Share

Hamilkah Riana?

Awan menghitam menutup semburat jingga di batas cakrawala. Lampu-lampu jalanan mulai mengambil alih tugas sang mentari. Rintik mulai turun menemaniku memacu sepeda motor dengan kecepatan cukup tinggi. 

Cukup sudah permainan ini. Biarlah pernikahan ini harus berakhir. Aku menyerah. Aku kalah. Biarlah kepingan hati ini kupunguti seorang diri. Pada saatnya nanti waktu akan membuatnya utuh kembali.

Aku tak jadi ke toko. Tiba di rumah langsung kuambil koper ukuran besar yang selama ini nyaris tak tersentuh di lemari bagian bawah. Kubuka resletingnya dengan kasar. Kemudian kulempar semua baju-baju Mas Ilham ke dalam. Kuluapkan emosi di hati dengan menarik kasar baju-baju itu dari lemari. Seolah aku sedang membuang Mas Ilham yang telah menghianati pernikahan ini.

Tak ada air mata lagi. Tekadku sudah bulat untuk mengakhiri semua. Aku benci dibohongi. Aku benci dikhianati. Aku benci dipermainkan. Pernikahan adalah janji kepada Sang Pencipta bukan hanya kata-kata tanpa makna. Jika ini takdir yang harus dijalani, aku siap.

Kutarik koper besar itu keluar dengan penuh emosi. Tak terasa berat sama sekali. Hingga harus terhenti karena tubuhku menabrak seseorang. Siapa lagi kalau bukan lelaki itu. Aku segera berbalik menatapnya tajam. 

"Bunda, ap ... apa ini?" tanyanya dengan mimik wajah sendu. Tak tahukah dia bahwa aku sangat muak melihat ekspresi wajahnya yang seperti itu?

"Seperti yang kamu lihat. Silahkan pergi dari rumah ini dan segera urus perceraian kita!" perintahku dengan nada datar dan tegas.

"Bunda, ... ."

"Kalau kamu enggak mau mengurus perceraian kita, aku akan mengurusnya sendiri."

"Bunda, Bunda, please jangan cerai!" rengeknya sambil bersimpuh memegang tanganku.

Kutarik jemariku tapi dia terlalu erat memegangnya. "Lepaskan, Mas!"

"Enggak, Nda. Ayah enggak akan melepaskan Bunda. Ayah mencintai Bunda, sungguh. Yang tadi Bunda lihat di jalan, Bunda salah paham."

"Ck!" decakku kesal.

"Aku muak, tahu enggak?" bentakku sambil berusaha melepaskan tangan.

"Nda, please dengarkan Ayah dulu!"

"Kamu tahu, dari dulu aku paling benci dibohongi. Sedikitpun aku enggak tertarik dengan dramamu, Mas."

"Bunda, please. Ayah berusaha menyelesaikan masalah yang telah Ayah buat, Nda. Beri Ayah kesempatan!"

"Cukup, Mas. Aku enggak sanggup. Ini terlalu sakit untukku." Buliran itu kembali menganak sungai membasahi pipiku. Sungguh dikhianati itu rasanya teramat sakit. Entah kata apa yang pas untuk mengungkapkan rasa sakitnya.

"Ayah mohon maaf, Nda. Ayah minta maaf!" isaknya dengan menyandarkan keningnya dilututku.

"Ayah janji akan perbaiki semua, Nda. Ayah janji."

"Tolong beri Ayah kesempatan, Nda! Please! Jangan bercerai!"

Dadaku terasa sesak. Akhirnya tengisku pecah dan tubuh ini luruh ke lantai. Kubiarkan suara tangisku mengisi kehampaan rumah ini. Kutumpahkan semua beban bersama suara tangis yang mengoyak jiwa.

Aku tergugu entah berapa lama. Mas Ilham masih setia di sisiku. Sungguh aku pun tak rela, rumah tangga yang selama ini aku perjuangkan harus hancur tak bersisa. Bagaimana nasib Delia? Mampukah aku berperan ganda sebagai orang tua? Rasanya begitu pelik. Nyatanya pernikahan tak sesederhana bermain game, jika sudah kalah maka akan berakhir begitu saja dengan mudahnya.

