Gadis dengan wajah putih itu menunduk setelah meletakkan dua cangkir teh di atas meja. Dia duduk di sebelah ibunya.
"Lho Riana kok diam saja? Persilahkan Mba Mayang sama Mas Ilham lho!" tegur Mak Jum pada Riana yang hanya diam."Monggo, monggo Mas, Mba! Cuma teh hangat ini. Maaf, kami enggak bisa ngasih suguhan apa-apa," ucap Mak Jum selanjutnya dengan senyum mengembang.Aku hanya diam tak merespon ucapannya. Fokusku lebih ke benda-benda di pojok ruangan rumah ini. Sepertinya sebentar lagi Mak Jum mau merenovasi rumahnya. Ada bertumpuk barang-barang bangunan seperti keramik, semen dan lain-lainnya. Sekilas meskipun ruangan ini terlihat sama namun ada beberapa barang yang berbeda. Sekarang ada televisi di depan tempat tidur ayah Riana dengan ukuran lumayan besar.Begitu pandaikah mereka mengatur keuangan? Atau uang yang selama ini untuk berobat Ayah Riana tak mereka gunakan seperti pesanku?"Iya, Bu terima kasih." Suara Mas Ilham membuyarkan segala perhitungan di kepalaku.Jujur aku khawatir Mas Ilham memberi Riana uang lebih tanpa sepengetahuanku selama ini. Sedang begitu lihainya mereka bersandiwara.Mak Jum mengalihkan pandangan padaku. Mungkin dia heran sejak tadi aku tak bersuara. Kemudian mengalihkan pandangan pada Mas Ilham seolah bertanya dengan tatapan matanya itu. Kulirik Mas Ilham di sampingku kini menunduk. Sedekat itukah mereka hingga Mak Jum bersikap seperti itu pada Mas Ilham?"Khem." Sengaja kualihkan perhatian mereka. Kini perhatian mereka berpusat padaku kecuali Riana yang sejak tadi hanya menunduk."Mak, maaf. Mulai sekarang saya sudah tidak bisa mempekerjakan Riana lagi," ucapku datar.Sekilas Mak Jum tampak terkejut kemudian dia menoleh ke arah Riana dengan tatapan yang entah aku tak tahu artinya.Sejurus kemudian kembali menatapku, "oh iya enggak apa-apa, Mba. Selama ini apa yang Mba Mayang dan Mas Ilham berikan untuk keluarga kami sudah lebih dari cukup.""Alhamdulillah, Mak, kalau begitu. Tampaknya sekarang juga semua sudah membaik ya, Mak? Kapan mau mulai membangun rumah, Mak?""Oh itu, kami hanya menyisihkan sedikit sedikit kok, Mba. Riana sudah dewasa jadi agar kami enggak terlalu malu kalau ada orang bertamu ke rumah kami ini," jawab Mak Jum sambil tersipu melihat tumpukan material untuk rumahnya di pojokan."Maksudnya Riana akan ada yang melamar, Mak?" kejarku."Hehehehehe ya pokoknya begitu lah, Mba," jawab Mak Jum sambil tersenyum bahagia mengelus-elus punggung Riana. Sesekali melirik Mas Ilham.Hatiku makin tak karuan dibuatnya. Ada apa sebenarnya ini? Apa mungkin Mas Ilham akan menikahi Riana?"Syukurlah, Mak, kalau begitu. Ya sudah, kami pamit dulu, Mak. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Aku segera beranjak keluar tanpa bersalaman dengan mereka. Mas Ilham menggenggam tanganku dari belakang. Kubiarkan pemandangan ini untuk mereka saksikan.Meskipun hatiku benar-benar penuh dengan pikiran buruk tentang Mas Ilham yang akan menikahi Riana tapi aku harap Mak Jum telah punya calon sendiri untuk Riana.