PERNIKAHAN KEDUA 2
Apa yang terjadi dengan Ibu? Kenapa semua bisa berubah hanya dalam waktu sehari saja? Aku menggigit bibir, menahan air mata yang hendak tumpah. Sungguh, aku tak boleh menangis di depan Kiara. Setelah semua penolakan Ibu padanya, aku tak boleh membuatnya merasa berkecil hati lagi.Di hadapanku Ibu menunduk setelah mengatakan kalimat itu, menyembunyikan wajahnya dariku. Sementara lelaki itu, yang sepertinya sama usianya dengan Ibu tersenyum."Sekolah sampai SMA itu cukup Key. Ayahmu sudah tak ada. Bapak dan Ibu harus menabung untuk calon anak kami nanti. Dan juga Rani masih butuh banyak biaya."Rani adalah putri semata wayang suami baru Ibu. Aku bertemu dengannya kemarin. Usianya dua tahun di bawahku. Dan dari tatapan matanya, aku tahu bahwa seharusnya aku tak dekat-dekat dengannya."Rani harus kuliah. Karena itu pesan almarhum Mamanya." Suara Ibu bergetar."Dan pesan Almarhum Ayah tidak penting bagi Ibu. Rani masih punya Bapak. Sementara aku, seharusnya bisa mengandalkan tabungan yang Ayah tinggalkan.""Key!" Nada suara Ibu meninggi. "Tolong menurutlah sekali ini. Tabungan Ayah sudah habis untuk biaya pemakaman dan melunasi hutang-hutangnya. Lulus SMA, kerja, barulah kau kuliah jika sudah punya tabungan sendiri. Ibu tak bisa membiayaimu."Selesai. Pembicaraan itu akhirnya selesai dengan keputusan sepihak Ibu. Aku bahkan tak berhak bertanya dikemanakan semua tabungan Ayah karena setahuku Ayah tak suka berhutang. Dari sudut mata aku melihat lelaki itu mendorong tubuh Ibu menjauhi meja makan, lalu menghilang di balik tembok pembatas ruang tengah. Tak tahan lagi, air mataku akhirnya tumpah juga. Kiara yang tak mengerti apa-apa, ikut menangis sambil memelukku. Oh, Ibu. Apa yang kau rasakan saat menatap kami? Menatap wajah mungil Kiara yang tak berdosa. Tak adakah sedikit saja cinta tersisa dihatimu untuk kami? Sedikit saja, sehingga cukup untuk menghentikan tangis adikku.Aku berangkat sekolah dengan hati cemas. Meninggalkan Kiara di rumah sementara Ibu tengah kasmaran dengan suami barunya. Di sekolah, pikiranku terus saja melayang, menembus cakrawala membingkai wajah adik tersayangku.Aku nyaris melompat dan berlari begitu bel pulang berbunyi. Untunglah sekolahku dekat, hanya butuh dua puluh menit dengan berjalan kaki. Dan mungkin bisa kutempuh dengan sepuluh menit jika berlari. Peluh membanjiri sepanjang jalan. Tak kuhiraukan beberapa teman yang menahanku. Aku harus segera pulang.Rumah sepi. Aku membuka pintu dengan panik, melempar tas dan berlari seantero rumah sambil menjerit memanggil Kiara."Kakak!"Suara Kiara membuatku lega bukan kepalang. Namun kemudian, hatiku nelangsa melihatnya. Kiara muncul dari kamar mandi, dengan air yang membasahi hampir seluruh pakaiannya. Aroma tak sedap menguar."Ara pup?"Adikku mengangguk. Dia memang belum mahir membersihkan kotorannya sendiri. Kubawa Kiara ke kamar mandi, membersihkan dan sekaligus memandikan nya. Setelah bersih dan berganti pakaian, kududukkan dia di kursi makan."Ibu kemana?""Pergi sama Bapak.""Ara sudah makan?"Kiara menggelengkan kepalanya yang mungil.Aku membuka tudung saji