Share

Aroma Parfum

Puluhan tahun bersama nyatanya kini lelaki di sampingku ini terasa asing. Seolah aku tak lagi mengenalnya. Kepercayaan yang dulu kuberikan sepenuhnya menjadi bumerang yang menyerang pernikahan kami.

Aku masih tak percaya dengan jawaban Mas Ilham. Aku masih memikirkan tentang lamaran itu. Dan itu sangat mengganggu. Kepercayaan pada lelaki di sampingku ini menguap entah kemana. Yang ada hanya curiga sehingga membuat hati semakin tidak tenang.

Tiba di rumah entah mengapa aku merasa enggan. Merasa tidak nyaman. Dulu rumah ini selalu menjadi tempat ternyaman setelah seharian berkutat dengan segudang aktifitas. Kini melihat sesuatu yang ada di rumah ini menjadi menjijikan. Seperti ada noda bekas perbuatan terkutuk mereka menempel di mana-mana, di setiap benda. Menyisakan rasa jijik yang luar biasa.

"Aku ingin mengganti semua barang yang ada di rumah ini," ucapku tegas pada Mas Ilham.

Lelaki yang sedang berjalan di depanku langsung menghentikan langkahnya dan berbalik menatapku. Sungguh ditatap seperti itupun aku muak, aku jijik. Nyatanya mata itu telah ia gunakan untuk menatap wanita lain. Aku langsung membuang muka tak suka.

"Enggak apa-apa, Nda. Besok ayah temani Bunda belanja."

"Enggak usah, aku mau pergi sekarang. Tolong Mas Ilham minta tolong Pak Dodi, Pak Sarip, sama terserah siapa untuk mengeluarkan semua barang di rumah ini!"

"Bunda, kita baru aja sampai rumah loh. Apa Bunda enggak cape?"

"Aku jijik menempati bekas kalian."

Tanpa menunggu tanggapan Mas Ilham aku langsung ke kamar mengambil simpanan logam mulia di brankas. Setelah menutupnya kembali segera kupesan taksi online.

"Mobil dan motor semua juga mau saya jual. Besok pagi tolong jual secepatnya! Enggak usah risaukan harganya untuk sebuah barang bekas dipakai perbuatan menjijikan," ucapku saat melewati Mas Ilham yang masih bengong.

Butuh waktu beberapa hari rumah ini menjadi nyaman kembali. Dibantu beberapa tetangga akhirnya kudapati suasana rumah yang baru. Mulai dari tembok sampai sendok makan semua aku ganti dengan yang baru. Yang lama semua kuberikan cuma-cuma pada beberapa tetangga.

Kendaraan juga telah aku ganti dengan yang baru. Aku ingin semua jejak Riana benar-benar hilang dari pandanganku. Meski aku tahu, bukan hal mudah menghapus bayang Riana dari hati Mas Ilham.

Hari terus berganti namun hubungan kami masih berjarak. Kaku. Hambar. Meski dibuat sebiasa mungkin. Hati tak bisa mengingkari bahwa semua tak bisa sama lagi. Pikiran buruk terus menghantui. Rasa percayaku pada Mas Ilham belum juga bisa kembali. Setiap ada waktu aku selalu mengecek ponselnya. Setiap dia sedikit saja terlambat sampai rumah, kata-kata sinis penuh prasangka buruk keluar dari bibirku.

Sering kudapati Mas Ilham duduk termenung. Kadang televisi yang menonton wajah murungnya. Kadang kopi yang ia buat sendiri pun sampai dingin tak nikmat lagi. Aku tak pernah menanyakan apa yang ada dipikirannya. Entah sesal atas perbuatannya, atau bisa jadi justru ia sedang memikirkan Riana.

Saat ini kami seperti orang asing yang dipaksa tinggal dalam satu atap. Setidaknya itu yang aku rasakan. Bahkan sejak mengantar Riana hingga saat ini aku masih meminta untuk pisah ranjang. Mas Ilham menempati kamar tamu. Bulan terus berganti nyatanya luka ini masih enggan pergi.

