“Ah, Sayang. Kamu benar-benar luar biasa.” Adisti melenguh puas setelah percintaannya dengan Abimanyu mencapai puncak. Suaminya mampu memuaskan dirinya yang selalu haus belaian.
“Tentu saja. Aku bukan seperti manusia yang lemah, Sayang.” Abimanyu membelai pipi Adisti pelan. Rasanya ia selalu tidak puas bercinta dengan Adisti yang selalu liar dan menggairahkan saat bercinta.
“Aku percaya,” bisik Adisti. Tangan kanannya membelai dada Abimanyu yang memiliki rambut lebat. Ia menyukai Abimanyu karena fisiknya yang nyaris sempurna dan permainan di ranjang yang menggairahkan. Seolah tidak memiliki lelah barang satu menit saja.
Mereka kembali melakukan pergumulan dahsyat. Berkali-kali Abimanyu melenguh dan mendesah nikmat tanpa berpikir jika perbuatannya adalah salah.
Tiba-tiba suara pintu rumah Adisti diketuk kencang. Suara Kartilan terdengar nyaring memanggil nama Adisti.
Adisti dan Abimanyu menghentikan kegiatan mereka lalu saling berpandangan. Adisti bergerak cepat menghentikan pergumulan mereka. Segera ia memakai daster lalu mengenakan jaket untuk menutupi lekuk tubuhnya yang tidak memakai apa pun.
Sebelum membuka pintu, Adisti merapikan anak rambut yang mengganggu mata. Setelah memastikan penampilannya tidak mencurigakan, barulah ia membuka pintu.
Ceklek!
Tampak Kartilan menatap cucunya curiga. Samar ia mencium bau sangat harum dari rumah Adisti. Sejak beberapa hari yang lalu, Kartilan mencium bau harum dari rumahnya yang berada di sebelah kanan rumah Adisti. Bau harum menyengat seperti bunga melati dan kamboja.
“Ada apa, Mbah?” tanya Adisti mencoba bersikap tenang.
Kartilan melongok melihat isi rumah Adisti. Tidak ada apa pun yang mencurigakan di sana. Ia menghela napas, lalu bertanya, “Aku mencium baru harum akhir-akhir ini dari rumahmu. Apakah kamu tidak apa-apa?”
Adisti terperanjat. Mungkinkah Abimanyu sumber bau wangi itu? Pikir Adisti cemas.
“Bau harum?” tanya Adisti memastikan. Ia sedang mencari alasan yang tepat agar kakeknya percaya.
“Iya. Biasanya bau ini dari makhluk tidak kasat mata, alias bangsa demit.” Kartilan duduk di kursi yang berada di teras. Adisti mengikuti duduk di seberang.
“Gak ada, Mbah. Itu ... bau parfum Adisti. Ya, itu bau parfum terbaruku, Mbah.” Adisti bersorak senang telah menemukan jawaban yang tepat.
“Benarkah itu?” tanya Kartilan memastikan. Walaupun ada keraguan dari suaranya, ia mencoba percaya dengan ucapan cucunya.
“Benar, Mbah. Adisti suka bau harum itu, jadi sebelum tidur biasanya aku semprot ke seluruh kamar,” jawab Adisti tenang. Ia mulai bisa mengontrol dirinya setelah menemukan alasan yang tepat. Adisti merahasiakan keberadaan Abimanyu pada siapa pun.
Kartilan mengangguk-angguk. “Syukurlah kalau kamu tidak apa-apa, Nduk.”
Kartilan beranjak dari tempat duduknya. Laki-laki tua berumur 60 tahun itu pulang, yang berjarak lima langkah saja dari rumah Adisti.
Adisti membuang napas lega. Segera ia masuk lalu mengunci pintu. Abimanyu telah berdiri di tengah pintu kamar dengan pandangan kesal.
“Lama sekali sih?” keluh Abimanyu. Ia meraih tubuh mungil Adisti ke dalam pelukan lalu menggendongnya.
“Maaf, Mbah Lan memang begitu.” Adisti mengalungkan tangan ke leher Abimanyu. Ia bisa mencium bau harum dari tubuh suaminya itu.