dan lagi-lagi mencelos memandang meja yang bersih, tanpa secuilpun makanan. Hanya ada nasi sisa kemarin yang hampir mengering. Kemana sisa makanan pesta kemarin? Ya Allah, terbuat dari apa hati Ibu? Oh, bukan. Tapi setan apa yang telah merenggut hati Ibuku hingga dia bisa tega melakukan hal ini pada darah dagingnya sendiri. Aku membuka kulkas dan mengambil sebutir telur. Dengan sedikit garam aku membuat telur mata sapi dan dengan nasi yang mengering itux menyuapi adikku yang tampak kelaparan. Tentu saja, ini sudah jam dua siang.Apa yang harus kulakukan dengan keadaan ini? Kemana kami harus meminta tolong? Aku menutup pintu kamar setelah Kiara tertidur, terduduk di kursi tamu, memandang bunga bunga sisa akad nikah Ibu yang sudah layu."Tolong jangan terlalu kejam pada anak-anakku, Mas. Aku telah menuruti keinginanmu meski harus menyakiti mereka."Suara Ibu terdengar. Aku yang duduk di sofa membelakangi balik pintu depan tertegun mendengarnya."Itu hukuman bagimu Sarah. Kau telah mengkhianatiku dulu. Lari dari pernikahan kita dan memilih kawin lari dengan Arman. Bersyukurlah aku tidak mencelakai anak-anakmu.""Jangan Mas.""Kalau begitu, menurut saja. Dan ingat selain anak-anakmu, orang tuamu juga sangat percaya padaku. Mereka tidak akan pernah menyangka kalau aku bisa saja meletakkan setetes racun dalam minumannya."Astaga. Aku menekap mulut dengan kedua tangan. Di luar hening. Aku berlari ke kamar, berusaha tidak mengeluarkan suara. Lelaki itu tak boleh tahu bahwa aku baru saja mendengar semuanya.Di kamar, aku merebahkan diri sambil memeluk Kiara. Apa arti semua ini? Apa yang sesungguhnya terjadi? Tak lama kudengar pintu depan dibuka dan langkah langkah kaki mendekat. Lalu pintu kamarku dibuka dan ditutup lagi setelah beberapa menit lamanya."Keysha sudah pulang. Kau benar-benar sembarangan bicara Sarah.""Maaf, Mas. Tapi Keysha tidur.""Aku mulai berpikir untuk mengenyahkan hama itu dari rumah ini. Bagaimana menurutmu?""Apa maksudmu?" Suara Ibu panik."Kedua anakmu membuat bulan madu yang kuimpikan bertahun-tahun lamanya menjadi tak sempurna. Kurasa sebaiknya kau mulai berpikir memindahkan mereka dari sini."Aku menekap mulut, menahan isakan yang hendak lolos keluar. Lelaki itu ingin mengusir kami! Dia bukan hanya ingin menguasai Ibu, tapi juga rumah ini. Rumah penuh kenangan yang dibangun Ayah dengan susah payah bertahun-tahun lamanya. Ya Allah, apa yang harus kulakukan? Apa yang sebenarnya terjadi? Dan kemana aku harus bertanya?Ingatanku lalu melayang pada masa bertahun-tahun lalu, saat aku duduk di pangkuan Ayah sambil menangis. Saat itu sedang libur sekolah dan semua teman-teman memamerkan liburan menyenangkan di rumah Nenek dan Kakek mereka."Kenapa aku nggak punya Nenek dan Kakek Yah?"Ayah tersenyum, mengusap kepalaku dengan lembut."Kata siapa Keysha tidak punya? Kamu punya kok.""Sungguh?"Iya. Hanya saja, kita belum boleh menemui mereka. Keysha memanggilnya Eyang. Eyang kakung dan Eyang putri. Beliau berdua adalah Ayah dan Ibunya Ibu.""Kalau Ayah dan Ibunya Ayah?"Ayah menggeleng. "Ayah anak yatim piatu, dan sebatang kara. Jadi, Keysa memang