Aku menyadari dan merasakan sekali Mas Ilham terus berusaha memperbaiki semua. Apapun kata-kata pedas yang aku lontarkan, dia hanya diam, bahkan tak segan tersenyum dan bahkan menunjukkan rasa sayangnya padaku. 

Tapi bagaimana lagi nyatanya aku masih terluka. Bahkan saat melihat wajahnya. Ada gelenyar menyakitkan menusuk hati meskipun hanya melihat siluet tubuhya. Setiap tak sengaja aku tatap, nyeri terasa di hati. Bahwa tubuh itu telah terjamah wanita lain.

"Nda, sarapan dulu yuk! Ayah sudah bikin nasi goreng nih," seru Mas Ilham dari dapur saat aku mengenakan kaos kaki di ruang keluarga.

Entah setan apa yang merasuki, aku sering sekali tak merespon ajakan Mas Ilham. Segera kuberlalu menuju garasi rumah dan berangkat ke sekolah. Kami tak pernah lagi makan bersama. Aku lebih suka sarapan dan makan siang di kantin. Walaupun setiap hari Mas Ilham memasak untukku. 

Bagaimanapun sikapku pada Mas Ilham nyatanya dia memang selalu sabar di depanku. Entah di belakang seperti apa. Bahkan aku amati semakin hari wajahnya semakin ceria meski segala ucapannya jarang sekali kutanggapi. Sekali kutanggapi hanya makian dan sindiran tajam yang keluar dari mulutku. Luka ini terlalu dalam dan entah kapan aku bisa kembali menjadi istri yang baik.

Hingga tiba waktu Delia liburan semester. Seperti biasa setelah menelpon lewat telepon asrama hari berikutnya kami menjemput putri semata wayang kami. Setelah pembagian raport selesai aku dijemput Mas Ilham sekalian pulang dari toko.

Begitu masuk mobil aku merasa ada yang berbeda. Aroma di dalamnya. Padahal aku pakai parfum mobil aroma coklat. Tapi aku mengendus aroma lain di sini.

"Mobil habis dipakai siapa?" tanyaku langsung ke inti.

"Oh enggak kok, Nda. Emh, itu Nda. Tadi habis dipakai Riko beli makan siang." Terdengar dari jawaban Mas Ilham seperti gugup.

"Beli makan siang pakai mobil? Sejak kapan mereka pakai-pakai mobil kita?" Rasanya tak masuk akal jawaban Mas Ilham. Karyawan toko semua punya motor dan setahuku mereka tak ada yang berani memakai mobil kami kalau bukan kami yang ajak pergi bersama.

"Itu Nda, tadi Riko ada cerita kalau dia lagi belajar nyetir. Jadi pas beli makan siang sekalian aja Ayah suruh nyoba bawa mobil."

"Sendiri?"

"Emh, iya, Nda."

"Ceroboh banget sih kamu, Mas! Anak baru belajar sudah dilepas sendiri? Kalau ada apa-apa kan kita juga yang repot. Lagian ini ada bau parfum cewek."

"Oh, itu anu, Nda. Emh tadi Riko ajak temannya ke toko sekalian belanja. Temannya cewek tadi."

Entah kenapa pikiranku tertuju pada Riana, ulat bulu yang sudah kami kembalikan ke asalnya. Lama memang sudah tak kami tahu kabarnya lagi. Sejak memulangkannya hampir setengah tahun lalu, semua kontaknya aku blokir. Termasuk di hp ataupun medsos Mas Ilham. Aku tak mau sesama ulat bulu ini berkomunikasi lagi.

"Terserahlah! Kalau sampai kamu mengulang kesalahan yang sama, kamu tahu sendiri konsekwensinya."

