Share

Teka-Teki Lamaran

Author: Srirama Adafi
last update Last Updated: 2022-10-15 09:54:16

Gadis dengan wajah putih itu menunduk setelah meletakkan dua cangkir teh di atas meja. Dia duduk di sebelah ibunya.

"Lho Riana kok diam saja? Persilahkan Mba Mayang sama Mas Ilham lho!" tegur Mak Jum pada Riana yang hanya diam.

"Monggo, monggo Mas, Mba! Cuma teh hangat ini. Maaf, kami enggak bisa ngasih suguhan apa-apa," ucap Mak Jum selanjutnya dengan senyum mengembang.

Aku hanya diam tak merespon ucapannya. Fokusku lebih ke benda-benda di pojok ruangan rumah ini. Sepertinya sebentar lagi Mak Jum mau merenovasi rumahnya. Ada bertumpuk barang-barang bangunan seperti keramik, semen dan lain-lainnya. Sekilas meskipun ruangan ini terlihat sama namun ada beberapa barang yang berbeda. Sekarang ada televisi di depan tempat tidur ayah Riana dengan ukuran lumayan besar.

Begitu pandaikah mereka mengatur keuangan? Atau uang yang selama ini untuk berobat Ayah Riana tak mereka gunakan seperti pesanku?

"Iya, Bu terima kasih." Suara Mas Ilham membuyarkan segala perhitungan di kepalaku.

Jujur aku khawatir Mas Ilham memberi Riana uang lebih tanpa sepengetahuanku selama ini. Sedang begitu lihainya mereka bersandiwara.

Mak Jum mengalihkan pandangan padaku. Mungkin dia heran sejak tadi aku tak bersuara. Kemudian mengalihkan pandangan pada Mas Ilham seolah bertanya dengan tatapan matanya itu. Kulirik Mas Ilham di sampingku kini menunduk. Sedekat itukah mereka hingga Mak Jum bersikap seperti itu pada Mas Ilham?

"Khem." Sengaja kualihkan perhatian mereka. Kini perhatian mereka berpusat padaku kecuali Riana yang sejak tadi hanya menunduk.

"Mak, maaf. Mulai sekarang saya sudah tidak bisa mempekerjakan Riana lagi," ucapku datar.

Sekilas Mak Jum tampak terkejut kemudian dia menoleh ke arah Riana dengan tatapan yang entah aku tak tahu artinya.

Sejurus kemudian kembali menatapku, "oh iya enggak apa-apa, Mba. Selama ini apa yang Mba Mayang dan Mas Ilham berikan untuk keluarga kami sudah lebih dari cukup."

"Alhamdulillah, Mak, kalau begitu. Tampaknya sekarang juga semua sudah membaik ya, Mak? Kapan mau mulai membangun rumah, Mak?"

"Oh itu, kami hanya menyisihkan sedikit sedikit kok, Mba. Riana sudah dewasa jadi agar kami enggak terlalu malu kalau ada orang bertamu ke rumah kami ini," jawab Mak Jum sambil tersipu melihat tumpukan material untuk rumahnya di pojokan.

"Maksudnya Riana akan ada yang melamar, Mak?" kejarku.

"Hehehehehe ya pokoknya begitu lah, Mba," jawab Mak Jum sambil tersenyum bahagia mengelus-elus punggung Riana. Sesekali melirik Mas Ilham.

Hatiku makin tak karuan dibuatnya. Ada apa sebenarnya ini? Apa mungkin Mas Ilham akan menikahi Riana?

"Syukurlah, Mak, kalau begitu. Ya sudah, kami pamit dulu, Mak. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Aku segera beranjak keluar tanpa bersalaman dengan mereka. Mas Ilham menggenggam tanganku dari belakang. Kubiarkan pemandangan ini untuk mereka saksikan.

Meskipun hatiku benar-benar penuh dengan pikiran buruk tentang Mas Ilham yang akan menikahi Riana tapi aku harap Mak Jum telah punya calon sendiri untuk Riana.