**Tiba di rumah Ibu tercium aroma sambal terasi yang begitu menggoda. Ibu memang terbaik, paling tahu kesukaan anak perempuannya ini. Meskipun lama tinggal di kota tapi lidahku tetap lidah kampung. Tapi kali ini selera makanku benar-benar hilang.Ibu keluar dari dapur dengan membawa sepiring ayam goreng untuk makan siang kami."Mayang, tolong panggil Bapak di samping rumah ya!" pinta Ibu.Tanpa menjawab aku memanggil lelaki yang kini menjadi suami Ibu. Beliau tampak sedang menyiangi rumput di kebun sayurnya."Pak, makan dulu yuk!" Ajakku."Oh iya, May."Bapak langsung bergegas, sedang aku langsung kembali ke ruang makan. Bapak bukanlah ayah kandungku. Hubungan kami juga tidak terlalu dekat. Jujur aku tak suka ibu menikah lagi dengan bapak. Tapi bagaimana lagi ibu juga butuh pendamping untuk menemaninya.Setelah semua berkumpul kami makan siang bersama. Selama makan aku hanya diam. Pikiranku masih tertuju pada ucapan Mak Jum."May, makannya kok enggak nafsu gitu?" tegur Ibu.Aku tahu ibu pasti merasakan kalau ada yang tidak beres dengan anaknya."Tadi Mayang banyak ngemil di rumah Mak Jum, Buk. Jadi masih kenyang," kilahku.Sebenarnya ingin sekali aku meninggalkan meja makan, tapi aku tak enak dengan ibu yang sudah menyiapkan semua makanan ini. Mas Ilham hanya makan dalam diam. Sedang bapak sesekali ngobrol ringan dengan Ibu.Selesai makan aku membantu ibu membersihkan bekas makan kami. Sesekali ibu terlihat memandangiku yang tak bersemangat."Sudah, taruh saja biar ibu yang cuci, May!"Ibu mendekatiku yang sedang menaruh tumpukan piring kotor."May!" panggil ibu sambil memegang bahu kiriku.Aku menoleh pada perempuan yang telah berjuang untukku tanpa bisa menyembunyikan luka yang masih menganga di hati. Air mata ini tak bisa lagi kutahan. Kuluapkan tangisku di pelukan ibu."Mengapa karma ayah jatuh padaku, Bu?" tanyaku sambil menangis."Padahal aku sangat membenci perbuatan ayah, bahkan aku sangat kecewa pada ayah. Tapi kenapa kini aku mengalami juga, Bu? Apa salahku?"Segala kekecewaan kutumpahkan pada ibu. Wanita terkuat yang membesarkanku tanpa ayah di sampingnya."Aku enggak sanggup, Bu.""Aku enggak mau Delia merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan dulu."Saat ini benar-benar kuluapkan segala yang mengganjal di hati. Ibu dari dulu adalah tempat ternyaman untuk mengadu.Setelah aku tenang, ibu mengajak untuk duduk di kursi samping kompor. Dulu kursi ini adalah favoritku ketika menunggu ibu memasak. Sampai saat ini ibu sama sekali tak merubahnya."Kalau masih bisa diperbaiki, maka perbaiki. Kamu sudah merasakan dulu hidupmu seperti apa, May. Jangan sampai anakmu merasakannya juga."Ibu menuang air putih kemudian menyerahkannya padaku."Setiap rumah tangga memiliki ujian masing-masing, Nak. Ada yang diuji ekonomi, ada yang diuji masalah anak, ada yang seperti kamu. Semua kembali padamu. Selesaikan dengan cara yang paling baik. Ibu yakin kamu mampu, May."Aku menunduk memandangi gelas di tangan sambil mendengar nasehat ibu."Kamu tahu dulu saat Ayahmu pergi bersama wanita lain meninggalkan kita, yang paling membuat ibu sakit adalah kamu, Nak. Memikirkan nasibmu, memikirkan hidupmu tanpa kehadiran sosok Ayah. Sehingga dulu saat Bapak ingin melamar ibu, ibu pastikan dulu bagaimana sikap Bapak sama kamu. Karena ibu bukan hanya butuh suami tapi juga Ayah untuk kamu."Ibu menghembuskan nafas kasar "Meski seiring berjalannya waktu ternyata apa yang pernah Bapak janjikan untuk menyayangimu seperti anaknya sendiri sedikit ia ingkari."Ibu mengusap ujung netranya yang mulai basah. "Luka itu bahkan masih terasa sampai saat ini, ketika bapak lebih mengutamakan Hana. Meskipun Hana juga anak ibu, tapi ibu tetap terluka saat yang kalian