"Iya, Sayang. Ayah enggak mungkin bawa-bawa cewek lain. Bunda ini curiga mulu deh sama Ayah." Mas Ilham mengelus-elus puncak kepalaku sambil tersenyum menatapku.

**

"Assalamualaikum, Bunda, Ayah!" Suara lembut putri kami mengalihkan perhatian kami yang sedang mengobrol dengan ustadzah yang menjadi wali Delia di asrama.

"Waalaikumsalam, bidadari Bunda," jawabku sambil tersenyum lebar menyambut putri kecilku yang shalihah. Delia mendekat dan langsung mencium tanganku kemudian kami berpelukan melepas rindu.

"Bunda kangeeeen banget."

"Delia juga kangen banget sama Bunda."

Kemudian kami mengurai pelukan dan dia langsung kepelukan ayahnya. Melihat kedekatan mereka membuat hatiku nyeri. Bagaimana aku bisa egois memisahkan mereka hanya karena perasaanku sendiri.

Sepanjang perjalanan pulang Delia dan Mas Ilham terus berbincang dengan asyiknya. Tentang kegiatannya di sekolah, tentang teman-temannya, tentang semua hal. Aku hanya menimpali sesekali. Delia memang lebih dekat dengan Mas Ilham dari pada aku. Mungkin karena selama ini waktuku lebih banyak di sekolah, sedang Mas Ilham lebih fleksibel sehingga bisa selalu ada untuk Delia.

Delia juga berulang menyebut nama Riana. Memang selama ini dia belum tahu kalau Riana telah kami pulangkan ke kampung. Ini liburan pertamannya tak ada Riana. 

"Toko lagi rame ya, Yah? Kok Mba Riana enggak ikut jemput aku?" tanya polos putriku. Delia juga begitu dekat dengan Riana. Karena saat liburan begini meski jarang ke sekolah aku memilih ikut ke toko daripada diam di rumah. Sebagai gantinya Riana lah yang menemani Delia di rumah sepanjang hari.

Sekilas Mas Ilham menatapku yang mematung menghadap lurus kejalanan. Mendengar Delia menyebut nama Riana hatiku serasa hancur kembali. Bukan hanya Mas Ilham bahkan darah dagingku sendiri pun begitu mencintai cewek tak tahu diri itu.

"Mba Riana sudah pulang ke kampung, Sayang." 

"Kapan, Yah? Terus kapan balik ke sini lagi?" 

"Sudah lama dan ... enggak akan balik ke sini lagi."

"Kenapa?"

"Mba Riana melakukan kesalahan, jadi Bunda enggak bisa memperkerjakan dia lagi," ucapku datar. Enggan mendengarkan drama panjang soal cewek tak tahu diri itu lagi.

"Kesalahan apa emangnya, Nda? Apa enggak bisa dimaafin? Allah aja pemaaf, masa kita mahluknya enggak memaafkan kesalahan sesama sih, Nda?" Putriku ini memang pandai sekali membujuk.

"Bunda sudah memaafkan, tapi Bunda enggak bisa lagi mempekerjakan dia lagi, Nak."

"Kenapa, Nda? Mba Riana kan baik." 

Kulihat dari spion air mata telah menganak sungai di pipi gadisku. Aku memilih diam tak menanggapi.

Sampai di rumah Delia langsung masuk kamar dan tak mau keluar lagi. Padahal rencananya kami mau makan malam di luar. 

Mas Ilham masuk membujuk Delia. Sampai lama dia tak kunjung keluar. Biasanya anak itu akan nurut jika dinasehati Ayahnya. Tapi sampai jam dinding menunjukkan pukul sembilan, Mas Ilham belum juga keluar.

