendekati Kak Daffa dan melihat raut wajahnya. “Serius?” “Hm.” “Terus?” “Gak ada terus.” Pria itu sudah menuangkan air panas pada gelas kopi. Kepulan asapnya membuat ruangan ini harum. Seperti di rumah sendiri, Kak Daffa bawa kopi dan gitar ke belakang rumah. Apa cowok emang gitu? Diusir cuek aja. Ah, tapi peduli amat apa yang terjadi dengan hidup Kak Daffa. Toh, dia emang sengaja bikin ulah. Lebih baik lanjut nyapu biar cepet rebahan. Baru beres nyapu empat kamar, terdengar Mama masuk rumah sambil berucap salam. “Risa sudah pulang?” “Udah, Ma.” “Kakak kamu sudah pulang juga?” Mam
BAB 6Gara-gara gak bisa nebeng. Aku harus berangkat naik angkot lalu pindah ke busway. Dua kali naik turun busway, barulah sampai halte dekat kampus.Dari sini, jarak masih 200 meter. Itu baru sampai gerbang depannya saja, belum masuk fakultas.Jam delapan lebih sepuluh menit, aku terengah-engah di depan ruang berpintu kaca buram. Mengatur napas sebelum masuk kelas.Gara-gara Kak Daffa kurang asem, aku harus lari-larian begini.Aku hati-hati membuka pintu. “Permisi, Prof.”Lelaki beruban yang sebagian rambutnya sudah tak tumbuh itu menurunkan kaca mata. Dia sedang duduk di depan kelas. Melihat laptopnya dengan jarak begitu dekat. Sepertinya perkuliahan baru saja dimulai.“Ka ... Karisa?”“Klarisa, Prof.”Prof Hendo melirik jam. “Anak sekarang, diberi toleransi sepuluh menit harus dimanfaatkan. Kau pikir itu diskon?” Pria itu kembali pada laptopnya.Aku menghela napas lalu masuk dan duduk di kursi paling belakang.Baru menghela napas panjang tiga kali, seseorang menyodorkan minum.Aku
BAB 7Rabu pagi. Aku sudah melihat pemandangan tak mengenakkan. Rencana meeting hari ini harusnya jam sepuluh, tapi Natasya dan Mita sudah datang dari jam delapan.Lihatlah! Mita sibuk curi perhatian sama Mama. Dia bantuin buat kue segala. Kalau Natasya sibuk deketin Kak Mandala. Mereka lagi nyanyi-nyanyi berdua di belakang.Kesel kalau lihat Kak Mandala didekati cewek-cewek. Ini bukan hanya berlaku sekarang, tapi dari dulu. Semua teman yang dekat denganku bukan semata-mata ingin berteman, tapi ingin kenal sama kakakku.Heran. Kenapa Kak Mandala laku banget, tapi aku enggak. Padahal kan pengin dikejar-kejar cowok juga.Pesona Kak Mandala bukan hanya terlihat di mata teman-teman saja, tapi di mata keluarga juga. Setiap ada perkumpulan keluarga yang jadi perhatian ya Kak Mandala. Dia ditanya ini itu, kalau aku dicuekin. Enggak tahu kenapa. Perasaan aku gak jelek-jelek amat.Jam sepuluh, suasana mulai baik. Andre datang. Kami pun bisa serius mendiskusikan projek, tapi itu hanya berlaku s
BAB 8Saat tersadar, aku sedang berbaring di sofa hitam. Kuedarkan pandangan ke seluruh ruang sambil mencoba duduk.Aku berada di ruang luas berdinding granit putih. Di belakang tempatku duduk ada jendela lebar tertutup tirai tipis. Sedikit sekali furnitur di ruang ini. Hanya ada lemari panjang menghiasi sisi kanan, tingginya tak lebih dari satu meter, bunga dan beberapa guci kecil menghiasi bagian atasnya. Empat sofa membentuk huruf U. Lampu kristal menggantung di tengahnya. Harum pewangi ruangan menyegarkan.Dua laki-laki bertubuh besar berdiri membelakangi. Mereka bersiaga di dekat pintu. Pakaiannya hitam-hitam, serupa bodyguard di film-film.Ah, baru ingat. Tadi sepertinya aku diculik. Tapi siapa yang melakukan ini? “Hai, kalian! Tidak salah membawaku ke tempat ini.” Aku coba mengorek informasi.Sekilas tadi berpikir, jika aku diculik mafia perdagangan manusia. Biasanya disekap di gudang-gudang, tapi ini bukan gudang, ini ruangan mewah.“Diam!” Suara bariton itu dingin. Dia hanya