Abimanyu merebahkan Adisti di atas ranjang. Dengan kasar ia merobek daster dan memaksa istrinya itu melepas daster dari tubuhnya.
“Cepatlah, Sayang. Aku sudah tidak sabar.” Abimanyu sudah siap kembali bercinta. Ia merebahkan tubuh di atas ranjang sembari menunggu Adisti membuka baju.
“Kau dihukum. Puaskan aku, Baby,” bisik Abimanyu di telinga Adisti yang sudah berada di atas tubuhnya.
Adisti menuruti ucapan Abimanyu yang meminta dipuaskan. Hanya dirinya yang bisa melihat keberadaan suaminya itu. Karena Abimanyu bukanlah manusia.
---
Tiga hari yang lalu.
“Adisti hidup lagi,” teriak salah seorang warga yang memandikan jenazah Adisti.
Kartilan mengernyit. Cucunya kembali hidup setelah dinyatakan meninggal setelah kecelakaan tinggal? Benarkah?
Kartilan memaksakan kaki tuanya untuk berjalan cepat melihat keadaan Adisti. Kebetulan jenazah Adisti dimandikan di antara rumahnya dan Adisti. Sehingga ia tidak perlu berjalan jauh untuk memastikan keadaan cucunya.
Mata Kartilan melotot saat melihat Adisti sudah mengenakan jarik yang menutupi dada sampai betis. Pundaknya yang putih bersih terekspos sempurna.
“Nduk! Kamu hidup lagi?” tanya Kartilan mematikan. Ia mengucek mata memastikan bahwa penglihatannya tidak salah.
“Mbah. Apa aku sebelumnya mati?” tanya Adisti. Ia menatap orang-orang di sekelilingnya yang sedikit menjauh.
Kartilan mengangguk. “Jadi, kamu hidup lagi? Kamu mati suri?” tanyanya.
“Mungkin, Mbah. Aku tidak ingat apa pun.” Adisti menunduk. Ia hanya ingat, sempat bertemu ibunya sebelum membuka mata. Ia merengek meminta ikut bersama, tetapi ibunya berkata bahwa belum waktunya Adisti berada di sana.
Kartilan merangkul pundak cucunya lalu membawa gadis berumur 20 tahun itu masuk ke rumah. Beberapa tetangga masih mengikuti langkah Adisti dalam jarak yang lumayan jauh, mereka masih takut. Baru kali ini mereka melihat kasus mati suri.
“Ganti baju dulu. Setelah itu kita mengobrol di depan. Mbah panggil Ustaz Samsudin dulu.” Kartilan menutup pintu kamar Adisti pelan lalu meminta seseorang memanggil Ustaz Samsudin.
Beberapa menit kemudian Adisti keluar dari kamar mengenakan kaos oblong dan celana pendek sebatas lutut. Ia duduk di sebelah sang kakek yang sudah menyalakan rokok di sela jemarinya.
“Kamu tidak ingat sebelumnya sudah mati, Nduk? Kamu menghindari kucing yang menyeberang dan banting setir menabrak tiang listrik.”
Adisti mencoba mengingat, tetapi gagal. “Tidak ingat, Mbah,” jawabnya singkat.
Tak lama kemudian Ustaz Samsudin datang. Ia menatap Adisti sekilas lalu menyalami Kartilan dan menangkupkan kedua tangan di depan dada pada Adisti.
Setelah basa-basi sebentar dengan Kartilan, Ustaz Samsudin memeriksa keadaan Adisti dari punggung gadis itu. Ia memejamkan mata, melihat apakah ada sesuatu yang berbeda dalam diri Adisti.
“Mata batinmu terbuka, Nak,” ucap Ustaz Samsudin membuka percakapan. Ia telah kembali ke tempatnya duduk.
Beberapa warga masih menonton di teras. Terdengar masak kusuk di sana, yang mengatakan Adisti titisan hantu, bahkan ada yang menyebut Adisti adalah anak hantu.
