Share

Bab 3

Author: Yazmin Aisyah
last update Last Updated: 2023-05-13 01:22:49

ERNIKAHAN KEDUA 3

"Mau apa kalian kesini?"

Suara ketus Eyang tak menyurutkan niatku duduk dan menatap matanya. Kugenggam tangan Kiara erat-erat. Adikku yang tak tahu apa-apa, tadi sibuk berceloteh tentang betapa bagusnya rumah ini. Namun dia terdiam begitu sosok Eyang putri muncul. Wanita berusia nyaris tujuh puluh tahun itu memandang Kiara tak berkedip. Kiara memang sangat mirip Ibu, sementara aku mirip Ayah. Aku memutuskan datang kesini, meski tahu bahwa akhirnya semua yang keluar dari mulut Eyang hanya akan menyakitiku.

"Tolong jelaskan, siapa Om Reyhan sebenarnya. Kenapa dia tiba-tiba datang dan menikahi Ibu. Dan kenapa Eyang menerimanya dengan bahagia, tidak seperti Eyang menerima Ayahku. Padahal… padahal selama tujuh belas tahun lamanya Ayah terus berusaha mengambil hati Eyang."

Wajah tua yang masih tampak ayu itu termangu sejenak. Mataku tak berkedip memandangnya. Eyang putri, Ibu dan Kiara memiliki garis wajah yang sama. Tak ada yang bisa menyangkal bahwa mereka berdua memiliki hubungan darah.

"Kau tidak perlu tahu Keysha. Tugasnya hanya menuruti semua perkataan Ibumu. Termasuk, jika suatu saat dia memintamu pergi."

"Apa maksud Eyang?"

Dia memandang Kiara sejenak.

"Berapa usiamu?" Tanyanya tiba-tiba.

"Dua bulan lagi tujuh belas tahun."

Eyang putri mendesah.

"Keysha, Reyhan adalah satu-satunya lelaki yang kami inginkan menjadi menantu, bukan Arman. Tapi Sarah yang bengal itu lari di hari pernikahannya. Padahal ada beberapa perjanjian yang sudah kami sepakati dengan orang tua Reyhan. Sarah dan Arman tak pernah tahu bahwa mereka telah melakukan kesalahan fatal."

Aku tertegun sejenak. Kisah masa lalu itu sama sekali tak pernah kudengar. Selama ini, Ayah dan Ibu tampak bahagia dan baik-baik saja meski aku heran, kenapa kami hanya punya mereka. Tidak seperti teman-temanku yang punya Kakek, Nenek, Paman, Bibi, juga deretan sepupu, aku tidak. Aku hanya punya Ayah dan Ibu. Hidup kami sederhana. Aku tahu Ayah bekerja keras dan berhemat demi bisa menabung untuk bekal kami kelak. Pada malam-malam yang hening, kerap kudengar ketakutan Ayah jika harus pergi lebih dulu, padahal Ayah tak pernah sakit berat selain hanya masuk angin. Kepergian Ayah yang tiba-tiba sungguh meluluh lantakkan hidup kami. Seminggu lamanya Ibu berkubang air mata. Maka ketika pernikahan itu terjadi, aku merasa ada sesuatu yang tak wajar.

Ternyata, ada sesuatu yang tak kuketahui. Sesuatu yang sama sekali tak pernah kuduga.

"Setelah Arman mati…"

"Dia ayahku! Bisakah Eyang menyebutnya dengan sedikit penghormatan? Ayah sudah tiada dan Eyang masih membencinya."

Eyang terkejut, mungkin tidak menyangka aku akan melawan seperti itu. Tapi sungguh, sakit rasanya mendengar nama Ayahku yang lembut dan baik hati diucapkan tanpan sedikitpun rasa hormat.

"Sejak dulu sampai sekarang, aku tidak akan pernah menerimanya menjadi menantu. Dan artinya aku tak pernah menerimamu sebagai cucuku. Kau tak pernah tahu sisi buruk Ayahmu. Ku jamin kau akan terkejut."

Aku menelan ludah, berusaha mengusir sekat di tenggorokan. Kugandeng tangan Kiara, mengajaknya pergi dari rumah besar yang mengerikan ini. Apapun yang dikatakan orang di luar sana, Ayahku adalah Ayah terbaik di dunia ini.

