Share

Bab 4

PERNIKAHAN KEDUA 4

"Kalau begitu katakan saja sekarang! Aku sudah cukup besar untuk mengerti. Jangan terus membuat teka teki!"

"Keysha! Pergilah!"

Suara Ibu getas. Sesaat, kami saling menatap, dengan permohonan di mata masing-masing. Ibu memohon padaku untuk pergi, sementara aku memohon pada Ibu penjelasan tentang semua kejanggalan ini.

"Kau mau tahu?" Om Reyhan melangkah maju dan berhenti lima langkah di hadapanku. Aku berpaling dari Ibu dan kini memandangnya. Dia seorang pria dengan perawakan tinggi dan besar. Seharusnya dia tampan asalkan wajahnya cukup ramah.

"Jangan katakan apa-apa, Mas. Aku yang akan menceritakannya sendiri!" Seru Ibu. Kali ini dia berjalan cepat dan menarik tanganku menjauh. Aku tak berusaha meronta meski rasa penasaran masih menguasai hati. Aku tak mau Ibu menerima imbasnya.

Di dalam kamar, Ibu langsung menarik ransel besar dari atas lemari. Aku ternganga menyaksikan beliau dengan cepat memasukkan baju-bajuku ke dalamnya. Masih belum cukup, Ibu menarik tas bayi milik Kiara dan mengemas baju-baju adikku. Dari saku celananya, Ibu mengeluarkan beberapa lembar uang dan memberikannya padaku.

"Apa ini?"

Suaraku gemetar. Tak percaya rasanya Ibu akhirnya melakukan semua ini pada kami.

"Pergilah Key. Bawa adikmu."

"Aku nggak mau. Ini rumahku, rumah Ayah!"

"Key…" Ibu meneguk ludah dengan susah payah. "Hanya satu yang harus kau tahu. Rumah ini dan seluruh tabungan Ayah, telah habis untuk membayar hutang pada Om Reyhan. Dulu, Ibu lari dari pernikahan dengannya, membawa mahar seratus juta rupiah. Jadi kini, Ibu harus membayarnya agar Ayahmu tenang disana."

Suara ibu bergetar-getar. Aku tergugu. Inikah faktanya? Tapi, jika semua telah terbayar, bukankah seharusnya Ibu tak perlu menjadi alat pembayar hutang juga?

"Kalau semua sudah dibayar, berarti Ibu bebas kan? Ayo kita pergi sama-sama."

Ibu menggeleng.

"Hutang uang itu mungkin sudah lunas. Tapi semua itu tak bisa membayar rasa sakit hatinya dan juga dendam. Karena akibat peristiwa itu, Om Reyhan harus kehilangan Ibunya. Dan Ibu… Ibu tak bisa membiarkan dia melakukan hal yang sama pada Eyang."

Sungguh kejutan bertubi-tubi. Aku tak tahu lagi harus melakukan apa untuk membawa Ibu pergi. Usai menutup resleting tas, Ibu memandang Kiara yang masih pulas tertidur. Diciuminya sejenak wajah mungil itu. Beliau lalu memandangku dengan air mata berlinang.

"Sebelum maghrib, kalian sudah harus pergi dari sini."

"Tapi kemana kami harus pergi, Bu?"

Ya Allah, sungguh teganya Ibu pada kami. Jika Ibu Ibu lain rela melakukan apa saja demi anaknya, Ibu lebih memilih kami pergi dari pada kedamaiannya terancam. Jika Ibu lain memilih anaknya untuk dipertahankan, Ibu lebih memilih Eyang dan suami barunya untuk dijaga hatinya. Ataukah masih ada rahasia lain yang belum kuketahui?

Ibu hanya menggelengkan kepala, membuka pintu kamarku dan pergi. Kutatap punggungnya yang berlalu dari kamar dengan hati pilu. Lalu beralih pada Kiara yang menggeliat dan terbangun melihatku menangis. Sungguh, Hari-hari setelah Ayah pergi adalah hari-hari yang penuh air mata.

"Kakak kenapa?"

Aku mengusap air mata, menatap uang lima ratus ribu di tanganku. Ku paksakan segaris senyum untuknya agar adikku tak ikut merasa sedih meski aku yakin sanubari nya merasakan semua kegetiran ini.

"Kita akan pergi. Ara akan tinggal berdua saja dengan Kakak. Mau?"

"Ibu?"

Aku menggigit bibir.

