Tak lama kemudian, mereka sampai di rumah Ustaz Ramli. Dion sengaja memarkirkan mobil agak jauh ke dalam, tepat di halaman belakang. Di sana ia sudah disambut Aldi dan beberapa temannya.“Sudah ditunggu di pendopo, Kak.” Aldi menyilakan Dion dan Adisti berjalan lebih dulu.Dion segera menggenggam erat jemari wanitanya itu menuju pendopo yang tidak jauh dari parkiran.Perasaan Adisti benar-benar tidak enak begitu kakinya melangkah di tangga pendopo. Sebenarnya ia sudah merasakan keanehan saat mobil Dion baru saja masuk halaman. Namun, ia masih berusaha menahan diri untuk tidak protes.“Kenapa kita ke sini lagi?” tanya Adisti ketus. Ia ingat betul bagaimana dirinya pingsan dan merasa hawa tidak enak di rumah Ustaz Ramli. Namun, ia sedikit heran, tumben sekali ia tidak pingsan atau kesakitan seperti sebelumnya.“Menyembuhkanmu!” jawab Dion datar.Adisti mengernyit, tiba-tiba ia menghentikan langkah lalu berusaha melepas genggaman Dion. Namun, Dion semakin erat menggenggam jemari Adisti.
Mendengar ucapan Aldi, seketika Dion panik. Raksasa? Mungkinkah itu makhluk tak kasatmata yang marah? Dion menggeleng, berusaha mengenyahkan pikiran buruk di kepalanya. Ia menatap Ustaz Ramli yang hanya tersenyum samar. Sepertinya laki-laki itu sudah memprediksi kedatangan makhluk itu.“Tenang, ada Allah yang bersama kita.” Ustaz Ramli mencoba menenangkan semuanya. Ia sudah tahu jika makhluk itu pasti datang untuk protes. Gegas ia berdiri lalu berjalan menuju halaman depan.Langkah Dion dicegat Aldi. “Kakak di sini saja menunggu temannya. Biar dia urusan kami.”Dion mengernyit. Mengapa dirinya tidak boleh melihat keadaan. Namun, akhirnya ia pasrah dan patuh atas perintah Aldi. Ia sadar, dirinya tidak paham sama sekali bagaimana cara menghadapi makhluk tak kasatmata.Dion hanya mengangguk sebagai jawaban.“Jangan lepas alfatihah dan zikir, Kak.” Aldi menepuk pundak Dion sebelum berlalu menyusul Ustaz Ramli.Akhirnya, Dion memutuskan untuk duduk di kursi yang sebelumnya diduduki Ustaz R
“Ustaz, saya pamit sekarang.” Dion menemui Ustaz Ramli yang sedang mengawasi muridnya latihan fisik.Laki-laki dengan jenggot tipis itu tersenyum samar, lalu mengangguk. “Tidak menunggu makanan matang dulu?”Kambing yang sebelumnya digunakan sebagai media untuk memindahkan janin sudah disembelih dan sedang diolah oleh murid Ustaz Ramli yang tidak memiliki kegiatan. Mereka sengaja datang untuk membantu Ustaz Ramli malam itu.“Tidak usah, Taz. Sudah tengah malam, istri saya butuh segera istirahat.”Ustaz Ramli mengangguk-angguk. “Hati-hati di jalan, Nak.”Dion mengangguk lalu menyalami Ustaz Ramli. Ia bergegas kembali menuju pendopo untuk menjemput Adisti setelah mengambil mobil.Laki-laki itu membuka pintu lalu menyilakan Adisti masuk. Setelah itu ia sendiri masuk dan melajukan mobil menuju rumahnya.Sengaja ia mengatur kursi agar bisa digunakan Adisti untuk rebahan. Dion kasihan melihat wajah Adisti yang belum sepenuhnya segar.Selama perjalanan, sesekali ia melirik Adisti yang tertid
Abimanyu dimarahi habis-habisan oleh Lastri karena tidak segera membawa Adisti ke alam mereka.“Harusnya kamu lebih pinter, Abi!” hardik Lastri kesal.“Ma, kita harus bermain cantik. Mana mungkin aku bisa membawanya begitu saja. Bukankah lebih baik kita memberi mereka peringatan terlebih dulu sebelum membawanya ke sini? Aku ingin membuat Adisti merasa hanya bersama kita dia akan merasa aman.”Lastri terdiam mendengar penuturan anaknya. Setelah kehilangan calon cucu, membuat Lastri semakin kesal dengan manusia. Selalu saja ada yang menggagalkan rencananya. Padahal Lastri ingin segera memiliki anak dari Adisti agar semakin kuat dan ada yang meneruskan kekuasaannya.“Terserah kamu saja! Yang penting Kamis depan kamu harus berhasil membawa Adisti kemari, apa pun yang terjadi!” Lastri menekan setiap ucapannya. Lalu meninggalkan Abimanyu sendiri.Sementara itu di tempat yang berbeda, Dion, Adisti, dan Kartilan berada di ruang tamu menikmati makan malam. Adisti dan Dion duduk berdampingan, b