tidak punya Nenek dan Kakek dari Ayah."Aku terdiam, membayangkan seperti apa sosok orang yang boleh kupanggil Eyang itu."Key mau kesana. Aku mau bilang teman-teman kalau aku punya Kakek dan Nenek.""Iya, Nak. Suatu saat nanti."Dan ketika saat itu tiba, aku dengan riang gembira berangkat ke desa, menemui Eyang. Kala itu, Kiara belum lahir. Di muka pagarnya, aku berdiri, terkagum-kagum memandang rumah besar dan megah ini. Sungguh jauh berbeda dengan rumah kami yang sederhana.Eyangku ternyata sangat kaya raya.Tapi, apa yang kami terima di dalam sana tak akan pernah kulupakan seumur hidup. Ibu yang menangis tersedu, bersujud di kaki Eyang putri dihempas hingga jatuh."Anak durhaka. Pergi dari rumah ini dan jangan pernah kembali sebelum kau dan Arman berpisah!"Ayah tak mampu berbuat apa-apa selain membantu Ibu berdiri. Kami lalu pulang dengan air mata yang terus membanjiri pipi Ibu. Aku bahkan belum sempat mencium tangan mereka berdua dan memperkenalkan diri. Kakek dan Nenekku, ternyata tidak seperti Kakek dan Nenek teman-temanku.Aku duduk tegak, menyusun kepingan puzzle itu dalam keheningan sore hari. Ada sesuatu yang tidak ku ketahui. Sebuah rahasia besar yang membuat Ibu menjauh dari kami.***ERNIKAHAN KEDUA 3"Mau apa kalian kesini?"Suara ketus Eyang tak menyurutkan niatku duduk dan menatap matanya. Kugenggam tangan Kiara erat-erat. Adikku yang tak tahu apa-apa, tadi sibuk berceloteh tentang betapa bagusnya rumah ini. Namun dia terdiam begitu sosok Eyang putri muncul. Wanita berusia nyaris tujuh puluh tahun itu memandang Kiara tak berkedip. Kiara memang sangat mirip Ibu, sementara aku mirip Ayah. Aku memutuskan datang kesini, meski tahu bahwa akhirnya semua yang keluar dari mulut Eyang hanya akan menyakitiku."Tolong jelaskan, siapa Om Reyhan sebenarnya. Kenapa dia tiba-tiba datang dan menikahi Ibu. Dan kenapa Eyang menerimanya dengan bahagia, tidak seperti Eyang menerima Ayahku. Padahal… padahal selama tujuh belas tahun lamanya Ayah terus berusaha mengambil hati Eyang."Wajah tua yang masih tampak ayu itu termangu sejenak. Mataku tak berkedip memandangnya. Eyang putri, Ibu dan Kiara memiliki garis wajah yang sama. Tak ada yang bisa menyangkal bahwa mereka berdua memilik
PERNIKAHAN KEDUA 4"Kalau begitu katakan saja sekarang! Aku sudah cukup besar untuk mengerti. Jangan terus membuat teka teki!""Keysha! Pergilah!"Suara Ibu getas. Sesaat, kami saling menatap, dengan permohonan di mata masing-masing. Ibu memohon padaku untuk pergi, sementara aku memohon pada Ibu penjelasan tentang semua kejanggalan ini."Kau mau tahu?" Om Reyhan melangkah maju dan berhenti lima langkah di hadapanku. Aku berpaling dari Ibu dan kini memandangnya. Dia seorang pria dengan perawakan tinggi dan besar. Seharusnya dia tampan asalkan wajahnya cukup ramah."Jangan katakan apa-apa, Mas. Aku yang akan menceritakannya sendiri!" Seru Ibu. Kali ini dia berjalan cepat dan menarik tanganku menjauh. Aku tak berusaha meronta meski rasa penasaran masih menguasai hati. Aku tak mau Ibu menerima imbasnya. Di dalam kamar, Ibu langsung menarik ransel besar dari atas lemari. Aku ternganga menyaksikan beliau dengan cepat memasukkan baju-bajuku ke dalamnya. Masih belum cukup, Ibu menarik tas ba