**

Tiba di rumah Ibu tercium aroma sambal terasi yang begitu menggoda. Ibu memang terbaik, paling tahu kesukaan anak perempuannya ini. Meskipun lama tinggal di kota tapi lidahku tetap lidah kampung. Tapi kali ini selera makanku benar-benar hilang.

Ibu keluar dari dapur dengan membawa sepiring ayam goreng untuk makan siang kami.

"Mayang, tolong panggil Bapak di samping rumah ya!" pinta Ibu.

Tanpa menjawab aku memanggil lelaki yang kini menjadi suami Ibu. Beliau tampak sedang menyiangi rumput di kebun sayurnya.

"Pak, makan dulu yuk!" Ajakku.

"Oh iya, May."

Bapak langsung bergegas, sedang aku langsung kembali ke ruang makan. Bapak bukanlah ayah kandungku. Hubungan kami juga tidak terlalu dekat. Jujur aku tak suka ibu menikah lagi dengan bapak. Tapi bagaimana lagi ibu juga butuh pendamping untuk menemaninya.

Setelah semua berkumpul kami makan siang bersama. Selama makan aku hanya diam. Pikiranku masih tertuju pada ucapan Mak Jum.

"May, makannya kok enggak nafsu gitu?" tegur Ibu.

Aku tahu ibu pasti merasakan kalau ada yang tidak beres dengan anaknya.

"Tadi Mayang banyak ngemil di rumah Mak Jum, Buk. Jadi masih kenyang," kilahku.

Sebenarnya ingin sekali aku meninggalkan meja makan, tapi aku tak enak dengan ibu yang sudah menyiapkan semua makanan ini. Mas Ilham hanya makan dalam diam. Sedang bapak sesekali ngobrol ringan dengan Ibu.

Selesai makan aku membantu ibu membersihkan bekas makan kami. Sesekali ibu terlihat memandangiku yang tak bersemangat.

"Sudah, taruh saja biar ibu yang cuci, May!"

Ibu mendekatiku yang sedang menaruh tumpukan piring kotor.

"May!" panggil ibu sambil memegang bahu kiriku.

Aku menoleh pada perempuan yang telah berjuang untukku tanpa bisa menyembunyikan luka yang masih menganga di hati. Air mata ini tak bisa lagi kutahan. Kuluapkan tangisku di pelukan ibu.

"Mengapa karma ayah jatuh padaku, Bu?" tanyaku sambil menangis.

"Padahal aku sangat membenci perbuatan ayah, bahkan aku sangat kecewa pada ayah. Tapi kenapa kini aku mengalami juga, Bu? Apa salahku?"

Segala kekecewaan kutumpahkan pada ibu. Wanita terkuat yang membesarkanku tanpa ayah di sampingnya.

"Aku enggak sanggup, Bu."

"Aku enggak mau Delia merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan dulu."

Saat ini benar-benar kuluapkan segala yang mengganjal di hati. Ibu dari dulu adalah tempat ternyaman untuk mengadu.

Setelah aku tenang, ibu mengajak untuk duduk di kursi samping kompor. Dulu kursi ini adalah favoritku ketika menunggu ibu memasak. Sampai saat ini ibu sama sekali tak merubahnya.

"Kalau masih bisa diperbaiki, maka perbaiki. Kamu sudah merasakan dulu hidupmu seperti apa, May. Jangan sampai anakmu merasakannya juga."

Ibu menuang air putih kemudian menyerahkannya padaku.

"Setiap rumah tangga memiliki ujian masing-masing, Nak. Ada yang diuji ekonomi, ada yang diuji masalah anak, ada yang seperti kamu. Semua kembali padamu. Selesaikan dengan cara yang paling baik. Ibu yakin kamu mampu, May."

Aku menunduk memandangi gelas di tangan sambil mendengar nasehat ibu.