“Bismillah.” Dion berusaha berdiri. Ia memegangi kedua lututnya yang terasa ngilu. Seluruh badannya terasa sakit, apalagi sekarang Dion merasa sangat pusing.“Bagaimana ini? Adisti dibawa pergi. Apa yang harus kulakukan?” gumam Dion panik.Belum hilang panik Dion, terdengar teriakan Darsih yang memanggil Dini berkali-kali.Mendengar itu, seketika panik melanda hati Dion. Bersusah payah ia berlari menuju kamar Dini.Seketika hatinya nyelekit saat melihat keadaan Dini yang terkulai tak berdaya di atas lantai. Kamar terlihat seperti kapal pecah karena banyak barang yang pecah dan berhamburan di lantai. Gegas Dion menghampiri Dini, lalu memerintahkan Darsih menata ranjang. Ia menggendong ibunya dengan panik, lalu meletakkan perlahan.“Tolong bersihkan kekacauan ini,” pinta Dion pada Darsih.Darsih hanya mengangguk lalu segera mengambil sapu dan pengki. Ia membersihkan semua benda yang sudah tidak berbentuk, lalu membuang ke tempat sampah.Sedangkan Dion, laki-laki itu memeriksa denyut Din
Ustaz Ramli berhasil masuk ke alam Abimanyu. Saat ini ia bersama Aldi dan Dion berada di bawah pohon yang menjadi jalan keluar masuk makhluk tak kasatmata ke alam manusia.“Kita di mana?” tanya Dion sambil menautkan alis. Ia mengucek mata, lalu menatap sekeliling.“Di alam mereka, Kak,” sahut Aldi.Dion mengangguk mengerti. Matanya terus menyusuri sekitar. Batu pertama kali ia datang ke alam Abimanyu. Tentu saja hal ini membuatnya terheran-heran karena ternyata kehidupan di sana sama saja seperti di dunia manusia.“Ustaz, banyak sekali rumah. Bagaimana cara kita mencarinya?” tanya Aldi menatap sekeliling. Rumah yang terbuat dari anyaman bambu berjejer rapi di sepanjang jalan. Hanya satu rumah megah nan mencolok di sana. Tepat diujung jalan. Kelihatan jelas dari tempat mereka berdiri sekarang.“Sepertinya di sana.” Tunjuk Ustaz Ramli ke arah rumah megah.Aldi mengernyit. “Jadi ... dia bukan makhluk sembarangan?”Ustaz Ramli mengangguk. Menyesal ia tidak teliti menelusuri Abimanyu. Jika
Dion terbangun dari tidurnya. Ia menoleh ke sebelah kanan, ada Ustaz Ramli dan Aldi yang tengah tertidur. Ia bergerak pelan, bangun dari tidur menuju kamar mandi. Entah mengapa ia merasa suasana malam di alam ini terasa sangat dingin, membuatnya menggigil. Apalagi mereka tidur beralaskan karpet saja.Kamar mandi Dasiran terletak di belakang rumah hanya bertutupkan kain sedada orang dewasa. Di dalam kamar mandi terdapat bak yang berukuran lumayan besar dan jamban manual.Angin berembus kencang saat Dion akan masuk kamar mandi. Seketika bulu kuduknya meremang. Entah mengapa tiba-tiba saja perasaannya tidak enak. Tapi, ia mencoba menepisnya. Di sini ada Ustaz Ramli dan Aldi yang menjaganya, jadi ia berusaha tidak panik.Setelah buang air, Dion segera menyiram dan keluar. Namun, saat ia menginjakkan kaki di luar dari kamar, terdengar suara bisik-bisik di samping rumah.“Siapa yang sedang berbincang?” gumam Dion lirih. Ingin mengintip, tetapi hatinya berkata jangan. Namun, Dion penasaran s
“Jadi mereka sempat mengetahui kedatangan kalian?” tanya Abimanyu saat rombongan yang membawa Ustaz Ramli, Aldi, dan Dion datang.Pimpinan rombongan itu mengangguk. “Untung saja saya berhasil menemukan mereka, Tuan.”Abimanyu mengangguk. Ia tersenyum samar. Setelah pimpinan rombongan itu berlalu, Abimanyu masuk ke kamar. Ditatapnya wajah Adisti yang tengah tertidur dengan damai setelah malam yang panjang.“Kali ini anakku harus selamat!” gumam Abimanyu penuh penekanan.Sementara itu di tempat yang berbeda, Ustaz Ramli, Aldi, dan Dion sedang duduk di dalam penjara. Mereka dibawa ke penjara yang sepertinya berada di dalam bawah tanah. Memang lantainya sudah licin, tapi dindingnya masih dari tanah. Tidak hanya ada mereka bertiga. Di samping itu, berjejer penjara yang berisi manusia. Dari ruangan itu, Dion bisa melihat beberapa manusia yang dipaksa bekerja mengangkat batu, mereka diawasi makhluk besar yang berwajah mengerikan.“Selanjutnya apa yang akan kita lakukan?” tanya Aldi sembari m