Share

Bab 2

2 hari kemudian.

“Nduk, kamu sedang apa?” tanya Kartilan.

“Lihatin bintang aja, Mbah. Biar gak lihat 'mereka' di depan sana yang selalu ganggu Adisti.” Adisti memberi isyarat melalui alisnya menunjuk salah satu pohon di depan rumahnya yang dihuni banyak makhluk tidak terlihat.

Beberapa pocong, kuntilanak, dan genderuwo silih berganti menampakkan diri di depan Adisti sore tadi. Awalnya Adisti terkejut setengah mati saat melihat bagaimana rupa asli mereka. Namun, ia sadar, sampai kapan pun matanya tetap bisa melihat mereka, karena itulah ia memutuskan untuk menutup mata atau mengalihkan pandangan jika mereka datang. Beruntung makhluk tak terlihat itu hanya berdiri di bawah pohon, tidak ada yang mendekati rumah Adisti.

“Jadi ‘mereka’ sudah mulai menanpakkan diri rupanya. Mbah bawa sesuatu untuk kamu, Nduk,” ucap Kartilan seraya mengeluarkan sebuah buku tua yang terlihat usang. Kertasnya berwarna coklat tua dengan tali penanda halaman berbentuk anyaman berwarna hitam.

“Apa ini, Mbah?” tanya Adisti penasaran. Ia menerima uluran Kartilan.

“Kumpulan mantra dari nenek moyang, Nduk. Buka halaman 9, di sana ada sebuah mantra untuk menutup mata batinmu.” Kartilan menyesap kopi hitam yang Adisti hidangkan lalu mencomot pisang goreng yang masih hangat dari piring.

“Ini, Mbah?” tanya Adisti menunjukkan sebuah mantra sesuai ucapan kakeknya.

“Iya. Malam nanti jam 12 malam baca mantra itu di kamar sebanyak 7 kali. Tujuannya agar mata batinmu tertutup dan mereka' tidak menampakkan diri padamu,” jelas Kartilan.

Adisti mengangguk. Ia menatap mantra itu dan membacanya dalam hati. Baru satu kalimat, jantungnya berdegup kencang. Benarkah yang ia lakukan kali ini? Amankah mantra ini dibaca? Batin Adisti bergejolak. Hati kecilnya yang terdalam ingin menolak, tetapi sisi lain mengatakan ia harus menuruti kakeknya kali ini. Adisti tidak ingin terus-menerus mendapat gangguan dari ‘mereka’.

Dalam hati Adisti meneruskan membaca mantra, pelan ia serapi kata demi kata. Mencoba memberikan sugesti pada diri bahwa semua akan baik-baik saja. Mungkin inilah jalan terbaik untuk hidupnya agar kembali normal.

Kartilan menatap Adisti yang masih terdiam sambil menatap buku yang ia berikan. Bibirnya terus mengunyah pisang goreng buatan cucunya yang selalu sesuai dengan lidahnya. Kartilan berharap cucunya akan terbebas dari gangguan makhluk tak terlihat itu.

“Sudah, Mbah. Apalagi yang harus Adisti lakukan?” tanya Adisti setelah membaca mantra, ia meletakkan buku di atas meja lalu menatap kakeknya saksama.

“Tidak ada. Coba lihat ke sana, apakah mereka masih ada?” Kartilan menunjuk pohon pisang yang semula menjadi sarang ‘mereka'.

Mata Adisti mengikuti arah jari Kartilan, ia menatap pohon pisang yang kini tidak lagi ada ‘mereka’. Seketika ia terkejut. “Tidak ada! Tidak ada, Mbah! Bagaimana bisa? Adisti tidak lagi melihat hantu, Mbah,” sorak Adisti bahagia.

Adisti mengerjapkan mata berkali-kali lalu dan sesekali ia mengucek kedua mata, mencoba meyakinkan penglihatannya yang benar-benar tidak lagi bisa melihat makhluk tak kasatmata.

“Sudah tidak bisa melihat ‘mereka’?” tanya Kartilan senang karena mantra itu berguna untuk Adisti.

“Sudah, Mbah.” Adisti meraih jemari keriput Kartilan lalu menciumi punggung tangan berkali-kali sambil mengucapkan Terima kasih.

“Sudah, Nduk. Syukurlah kamu sudah sembuh.” Kartilan membelai puncak kepala Adisti.

Adisti mengangguk senang. Ia tidak lagi bisa melihat hantu, walaupun ada sesuatu yang mengganjal di hatinya setelah membaca mantra itu.

Beberapa menit kemudian Adisti dan Kartilan memutuskan untuk pulang dan tidur di rumah masing-masing. Tanpa mereka sadari ada sosok yang memperhatikan Adisti dari atas pohon.

