Share

Bab 5

PERNIKAHAN KEDUA 5

Rumah sepi ketika aku datang dengan membawa Kiara dalam gendongan. Lagi-lagi, tak kuhiraukan kaki yang lelah seperti hendak lepas dari persendian. Aku datang dengan harapan Kiara dapat bertemu ibu sehingga demamnya turun. Tapi, setibanya di rumah, hatiku patah. Rumah itu sepi, tanpa ada tanda-tanda kehidupan, padahal baru kemarin kutinggalkan. Aku memandang gembok yang terpasang dari luar dengan nanar, ngilu membayangkan perasaan adikku. Aku juga rindu, tapi rindu yang bercampur benci hingga sakit rasanya. Namun, aku sudah cukup dewasa untuk mengendalikan semua rasa ini. Tapi Kiara?

"Loh, Key? Tante kira kalian ikut pindah?"

Sebuah suara membuatku menoleh. Tante Lina, tetangga sebelah kiri rumah membuka pagar dan menghampiri kami.

"Pindah? Maksud Tante Ibu pindah?"

Tante Lina justru memandangku heran.

"Iya. Semalam, Ibumu pamit hendak pindah ke Surabaya. Katanya hendak mengurus usaha Ayah barumu disana."

Bagai langit runtuh di atas kepala, itulah yang kurasakan. Aku gemetar, bersandar di pagar dengan Kiara dalam gendongan.

"Ada apa? Kenapa? Ayo sini ke rumah Tante dulu."

Aku tak menolak ketika Tante Lina mengambil alih Kiara dalam gendongan dan mengajakku ke rumahnya. Aku terpaksa bercerita semua yang terjadi. Tapi anehnya, aku tak lagi menangis. Mungkin, air mataku sudah kering.

"Astaghfirullah."

Tante Lina beristighfar mendengar keseluruhan ceritaku. Dia memeluk Kiara erat-erat. Sedikit banyak, ada kelegaan dalam hatiku setelah bercerita. Namun, tentu saja aku tak bisa berharap apa-apa dari seseorang yang tak punya hubungan darah dengan kami sementara yang jelas bertalian saja enggan. Mungkin, aku memang harus segera menerima takdir burukku kali ini.

Aku kembali menggendong Kiara pulang. Seakan mengerti perasaanku, Kiara tak lagi bertanya. Sepanjang jalan, dia menempelkan telapak tangannya di pipi, hal yang dulu selalu dia lakukan pada Ibu setiap kali melihat Ibu bersedih. Tanpa peduli pada tatapan orang lain, kuciumi gadis kecil itu, bertanya-tanya dalam hati, bagaimana caraku membesarkannya nanti. Dengan apa aku mencari uang untuk memberinya makan, menyekolahkannya? Ya Allah, aku mungkin saja akan menyerah jika tak melihat wajah bening itu memandang dalam-dalam.

Di rumah, kubuka ponsel, hendak menghubungi Ibu, namun lagi-lagi aku mencelos melihat foto profil Ibu telah menghilang dari kontakku. Ibu memblokir nomorku. Aku menggigit bibir, perlahan, rasa benci dan dendam membakar hati. Ibu yang punya salah, kenapa aku yang harus menanggung deritanya?

"Ara, maukah Ara mendengar kata-kata Kakak?"

Kiara memandang dengan matanya yang sayu. Sejak mendapati pagar rumah digembok tadi, dia tak lagi bertanya ataupun menangis. Mungkin, kesadaran menyentuh hatinya, membuatnya terpaksa menerima bahwa kami kini tak diinginkan lagi. Kupegang tangannya erat-erat, memandang mata jernih berbentuk seumpama biji buah leci itu.

"Mulai saat ini, Ara akan tinggal sama Kakak. Hanya sama Kakak."

Jika biasanya kata 'Ibu' akan keluar dari bibirnya, kini dia diam saja.

"Kakak akan lakukan apa saja untuk Ara. Tapi kakak mohon, Ara kuat. Kita akan tunjukkan pada Ibu, pada Eyang dan juga pada lelaki itu, bahwa kita bisa hidup tanpa mereka."

Air mata Kiara mengalir deras. Kurengkuh tubuh mungilnya dalam pelukan. Sungguh aku pun ingin menangis, tapi sudah ku tanamkan dalam hati bahwa air mata ini tak lagi boleh keluar. Aku harus kuat agar Kiara kuat.

Aku Keysha. Beberapa hari lagi, usiaku tujuh belas tahun. Dan hari ini kisah hidupku yang penuh liku akan dimulai.