dapatkan tidak sama."Hana. Adik perempuanku yang dulu selalu mendapat apapun yang dimintanya. Anak kandung Bapak. Anak kesayangan Bapak.Dulu bahkan aku merasa menjadi orang luar di keluargaku sendiri saat Hana lahir. Aku yang masih lima tahun harus mengerjakan semua sendiri. Ibu dan bapak begitu bahagia atas kelahiran Hana. Aku merasa diabaikan. Tak dianggap ada. Bahkan aku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah almarhum nenek.Tingkahku sering kelewatan untuk mencari perhatian. Aku juga ingin diperhatikan seperti Hana. Aku juga ingin disayangi seperti Hana. Tapi yang ada aku dicap anak nakal dan mereka semakin membenciku. Itu yang kurasakan dulu.Rasanya aku tak sanggup membayangkan Delia merasakan apa yang aku rasa. Aku ingin kehidupan sempurna untuk anakku. Aku ingin yang terbaik untuk putri semata wayangku. Meski untuk itu aku harus mengabaikan rasa, nyimpan rapat segala luka.**"Maksud Mak Jum kemarin bilang ada yang mau melamar Riana itu apa?" tanyaku tajam.Mas Ilham langsung menepikan mobil yang kami kendarai dalam perjalanan pulang dari rumah ibu."Nda, apa Bunda pikir Ayah yang akan melamar?" tanyanya sambil memegang bahuku untuk menghadap ke arahnya."Enggak mungkin lah, Nda. Ayah sudah minta maaf sama Bunda. Ayah sudah janji mau perbaiki semua.""Enggak ada yang tak mungkin lah, kamu mengkhianati pernikahan ini aja mungkin. Semua kemungkinan bisa aja terjadi.""Ayah akan buktikan sama Bunda."Setelah obrolan itu sepanjang perjalanan kami lebih banyak diam. Bahkan aku yang selalu tidur saat perjalanan jauh, kali ini sama sekali tak bisa memejamkan mata.Otakku benar-benar tak mau menyerah mencari jawab atas segala keganjilan yang ada. Sikap Mak Jum pada Mas Ilham, barang-barang untuk renovasi rumah mereka. Itu semua tidak murah. Berapa sih yang dikirim Riana tiap bulan?Siapa sebenarnya lelaki yang sedang duduk di sampingku ini? Benarkah ia setulus ini ingin memperbaiki semuanya? Benarkan semudah itu dia meninggalkan Riana? Aku benar-benar buntu mencari jawab untuk semua tanya yang menyiksa.Puluhan tahun bersama nyatanya kini lelaki di sampingku ini terasa asing. Seolah aku tak lagi mengenalnya. Kepercayaan yang dulu kuberikan sepenuhnya menjadi bumerang yang menyerang pernikahan kami.Aku masih tak percaya dengan jawaban Mas Ilham. Aku masih memikirkan tentang lamaran itu. Dan itu sangat mengganggu. Kepercayaan pada lelaki di sampingku ini menguap entah kemana. Yang ada hanya curiga sehingga membuat hati semakin tidak tenang.Tiba di rumah entah mengapa aku merasa enggan. Merasa tidak nyaman. Dulu rumah ini selalu menjadi tempat ternyaman setelah seharian berkutat dengan segudang aktifitas. Kini melihat sesuatu yang ada di rumah ini menjadi menjijikan. Seperti ada noda bekas perbuatan terkutuk mereka menempel di mana-mana, di setiap benda. Menyisakan rasa jijik yang luar biasa."Aku ingin mengganti semua barang yang ada di rumah ini," ucapku tegas pada Mas Ilham.Lelaki yang sedang berjalan di depanku langsung menghentikan langkahnya dan berbalik menatapku. Sungguh dita