Adisti mencoba menutup telinga. Apa salahnya mati suri? Toh bukan dirinya yang meminta. Allah yang sudah menggariskan hidupnya seperti ini.
“Maksudnya dia bisa melihat makhluk tidak kasat mata?” tanya Kartilan memastikan.
Ustaz Samsudin mengangguk. “Iya, Mbah.”
Setelah berbincang sejenak, Ustaz Samsudin pamit pulang karena masih ada urusan di desa sebelah.
“Nduk, mulai sekarang kamu harus Hati-hati. Jika ada sesuatu yang mencurigakan segera bilang ya?” punya Kartilan waswas.
Adisti mengangguk. “Baik, Mbah. Tapi, kira-kira apa yang akan Adisti temui, Mbah?” tanyanya heran. Baru kali ini ia mengalami mati suri dan terbukanya mata batin. Sesuatu yang masih asing di telinganya.
“Mungkin saja ada jin, atau makhluk tidak terlihat yang menemuimu, Adisti. Kamu harus hati-hati.”
“Apa tidak bisa mata batin ini ditutup saja, Mbah?” tanya Adisti sedikit takut.
“Bisa! Malam nanti aku akan memberimu sebuah mantra agar tidak ada yang mengganggu.”
Adisti mengangguk ragu. Bukan tidak percaya dengan ucapan kakeknya, tetapi khawatir pada dirinya sendiri. Jika bertemu dengan makhluk tidak terlihat, apakah dirinya siap? Membayangkan saja membuatnya merinding.
Beberapa menit kemudian semua orang kembali ke rumah masing-masing, tinggallah Adisti seorang diri. Ia menatap sekeliling rumahnya yang sudah bersih. Beberapa tetangga membantu membersihkan rumah bekas memandikannya. Keranda yang dipinjam pun sudah dikembalikan ke kuburan.
“Apa yang akan terjadi dalam hidupku setelah ini? Apa aku bisa menjalani kehidupan yang normal?” gumam Adisti.
2 hari kemudian.“Nduk, kamu sedang apa?” tanya Kartilan.“Lihatin bintang aja, Mbah. Biar gak lihat 'mereka' di depan sana yang selalu ganggu Adisti.” Adisti memberi isyarat melalui alisnya menunjuk salah satu pohon di depan rumahnya yang dihuni banyak makhluk tidak terlihat.Beberapa pocong, kuntilanak, dan genderuwo silih berganti menampakkan diri di depan Adisti sore tadi. Awalnya Adisti terkejut setengah mati saat melihat bagaimana rupa asli mereka. Namun, ia sadar, sampai kapan pun matanya tetap bisa melihat mereka, karena itulah ia memutuskan untuk menutup mata atau mengalihkan pandangan jika mereka datang. Beruntung makhluk tak terlihat itu hanya berdiri di bawah pohon, tidak ada yang mendekati rumah Adisti.“Jadi ‘mereka’ sudah mulai menanpakkan diri rupanya. Mbah bawa sesuatu untuk kamu, Nduk,” ucap Kartilan seraya mengeluarkan sebuah buku tua yang terlihat usang. Kertasnya berwarna coklat tua dengan tali penanda halaman berbentuk anyaman berwarna hitam.“Apa ini, Mbah?” tan
“Adisti!”Suara Kartilan memanggil namanya. Untuk apa malam-malam begini kakeknya datang? Batin Adisti heran. Ia menatap Abimanyu, tetapi tidak ada siapa pun di sana.Hilang!Abimanyu hilang!Laki-laki bertubuh tegap nan menawan itu hilang! Adisti menutup mulutnya dengan kedua tangan, ia terkejut setengah mati. Wanita itu memindai sekitar, tidak ada tanda-tanda ke mana perginya Abimanyu.“Kok bisa hilang?” gumam Adisti lirih.Jika Abimanyu manusia, tidak mungkin bisa menghilang dalam sekejap mata. Adisti yakin, Abimanyu bukanlah manusia.“Adisti!” suara Kartilan kembali terdengar.Gegas Adisti beranjak lalu membuka pintu. Detak jantungnya masih belum sepenuhnya normal. Kembali ia menatap kursi bekas Abimanyu duduk sebelum membuka pintu. Masih rapi seperti sebelumnya.Adisti menggeleng, mencoba menghilangkan bayang Abimanyu, kemudian barulah ia membuka pintu.“Ada apa, Mbah?” tanya Adisti heran saat Kartilan yang menatapnya tajam.“Siapa yang baru saja ke rumahmu?” tanya Kartilan to th