Tengah malam Adisti tidur dengan gelisah. Ia seperti mendengar suara seseorang memanggil namanya. Seketika Adisti membuka mata, lalu menatap sekeliling. Tidak ada siapa pun. Hanya jendela yang terbuat dari kayu sedikit terbuka. Untung saja jendela kamar Adisti memiliki teralis yang terbuat dari kayu, sehingga ketakutan Adisti masih bisa dinetralisir.

“Adisti!”

Lagi, suara laki-laki yang memanggil namanya. Siapa? Batin Adisti penasaran. Namun, membuka pintu rumah ia tidak berani karena tinggal sendirian.

“Buka pintunya!”

Seketika detak jantung Adisti seolah terhenti mendengar suara itu meminta dirinya membuka pintu. Astaga, siapakah itu? Keringat dingin mulai membanjiri tubuh Adisti, hatinya bimbang antara ingin membuka atau membiarkan suara itu hingga berlalu. Namun, rasa penasaran Adisti lebih mendominasi.

Wanita itu melirik jam di dinding, masih pukul 11 malam. Adisti mencoba memberanikan diri beranjak dari ranjangnya untuk membuka pintu.

Adisti membuka korden, tampak seorang laki-laki yang membelakangi pintu terlihat di teras. Laki-laki itu bertubuh tegap, dengan tinggi sekitar 175 cm, rambut hitam disisir rapi, dan baju berwarna merah tua.

Adisti mencoba mengingat lagi, siapa teman di tempatnya bekerja yang memiliki tubuh seperti itu. Rasanya tidak ada. Adisti mengernyit lalu menutup korden.

“Siapa dia?” gumam Adisti bertanya-tanya.

“Buka pintunya, Adisti.”

Lagi. Suara laki-laki itu terdengar serak nan berat. Adisti yakin itu bukanlah salah satu dari teman kerjanya.

Ragu, tetapi akhirnya tangan Adisti meraih hendel pintu lalu membuka kuncinya. Tampak sosok tampan yang berdiri tepat di depan pintu menatap Adisti dengan pandangan memuja.

“Hai!” sapa laki-laki itu sambil tersenyum tipis.

“Kamu siapa?” tanya Adisti lirih.

“Boleh aku masuk?” tanya laki-laki itu sambil menunjuk ruang tamu Adisti.

Seolah terhipnotis, Adisti mengiyakan permintaan laki-laki itu. Seperti boneka yang dimainkan tuannya, Adisti menurut saat laki-laki itu memintanya menutup pintu.

Adisti membalikkan badan dan mendapati laki-laki itu sudah duduk. Tangan kanannya menepuk kursi kosong di sebelahnya, memberi kode agar Adisti segera duduk.

“Siapa kamu?” tanya Adisti lagi.

“Abimanyu,” jawab Abimanyu singkat. Matanya terus menatap Adisti tanpa kedip.

Tangan kanannya terulur meraih jemari Adisti, lalu membawanya ke depan mulut. Dikecupnya punggung tangan Adisti dengan lembut. Tidak ada protes dari bibir wanita itu yang kembali tersihir oleh pesona Abimanyu.

“Kamu cantik sekali.”

Adisti tersipu, ia menunduk sambil menutup wajah dengan sebelah tangannya yang kosong.

“Benarkah?” tanya Adisti memastikan telinganya tidak salah mendengar ucapan Abimanyu.

Abimanyu mengangguk.

Tiba-tiba penciuman Adisti membaui bau harum seperti bunga melati, seketika tubuhnya merinding. Ia menatap sekeliling, tidak ada hal yang mencurigakan di rumahnya, kecuali .... Abimanyu!

“Siapa kamu? Kenapa bertemu tengah malam? Apakah kamu mengenalku?” cecar Adisti begitu tersadar. Ia menyentak tangannya saat tidak sengaja ekor matanya menangkap jemarinya yang terus digenggam Abimanyu.

“Aku menyukaimu sejak pertama bertemu, Adisti!” jawab Abimanyu cepat.

“Siapa? Siapa kamu?” tanya Adisti lagi.

“Aku ....” Ucapan Abimanyu terhenti saat tidak sengaja telinganya mendengar langkah kaki mendekati rumah Adisti.

Ia meletakkan telunjuknya ke depan bibir, mengisyaratkan Adisti agar diam.

Kembali detak jantung Adisti berdegup kencang. Siapa lagi yang datang ke rumahnya tengah malam begini? Batinnya kacau.

Tak lama kemudian, terdengar suara ketukan pintu lalu suara laki-laki yang memanggil nama Adisti.

Seketika jantung Adisti seolah terhenti saat mendengar siapa yang memanggilnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status