"Ibu nanti nyusul. Sementara ini, Ara sama Kakak dulu ya."

Aku terpaksa berbohong. Kiara masih terlalu kecil untuk menerima semua penjelasanku. Aku hanya bisa berharap tangan Tuhan terulur untuk membantu.

Aku, Keysha. Usiaku nyaris tujuh belas tahun saat ini. Dan aku telah bertekad menjadi Ayah, sekaligus Ibu untuk adikku.

***

"Kita tinggal disini?"

Kiara memandang berkeliling, pada sebuah kamar kost yang akhirnya terpaksa menjadi tempat kami tinggal untuk sementara. Aku terpaksa memilih kamar kost dengan pertimbangan tak perlu lagi memikirkan perabotan yang kubutuhkan. Dan terutama, Kost-an ini dekat dengan sekolahku, hanya lima menit berjalan kaki. Sekolah yang entah bisa ku selesaikan atau tidak.

"Nggak apa-apa ya? Kan nggak jauh juga dari rumah Ibu?"

Kiara mengangguk. Wajahnya masih terlihat sendu. Ah, adikku. Dia tentu masih rindu pada Ibu. Meski setelah penolakan Ibu yang berulang kali memberi sedikit pemahaman baginya, bahwa dia tak boleh lagi mendekat. Ibu, apa yang Ibu rasakan setelah menjauh dari kami? Apa Ibu bahagia? Atau sama nelangsa seperti kami?

Air mataku menetes lagi, yang segera kuhapus sebelum Kiara melihat. Sungguh, aku bertekad ini akan menjadi air mata terakhir yang menetes di pipiku.

***

Aku terpaksa meninggalkan Kiara di rumah saat ke sekolah. Beruntung sekali, tetangga samping rumahku sepasang suami istri yang baru menikah dan belum dikaruniai anak sehingga Mbak Anggi, sang istri sangat senang saat aku menitipkan Kiara padanya. Tapi, apakah akan terus seperti ini? Aku berhitung berapa lama lagi aku harus ke sekolah sebelum kelulusan. Berapa biaya yang kubutuhkan dan apa yang bisa kulakukan untuk mendapatkannya. Aku mulai berpikir untuk berhenti sekolah mengingat uang spp-ku cukup lumayan.

"Jangan berhenti, plis. Aku akan carikan kerjaan paruh waktu untukmu." Lea menggenggam tanganku. Dia satu-satunya sahabat yang kupunya.

"Kalau aku kerja, Kiara gimana?"

Lea terdiam. Dia juga sepertinya bingung bagaimana hendak membantu.

"Aku butuh pekerjaan yang bisa membawa adik. Atau, pekerjaan yang bisa kukerjakan dari rumah."

Aku melepaskan genggaman tangannya, merebahkan kepala di atas meja. Otakku rasanya buntu. Di dalam kelas, pikiranku mengembara, memikirkan adikku yang mungkin sedang menangis teringat pada Ibu.

Ibu dan Ayah, adalah gambaran sempurna orang tua bagi semua anak. Bagaimana mungkin mereka menyimpan rahasia sebesar itu dari kami? Dan mengapa kami anak-anaknya yang harus menanggung semua ini?

Tiba di rumah, aku dikejutkan oleh suara panik Mbak Anggi berseru memanggil.

"Key, Ara demam tinggi!"

Aku melemparkan tas sembarangan arah, memburu adikku yang tertidur di atas kasur single bed fasilitas kost-an. Ketika tanganku menyentuh dahinya, kulitku terasa bagai tersengat api. Mbak Anggi yang belum punya anak, ikut bingung.

"Mbak, tolong tungguin. Aku cari obat demam dulu."

Tanpa menunggu jawabannya, aku kembali berlari. Tak kuhiraukan kakiku yang pegal, juga matahari yang terik di atas kepala. Apotik cukup jauh sehingga rasanya lama sekali saat aku tiba kembali di rumah. Mbak Anggi sudah meletakkan kompres di atas kening Kiara saat aku tiba.

Setelah minum obat, perlahan demamnya mereda. Aku mendesah lega, duduk di lantai bersandar di ranjangnya. Saat ini barulah kurasa lelahnya kakiku.

"Ibu… Ara mau Ibu…"

Suara tangis adikku menambah pilu. Ibu, bolehkah kami bertemu? Sekali ini lagi saja. Setelah itu, aku berjanji tak akan lagi mengganggu hidupmu.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
hutang macam apa itu kasihan keysa
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status