Share

Bab 3

ERNIKAHAN KEDUA 3

"Mau apa kalian kesini?"

Suara ketus Eyang tak menyurutkan niatku duduk dan menatap matanya. Kugenggam tangan Kiara erat-erat. Adikku yang tak tahu apa-apa, tadi sibuk berceloteh tentang betapa bagusnya rumah ini. Namun dia terdiam begitu sosok Eyang putri muncul. Wanita berusia nyaris tujuh puluh tahun itu memandang Kiara tak berkedip. Kiara memang sangat mirip Ibu, sementara aku mirip Ayah. Aku memutuskan datang kesini, meski tahu bahwa akhirnya semua yang keluar dari mulut Eyang hanya akan menyakitiku.

"Tolong jelaskan, siapa Om Reyhan sebenarnya. Kenapa dia tiba-tiba datang dan menikahi Ibu. Dan kenapa Eyang menerimanya dengan bahagia, tidak seperti Eyang menerima Ayahku. Padahal… padahal selama tujuh belas tahun lamanya Ayah terus berusaha mengambil hati Eyang."

Wajah tua yang masih tampak ayu itu termangu sejenak. Mataku tak berkedip memandangnya. Eyang putri, Ibu dan Kiara memiliki garis wajah yang sama. Tak ada yang bisa menyangkal bahwa mereka berdua memiliki hubungan darah.

"Kau tidak perlu tahu Keysha. Tugasnya hanya menuruti semua perkataan Ibumu. Termasuk, jika suatu saat dia memintamu pergi."

"Apa maksud Eyang?"

Dia memandang Kiara sejenak.

"Berapa usiamu?" Tanyanya tiba-tiba.

"Dua bulan lagi tujuh belas tahun."

Eyang putri mendesah.

"Keysha, Reyhan adalah satu-satunya lelaki yang kami inginkan menjadi menantu, bukan Arman. Tapi Sarah yang bengal itu lari di hari pernikahannya. Padahal ada beberapa perjanjian yang sudah kami sepakati dengan orang tua Reyhan. Sarah dan Arman tak pernah tahu bahwa mereka telah melakukan kesalahan fatal."

Aku tertegun sejenak. Kisah masa lalu itu sama sekali tak pernah kudengar. Selama ini, Ayah dan Ibu tampak bahagia dan baik-baik saja meski aku heran, kenapa kami hanya punya mereka. Tidak seperti teman-temanku yang punya Kakek, Nenek, Paman, Bibi, juga deretan sepupu, aku tidak. Aku hanya punya Ayah dan Ibu. Hidup kami sederhana. Aku tahu Ayah bekerja keras dan berhemat demi bisa menabung untuk bekal kami kelak. Pada malam-malam yang hening, kerap kudengar ketakutan Ayah jika harus pergi lebih dulu, padahal Ayah tak pernah sakit berat selain hanya masuk angin. Kepergian Ayah yang tiba-tiba sungguh meluluh lantakkan hidup kami. Seminggu lamanya Ibu berkubang air mata. Maka ketika pernikahan itu terjadi, aku merasa ada sesuatu yang tak wajar.

Ternyata, ada sesuatu yang tak kuketahui. Sesuatu yang sama sekali tak pernah kuduga.

"Setelah Arman mati…"

"Dia ayahku! Bisakah Eyang menyebutnya dengan sedikit penghormatan? Ayah sudah tiada dan Eyang masih membencinya."

Eyang terkejut, mungkin tidak menyangka aku akan melawan seperti itu. Tapi sungguh, sakit rasanya mendengar nama Ayahku yang lembut dan baik hati diucapkan tanpan sedikitpun rasa hormat.

"Sejak dulu sampai sekarang, aku tidak akan pernah menerimanya menjadi menantu. Dan artinya aku tak pernah menerimamu sebagai cucuku. Kau tak pernah tahu sisi buruk Ayahmu. Ku jamin kau akan terkejut."

Aku menelan ludah, berusaha mengusir sekat di tenggorokan. Kugandeng tangan Kiara, mengajaknya pergi dari rumah besar yang mengerikan ini. Apapun yang dikatakan orang di luar sana, Ayahku adalah Ayah terbaik di dunia ini.

"Dan kami juga tak butuh diakui. Aku hanya ingin tahu apa hubungan Ibu dan Om Reyhan dimasa lalu. Tapi Eyang malah berlomba menyakiti hatiku."