"Dan kami juga tak butuh diakui. Aku hanya ingin tahu apa hubungan Ibu dan Om Reyhan dimasa lalu. Tapi Eyang malah berlomba menyakiti hatiku."

Aku melangkah sambil menggandeng tangan Kiara. Dalam hati aku bersumpah tak akan lagi menginjakkan kaki di rumah ini. Mereka tak pernah mengakui Ayahku sebagai menantu, dan kami sebagai cucu. Meski darah Ibu mengalir di tubuh kami.

"Tinggalkan adikmu disini."

Langkahku terhenti. Aku membalikkan tubuh dan mendapati wanita tua itu memandangku.

"Tinggalkan adikmu disini. Aku akan merawatnya."

Aku memandang Kiara, yang mendongakkan kepala menatapku dengan mata hitamnya yang jernih.

"Tidak. Bukankah kalian tidak mengakui kami sebagai darah daging kalian? Apa jaminannya kalian tidak akan menyakiti adikku?"

"Dia seperti Sarah. Tinggalkan saja dia disini dan kau boleh pergi."

Aku meradang. Kutatap wajah tua tak punya hati itu dengan tatapan nyalang.

"Kiara bukan benda yang bisa kutinggalkan begitu saja. Sebaiknya lanjutkan saja kebencian kalian pada kami. Dan anggap kami tak pernah ada."

Diam sejenak. Entah dimana Eyang kakung. Tapi apa bedanya? Tak ada satupun di antara mereka berdua yang akan mencegah dan menahan kami disini.

"Kau akan menyesal."

Aku tak peduli dan memilih pura-pura tak mendengar. Saat kakiku menginjak aspal jalan raya di depan gerbang yang langsung tertutup, aku bertekad akan membuktikan pada pemilik rumah ini, bahwa kami bisa hidup tanpa mereka.

***

Uang di dompet bergambar teddy bear coklat milikku mulai menipis. Itu uang bulanan terakhir yang kuterima dari Ibu. Sejak SMP, aku sudah belajar mengelola uang saku bulanan sendiri. Dan kini, aku nanar memandang dua lembar uang biru itu. Aku bangkit dan menggandeng Kiara ke dapur, mungkin masih ada sisa bahan makanan yang bisa ku masak.

"Masak untuk siapa? Sudah kubilang aku tak mengizinkanmu masak, Sarah. Kalau kau mau makan, beli saja. Aku tak mau tubuhmu bau bawang."

Aku menahan langkah Kiara, mengabaikan rasa lapar di perutku.

"Hanya masak sedikit untuk anak-anak, Mas."

"Anak Arman? Kau boleh masak nanti jika Rani tinggal disini."

"Tapi, Mas…"

"Tidak ada tapi, apa kau mau ku suruh mengganti mahar seratus juta yang ku berikan dulu? Uang yang kau bawa pergi bersama Arman? Seratus juta, tujuh belas tahun lalu. Kau tahu berapa nilainya sekarang? Kau akan kena serangan jantung bila tahu jumlahnya."

Aku menekap dada. Semua kejutan ini terasa semakin menyesakkan. Aku tak tahan lagi. Kusuruh Kiara masuk kamar lebih dulu, lalu masuk ke dapur dan mendapati Ibu terpojok, dengan bawang dan cabai berserakan di bawah kakinya.

"Ibu! Apa yang sebenarnya terjadi? Kalau Ibu terpaksa menikah dan tak bahagia, ayo sudahi saja. Kita hidup bertiga seperti kemarin lagi."

Mereka berdua terkejut. Om Reyhan memandangku dengan wajah memerah sementara Ibu pucat pasi. Di belakang Om Reyhan, Ibu menggelengkan kepala, memberiku isyarat untuk pergi. Aku bergeming. Pernikahan kedua ini salah besar. Aku mungkin memang belum sepenuhnya mengerti, tapi aku tahu ada yang salah disini.

"Pergi Key. Jangan kurang ajar pada Bapakmu!"

Ibu berseru dengan suara bergetar. Nyata sekali ketakutan itu di wajahnya. Sementara Om Reyhan, lelaki yang minta dipanggil Bapak itu mendekat. Dua langkah di hadapanku, dia berhenti.

