Share

Bab 2

Author: Yazmin Aisyah
last update Last Updated: 2023-05-13 01:22:22

PERNIKAHAN KEDUA 2

Apa yang terjadi dengan Ibu? Kenapa semua bisa berubah hanya dalam waktu sehari saja? Aku menggigit bibir, menahan air mata yang hendak tumpah. Sungguh, aku tak boleh menangis di depan Kiara. Setelah semua penolakan Ibu padanya, aku tak boleh membuatnya merasa berkecil hati lagi.

Di hadapanku Ibu menunduk setelah mengatakan kalimat itu, menyembunyikan wajahnya dariku. Sementara lelaki itu, yang sepertinya sama usianya dengan Ibu tersenyum.

"Sekolah sampai SMA itu cukup Key. Ayahmu sudah tak ada. Bapak dan Ibu harus menabung untuk calon anak kami nanti. Dan juga Rani masih butuh banyak biaya."

Rani adalah putri semata wayang suami baru Ibu. Aku bertemu dengannya kemarin. Usianya dua tahun di bawahku. Dan dari tatapan matanya, aku tahu bahwa seharusnya aku tak dekat-dekat dengannya.

"Rani harus kuliah. Karena itu pesan almarhum Mamanya." Suara Ibu bergetar.

"Dan pesan Almarhum Ayah tidak penting bagi Ibu. Rani masih punya Bapak. Sementara aku, seharusnya bisa mengandalkan tabungan yang Ayah tinggalkan."

"Key!" Nada suara Ibu meninggi. "Tolong menurutlah sekali ini. Tabungan Ayah sudah habis untuk biaya pemakaman dan melunasi hutang-hutangnya. Lulus SMA, kerja, barulah kau kuliah jika sudah punya tabungan sendiri. Ibu tak bisa membiayaimu."

Selesai. Pembicaraan itu akhirnya selesai dengan keputusan sepihak Ibu. Aku bahkan tak berhak bertanya dikemanakan semua tabungan Ayah karena setahuku Ayah tak suka berhutang. Dari sudut mata aku melihat lelaki itu mendorong tubuh Ibu menjauhi meja makan, lalu menghilang di balik tembok pembatas ruang tengah. Tak tahan lagi, air mataku akhirnya tumpah juga. Kiara yang tak mengerti apa-apa, ikut menangis sambil memelukku. Oh, Ibu. Apa yang kau rasakan saat menatap kami? Menatap wajah mungil Kiara yang tak berdosa. Tak adakah sedikit saja cinta tersisa dihatimu untuk kami? Sedikit saja, sehingga cukup untuk menghentikan tangis adikku.

Aku berangkat sekolah dengan hati cemas. Meninggalkan Kiara di rumah sementara Ibu tengah kasmaran dengan suami barunya. Di sekolah, pikiranku terus saja melayang, menembus cakrawala membingkai wajah adik tersayangku.

Aku nyaris melompat dan berlari begitu bel pulang berbunyi. Untunglah sekolahku dekat, hanya butuh dua puluh menit dengan berjalan kaki. Dan mungkin bisa kutempuh dengan sepuluh menit jika berlari. Peluh membanjiri sepanjang jalan. Tak kuhiraukan beberapa teman yang menahanku. Aku harus segera pulang.

Rumah sepi. Aku membuka pintu dengan panik, melempar tas dan berlari seantero rumah sambil menjerit memanggil Kiara.

"Kakak!"

Suara Kiara membuatku lega bukan kepalang. Namun kemudian, hatiku nelangsa melihatnya. Kiara muncul dari kamar mandi, dengan air yang membasahi hampir seluruh pakaiannya. Aroma tak sedap menguar.

"Ara pup?"

Adikku mengangguk. Dia memang belum mahir membersihkan kotorannya sendiri. Kubawa Kiara ke kamar mandi, membersihkan dan sekaligus memandikan nya. Setelah bersih dan berganti pakaian, kududukkan dia di kursi makan.

"Ibu kemana?"

"Pergi sama Bapak."

"Ara sudah makan?"

Kiara menggelengkan kepalanya yang mungil.

Aku membuka tudung saji dan lagi-lagi mencelos memandang meja yang bersih, tanpa secuilpun makanan. Hanya ada nasi sisa kemarin yang hampir mengering. Kemana sisa makanan pesta kemarin? Ya Allah, terbuat dari apa hati Ibu? Oh, bukan. Tapi setan apa yang telah merenggut hati Ibuku hingga dia bisa tega melakukan hal ini pada darah dagingnya sendiri. Aku membuka kulkas dan mengambil sebutir telur. Dengan sedikit garam aku membuat telur mata sapi dan dengan nasi yang mengering itux menyuapi adikku yang tampak kelaparan. Tentu saja, ini sudah jam dua siang.