“Dia menolakmu?” tanya Lastri, Mama Abimanyu.Abimanyu mengangguk pelan lalu menghela napas. Ia menyandarkan kepala di kursi. Pikirannya melayang, membayangkan wajah ayu Adisti yang alami tanpa polesan make-up.“Gobl0k! Harusnya kamu mantrai dia, buat dia suka sama kamu dan menuruti semua ucapanmu! Gitu aja gak ngerti, gimana sih! Semakin lama kamu menunda semakin lama kita menguasai wilayah ini. Paham?” hardik Lastri kesal melihat Abimanyu yang terlihat lemah.“Iya, Ma. Nanti malam aku akan datang lagi ke sana untuk memikat dia agar mau.” Hanya itu yang keluar dari mulut Abimanyu.Lastri duduk di samping Abimanyu lalu mengelus kepalanya.“Maafkan Mama, Nak. Mama hanya tidak suka kamu terlalu lama menunda. Kesempatan hanya sekali, manfaatkan itu.”“Iya, Ma. Abimanyu paham.”“Bagus. Jangan lewatkan kesempatan ini Abi, martabat keluarga kita berada di tanganmu sekarang. Jangan sampai ada yang mendahuluimu mendapatkan Adisti. Terutama Arka!”“Iya, Ma.”Lastri mengangguk lalu menepuk pund
“Adisti, nanti ada rapat, katanya akan ada pergantian manajer di pabrik ini.” Sesil memberi informasi pada Adisti saat gadis itu bau saja duduk di kursinya.Sesil adalah salah sat teman dekatnya selama bekerja, umur mereka pun tidak terlalu jauh. Adisti 20 tahun dan Sesil 23 tahun. Sesil sama seperti Adisti, bagian admin tetapi beda divisi.“Iya? Tumben gak ada info sebelumnya. Kok dadakan banget?” keluh Adisti. Pergantian manajer itu artinya pergantian aturan baru. Adisti tidak menyukai itu.“Entahlah. Denger-denger manajer baru kita masih muda. Tiga puluhan tahun katanya.” Sesil memang penyuka gosip. Informasi apa pun yang ada di pabrik ia mengetahui semua. Termasuk ada main antar pekerja pabrik walaupun mereka sudah menikah.“Gebet sana!” celetuk Adisti menggoda Sesil. Teman satu-satunya itu memang sedang mencari jodoh karena lelah mendapatkan tekanan dari orangtua yang meminta dirinya segera menikah. Padahal umur belum kepala 3.“Jelas dong! Nanti aku pasti akan tebar pesona tanpa
Pertama kali yang Adisti lihat setelah membuka mata adalah deretan rumah terbuat dari anyaman bambu yang berjejer di pinggir jalananan tidak beraspal.Sesekali Adisti mengucek mata memastikan penglihatannya. Namun, tetap penampakan rumah berjejer yang terlihat.“Benarkah ini dunia kalian?” tanya Adisti heran. Ia berpikir dunia Abimanyu akan berbeda dengan dunia manusia, tetapi nyatanya apa yang ia lihat sama. Dunia Abimanyu dan dunia manusia sama.Abimanyu merengkuh pundak Adisti, membimbing gadis itu berjalan menuju rumah mewah yang berada di paling ujung. Rumah yang terlihat mencolok karena terlihat paling mewah dan besar dibandingkan dengan yang lain.Adisti mengernyit saat melihat ada yang melakukan aktivitasnya sama seperti manusia pada umumnya. Ada yang menyapu halaman, bergosip, atau pun melakukan aktivitasnya di sawah. Adisti benar-benar tidak habis pikir. Benarkah ia berada di dunia Abimanyu sekarang? Mengapa tidak ada bedanya dengan dunianya? Lagi-lagi hanya pertanyaan tanpa