"Delia tadi sama Ayah habis jalan-jalan kemana?" korekku. Sungguh aroma parfum ini sangat menggangguku.Delia tak langsung menjawab. Dia menatapku sejenak kemudian menunduk. "Cuma keliling kota aja kok, Nda.""Oh, enggak minta sesuatu nih sama Ayah?" Aku menengok sekilas ke arah Delia kemudian fokus lagi ke jalanan. Aku benar-benar merasa ada yang lain pada Delia. Anak itu menatap keluar jendela tak seperti biasa."Kan sudah belanja sama Bunda.""Oh iya, nanti mau makan malam sama apa, Sayang?""Apapun, Nda. Yang penting masakan Bunda. Delia kangen masakan Bunda.""Oh ya?" Aku terkejut dengan jawaban Delia. Padahal dulu dia sering komentar kalau masakanku tidak enak. Kemanisan lah, kurang gurih lah. Kemudian dibandingkan dengan cewek tak tahu diri itu. Itu sebabnya selama ini aku jarang sekali memasak. Aku lebih suka beli. Apa mungkin sekarang Delia sudah lebih dewasa sehingga tahu bagaimana menjaga perasaan Bundanya? "Katanya masakan Bunda enggak enak?" candaku."Tapi kan Bundaku, j
Sore ini hujan mengguyur kota dengan derasnya. Sesekali kilat menyambar diikuti petir yang menggelegar. Aku sedikit khawatir Mas Ilham masih belum pulang dari toko. Apalagi tadi mobil aku yang bawa dan dia aku minta pakai motor.Kusibukkan diri dengan membuat teh panas untuk menemani mengoreksi hasil ulangan harian anak-anak. Beberapa lembar telah berpindah dari tumpukan di sebelah kiri yang belum dikoreksi ke sebelah kanan yang sudah dikoreksi.Kuhirup aroma teh melati kesukaan untuk merilekskan pikiran. Melihat jawaban anak-anak didikku kadang membuat dahi mengernyit heran. Berkali-kali kujelaskan detail dengan cara panjang ataupun cara sederhana tapi beberapa masih saja asal menjawab soal.Kehidupan sehari-hari pun sebenarnya juga demikian. Seperti anak-anak di bangku sekolah yang diberi materi pelajaran. Ada yang membuatnya menjadi semakin tahu dan menerapkan dalam kehidupannya. Ada yang masa bodoh. Ada juga yang tak mau tahu dan kehidupannya semakin terpuruk.Kupikir seperti itul
Senyum terkembang di bibir Mas Ilham saat aku membuka mata. Tampaknya sejak tadi lelaki itu sedang mengamati wajahku."Selamat pagi, Sayang," ucapnya diikuti kecupan di puncak kepala.Aku hanya tersenyum dengan tingkahnya. Dalam hati aku memohon, semoga kebahagiaan ini abadi. Tak ada lagi drama orang ketiga dalam kehidupan kami."Makasih ya, Nda, buat semuanya." Kini lengannya menjadi bantal yang kembali nyaman untukku. Sebelah tangannya mengelus jemariku."Terima kasih juga, sudah mau sabar menunggu Bunda.""Apapun akan Ayah lakukan, Sayang.""Ya sudah, Bunda mau mandi dulu. Bentar lagi subuh.""Mandi bareng ya, Nda?" bisiknya nakal."Ish!"Pagi ini bunga-bunga di taman belakang rumah tampak basah. Hujan semalam membuat mereka tampak segar. Sebentar lagi saat mentari mulai menghangat kelopak-kelopak itu akan bermekaran menunjukkan kecantikannya. Sengaja kubuka lebar-lebar dua daun pintu yang menghubungkan dapur dengan taman belakang agar udara segarnya bisa menemaniku memasak."Biki
"Nda, Ayah pamit ke rumah Ibu dulu ya? Tadi Ibu telpon katanya Sintya butuh uang buat bayar praktek."Aku masih fokus pada layar laptop di depanku. "Iya, salam buat Ibu ya?"Sintya adik Mas Ilham, saat ini sedang kuliah kebidanan. Sedikit banyak kami memang membantu biaya kuliahnya. Selain karena Ayah Mas Ilham sudah berpulang, kondisi ekonomi mereka pun pas-pasan. Itu sebabnya Mas Ilham hanya lulusan SMP. Dulu Mas Ilham bekerja di percetakan milik teman Ayahnya. Di situ kami sering bertemu saat aku masih kuliah."Ya sudah, Ayah berangkat dulu. Nanti kalau Bunda sudah ngantuk tidur duluan aja ya? Ayah bawa kunci rumah kok.""Heem.""Ini ATMnya Ayah bawa ya, Nda.""Ya, hati-hati!"Terdengan suara pintu kamar tertutup. Aku kembali fokus mengerjakan analisis evaluasi. Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Belum lama ini aku dimutasi ke SMP lain. Jaraknya lumayan jauh dari rumah. Hampir satu jam perjalanan. Semakin sedikit waktuku di rumah. Semakin lelah juga badan ini tiap hari harus b