Apa yang harus kulakukan dengan keadaan ini? Kemana kami harus meminta tolong? Aku menutup pintu kamar setelah Kiara tertidur, terduduk di kursi tamu, memandang bunga bunga sisa akad nikah Ibu yang sudah layu.

"Tolong jangan terlalu kejam pada anak-anakku, Mas. Aku telah menuruti keinginanmu meski harus menyakiti mereka."

Suara Ibu terdengar. Aku yang duduk di sofa membelakangi balik pintu depan tertegun mendengarnya.

"Itu hukuman bagimu Sarah. Kau telah mengkhianatiku dulu. Lari dari pernikahan kita dan memilih kawin lari dengan Arman. Bersyukurlah aku tidak mencelakai anak-anakmu."

"Jangan Mas."

"Kalau begitu, menurut saja. Dan ingat selain anak-anakmu, orang tuamu juga sangat percaya padaku. Mereka tidak akan pernah menyangka kalau aku bisa saja meletakkan setetes racun dalam minumannya."

Astaga. Aku menekap mulut dengan kedua tangan. Di luar hening. Aku berlari ke kamar, berusaha tidak mengeluarkan suara. Lelaki itu tak boleh tahu bahwa aku baru saja mendengar semuanya.

Di kamar, aku merebahkan diri sambil memeluk Kiara. Apa arti semua ini? Apa yang sesungguhnya terjadi? Tak lama kudengar pintu depan dibuka dan langkah langkah kaki mendekat. Lalu pintu kamarku dibuka dan ditutup lagi setelah beberapa menit lamanya.

"Keysha sudah pulang. Kau benar-benar sembarangan bicara Sarah."

"Maaf, Mas. Tapi Keysha tidur."

"Aku mulai berpikir untuk mengenyahkan hama itu dari rumah ini. Bagaimana menurutmu?"

"Apa maksudmu?" Suara Ibu panik.

"Kedua anakmu membuat bulan madu yang kuimpikan bertahun-tahun lamanya menjadi tak sempurna. Kurasa sebaiknya kau mulai berpikir memindahkan mereka dari sini."

Aku menekap mulut, menahan isakan yang hendak lolos keluar. Lelaki itu ingin mengusir kami! Dia bukan hanya ingin menguasai Ibu, tapi juga rumah ini. Rumah penuh kenangan yang dibangun Ayah dengan susah payah bertahun-tahun lamanya. Ya Allah, apa yang harus kulakukan? Apa yang sebenarnya terjadi? Dan kemana aku harus bertanya?

Ingatanku lalu melayang pada masa bertahun-tahun lalu, saat aku duduk di pangkuan Ayah sambil menangis. Saat itu sedang libur sekolah dan semua teman-teman memamerkan liburan menyenangkan di rumah Nenek dan Kakek mereka.

"Kenapa aku nggak punya Nenek dan Kakek Yah?"

Ayah tersenyum, mengusap kepalaku dengan lembut.

"Kata siapa Keysha tidak punya? Kamu punya kok."

"Sungguh?

"Iya. Hanya saja, kita belum boleh menemui mereka. Keysha memanggilnya Eyang. Eyang kakung dan Eyang putri. Beliau berdua adalah Ayah dan Ibunya Ibu."

"Kalau Ayah dan Ibunya Ayah?"

Ayah menggeleng. "Ayah anak yatim piatu, dan sebatang kara. Jadi, Keysa memang tidak punya Nenek dan Kakek dari Ayah."

Aku terdiam, membayangkan seperti apa sosok orang yang boleh kupanggil Eyang itu.

"Key mau kesana. Aku mau bilang teman-teman kalau aku punya Kakek dan Nenek."

"Iya, Nak. Suatu saat nanti."

Dan ketika saat itu tiba, aku dengan riang gembira berangkat ke desa, menemui Eyang. Kala itu, Kiara belum lahir. Di muka pagarnya, aku berdiri, terkagum-kagum memandang rumah besar dan megah ini. Sungguh jauh berbeda dengan rumah kami yang sederhana.

Eyangku ternyata sangat kaya raya.