"Mungkin sudah saatnya kau tahu kebenarannya, Key. Ayahmu, tidaklah sebaik yang kau duga. Dia dan Ibumu si pengkhianat ini, bukan hanya mengkhianatiku, tapi menghancurkan hidupku. Saat ini, Ibumu sedang menebus dosa. Jadi, jika kau tak tahu apa-apa, sebaiknya kau diam dan terima saja semua takdir burukmu karena lahir dari rahimnya."

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
penasaran ada masalah apa
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • PERNIKAHAN KEDUA   Bab 62 (ENDING)

    PERNIKAHAN KEDUA 62 (ENDING)Jam sepuluh malam, pesta telah sepenuhnya usai. Rumah lengang meski dekorasi taman belum dibongkar. Para ART, Kiara dan kedua anakku dibawa Tante Arumi ke rumahnya. Mereka semua ingin membiarkan kami hanya berdua malam ini karena aku menolak kamar pengantin di hotel. Aku ingin berada disini. Di tempat aku bertemu mereka berdua. Tempat aku memulai takdirku. Dengan bergandengan tangan, kami naik ke lantai atas. Kamar Diaz telah disulap Lea menjadi kamar pengantin yang indah. Begitu membuka pintunya, aroma wangi mawar langsung menerpa hidung. Membawaku pada kenangan tujuh belas tahun silam. Aku mengerjap, memaksa diriku untuk menyadari bahwa tangan yang kugenggam ini bukan tangannya. "Nggak apa-apa kan kita disini? Dibawah…"Diaz membungkam bibirku dengan jarinya. Kami berdiri berhadapan, dengan tatapan lembut di matanya. Kemarin, aku memang meminta untuk tidak menempati kamarku bersama Bang Zaid, setidaknya untuk sementara waktu sampai aku merasa nyaman de

  • PERNIKAHAN KEDUA   Bab 61

    PERNIKAHAN KEDUA 61 Begitu mobil berhenti di halaman rumah, Zakia langsung berseru-seru memanggil Kiara. Kebetulan sekali hari ini Kiara pulang kuliah lebih awal. Adikku itu terkejut, berlari keluar dengan wajah tegang. Setelah banyak kejutan sepanjang hidupnya, dia sepertinya telah bersiap akan satu kejutan terakhir."Kia, ada apa?!" Suara Kiara panik.Tapi keponakannya itu malah melompat-lompat kegirangan. Perlahan, wajah Kiara mengendur."Oh, kamu dapat nilai terbaik? Lulusan terbaik?"Zakia mengangguk, masih melompat-lompat."Hemm… Alhamdulillah. Keponakan Tante kan memang pintar.""Ada lagi. Coba tebak!""Apa?"Aku tersenyum melihatnya. "Aku akan punya Papa! Yeaaayyy!"Mata Kiara melebar. Lalu dia menyadari bahwa aku dan Diaz berdiri mengawasi. Tatapan matanya menyorot, meminta penjelasan. Lalu, tangan Diaz yang menggenggamku-lah yang menjadi fokusnya. Kiara tersenyum. Matanya berkaca-kaca. Dia lalu berlari menghambur dan memelukku erat-erat."Jadi?"Aku mengangguk.Kiara menar

  • PERNIKAHAN KEDUA   Bab 60

    PERNIKAHAN KEDUA 60 "Mama, sembuh dong. Besok kan hari perpisahan sekolah aku."Zakia sibuk mengusap dahiku dengan kompres. Aku tersenyum melihatnya. Sejak semalam, aku terserang demam. Badanku panas dan kepalaku pusing sekali. Aku tahu bahwa aku tak boleh sakit. Besok, akan ada perpisahan sekolah. Zakia akan lulus SD.Ya. Lima tahun lagi telah berlalu sejak kepergian Bang Zaid. Zakia kini berusia dua belas tahun dan akan segera lulus SD, sementara aku masih setia hidup dalam kenangan bersamanya. Setiap malam, aku tidur sendirian, memeluk sepi, dan dia selalu hadir dalam mimpi meski tanpa kuminta."Sayang, jangan siksa dirimu seperti ini. Menikahlah lagi. Aku ikhlas."Itulah mimpi yang sering datang. Dan di dalam mimpi, aku menangis. Tangis yang kemudian terasa hingga aku bangun. Bantalku yang basah oleh air mata menyadarkan bahwa mimpiku merasuk hingga ke dasar jiwa. Dan semalam, Tiba-tiba saja aku demam tinggi. Kiara sudah memanggilkan dokter dan kata dokter aku baik-baik saja dan