Aku mengendus aroma yang selama ini begitu kurindukan tapi juga begitu kubenci. Tidur kali ini aku merasa begitu nyaman setelah hampir setengah tahun lamanya aku jarang tidur dengan nyenyak. Aku sering terbangun dan membuka kamar tidur Mas Ilham pelan-pelan untuk memastikan dia benar-benar tidur atau sedang apa. Dan selama ini tak pernah kutemui hal yang mencurigakan. Bahkan hampir setiap Mas Ilham di rumah ponselnya selalu berada di meja ruang keluarga. Bahkan saat dia tidur.

Tak lama aku merasa puncak kepalaku seperti dicium, kemudian rambutku dibelai lembut. Aku langsung tersadar dan membuka mata. Aku kaget sekali Mas Ilham tidur di sebelahku dan memelukku erat. Kontan saja aku langsung berontak dan duduk.

"Nda," lirih Mas Ilham menatapku dengan tatapan kecewa.

"Maaf, Ayah kangen banget sama Bunda."

Aku masih diam bingung dengan apa yang terjadi. Yang kuingat tadi aku duduk di sofa menunggu Mas ilham membujuk Delia. Dan sekarang aku di kamar bahkan dipeluk Mas Ilham.

Hampir enam bulan lamanya kita telah pisah ranjang. Sebagai manusia normal tentu hasrat itu ada. Tapi entah, hatiku masih belum bisa menerima.

"Maaf, aku belum bisa." Kutundukkan kepala. Di satu sisi aku merasa bersalah, namun disisi lain hatiku masih belum bisa menerima lelaki yang pernah menodai pernikahan kami.

Perlahan Mas Ilham bangkit dan keluar dari kamar ini. Hatiku tak karuan saat mendengar pintu tertutup pelan. Sesakit ini rasa dihianati. Hingga rasa cinta yang dulu membuncah pun kini seperti tak ada lagi.

Kutarik nafas panjang dan kuhembuskan dengan kasar. Tak pernah terlintas sedikitpun pernikahan kami menjadi seperti ini. Pelan kuturuni ranjang dan melangkah keluar. Jujur dalam hati aku ingin memastikan apa yang Mas Ilham lakukan.

Begitu pintu kamar kubuka terlihat Mas Ilham menunduk di sofa dengan kedua tangan meremas rambut. Melihatku diambang pintu Mas Ilham langsung berdiri menatapku.

"Bunda ... ."

"Aku mau minum, haus." Kupotong ucapannya kemudian berlalu ke dapur.

***

"Nda, aku mau warna pink yang ini, ya?" ucap putriku ceria menunjukkan jilbab pink padaku. Aku mengangguk sambil tersenyum melihat senyum yang kini kembali terpancar dari bibirnya. Pagi tadi dia memang masih murung, tapi setelah kubujuk lalu kuajak jalan-jalan ke mall dia kembali ceria.

"Aku ambil dua ya, Nda?"

Setelah dirasa cukup membeli barang-barang yang dibutuhkan, kami berdua kembali ke toko. Sekarang giliran aku yang di toko. Kata Delia Ayahnya mau ajak dia jalan-jalan. Baiklah.

Tiba di parkiran depan toko Delia tak mau turun dari mobil, katanya, "biar Ayah enggak kelamaan, Nda." Maklumlah selama ini dia selalu di asrama, jadi begitu libur dia sangat semangat kalau diajak jalan-jalan.

"Ya sudah, Bunda ke toko dulu, ya?" Kukecup kening putriku kemudian turun dari mobil.

"Sudah, Nda?" Mas Ilham berdiri menyambutku.

"Kontaknya masih di mobil." Entah kenapa aku masih sering enggan menanggapinya. Komunikasi hanya hal-hal penting saja.

Lelaki itu mengekor di belakangku. "Nda, Ayah pergi dulu ya?"

"Hhhm."

Aktivitas di toko seperti biasa melayani para pelanggan. Hari ini toko cukup ramai. Banyak barang yang hampir habis.

"Ton, ambil barang-barang di gudang ya! Banyak yang pada habis ini."

"Siap, Bu Bos." Begitulah mereka suka bercanda pada kami.