Aku tergugu. Hatiku begitu pilu. Aku tak pernah siap untuk ujian seperti ini. Ini terlalu berat. Sungguh sangat berat. Membiarkan rumah tangga yang selama ini susah payah kubina hancur begitu saja. Melepaskan seseorang yang selama ini sangat aku cinta. Merelakan pernikahan ini usai begitu saja.

Setelah tangisku reda, Mas Ilham membimbingku duduk di sofa. Hatiku begitu kacau. Kupalingkan wajah sambil menggigit ujung jari. Rasanya aku tak ingin melihat wajah lelaki itu lagi. Saat melihatnya rasanya luka itu kembali terbuka.

Dia beranjak pergi. Aku masih mematung dengan pikiran seperti benang kusut. Tak lama langkah kaki itu terdengar mendekat kembali dengan aroma teh melati yang selama ini jadi favorit kami.

"Bunda minum dulu, ya!"

Aku tak menerima cangkir yang dia berikan. Rasanya hatiku sudah beku. Aku tak ingin lagi mempedulikan apapun. Apalagi perasaannya.

Lelaki itu meletakkan cangkir teh di meja. Kemudian bersimpuh di lantai tepat di depanku.

"Bunda bersikap seperti apapun Ayah terima, Nda. Karena Ayah memang Ayah salah."

Tangannya kembali meraih jemariku tapi langsung kutarik seketika.

"Maafin Ayah, Nda. Please!" ucapnya sambil mencium lututku. Sungguh aku sudah tak peduli dengan apapun yang dia lakukan.

"Yang kamu pikir itu sebenarnya apa, Mas? Kamu meminta maaf seperti itu kemudian setelahnya kamu kembali bersama Riana. Kamu pikir aku enggak punya rasa?" bentakku.

"Tadi Ayah meminta Riana untuk pulang ke kampung, Nda. Yang bunda lihat tadi Ayah sedang antar dia beli tiket."

"Emang dia enggak bisa beli tiket sendiri?"

"Bagaimanapun semua salah Ayah, Nda. Dia korban ketamakan Ayah."

"Ya sudah, silahkan kasihani dia dan ceraikan aku!"

"Nda, please. Jangan hancurkan apa yang telah susah payah kita bangun!"

"Bukankah kamu sendiri yang sudah menghancurkan semua?"

"Ayah akan berusaha perbaiki semua, Nda. Please beri Ayah kesempatan!"

"Sepertinya aku enggak bisa."

"Ayah akan menunggu."

Kutinggalkan dia untuk melaksanakan sholat mahrib. Kuadukan semua pada Sang Pemilik hati. Jujur aku memang bimbang harus bagaimana. Haruskah aku kehilangan semua yang telah aku punya? Jujur hidup tak melulu soal harta. Bercerai dengan Mas Ilham tak membuatku miskin harta, tapi hatiku? Puluhan tahun ada cinta Mas Ilham bersemayam disana. Pasti tak akan mudah untuk menghapus rasa yang tersisa. 

Pukul delapan sebenarnya masih terlalu sore untuk tidur. Tapi aku tak ingin berinteraksi dengan lelaki itu di luar. Mata ini masih tak bisa terpejam. Kuambil ponsel dan kubuka aplikasi f******k. Aku bukan pengguna yang aktif berstatus ria, hanya sesekali kubuka untuk membaca status-status teman-teman saja.

Kubuka akun Riana. Dia juga jarang membuat status. Hanya beberapa teman yang menandainya sebagai pengisi profilnya. Aku terpaku pada foto yang dia unggah. Foto kita saat liburan di pantai. Aku terlihat belum siap masih menoleh kesamping, sedang disampingku Mas Ilham tersenyum bahagia tangannya dikalungkan di leher Delia. Kemudian Riana juga terlihat sama, tersenyum manis dengan tangan dia letakkan di pundak kiri Delia. Hatiku nyeri, nyatanya di foto itu aku terlihat bukan siapa-siapa. Seperti merekalah keluarga yang sebenarnya.