“Besok sepulang bekerja, datanglah ke Kafe Garden. Laki-laki itu akan menunggumu di sana.”Ucapan sang kakek terus terngiang di kepala Adisti malam itu. Ia bingung bagaimana mengatakannya pada Abimanyu saat bertemu nanti. Ia yakin laki-laki itu pasti akan marah mendengar perjodohan itu. Apalagi mereka akan segera menikah. Menikah? Tentu saja menikah dengan tata cara alam Abimanyu.Hati dan pikiran Adisti sudah dipenuhi Abimanyu seorang. Tidak ada lagi ruang untuk laki-laki lain. Setidaknya itu yang ia rasakan saat ini.Adisti menghela napas. Apa yang akan ia katakan pada Abimanyu nanti?Sampai pukul 11 malam, Abimanyu tidak juga datang. Ada apa? Bukankah laki-laki itu bilang akan menjemput malam ini? Apakah pernikahan itu ditunda? Apa penyebabnya? Banyak pertanyaan dalam kepala Adisti saat ini.Adisti mengingat lagi ucapan Abimanyu, sepertinya ia tidak salah mendengar saat laki-laki itu mengatakan mereka akan menikah malam ini di rumah Abimanyu. Lantas, mengapa sampai sekarang laki-la
“Mau ke mana kamu?” tanya Abimanyu yang tiba-tiba muncul dari belakang Adisti. Wanita itu terkejut setengah mati saat akan menyalakan motornya.“Ngagetin aja sih,” protes Adisti sambil mencubit lengan kekar Abimanyu.“Jawab dulu. Kamu mau ke mana?” tanya Abimanyu ketus.Adisti diam. Mana mungkin ia jujur pada Abimanyu bahwa akan menemui laki-laki yang dijodohkan kakeknya. Lagi pula, Abimanyu mengingkari janjinya malam kemarin.“Aku jalan sama temen. Kamu ke mana kemarin? Kenapa tidak datang?” tuntut Adisti mencoba mengalihkan pembicaraan.“A-aku ... keluarga kami sedang ada sedikit masalah. Jadi pernikahan kita ditunda sementara waktu.” Abimanyu tampak salah tingkah. Ia tidak bisa menceritakan kenyataannya bahwa Arka datang dan mengganggu moodnya kemarin.Adisti mengernyit. “Masalah? Karena masalah itu kita tidak jadi menikah?” protes Adisti kesal. Ia sudah membayangkan akan hidup bahagia bersama Abimanyu.Adisti tidak mengerti, seolah ada sesuatu yang mencubit di dalam sana saat meng
“Kita percepat pernikahanmu apa pun yang terjadi,” titah Lastri pada Abimanyu sesaat laki-laki itu baru saja kembali dari dunia Adisti.Seketika Abimanyu mendongak. “Kenapa, Ma?” tanyanya heran. Baru saja beberapa jam yang lalu Lastri mengatakan bahwa akan memikirkan lagi kapan waktu yang pas untuk pernikahan Abimanyu, justru sekarang memerintahkan Abimanyu segera menikah.“Kamu lupa Arka bisa saja menyerang kita sewaktu-waktu. Jadi, kamu harus segera menikah dan renggut gadis itu di malam pertama. Setelah itu baru kita melakukan ritual untuk menyempurnakan kekuatan keluarga kita,” jelas Lastri berapi-api. Tentu saja ia bersemangat karena ambisinya yang membuat Abimanyu harus menikahi Adisti.“Bawa gadis itu malam nanti. Kita lakukan secepatnya. Jangan sampai ada yang tahu,” bisik Lastri sambil melirik sekeliling. Ia takut ada telinga yang mendengar pembicaraan mereka.Abimanyu mengangguk. Hanya dengan cara ini dirinya bisa berbakti pada ibunya. Walaupun harus mengorbankan dirinya sen