"Kamu tahu dulu saat Ayahmu pergi bersama wanita lain meninggalkan kita, yang paling membuat ibu sakit adalah kamu, Nak. Memikirkan nasibmu, memikirkan hidupmu tanpa kehadiran sosok Ayah. Sehingga dulu saat Bapak ingin melamar ibu, ibu pastikan dulu bagaimana sikap Bapak sama kamu. Karena ibu bukan hanya butuh suami tapi juga Ayah untuk kamu."

Ibu menghembuskan nafas kasar "Meski seiring berjalannya waktu ternyata apa yang pernah Bapak janjikan untuk menyayangimu seperti anaknya sendiri sedikit ia ingkari."

Ibu mengusap ujung netranya yang mulai basah. "Luka itu bahkan masih terasa sampai saat ini, ketika bapak lebih mengutamakan Hana. Meskipun Hana juga anak ibu, tapi ibu tetap terluka saat yang kalian dapatkan tidak sama."

Hana. Adik perempuanku yang dulu selalu mendapat apapun yang dimintanya. Anak kandung Bapak. Anak kesayangan Bapak.

Dulu bahkan aku merasa menjadi orang luar di keluargaku sendiri saat Hana lahir. Aku yang masih lima tahun harus mengerjakan semua sendiri. Ibu dan bapak begitu bahagia atas kelahiran Hana. Aku merasa diabaikan. Tak dianggap ada. Bahkan aku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah almarhum nenek.

Tingkahku sering kelewatan untuk mencari perhatian. Aku juga ingin diperhatikan seperti Hana. Aku juga ingin disayangi seperti Hana. Tapi yang ada aku dicap anak nakal dan mereka semakin membenciku. Itu yang kurasakan dulu.

Rasanya aku tak sanggup membayangkan Delia merasakan apa yang aku rasa. Aku ingin kehidupan sempurna untuk anakku. Aku ingin yang terbaik untuk putri semata wayangku. Meski untuk itu aku harus mengabaikan rasa, nyimpan rapat segala luka.

**

"Maksud Mak Jum kemarin bilang ada yang mau melamar Riana itu apa?" tanyaku tajam.

Mas Ilham langsung menepikan mobil yang kami kendarai dalam perjalanan pulang dari rumah ibu.

"Nda, apa Bunda pikir Ayah yang akan melamar?" tanyanya sambil memegang bahuku untuk menghadap ke arahnya.

"Enggak mungkin lah, Nda. Ayah sudah minta maaf sama Bunda. Ayah sudah janji mau perbaiki semua."

"Enggak ada yang tak mungkin lah, kamu mengkhianati pernikahan ini aja mungkin. Semua kemungkinan bisa aja terjadi."

"Ayah akan buktikan sama Bunda."

Setelah obrolan itu sepanjang perjalanan kami lebih banyak diam. Bahkan aku yang selalu tidur saat perjalanan jauh, kali ini sama sekali tak bisa memejamkan mata.

Otakku benar-benar tak mau menyerah mencari jawab atas segala keganjilan yang ada. Sikap Mak Jum pada Mas Ilham, barang-barang untuk renovasi rumah mereka. Itu semua tidak murah. Berapa sih yang dikirim Riana tiap bulan?

Siapa sebenarnya lelaki yang sedang duduk di sampingku ini? Benarkah ia setulus ini ingin memperbaiki semuanya? Benarkan semudah itu dia meninggalkan Riana? Aku benar-benar buntu mencari jawab untuk semua tanya yang menyiksa.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Eli Mirza
nyebelin thor..klo smpe mrka nikah mnding ga usah baca lg novel kmu
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
baca oart ini sedih merasakan sakit hati nya mayang yg d hianati laki2 egois yg g puja hati laki2 bejat yg berkumpur dosac..kmu selidikin diem2 kmu periksa ke uangan toko keluar masuk nya dn kmu selidiki kemana aja ilham pergi sekarang dn yg kemarin2 ..
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • PERNIKAHAN YANG TERNODA    Ending