PERNIKAHAN KEDUA 5Rumah sepi ketika aku datang dengan membawa Kiara dalam gendongan. Lagi-lagi, tak kuhiraukan kaki yang lelah seperti hendak lepas dari persendian. Aku datang dengan harapan Kiara dapat bertemu ibu sehingga demamnya turun. Tapi, setibanya di rumah, hatiku patah. Rumah itu sepi, tanpa ada tanda-tanda kehidupan, padahal baru kemarin kutinggalkan. Aku memandang gembok yang terpasang dari luar dengan nanar, ngilu membayangkan perasaan adikku. Aku juga rindu, tapi rindu yang bercampur benci hingga sakit rasanya. Namun, aku sudah cukup dewasa untuk mengendalikan semua rasa ini. Tapi Kiara?"Loh, Key? Tante kira kalian ikut pindah?"Sebuah suara membuatku menoleh. Tante Lina, tetangga sebelah kiri rumah membuka pagar dan menghampiri kami."Pindah? Maksud Tante Ibu pindah?"Tante Lina justru memandangku heran."Iya. Semalam, Ibumu pamit hendak pindah ke Surabaya. Katanya hendak mengurus usaha Ayah barumu disana."Bagai langit runtuh di atas kepala, itulah yang kurasakan. Aku
PERNIKAHAN KEDUA 6"Hey, Bang Zaid. Aku datang bawa guru les baru buat Diaz!" Aku membeku di lantai. Ku cengkraman lengan Lea keras-keras, memberi isyarat agar dia berhenti. Rasanya aku ingin kabur saja dari sini. Diaz, Ardiaz, pemuda yang kini ada dalam cengkraman kakaknya yang dipanggil Bang Zaid oleh Lea, memandang dengan tatapan meremehkan. Dan itu mengerikan buatku. Belum lagi Abangnya."Hah? Lo bawa anak kecil ini buat jadi guru les gue, Le? Nggak salah?"Lea mencibir."Ya nggak salah dong. Keysha ini juara umum sejak SD, SMP, SMA. Dia pemenang Olimpiade Matematika. Lo nggak tahu? Ah tentu saja nggak tahu? Kerjaan lo kan cuma ngejar-ngejar cewek cantik tapi nggak punya otak!""Si-alan!"Haduh… mati aku! Jadi guru les cowok bar-bar dan tukang main cewek?"Berapa usiamu?"Suara lelaki yang satunya terdengar. Seketika aku tertegun mendengarnya. Itu jenis suara yang dingin tapi enak didengar. Aneh sekali. Dan sejak tadi tatapan matanya tak lepas dariku, membuatku jengah."Tujuh bel
PERNIKAHAN KEDUA 7Hari pertama membuatku geleng-geleng kepala. Diaz sama sekali tak punya buku pelajaran maupun alat tulis. Tas-nya kosong, malah berisi sisir yang dia sebut obat ganteng, lima pasang kaus kaki yang sudah bau, dan dasi yang dia sumpah sembarangan. Padahal itu tas mahal yang harganya nyaris satu juga. Tas itu kini benar-benar kehilangan wibawanya. Jadilah hari itu aku bertindak seperti Mamanya, melihat daftar pelajaran dan mulai mendata apa saja yang harus dia bawa besok ke sekolah. Kami tidak bersekolah di tempat yang sama. Sekolah Diaz adalah sekolah bilingual dengan guru-guru dalam dan luar negeri yang handal. Bayarannya tentu saja setinggi langit."Jadi, besok jangan sampai aku melihat bukumu kosong.""Huh. Dasar udik. Nggak tahu ya sekolahku nggak pake buku lagi. Semua dikerjakan dengan laptop.""Aku nggak percaya. Nggak mungkin semuanya. Tapi okelah, aku akan periksa laptopmu besok dan kita akan mulai belajar serius."Aku berdiri dan menyandang ransel sekolahku.