***

(Dibutuhkan, tukang cuci piring di warung Bakso Pak Mul. Syarat cekatan dan tidak boleh bawa anak.)

Coret.

(Dibutuhkan pengasuh Lansia, usia minimal 24 tahun.)

Coret.

(Dibutuhkan kasir minimarket. Pendidikan minimal SMA, bisa mengoperasikan komputer.)

Coret. Aku tersenyum miris. Hari ini aku bahkan telah resmi menjadi anak putus sekolah, bagaimana aku bisa lulus SMA? Aku memang belum mengajukan surat pengunduran diri ke sekolah, tapi buat apa lagi pergi kesana? Memandang gerbang pagarnya saja hatiku sakit. Mengingat bahwa dulu, aku pernah melambungkan harapan dan cita-cita di salah satu bangkunya.

Ponsel di atas pangkuanku bergetar. Lea.

(Key, kamu mau kerja di rumah sepupuku nggak?)

(Boleh bawa adik?)

Balasan dari Lea segera masuk.

(Tentu saja boleh. Kerjanya ngasih les tambahan sama sepupuku. Satu tingkat dibawah kita. Aku sudah cerita ke Abangnya kalau kamu siswa paling pintar di sekolah.)

(Hah? Tapi Le. Aku ini putus sekolah, masa mau jadi guru les.)

(Siapa bilang kamu boleh berhenti sekolah? Kamu dianggap bolos hari ini. Besok masuk sekolah ya. Kiara titip di kantin. Aku sudah cerita sama guru dan bu kantin, maaf ya aku lancang. Tapi aku nggak tahu cara bantu kamu.)

Kali ini, air mata haru yang menetes di pipi. Ternyata masih ada orang baik yang punya nurani. Pesan WA dari Lea membuat semangatku muncul. Kupandang Kiara yang asik mengunyah roti seribuan. Ku usap rambut ikannya dengan lembut.

Adikku, badai sebesar apapun, akan kita hadapi bersama. Saat ini, hanya kamu satu-satunya milik Kakak. Bernafaslah, bergeraklah, tertawalah, karena itu yang akan membuat semangat Kakak bangkit.

***

Dengan dibonceng motor Lea, kami pergi ke rumah sepupunya di kawasan pemukiman elite. Berhenti di depan pagarnya yang besar dan mewah, aku tertegun. Rumah ini bahkan jauh lebih megah dari pada rumah Eyang.

"Sepupuku hanya tinggal berdua, dengan tiga pembantu di rumah ini. Mereka yatim piatu. Orang tuanya kecelakaan setahun lalu."

"Oh…"

Lea memasukkan motor begitu gerbang dibukakan oleh satpam. Kami melintasi halaman luas yang dipenuhi bunga-bunga yang belum semuanya pernah kulihat. Ada seorang lelaki yang tengah merawat taman, menguntingi rumput yang mulai terlihat gondrong. Sepertinya Pak kebun.

Pintu dibukakan oleh seorang wanita setengah baya. Aku dan Lea dipersilahkan masuk. Kiara terbengong-bengong melihat rumah mewah dengan perabot super lux. Terutama saat melihat pagar melingkar di sudut ruang tengah tempat kami duduk. Pagar itu tampak seperti yang ada di rumah-rumah dalam sinetron yang sering di tonton Ibu.

Baru saja hendak bertanya, sebuah suara menggelegar terdengar dari atas tangga.

"Berhenti disitu, Diaz! Ardiaz! Atau ku coret kau dari daftar kartu keluarga!"

Aku tersentak kaget, sementara Lea hanya geleng-geleng kepala. Dari atas tangga, seorang pemuda sebaya kami berlari dengan kecepatan cheetah. Sementara di belakangnya, seorang lelaki tegap memakai setelan jas resmi, berlari mengejar. Dia meloloskan dasi yang dipakainya dan berlari lebih cepat, melompati dua anak tangga sekaligus dan langsung menarik lengan lelaki yang lebih muda dan menguncinya ke belakang. Mereka lalu berhenti mendadak saat menyadari kehadiran kami. Dua pasang mata, hitam dan tajam memandang Kiara, lalu beralih padaku. Tatapan itu mengunciku, membuatku bahkan tak mampu tersenyum.

Aku gemetar memandang mereka. Seketika itu juga aku ingin membatalkan pekerjaan ini. Tapi suara Lea sudah mendahului.

"Hey, Bang Zaid. Aku datang bawa guru les baru buat Diaz!"

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
sumpah mewek kejer aku di buat kak Yasmin
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status