    Ada rasa nyeri di dalam sini. Mataku kini bahkan sudah dipenuhi kaca-kaca mendengar bentakan Mas Yudis. Semudah itukah dia membenciku? Percaya pada Tantenya yang bicaranya pun tidak seratus persen benar.Ingin kusegera pergi dari ruangan itu kalau tidak mengingat seringai kemenangan Tante Desi. Tidak. Akan kutunjukkan pada Tante Desi. Tak semudah itu dia mengusirku dari kehidupan Mas Yudis."Mas Yudis!" seru Adista. Sejak tadi adik Mas Yudis ini memegangi lenganku."Kalau Mas ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi sejak awal sampai detik ini, tanya sama aku. Aku yang paling tahu semuanya, Mas.""Maksud kamu?" tanya Mas Yudis. Aku paham, dia pasti tak mengerti.Melihat kebingungan di wajah Mas Yudis kini aku mengerti. Kenapa dia bisa langsung emosi seperti tadi. Bagaimana tidak, dia yang tak tahu apa-apa. Bahkan sejak sadar dari koma dia buta. Tiba-tiba mendengar berita seperti yang Tante Desi katakan. Apalagi selama ini Tante Desi ibaratnya pengganti ibu baginya.Perlahan panas yang t

  • PERNIKAHAN YANG TERNODA    Provokasi Tante Desi

    "Sintya, maaf, mas memilih jalan ini. Mas sudah bingung tak tahu lagi harus bagaimana. Mendengarmu berkali-kali didatangi orang BANK. Bahkan mereka mengancam mau menyita rumah ibu. Mas cuma bisa bingung sendiri karena tak bisa berbuat apa-apa. Mas tak ingin rumah ibu sampai disita BANK.Mas kira sebelumnya, suami Mayang yang katanya kaya itu nyuruh mas datang ke rumahnya, mau bantuin bayar hutang. Ternyata cuma omong kosong doang. Sok-sokan ngajari masmu ini buat nego ke BANK. Dia pikir pihak BANK mau tahu dengan kesusahan mas? Omong kosong doang bisanya. Belagu!Makanya mas akhirnya menerima perintah Daniel. Dia bilang mau lunasin hutang-hutang mas kalau mas berhasil melenyapkan Yudis yang belagu itu.Sialnya dia enggak mati. Malah tambah nyusahin pakai acara buta segala.Sintya, kalau mas meninggal, otomatis hutang di BANK lunas ditanggung pihak asuransi. Kamu tinggal urus surat kematian mas aja. Terus diajuin ke BANKnya. Sekarang kalian bisa hidup tenang. Tanpa dikejar-kejar penagi

  • PERNIKAHAN YANG TERNODA    Remasan Kertas

    Telingaku masih berdenging terngiang ucapan Delia. Sehingga saat Bi Sumi mengangsurkan secangkir teh yang asapnya masih mengepul ke hadapanku beberapa saat hanya kuabaikan. Kabar yang baru saja aku dengar benar-benar seperti mencabut paksa nyawaku."Mas Ilham bunuh diri?" gumamku bertanya pada diri sendiri.Kurasakan punggungku diusap-usap. Aku menoleh. Hilda yang melakukannya."Kamu tenang, May! Mungkin sudah garis takdirnya seperti itu," ucapnya berusaha menenangkanku. Mangangsurkan secangkir teh yang tadi dipegang Bi Sumi. Kusesap sedikit. Tetapi tetap saja, hati ini rasanya tak ikhlas mendengar akhir hayat dari orang yang belasan tahun pernah membersamaiku setragis ini. Bahkan orang itu adalah ayah dari anakku.Bagaimanapun sungguh, meskipun ia telah sedemikian parah melukaiku, aku ingin saat kita telah berpisah seperti ini, entah aku ataupun dia bisa hidup bahagia ke depannya. Bersama-sama berperan serta dalam tumbuh kembang Delia putri kami. Tetapi ini ....? Oh, Tuhan, apa yan