Tapi, apa yang kami terima di dalam sana tak akan pernah kulupakan seumur hidup. Ibu yang menangis tersedu, bersujud di kaki Eyang putri dihempas hingga jatuh.

"Anak durhaka. Pergi dari rumah ini dan jangan pernah kembali sebelum kau dan Arman berpisah!"

Ayah tak mampu berbuat apa-apa selain membantu Ibu berdiri. Kami lalu pulang dengan air mata yang terus membanjiri pipi Ibu. Aku bahkan belum sempat mencium tangan mereka berdua dan memperkenalkan diri. Kakek dan Nenekku, ternyata tidak seperti Kakek dan Nenek teman-temanku.

Aku duduk tegak, menyusun kepingan puzzle itu dalam keheningan sore hari. Ada sesuatu yang tidak ku ketahui. Sebuah rahasia besar yang membuat Ibu menjauh dari kami.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
seru ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • PERNIKAHAN KEDUA   Bab 62 (ENDING)

    PERNIKAHAN KEDUA 62 (ENDING)Jam sepuluh malam, pesta telah sepenuhnya usai. Rumah lengang meski dekorasi taman belum dibongkar. Para ART, Kiara dan kedua anakku dibawa Tante Arumi ke rumahnya. Mereka semua ingin membiarkan kami hanya berdua malam ini karena aku menolak kamar pengantin di hotel. Aku ingin berada disini. Di tempat aku bertemu mereka berdua. Tempat aku memulai takdirku. Dengan bergandengan tangan, kami naik ke lantai atas. Kamar Diaz telah disulap Lea menjadi kamar pengantin yang indah. Begitu membuka pintunya, aroma wangi mawar langsung menerpa hidung. Membawaku pada kenangan tujuh belas tahun silam. Aku mengerjap, memaksa diriku untuk menyadari bahwa tangan yang kugenggam ini bukan tangannya. "Nggak apa-apa kan kita disini? Dibawah…"Diaz membungkam bibirku dengan jarinya. Kami berdiri berhadapan, dengan tatapan lembut di matanya. Kemarin, aku memang meminta untuk tidak menempati kamarku bersama Bang Zaid, setidaknya untuk sementara waktu sampai aku merasa nyaman de

  • PERNIKAHAN KEDUA   Bab 61

    PERNIKAHAN KEDUA 61 Begitu mobil berhenti di halaman rumah, Zakia langsung berseru-seru memanggil Kiara. Kebetulan sekali hari ini Kiara pulang kuliah lebih awal. Adikku itu terkejut, berlari keluar dengan wajah tegang. Setelah banyak kejutan sepanjang hidupnya, dia sepertinya telah bersiap akan satu kejutan terakhir."Kia, ada apa?!" Suara Kiara panik.Tapi keponakannya itu malah melompat-lompat kegirangan. Perlahan, wajah Kiara mengendur."Oh, kamu dapat nilai terbaik? Lulusan terbaik?"Zakia mengangguk, masih melompat-lompat."Hemm… Alhamdulillah. Keponakan Tante kan memang pintar.""Ada lagi. Coba tebak!""Apa?"Aku tersenyum melihatnya. "Aku akan punya Papa! Yeaaayyy!"Mata Kiara melebar. Lalu dia menyadari bahwa aku dan Diaz berdiri mengawasi. Tatapan matanya menyorot, meminta penjelasan. Lalu, tangan Diaz yang menggenggamku-lah yang menjadi fokusnya. Kiara tersenyum. Matanya berkaca-kaca. Dia lalu berlari menghambur dan memelukku erat-erat."Jadi?"Aku mengangguk.Kiara menar

  • PERNIKAHAN KEDUA   Bab 60

    PERNIKAHAN KEDUA 60 "Mama, sembuh dong. Besok kan hari perpisahan sekolah aku."Zakia sibuk mengusap dahiku dengan kompres. Aku tersenyum melihatnya. Sejak semalam, aku terserang demam. Badanku panas dan kepalaku pusing sekali. Aku tahu bahwa aku tak boleh sakit. Besok, akan ada perpisahan sekolah. Zakia akan lulus SD.Ya. Lima tahun lagi telah berlalu sejak kepergian Bang Zaid. Zakia kini berusia dua belas tahun dan akan segera lulus SD, sementara aku masih setia hidup dalam kenangan bersamanya. Setiap malam, aku tidur sendirian, memeluk sepi, dan dia selalu hadir dalam mimpi meski tanpa kuminta."Sayang, jangan siksa dirimu seperti ini. Menikahlah lagi. Aku ikhlas."Itulah mimpi yang sering datang. Dan di dalam mimpi, aku menangis. Tangis yang kemudian terasa hingga aku bangun. Bantalku yang basah oleh air mata menyadarkan bahwa mimpiku merasuk hingga ke dasar jiwa. Dan semalam, Tiba-tiba saja aku demam tinggi. Kiara sudah memanggilkan dokter dan kata dokter aku baik-baik saja dan

