Share

PERNIKAHAN KONTRAK WASIAT KAKEK
PERNIKAHAN KONTRAK WASIAT KAKEK
Author: urstory

PERMINTAAN KONYOL KAKEK

"Lusi, kamu harus menikah dengan cucu sahabat Kakek."

Itu adalah kalimat yang selalu diucapkan Kakek padaku. Dan aku tidak pernah bosan selalu menjawab dengan kalimat yang sama.

"Kek, Lusi sudah bicara berapa kali kalau Lusi tidak mau. Lusi mau menikah dengan pilihan Lusi sendiri," balasku kepada Kakek karena sudah malas dimintai menikah dengan orang yang tidak kukenal.

Kakek menggenggam tanganku dengan lemah. Dari posisi berbaringnya, pria tua itu menatapku dengan tatapan memohon.

"Kakek sudah berjanji dengan sahabat kakek untuk menjodohkan kalian,” ucap Kakek dengan suaranya yang lirih. “Kakek harus menepatinya sebelum Kakek tiada."

"Sudahlah, Kakek istirahat saja.”

Aku memutuskan untuk mengabaikan permintaan Kakek, menyudahi obrolan pernikahan yang sangat tidak aku inginkan itu.

Aku menarik selimut Kakek, menyuruhnya untuk berhenti mengoceh. “Kakek sedang sakit, tidak baik membicarakan hal berat seperti ini."

“Lusi,” panggil Kakek lagi. "Ini tinggal persetujuan dari kamu Lusi, cucu sahabat Kakek sudah menyetujuinya."

Aku tidak membalas ucapan terakhir Kakek, memilih untuk pergi dari kamar rawat Kakek untuk mencari udara segar.

Sudah beberapa kali aku mengatakan pada Kakek bahwa aku sudah memiliki kekasih, tapi mengapa Kakek terus memaksa aku menikah dengan cucu sahabatnya? Itu membuatku kesal.

Perasaan itu membawaku melangkah ke taman rumah sakit, tempat yang rindang karena masih banyak pepohonan di sana, dan ketenangan yang membuatku sedikit lebih rileks.

Aku mendekati tempat duduk kosong dan memilih untuk duduk sejenak, merenungkan permintaan konyol Kakek.

Sudah dua bulan Kakek terbaring di rumah sakit karena penyakit jantungnya. Dokter bilang, kondisinya sudah semakin lemah.

Dan semakin ke sini, Kakek semakin sering menyinggung soal perjodohan itu. Dia bilang, dia bisa mati dengan tenang jika melihatku menikah dengan cucu temannya.

Aku bingung, harus menolak atau tidak.Bagaimanapun, aku sangat menyayangi Kakek.

"Sepertinya aku perlu mendiskusikannya dengan Raju," gumamku seorang diri.

Aku berniat mengambil ponsel dari saku bajuku untuk menghubungi Raju, kekasihku.

Salah satu alasan mengapa aku menolak perjodohan ini adalah karena aku masih memiliki Raju. Tidak mungkin aku meninggalkannya demi orang lain yang tak kukenal.

Namun, ketika aku hendak menekan nomor telepon Raju, seseorang tiba-tiba berdiri di hadapanku.

"Apakah kamu Delusi, cucu Kakek Jaya?" tanya pria itu langsung.

Aku mengangkat kepala. "Siapa kamu?" tanyaku dengan was-was, menyelidiki sosoknya dengan cermat.

Aku melihatnya dari atas hingga bawah. Dengan setelan jas biru muda yang melengkapi pesonanya, dia tampak begitu elegan dan berkarisma.

Sorot matanya yang tajam seolah mencerminkan kepercayaan diri, sementara senyum hangatnya menambahkan sentuhan ramah pada penampilannya yang berkelas.

"Aku seseorang yang dijodohkan denganmu, Derendra," jawabnya dengan santai. Kemudian, pria itu duduk di sebelahku.

Kemudian, pria asing ini mengatakan sesuatu yang membuatku terbelalak.

"Terima saja perjodohan kita.”

Aku jelas langsung protes!

"Tidak mau! Aku sudah punya pasangan," kataku.

"Tenang saja, aku juga sudah punya pasangan," balasnya tenang sambil menyeruput kopi yang dibawanya. Ia bahkan tidak mau menatapku.

Aku terkejut mendengar kejujuran yang dikatakannya itu. Lalu kenapa pria ini ingin agar aku menerima perjodohan itu?

"Kamu gila, ya?!” ucapku lagi. “Kalau punya pasangan, kenapa–”

"Kita nikah demi keuntungan masing-masing saja, dan tidak saling mencampuri urusan satu sama lain," ucap Rendra dengan tenang.

Aku mengernyit. "Keuntungan apa yang kamu maksud?" tanyaku mencoba menggali lebih dalam tawaran Rendra.

Rendra menghadap padaku dengan muka serius.

"Pertama, kamu akan menjadi anak yang sangat berbakti kepada keluargamu. Kedua, kita tidak akan didesak untuk menikah lagi. Ketiga, aku tidak akan menyentuhmu sama sekali, jadi kamu tidak perlu khawatir. Keempat, perusahaan keluarga kita akan bekerja sama, dan untungnya akan sangat besar. Dan yang kelima..."

Rendra menghentikan ucapannya dan mendekatkan dirinya padaku. Dia berbisik, "Aku akan menjadi penerus perusahaan keluargaku."

Aku menatap Rendra sambil merenungkan tawaran yang diberikannya.