  • PERNIKAHAN KEDUA   Bab 59

    PERNIKAHAN KEDUA 59Muhammad Zaidan Adhyaksa. Nama itu akan terukir indah di sanubariku selamanya.Suamiku telah menepati janjinya. Penyakit itu tak mampu mengalahkan semangat hidupnya yang tinggi. Lima tahun setelah operasi, kami kembali hidup normal dan bahagia, tanpa pernah menyangka takdir menghampirinya sore itu. Aku tak akan pernah melupakan sore itu, tiga bulan yang lalu, Lea datang ke rumah dengan wajah sembab. Dia memintaku duduk, mengambilkan segelas air dan meminta Kiara membawa Zakia dan Zen ke dalam. Menatap wajahnya, hatiku berdebar kencang. Lebih dari dua puluh tahun lamanya kami bersahabat. Aku tahu dengan pasti kapan sesuatu yang serius terjadi."Le, ada apa?"Lea memelukku. Mengusap-usap punggungku, persis Bang Zaid."Kamu percaya takdir kan?" Suaranya bergetar.Aku mengangguk. Bagiku tak ada yang perlu diragukan dari ketetapan-Nya. Tapi, mendengar pertanyaannya, selarik perasaan gelisah menyambar hatiku dengan cepat. Lalu aku teringat bahwa Bang Zaid tidak di rumah

  • PERNIKAHAN KEDUA   Bab 58

    PERNIKAHAN KEDUA 58Untukmu, yang tengah bertarung melawan kerasnya hidup, dan kamu, yang sedang meniti takdir. Kamu hanya harus terus berjuang, bersabar, dan berdoa. Karena apa yang menjadi takdir Tuhan, hanya bisa diubah dengan doa. Aku tak pernah bersujud syukur selama ini sebelumnya. Setelah kecemasan selama empat jam terhapus sudah oleh kabar bahagia. Operasi berhasil dan kini tinggal menunggu keduanya sadarkan diri. Dari balik kaca ruang observasi, aku melihat keduanya terbaring berdampingan. Air mataku menetes dengan deras, menciptakan kabut yang mengaburkan pemandangan.Sungguh, kasih sayang seorang saudara kandung seharusnya tak perlu diragukan. Diaz yang bengal, yang selama ini kerap membuat masalah dan selalu menguras emosi Bang Zaid, telah berkali-kali membuktikan bahwa cintanya tanpa pamrih."Aku tak suka melihatmu menangis Key. Cintamu pada Bang Zaid itu sungguh indah. Rasanya, bagai aku yang menjadi dia. Seperti aku yang merasakan dicintai olehmu. Maka, apa saja akan k

  • PERNIKAHAN KEDUA   Bab 57

    PERNIKAHAN KEDUA 57"Diaz!"Diaz menghentikan langkah. Dia berbalik dan mendapati Abangnya berusaha duduk dengan tegak. Jika biasanya Bang Zaid selalu menjadi penguatku, hari ini akulah yang menjadi penopangnya. Kurengkuh kedua bahunya, hingga dia bisa duduk dengan tegak."Abang sedang mencari donor. Abang tidak menerima donor darimu."Mata Diaz melebar. Dia kembali menghampiri ranjang dan menatap Abangnya lekat-lekat."Apa maksud Abang?""Kamu masih muda. Belum menikah dan jalan hidupmu masih panjang. Kamu tak boleh mengorbankan dirimu untuk Abang.""Jadi Abang merasa sudah tua? Dan kenapa memangnya kalau aku belum menikah? Mau sampai kapan menunggu donor yang belum tentu langsung cocok? Lalu bagaimana dengan Key dan keponakanku? Tidak, Bang. Aku pulang untuk Abang. Jangan mencegahku atau aku akan pergi dan tak akan kembali lagi."Tanpa menunggu jawaban Sang Abang, Diaz berjalan dengan langkah lebar. Bang Zaid menghela napas, meminta tanganku untuk digenggam. Aku menarik kursi dan du

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status