PERNIKAHAN KEDUA 8Pernahkah kau merasakan sakitnya tenggelam? Saat tubuhmu masuk ke dalam air, kamu berusaha menahan nafas dari hidung, tapi air justru masuk dari dalam mulut, menutup katup nafas dan membuatmu sesak dalam sekejap. Dadamu rasanya terbakar, dan nyaris meledak. Lalu perlahan, kau akan kehilangan kesadaran seiring makin dalamnya tubuhmu tenggelam. Di dasar air, tampak seraut wajah malaikat maut yang sudah menanti dan tak mungkin dielakkan.Seperti itulah yang kurasakan kini.Memandang foto itu, dengan binar ceria yang jelas tampak di mata Rani, anak tiri Ibu, aku terbakar iri dan cemburu. Apalagi saat aku memandang Kiara yang sedang sibuk melipat sajadah dan mukena kecil miliknya. Apa yang Ibu pikirkan sehingga bisa bisanya membuang kami dan menyayangi anak orang lain seperti itu? Tak ingatkah Ibu pada Kiara yang masih kecil? Kucoba memandang mata Ibu yang tampak di foto itu, lalu aku terhenyak. Meski samar, dapat ku lihat bahwa senyum yang ada disana palsu.(Key, maaf.
PERNIKAHAN KEDUA 9Ibu, apa yang sedang kau lakukan di sana? Apa yang kau pikirkan? Apakah Ibu ingat kami? Apa Ibu memikirkan keadaanku dan juga Kiara? Ara sudah nggak minta susu dot lagi, seperti yang Ibu inginkan. Dia bahkan tak lagi minta susu karena tahu bahwa uangku tak banyak. Ibu, apa yang membuat Ibu begitu tega meninggalkan kami?Aku menutup wajah, berusaha menahan isakan yang susah payah kuredam. Sementara di luar sana, suara petikan gitar Diaz masih mengalun. Suaranya syahdu, sarat kesedihan dan penyesalan. Kami dua orang yang sama-sama merindukan Ibu. Jika Ibunya dipanggil Allah lebih dulu, aku dan Ibu dipisahkan oleh keadaan yang belum sepenuhnya kumengerti.Lalu, sepasang kaki bersepatu muncul dari tangga, berdiri membentang jarak sekitar seratus langkah dariku. Aku tertegun, mengusap mataku yang basah secepat mungkin dan mengangkat kepala."Apa yang terjadi?"Suaranya dingin. Dia memandang buku-buku yang berserakan di atas karpet, menatap ke pintu balkon dimana Diaz ber
PERNIKAHAN KEDUA 10"Jadi, waktu kecelakaan, Papa dan Mamanya sedang menjemput si kecil Aurel ke sekolah. Kau tahulah, anak orang kaya macam mereka, dari usia dua tahun saja sudah disekolahin macam-macam. Saat itu Diaz telepon dan ngamuk minta dianter ke kumon. Dia ada jadwal matematika dan baru saja dapat hukuman nggak boleh bawa motor sendiri akibat ngebut. Saat itu gerimis dan mobil yang mereka tumpangi menabrak pagar pembatas jalan. Papa dan Mamanya meninggal di tempat. Sementara Aurel, menyusul setelah dua minggu di ICU."Aku tercekat mendengar cerita itu. Sungguh tragis, mendengarnya saja sudah mampu membuatku menitikkan air mata, apalagi Diaz yang mengalaminya. Pantas saja ada banyak boneka terpajang di etalase ruang tengah."Diaz terus menyalahkan diri. Dia menghukum dirinya sendiri dengan tak makan berhari-hari hingga masuk rumah sakit. Setelah sembuh, dia terus bolos sekolah dan jadi anak Pembangkang. Entahlah Key, semua orang punya cara sendiri menebus rasa bersalah dan mel