Halo sahabat-sahabat Ambar ... yuk kita pahami bahwa segala bentuk perundungan atau bullying tidak dibenarkan. Yuk kita saling menyayangi sesama. Seperti cintaku padamu ehm 😁
Ambar menatap punggung Heru yang berjalan kembali ke kubikelnya dengan mulut hampir melongo. Ambar membatin ‘Kok bisa Heru sepercaya diri itu. Dia pikir dirinya sangat tampan sehingga bisa merayu perempuan manapun. Benar-benar tak waras.’Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, Ambar kembali menekuri berkas-berkas di mejanya. Ambar merasa harus selekasnya menyelesaikan laporan agar dia bisa memenuhi janjinya untuk membantu pekerjaan Susan.Tanpa terasa Ambar sudah berkutat dengan berkas-berkas selama beberapa jam dan sekarang sudah masuk waktu istirahat makan siang. Awalnya Ambar berencana pergi ke kantin. Namun saat dia beranjak dari kursinya bersamaan dengan kedatangan Pak Bambang dari dinas luar. Lelaki berusia pertengahan empat puluh tahun itu menyerahkan beberapa data yang secepatnya harus dibuatkan laporan oleh Ambar. Hal ini membuat Ambar membatalkan rencananya pergi ke kantin untuk membeli makanan kecil dan minuman. Ambar memang sudah membawa bekal makan siang, tetapi dia
‘Menelepon Ambar? Memangnya Ambar di mana?’ batin Alvaro.Alvaro menatap jam yang melingkar di tangannya. Pukul delapan malam lebih sepuluh menit. Dia menatap baby sitter Afreen dan bertanya, “Ambar belum pulang?” “Belum Tuan. Dan dari tadi Bu Ambar tidak bisa ditelepon makanya Tuan muda Afreen jadi gelisah dan rewel,” jawab sang baby sitter sambil menunduk. “Ambar ke mana saja, sih!” desis Alvaro dengan kesal.“Apakah dia lembur? Tapi ngerjakan apa? Pekerjaan dia kan harusnya cuma membantuku sepeninggal Siska. Jadi harusnya dia tidak lembur, atau jangan-jangan ….” Belum selesai Alvaro bergumam, Afreen kembali menubruknya. Tangan kecil bocah lelaki berusia empat tahun itu memeluk erat kaki Alvaro. “Kenapa Mama Ambar nggak pulang-pulang, Pa? Mama Ambar pergi ke mana? Kenapa nggak ngajak Afreen? Mama Ambar nggak sayang Afreen lagi, ya, Pa?”“Bukan seperti itu. Mama Ambar sayang, kok, sama Afreen. Mungkin sebentar lagi Mama Ambar pulang. Sabar, ya, sekarang Afreen nurut dulu sama suste
Wajah Ambar merah padam. Dia benar-benar tidak terima Alvaro berulang kali membentaknya. Namun, ketika dia ingin membantah tuduhan Alvaro, dari dalam muncullah Afreen yang sudah mengenakan piyama. Bocah lelaki itu berlari memeluk Ambar dan menatap Alvaro nyalang. Dia lalu berkata marah, “Kenapa Papa memarahi Mama?”Alvaro terkejut melihat anaknya tiba-tiba muncul. “Saayang … Papa nggak marahin Mama kok.”“Tapi kenapa suara Papa keras ke Mama seperti … seperti orang bentak-bentak,” ucap Afreen.Alvaro terdiam dia tidak bisa mencari alasan lagi. Suaranya memang tinggi karena dia sedang membentak Ambar.Melihat Alvaro kebingungan merespon kata-kata Afreen, Ambar berjongkok. Mata Ambar menatap mata Afreen lekat, “Papa nggak marahin Mama, kok. Papa dan Mama sedang diskusi."‘Diskusi itu apa Ma?” tanya Afreen lugu. “Diskusi itu … orang-orang dewasa yang sedang bicara serius jadi suaranya keras,” jelas Ambar.Afreen manggut-manggut. “Oo gitu.”“Iya … jadi karena Papa dan Mama mau diskusi, A
“Kenapa kamu diam saja? Sekarang jelaskan untuk apa kamu meminta Mbak Anisa datang ke ruanganku dengan membawa makanan. Apa maksudmu?” desak Ambar.Alvaro tersentak. Rupanya dia tidak menyangka Ambar akan menanyakan hal itu. Raut Alvaro yang semula datar mulai beriak. Di wajah lelaki itu mulai menunjukkan kebingungannya dalam memberikan jawaban pada pertanyaan Ambar.“Untuk apa kamu tanyakan itu?” Wajah Alvaro sudah kembali menjadi datar ketika bertanya.“Memangnya salah kalau seorang pimpinan memperhatikan kebutuhan bawahannya?” lanjut Alvaro.“Ini bukan tentang salah atau benar, hanya terasa aneh saja. Kamu meminta aku menyembunyikan status sebagai istri kamu, tapi kamu sendiri justru membuat orang-orang semakin curiga kepadaku.” Ambar berkata dengan kesal.Alvaro menelengkan kepalanya ke arah kanan untuk melihat Ambar lebih jelas. Namun dia tidak memberikan reaksi apapun ketika melihat wajah kesal Ambar.Melihat Alvaro tampak cuek Ambar melanjutkan ucapannya“Di hari pertama aku