Memang benar, aku sudah lelah didesak untuk menikah dengan pria ini. Tapi tentang menjadi penerus itu hanya akan menguntungkannya.

"Kamu tidak perlu putus, lanjutkan saja. Anggap saja ikatan pernikahan ini tidak ada, lakukan semau kalian dan semauku dengan pasanganku," sambung Rendra sambil menyenderkan tangannya di bangku taman.

Apakah aku akan berkhianat pada Raju jika menerima pernikahan ini?

Jika aku menolak perjodohan ini, aku takut kesehatan Kakek akan menurun. Tetapi aku tidak siap dengan pernikahan ini, aku hanya ingin menikah dengan Raju.

"Jangan khawatir, kita akan bercerai dalam waktu singkat. Setelah itu, kamu bisa menikah dengan kekasihmu itu," jelas Rendra yang sepertinya bisa membaca kekhawatiran yang aku rasakan.

"Anggap santai saja pernikahan ini, kamu tidak perlu melakukan tugasmu sebagai istri," tambah Rendra.

"Bagaimana jika salah satu dari kita ada yang jatuh cinta?" tanyaku lagi karena ingin memastikan bahwa tawarannya tidak akan merugikanku.

Rendra hanya diam untuk berpikir, sepertinya dia belum memikirkan ini sebelumnya.

"Dia yang jatuh cinta tidak boleh menuntut untuk dicintai balik dan tetap bercerai setelah satu tahun," tawarnya padaku setelah berpikir beberapa lama.

Tawaran Rendra cukup menarik, hanya saja aku takut jika Raju tidak bisa menerima keputusan ini. Bagaimana jika Raju memilih untuk putus denganku?

"Sepertinya kamu perlu waktu berpikir," ucap Rendra dan memberikan ponselnya kepadaku. "Catat nomormu di sini, aku akan menghubungimu kembali nanti untuk menanyakan keputusanmu."

Aku mengambil ponsel Rendra dan mengetik nomor ponselku.

"Telepon aku terlebih dahulu jika kamu sudah membuat keputusan," ucap Rendra setelah menutup panggilan.

Mengapa aku harus berada dalam situasi yang begitu rumit ini?

Menikah dengan seseorang yang tidak aku kenali, terutama ketika kami masih memiliki pasangan masing-masing? Hanya orang tidak waras yang akan menyetujui tawaran gila seperti ini.

Drtt. Drtt.

Teleponku berbunyi, dan tertera nama Mama di sana.

"Halo, Ma?"

Mama menjawab sambil terisak. Hatiku berdegup kencang saat mendengar berita dari Mama bahwa kondisi Kakek sangat buruk.

Tanpa ragu, aku segera berlari kembali ke kamar Kakek, di mana gelapnya suasana menyatu dengan kegelapan perasaanku yang tak karuan.

"Kakek harus baik-baik saja," gumamku dalam hati, berharap dengan keras agar tidak terjadi hal buruk kepada Kakek.

Dengan napas tersengal-sengal, aku terus berlari hingga sampai di depan pintu ICU, di mana kegelapan koridor menyambutku dengan dinginnya. Di sana, orangtuaku berdiri, wajah mereka mencerminkan kekhawatiran yang sama seperti yang kurasakan.

"Masuklah, Lusi," pinta Mama kepadaku seraya menatapku dengan wajah penuh harap,.

"Kakek tidak mau ditangani sebelum bertemu denganmu." Suaranya terdengar serak.

Dengan hati yang berdebar-debar, aku segera mengikuti perintahnya dan melangkah masuk ke dalam ruang ICU.

Di sana, aku melihat Kakek terbaring lemah dengan berbagai macam alat di sekitarnya. Beberapa dokter yang hanya diam, tampaknya tidak melakukan apapun pada Kakek.

Suasana tegang dan hening menyelimuti ruangan, menciptakan aura ketegangan yang sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata.

"Kenapa kalian diam saja?" pekikku kepada para dokter yang hanya berdiri diam di sekeliling Kakek. "Cepat lakukan sesuatu untuk Kakek!"

Suaraku memecah keheningan ruangan, mencerminkan kegelisahan dan keputusasaan yang melanda hatiku.

"Jangan salahkan mereka, Lusi...," lirih Kakek dengan suara lemahnya. "Kakek yang tidak mau."

Suaranya hampir hilang di antara kebisingan alat-alat medis yang berdenyut.

"Berjanjilah untuk menikah dengan Rendra, Lusi," pinta Kakek dengan suara yang semakin lemah, namun permintaannya terdengar begitu tulus dan berat untuk diabaikan.

Aku tidak punya waktu untuk berpikir, aku tidak punya pilihan lain.

Dengan suara gemetar, menahan tangis yang hampir pecah, aku menjawab, "Akan aku lakukan, Kek, asalkan Kakek berjanji untuk tidak melakukan hal seperti ini lagi."

Kakekku hanya diam dan tersenyum lemah, sepertinya menerima janji yang baru saja kuberikan.

Aku segera menyuruh para dokter untuk segera menangani Kakek. Dengan cepat, para dokter mulai melakukan tindakan yang diperlukan, bergerak dengan sigap dan penuh perhatian terhadap kondisi Kakek.

Aku meninggalkan ICU dengan perasaan cemas terhadap Kakek. Lebih dari segalanya, aku takut kehilangan Kakek daripada menjalani pernikahan ini.

Aku pun segera mengambil ponsel, menghubungi seseorang.

"Di mana kita sebaiknya bertemu untuk membahas perjanjian pernikahan ini?" tanyaku kepada Rendra melalui telepon.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status