Aku melangkah sambil menggandeng tangan Kiara. Dalam hati aku bersumpah tak akan lagi menginjakkan kaki di rumah ini. Mereka tak pernah mengakui Ayahku sebagai menantu, dan kami sebagai cucu. Meski darah Ibu mengalir di tubuh kami.

"Tinggalkan adikmu disini."

Langkahku terhenti. Aku membalikkan tubuh dan mendapati wanita tua itu memandangku.

"Tinggalkan adikmu disini. Aku akan merawatnya."

Aku memandang Kiara, yang mendongakkan kepala menatapku dengan mata hitamnya yang jernih.

"Tidak. Bukankah kalian tidak mengakui kami sebagai darah daging kalian? Apa jaminannya kalian tidak akan menyakiti adikku?"

"Dia seperti Sarah. Tinggalkan saja dia disini dan kau boleh pergi."

Aku meradang. Kutatap wajah tua tak punya hati itu dengan tatapan nyalang.

"Kiara bukan benda yang bisa kutinggalkan begitu saja. Sebaiknya lanjutkan saja kebencian kalian pada kami. Dan anggap kami tak pernah ada."

Diam sejenak. Entah dimana Eyang kakung. Tapi apa bedanya? Tak ada satupun di antara mereka berdua yang akan mencegah dan menahan kami disini.

"Kau akan menyesal."

Aku tak peduli dan memilih pura-pura tak mendengar. Saat kakiku menginjak aspal jalan raya di depan gerbang yang langsung tertutup, aku bertekad akan membuktikan pada pemilik rumah ini, bahwa kami bisa hidup tanpa mereka.

***

Uang di dompet bergambar teddy bear coklat milikku mulai menipis. Itu uang bulanan terakhir yang kuterima dari Ibu. Sejak SMP, aku sudah belajar mengelola uang saku bulanan sendiri. Dan kini, aku nanar memandang dua lembar uang biru itu. Aku bangkit dan menggandeng Kiara ke dapur, mungkin masih ada sisa bahan makanan yang bisa ku masak.

"Masak untuk siapa? Sudah kubilang aku tak mengizinkanmu masak, Sarah. Kalau kau mau makan, beli saja. Aku tak mau tubuhmu bau bawang."

Aku menahan langkah Kiara, mengabaikan rasa lapar di perutku.

"Hanya masak sedikit untuk anak-anak, Mas."

"Anak Arman? Kau boleh masak nanti jika Rani tinggal disini."

"Tapi, Mas…"

"Tidak ada tapi, apa kau mau ku suruh mengganti mahar seratus juta yang ku berikan dulu? Uang yang kau bawa pergi bersama Arman? Seratus juta, tujuh belas tahun lalu. Kau tahu berapa nilainya sekarang? Kau akan kena serangan jantung bila tahu jumlahnya."

Aku menekap dada. Semua kejutan ini terasa semakin menyesakkan. Aku tak tahan lagi. Kusuruh Kiara masuk kamar lebih dulu, lalu masuk ke dapur dan mendapati Ibu terpojok, dengan bawang dan cabai berserakan di bawah kakinya.

"Ibu! Apa yang sebenarnya terjadi? Kalau Ibu terpaksa menikah dan tak bahagia, ayo sudahi saja. Kita hidup bertiga seperti kemarin lagi."

Mereka berdua terkejut. Om Reyhan memandangku dengan wajah memerah sementara Ibu pucat pasi. Di belakang Om Reyhan, Ibu menggelengkan kepala, memberiku isyarat untuk pergi. Aku bergeming. Pernikahan kedua ini salah besar. Aku mungkin memang belum sepenuhnya mengerti, tapi aku tahu ada yang salah disini.

"Pergi Key. Jangan kurang ajar pada Bapakmu!"

Ibu berseru dengan suara bergetar. Nyata sekali ketakutan itu di wajahnya. Sementara Om Reyhan, lelaki yang minta dipanggil Bapak itu mendekat. Dua langkah di hadapanku, dia berhenti.

"Mungkin sudah saatnya kau tahu kebenarannya, Key. Ayahmu, tidaklah sebaik yang kau duga. Dia dan Ibumu si pengkhianat ini, bukan hanya mengkhianatiku, tapi menghancurkan hidupku. Saat ini, Ibumu sedang menebus dosa. Jadi, jika kau tak tahu apa-apa, sebaiknya kau diam dan terima saja semua takdir burukmu karena lahir dari rahimnya."

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
penasaran ada masalah apa
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status