Gudang ada di lantai dua. Sekaligus tempat untuk membuat laporan keuangan dan tempat istirahat juga. Aku membuka laptop melihat laporan keuangan dan list keluar masuk barang. Tak ada yang salah. Semua baik-baik saja. 

Plot-plot bulanan mulai untuk gaji karyawan, kebutuhan rumah, serta nafkah untuk orang tua kami juga semua oke. Nafkah untuk orang tuaku memang lebih sedikit dibanding orang tua Mas Ilham, karena Mas Ilham masih punya adik yang kuliah. Aku tak pernah mempermasalahkan soal uang. Misal sewaktu-waktu mereka butuh tambahan uang asal jelas mau untuk apa juga kami berikan. Aku ingin kemudahan materi yang kami dapatkan saat ini bisa bermanfaat untuk orang-orang di sekitar kami.

"Ton, Pak Ilham kalau di toko sering keluar enggak?" Aku ingin memastikan kecurigaanku tentang parfum mobil. Meski Mas Ilham sudah menjelaskan tapi aku tak bisa percaya begitu saja. Mungkin ini yang disebut trauma.

"Eng eng enggak kok, Bu. Kalau enggak ada yang mendesak ja jarang keluar." Toni terlihat gugup, mungkin dia merasa aku mengintrogasinya. Bagaimanapun hubungan Mas Ilham dan Riana dulu sudah menjadi rahasia umum. Jadi mereka tahu apa yang terjadi pada keluarga kami.

Kubuka laci-laci meja, takut seperti di film-film Mas Ilham menyembunyikan sesuatu di tempat kerja entah itu ponsel atau apapun. Tapi tak ada apapun. Kali ini aku merasa bersalah telah berprasangka buruk pada Mas Ilham gara-gara bau parfum teman Riko.

Sekitar pukul lima Mas Ilham dan Delia kembali ke toko. Gadis berjilbab putih itu lagi-lagi tak mau keluar mobil. Mungkin tak ingin aku lama. Mas Ilham mendekat. "Bunda mau Ayah antar atau pulang sendiri?"

"Sendiri aja enggak apa-apa."

"Ya sudah, nanti ayah pulang setelah toko tutup. Minta antar Toni atau siapalah nanti."

Tanpa menjawab aku segera berlalu menuju parkiran. Mas Ilham mengikutiku dari belakang.

"Hati-hati ya, Sayang!" seru Mas Ilham.

Begitu masuk mobil Delia menatapku entah. Wajahnya murung. Padahal tadi sebelum jalan-jalan dengan Mas Ilham dia begitu ceria dan bersemangat.

"Kamu kenapa, Sayang? Kok murung gitu? Bukannya seneng habis jalan-jalan?" Kutatap mata sendu itu sambil mengelus kepala berjilbannya.

Mata sendu itu menatapku, tapi bibir itu tak tersenyum. Seperti sedang menggung beban berat. "Enggak kok, Nda."

"Ya sudah, kita pulang ya? Sudah puas kan jalan-jalannya hari ini?"

Putriku hanya mengangguk. Sepanjang perjalanan pun hanya diam menatap keluar jendela mobil. Entah apa yang terjadi tadi sehingga putriku jadi begini.

Otakku tiba-tiba menyadari sesuatu. Parfum itu kembali tercium di mobilku. Parfum siapa sebenarnya ini?

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kau terlalu drama njing. dan masih aja tetap tolol. pantas gampang diselingkuhi krn ketololan mu sendiri
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
kmu tanya Dellya dia pergi dgn siapa aja kmu intrograsi anakmu pelan2 siapa yg ikut d mobil tadi dgn ngomong lemah lembut ..bisa aja Riana dtng lagi dn selalu bertemu diem2 d belakang mu lagi ..
goodnovel comment avatar
Isabella
cerita aja sama anak km biar tau hubungan Riana dan ilham
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status