  • PERNIKAHAN KEDUA   Bab 59

    PERNIKAHAN KEDUA 59Muhammad Zaidan Adhyaksa. Nama itu akan terukir indah di sanubariku selamanya.Suamiku telah menepati janjinya. Penyakit itu tak mampu mengalahkan semangat hidupnya yang tinggi. Lima tahun setelah operasi, kami kembali hidup normal dan bahagia, tanpa pernah menyangka takdir menghampirinya sore itu. Aku tak akan pernah melupakan sore itu, tiga bulan yang lalu, Lea datang ke rumah dengan wajah sembab. Dia memintaku duduk, mengambilkan segelas air dan meminta Kiara membawa Zakia dan Zen ke dalam. Menatap wajahnya, hatiku berdebar kencang. Lebih dari dua puluh tahun lamanya kami bersahabat. Aku tahu dengan pasti kapan sesuatu yang serius terjadi."Le, ada apa?"Lea memelukku. Mengusap-usap punggungku, persis Bang Zaid."Kamu percaya takdir kan?" Suaranya bergetar.Aku mengangguk. Bagiku tak ada yang perlu diragukan dari ketetapan-Nya. Tapi, mendengar pertanyaannya, selarik perasaan gelisah menyambar hatiku dengan cepat. Lalu aku teringat bahwa Bang Zaid tidak di rumah

  • PERNIKAHAN KEDUA   Bab 58

    PERNIKAHAN KEDUA 58Untukmu, yang tengah bertarung melawan kerasnya hidup, dan kamu, yang sedang meniti takdir. Kamu hanya harus terus berjuang, bersabar, dan berdoa. Karena apa yang menjadi takdir Tuhan, hanya bisa diubah dengan doa. Aku tak pernah bersujud syukur selama ini sebelumnya. Setelah kecemasan selama empat jam terhapus sudah oleh kabar bahagia. Operasi berhasil dan kini tinggal menunggu keduanya sadarkan diri. Dari balik kaca ruang observasi, aku melihat keduanya terbaring berdampingan. Air mataku menetes dengan deras, menciptakan kabut yang mengaburkan pemandangan.Sungguh, kasih sayang seorang saudara kandung seharusnya tak perlu diragukan. Diaz yang bengal, yang selama ini kerap membuat masalah dan selalu menguras emosi Bang Zaid, telah berkali-kali membuktikan bahwa cintanya tanpa pamrih."Aku tak suka melihatmu menangis Key. Cintamu pada Bang Zaid itu sungguh indah. Rasanya, bagai aku yang menjadi dia. Seperti aku yang merasakan dicintai olehmu. Maka, apa saja akan k

  • PERNIKAHAN KEDUA   Bab 57

    PERNIKAHAN KEDUA 57"Diaz!"Diaz menghentikan langkah. Dia berbalik dan mendapati Abangnya berusaha duduk dengan tegak. Jika biasanya Bang Zaid selalu menjadi penguatku, hari ini akulah yang menjadi penopangnya. Kurengkuh kedua bahunya, hingga dia bisa duduk dengan tegak."Abang sedang mencari donor. Abang tidak menerima donor darimu."Mata Diaz melebar. Dia kembali menghampiri ranjang dan menatap Abangnya lekat-lekat."Apa maksud Abang?""Kamu masih muda. Belum menikah dan jalan hidupmu masih panjang. Kamu tak boleh mengorbankan dirimu untuk Abang.""Jadi Abang merasa sudah tua? Dan kenapa memangnya kalau aku belum menikah? Mau sampai kapan menunggu donor yang belum tentu langsung cocok? Lalu bagaimana dengan Key dan keponakanku? Tidak, Bang. Aku pulang untuk Abang. Jangan mencegahku atau aku akan pergi dan tak akan kembali lagi."Tanpa menunggu jawaban Sang Abang, Diaz berjalan dengan langkah lebar. Bang Zaid menghela napas, meminta tanganku untuk digenggam. Aku menarik kursi dan du

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status