Ambar melongo. “Ganti baju? Memangnya kenapa dengan gaun ini? Bukankah gaun ini salah satu yang kemarin kamu belikan itu? Artinya kamu sendiri yang memilih gaun ini. Jadi kenapa sekarang kamu meminta aku ganti baju?” “Sudah jangan banyak tanya! Lakukan perintahku!” sentak Alvaro.Ambar tersentak mendengar nada bicara Alvaro yang tinggi. “Kamu kenapa, sih, pagi-pagi sudah bikin emosi?”“Makanya kalau aku minta sesuatu itu harus segera kamu turutin bukannya membantah!” potong Alvaro tak sabar.Afreen yang duduk di meja makan bersama Ambar dan Alvaro menyaksikan perdebatan kedua orang tuanya itu. Dia kemudian mengerucutkan bibirnya. Bulu matanya pun mulai bergetar tanda dia sebentar lagi akan menangis.“Papa kenapa bentak-bentak Mama,” protes bocah lelaki itu.Alvaro dan Ambar seketika menoleh mendengar protes Afreen. Melihat wajah bocah lelaki berumur 4 tahun itu siap menangis membuat mereka baru tersadar telah melakukan kesalahan.Ambar yang duduk di sebelah Afreen segera memeluk da
“Ambil saja kembaliannya, Pak,” ucap Ambar setelah dia turun dari ojek motor.“Lho ini masih banyak uang kembaliannya, Bu,” jawab bapak tua pengemudi ojek. “Iya nggak apa-apa, kan, tadi Bapak bilang belum ada penumpang. Jadi Bapak bisa beli sarapan dengan uang itu,” kata Ambar sambil tersenyum.“Masya Allah terima kasih banyak semoga rezeki Ibu berlipat ganda dan Ibu selalu dalam perlindungan Allah. Aamiin.” Doa tulus pengemudi ojek sebelum berlalu. Ambar menatap kepergian motor butut yang dipakai untuk ojek itu dengan prihatin. Memang sejak fenomena ojek online marak maka ojek tradisional menjadi tersisihkan. Bukan para tukang ojek tradisional itu tidak mau bergabung dengan ojek online, tapi kendala motor mereka yang butut membuat mereka tidak bisa mendaftar menjadi driver ojek online.Setelah motor tukang ojek tak kelihatan lagi, Ambar kemudian melenggang masuk ke kantor sambil menenteng tas belanjaan. Dia tadi memang membeli aneka minuman dan camilan untuk dibagikan dengan reka
Salah satu perempuan yang duduk di meja itu mendecih. Lalu dia berkata dengan sinis, “Belagu sekali. Mentang-mentang dekat dengan Big bos.” Ambar terkesiap mendengar sindiran itu. Jantungnya berdegup dengan kencang. Ambar segera menarik nafas dalam. Dia berusaha menguasai dirinya. Setelah berhasil Ambar lalu bertanya, “Maksud Mbak apa ya?” Sambil menunggu jawaban Ambar menatap bergantian kelima perempuan yang duduk semeja itu. Ambar mengenali mereka sebagai para perempuan yang tadi pagi sudah bergosip tentang dirinya. Kelima perempuan itu rupanya tidak suka melihat tatapan menilai dari mata Ambar. Jadi mereka pun memandang balik dengan sinis. Perempuan yang tadi menyindirnya itu kemudian berkata, “Kenapa Mbak? Mbak tidak suka dibilang dekat dengan big boss? Bukannya itu kenyataannya, ya? Yang tadi turun dari mobil big boss kalau bukan mbak terus siapa?”Sekuat tenaga Ambar menahan gejolak hatinya. Dia merasakan telapak tangannya dingin ketika mengepalkannya. Ambar benar-benar t
“Aku mau tanya, Ken. Kenapa tadi kamu mengatakan ada barangku yang ketinggalan di mobilmu tadi pagi? Bukankah kita belum bertemu lagi semenjak pertemuan pertama kita. Jadi mana mungkin kita bertemu tadi pagi?”Ken terkekeh. “Aku sengaja.”Ambar melongo mendengar jawaban Ken. “Kenapa kamu sengaja melakukan hal itu? Apa maksudmu?” “Aku tidak bermaksud apa-apa. Hanya saja ketika aku masuk ke kantin aku melihat keributan itu. Dan aku juga menyaksikan kamu berdiri tertegun. Kamu tampak kebingungan dan tidak bisa menjawab. Jadi aku berinisiatif mengatakan hal itu,” terang Ken panjang lebar.Ambar menatap Ken tak percaya. ‘Dia masih seperti dulu … selalu menjadi pelindungnya termasuk sekarang ini. Meski tidak tahu perdebatannya tentang apa, tapi Ken tetap membantunya,’ batin Ambar haru. Tatapan Ambar masih melekat erat memindai seluruh wajah Ken ketika sebuah suara bariton mengembalikan fokusnya kembali. "Aku tahu aku ganteng makanya kamu terpesona kepadaku sampai ngeliatin aku nggak berk