Steak di piring kini bersih tak bersisa. Cita rasa steak di kedai Jeng Hani teman zumbaku benar-benar mantap. Bumbunya khas, pas dan meresap. Dagingnya juga empuk. Mantap pokoknya. Benar-benar memanjakan lidah.Pantas saja saat jam makan siang seperti sekarang ini semua tempat penuh dengan pengunjung. Meskipun begitu suasana di dalam kedai ini tidak panas sama sekali. Karena beberapa jendela kayu lebar tanpa daun berjejer menyuguhkan pemandangan sungai dan hijau pepohonan. Pas sekali dengan dekorasi yang mengusung tema alam. Pengunjung akan merasa nyaman bersantai setelah perut terisi di kedai ini.Tawa canda teman-teman arisanku pun semakin menjadi setelah menikmati steak. Apa saja hal yang dibahas akan terdengar lucu dan menarik. Apalagi dengan kepiawaian Jeng Sony ketika menirukan ekspresi wajah seseorang. Pecahlah tawa teman-teman semua.Aku yang notabennya tak pandai bergaul dan tak banyak bicara, cukup mengikuti alur cerita mereka. Ikut tertawa dan sesekali menimpali.Sepuluh i
Tajam mata ini menatap manik hitam perempuan sundal itu. Lekat. Sembari tangan ini membuka pintu mobil, mata ini masih lurus menghunus tajam. Langkah lebar ini membuat jarak kami terkikis. Kini wanita durjana itu, gundik itu, tepat di depanku. Ya dialah Riana.Istighfar terus kugaungkan dalam dada agar diri ini terhindar dari perbuatan anarkis. Mempermalukan diri sendiri. Jika kuturuti kata hati, sungguh aku ingin menjambak rambutnya, mencakar-cakar wajahnya, bahkan mencekiknya sampai tak bisa bernafas lagi. Tapi sekali lagi aku harus bisa mengendalikan diri.Kusipitkan sebelah mata menatapnya sengit. Mata gundik itu terlihat mengembun. Sesekali beralih menatap bocah laki-laki yang menggenggam jemarinya. Persis tikus di hadapan kucing. Tak bernyali."Luar biasa sekali kamu, Riana." Kupindai gundik itu dari ujung kaki hingga kepala dengan senyum merendahkan."Apa kamu benar-benar tak punya hati?"Gundik itu hanya mematung menatap jemari yang bertaut dengan bocah di sampingnya. Bocah it
Pelan kutarik gorden menutup kaca kamar tidur utama rumah ini. Tak ada lagi pemandangan indah yang terlihat di sana. Hanya gorden warna abu tua. Persis seperti kondisi hatiku setelah menyaksikan seseorang yang telah lebih dari sepuluh tahun hidup denganku memilih pergi dari rumah setelah pertengkaran kami. Ini kali pertama dia melakukannya.Sekarang aku tahu bahwa segalanya telah berubah. Semua sikap manisnya selama ini adalah palsu. Sekedar topeng untuk menutupi kebusukannya. Bagaimana bisa aku sebodoh ini tak menyadari? Bahkan merasa pendusta itu begitu sabar dalam mencintai.Kini tabir telah terkuak. Jalan baru telah terbentang. Aku harus siap menjalaninya. Betapapun pahitnya. Meninggalkan sesuatu yang sungguh teramat berharga. Sebuah ikatan pernikahan.Kurebahkan raga yang teramat lelah. Berusaha memejamkan mata ditemani detak jarum jam penghapus sunyi. Entah berapa kali tubuh ini berubah posisi. Nyatanya kantuk tak juga menghampiri.Dada ini teramat perih. Memikirkan lelaki yang