BAB 9Malam yang gerah. Kipas angin berputar ke kanan dan kiri. Mama sedang membaca di ruang tamu. Kak Mandala terdengar memainkan piano di kamarnya. Tak perlu heran jika setiap waktu kakakku itu bermain musik. Selain hobi, dia juga bekerja sebagai sound effect di perusahaan media. Sering kali dia mengarang lagu untuk iklan, berita, atau yang lainnya.Aku mendekati Mama. Jarang-jarang beliau santai begini, biasanya kalau sedang ada pesanan kue, sampai malam menghabiskan waktu di dapur.“Ma, tadi aku ketemu sama papinya Kak Daffa.”“Kok, bisa ketemu. Ketemu di mana?”“Di rumahnya, tadi pulang sama Kak Daffa, mampir dulu ke rumahnya.” Aku mengarang cerita. Gak mungkin jujur diculik karena pura-pura hamil.“Dia bilang apa?” Mama masih fokus sama bukunya.”“Dia bahas papa, katanya papa orang yang jujur dan bijak.”Mama melepas kacamata lalu melihat bola lampu. Wanita yang tubuhnya seukuran denganku ini seperti sedang menerawang jauh.“Harimau mati meninggalkan belang. Gajah mati meninggal
BAB 10Mobil yang sudah dimodifikasi ini terlihat lebih mewah isinya. Aksesoris lengkap dengan kursi yang pastinya nyaman. Selain Om Handri, ada dua pria berseragam hitam di dalam sini.“Om pangling lihat kamu. Kirain tadi bukan Klarisa.”Aku melihat kerudung sendiri. Baru sadar kalau penampilan berbeda.Aku mengangguk dan tersenyum. Benak sibuk berpikir, mau apa Om Handri berkunjung ke rumah? Jangan-jangan naksir Mama.“Rajin sekali kamu, hari minggu masih sempat-sempatnya galang dana.”“Bukan kerajinan Om, emang gak ada kerjaan.”“Bukannya istirahat, cape kan setiap hari kuliah.”“Ah, kuliah cape apa, Om. Yang ada sok sibuk aja. Hehe ….”Om Handri ikut tertawa ringan. Sepanjang obrolan dia lebih banyak tersenyum.Pria dengan gestur berwibawa ini melirik kembali. “Daffa sering main ke rumahmu?”“Cukup sering.”“Beberapa hari lalu menginap di rumahmu bukan?”“Om, tahu?”“Tentu … menurutmu seperti apa Daffa?”“Kak Daffa baik, meski terlihat nakal dan sering bikin ulah.”Om Handri menga
BAB 11Kak Daffa diam. Pria berkemeja hitam yang dua kancingnya terbuka ini hanya melihat jalanan depan sekolah dengan tatapan kosong. Dia bersandar pada kursi. Sebelah tangannya di belakang kepala.Dari semerawut tampilannya, tidak akan ada orang yang menyangka dia anak pemilik perusahaan multimedia, bahkan pada salah satu chanel televisi tersemat namanya, “DaffaTv”. Dia lebih terlihat seperti karyawan biasa yang kerjaannya kabur-kaburan di jam kerja. Apa lagi dibilang santri, sungguh tak ada muka santri sama sekali.Ponsel terasa bergetar di dalam tas. Sambil menunggu Kak Daffa kembali bicara, aku merogoh dan membuka pesan masuk.Andre:[Mr. Richard sudah masuk kelas, kamu tidak kelihatan. Di mana?]Aku mengetik balasan cepat, tapi urung mengirim karena Kak Daffa kembali bicara.“Hidup gue ada di telunjuk papi.” Kak Daffa mengacungkan telunjuk. “Di sini.” Dia menatap ujung telunjuknya. “Gue harus ikut semua yang dia tentukan. Gue bukan anak. Gue kacungnya dia.“Gue mengawali hari be
Aku menghela napas. Apa yang Kak Daffa katakan memang benar. Selama ini Kak Mandala sibuk menafkahi keluarga.Aku jadi teringat bagaimana manusia dingin itu menghabiskan masa remajanya. Papa pergi saat dia kelas dua SMA. Habisnya uang pesangon dan harta berharga lainnya, membuat kami jatuh miskin. Mama memang pernah membuka usaha kue, katering, warung kelontong, jual pakaian, tapi semua bangkrut. Pada akhirnya Mama hanya jadi tukang cuci gosok.Cukup? Tentu tidak. Rumah kami yang besar itu, untuk air dan listrik saja mungkin habis sejutaan.Pernah ada wacana untuk menjual rumah dan kami semua pindah ke kampung Mama, tapi beliau terlalu berat dan kami juga tidak mau meninggalkan Jakarta. Akhirnya, hidup seadanya.Selama hidup sulit itu Kak Mandala tidak pernah meminta uang pada Mama. SMA sampai kuliah dia pakai uang sendiri. Dari mana uangnya? Ini yang unik.Di Jakarta ini, banyak siswa yang orang tuanya kaya banget. Kak Mandala yang punya wajah cukup oke mendekati mereka. Memacari lal