  • PERNIKAHAN YANG TERNODA    Tak Akan Tenang di Sana

    "Bunda!" Suara Delia terdengar serak dan lirih saat aku mengangkat teleponnya."Iya, Sayang. Ada apa? Apa yang terjadi?" cecarku karena begitu khawatir mendengarnya menangis.Delia tak menjawab. Hanya terdengar suara sedu sedannya saja."Del?" panggilku seraya beranjak dari kursi tunggu. Perasaanku jadi tak tenang. Apa yang terjadi pada putriku di rumah?Hilda yang duduk di sampingku menyentuh lenganku dengan tatapan penuh tanya. Aku hanya menggeleng sambil menajamkan pendengaran."Sayang, ada apa?" tanyaku lagi. Kakiku melangkah menjauh dari Hilda dan yang lainnya."Nda, Delia sudah jahat," ucapnya sambil menangis tersedu."Jahat kenapa, Sayang?" tanyaku dengan dahi mengernyit. Tak mengerti arah pembicaraan Delia.Lagi-lagi tak ada jawaban. Hanya sedu sedan Delia yang terdengar di ujung telepon. Tuhan, apa yang terjadi pada anakku?Hatiku berdebar tak karuan. Gelisah. Memikirkan berbagai hal buruk yang mungkin terjadi pada Delia. Ingin rasanya segera berlari ke rumah. Tetapi bagaima

  • PERNIKAHAN YANG TERNODA    Bertubi Kabar Baik

    "Mana janda itu? Mana?"Terdengar teriakan seseorang di lantai bawah. Bergegas kuserahkan Farel pada Mba Kiki. Kemudian dengan langkah lebar menuju asal suara itu.Dari tangga kulihat Tante Desi berdiri berkacak pinggang. Mulutnya memaki dengan suara yang memekakan telinga."Di situ kamu rupanya. Turun!" teriaknya kepadaku saat aku menuruni tangga.Mau apalagi wanita itu memaki-maki di rumah ini?Dengan hati membara kupercepat langkah mendekati wanita paruh baya itu."Ada perlu apa Tante ke sini?" tanyaku tak kalah sengit. Aku tak suka orang lain seenaknya saja menghinaku. Padahal tak ada kesalahanku padanya."Kurang ajar memang kamu, ya! Gimana bisa Yudis ketemu wanita pembawa sial sepertimu!" makinya sambil telunjuknya menunjuk-nunjuk ke arahku.Aku berdecih sambil membuang muka mendengar makiannya. Jika ada Mas Yudis di sini, masihkah wanita ini menghinaku begini?Kutarik nafas dalam-dalam kemudian kembali menatap wanita itu. "Tante, maaf, saya cape baru saja sampai rumah. Katakan

  • PERNIKAHAN YANG TERNODA    Menyeaallah Sampai Mati

    "Kenapa Bunda enggak jujur sama aku?" Delia menatapku dengan kaca-kaca di mata saat aku baru saja memasuki kamar.Aku tertegun memandangnya. Mungkinkah Delia tahu tentang Mas Ilham?"Kenapa, Nda?" Kaca-kaca bening itu kini luruh mengaliri pipinya."Sayang!" Hanya itu yang terucap dari bibirku. Tak tahu harus berkata apa."Kenapa Bunda enggak bilang sama Delia?" Tubuh putriku bergetar oleh tangis.Kurengkuh dia dalam pelukan. Kuusap lembut rambut yang memanjang sampai punggungnya."Kenapa, Nda? Kenapa Delia harus punya Ayah jahat seperti dia? Kenapa, Nda?" Delia tergugu dalam pelukanku."Delia enggak mau punya Ayah seperti dia, Nda! Delia enggak mau!"Hatiku pedih. Mas Ilham tak henti-hentinya membuat anaknya terluka. Kenapa putriku harus terluka berkali-kali seperti ini, Tuhan? Dia tak salah apa-apa."Nda, tolong buat Delia bukan lagi anak dari penjahat seperti dia, Nda!"Hatiku sakit melihat anakku terluka begini. Ibu mana yang tak terluka melihat nasib anaknya begini menderita."Ma

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status