Foto-foto lain juga terlihat betapa bahagianya mereka bertiga. Saat itu memang aku lebih memilih berteduh di gazebo menyaksikan mereka asyik bermain. Nyatanya setelah kebusukan mereka terungkap sungguh foto-foto yang bahkan beberapa aku sendiri yang mengambilnya sangat menyakitkan dipandang mata. Siapa aku bagi mereka? Bahkan mereka terlihat seperti keluarga yang sangat bahagia.

Nyeri. Hatiku kembali nyeri. Rasa tak rela melihat mereka nantinya akan hidup bahagia mengacaukan segalanya. Aku sungguh tak rela. Aku tak mau munafik, pasti akan sangat menyakitkan melihat mereka hidup bahagia sedang aku masih berusaha menyembuhkan luka. Merana. Harta benda tak akan membuatku sungguh-sungguh bahagia. Mereka hanya bisa menjadi pelipur lara, tapi bukan sumber bahagia.

Bisakah aku mencoba kembali memulai semua bersama Mas Ilham? Sedang luka ini masih menganga. Benarkah waktu bisa menyembuhkannya? Dan semua kembali seperti semula. Bisakah?

Suara pintu dibuka membuyarkan lamunanku. Pelan lelaki itu mendekat ke ranjang. "Bunda belum tidur?" tanyanya kemudian duduk di bibir ranjang. Bibirku terkunci rapat. Aku begitu enggan meladeni basa basi lelaki ini. Sungguh kini hatiku hanya terisi rasa benci. Benarkah aku tak mencintainya lagi? Tapi mengapa saat melihat foto-foto mereka aku tak rela?

"Nda, maaf, tapi Ayah harus tanyakan ini sama Bunda."

Lelaki itu menoleh ke arah pintu beberapa saat, kemudian menunduk menatap jemarinya yang saling bertaut.

"Khem." 

Entah apa yang akan dia sampaikan. Kelihatannya begitu berat.

"Besok kan ... eemh ... besok kan Riana pulang, apa dari toko enggak akan beri dia ... ." Dia tak melanjutkan ucapannya, tapi aku tahu arah tujuannya.

Aku masih diam. Meskipun aku sudah memiliki jawabannya.

Rasanya semua ini seperti mimpi. Aku pun berharap ini hanya mimpi. Sungguh. Hubungan yang selama ini begitu baik. Aku bahkan menganggap gadis itu seperti adikku sendiri. Setiap saat kulibatkan dia agar dia tak merasa kesepian jauh dari keluarga. Pulang dari toko pun dia pasti ke rumah bersama kami, kemudian menyiapkan makanan untuk makan malam bersama. Benar-benar seperti keluarga. Bahkan kadang dia menginap di rumah ini. Tak menyangka akhirnya akan seperti ini. Mereka lupa diri.

"Maumu bagaimana?" Sengaja kupancing dia.

"Ayah ngikut Bunda aja mau gimana. Ayah sudah melakukan kesalahan besar, Ayah tak berhak mengambil keputusan apapun tanpa persetujuan Bunda."

Bagaimanapun, dulu gadis itu aku yang memintanya untuk ikut kami. Dia yang ragu dengan kehidupan di kota besar aku yakinkan sedemikian rupa. Aku tak tega melihat keluarganya. Mengingat Mak Jum dengan suaminya sungguh aku benar-benar tak tega. 

"Besok pulang sekolah kita antar dia." Entah bagaimana kata-kata itu terucap begitu saja. 

.

Senja kali ini menunjukkan kecantikannya. Semburatnya tak lagi tertutup awan gelap seperti hari-hari sebelumnya. Suasana jalanan pun lebih padat dari biasanya. Hangat menerpa wajah yang tak tertutup kaca helm. Nyatanya hatiku masih beku hingga detik ini. 

Suasana kost Riana masih lengang. Mungkin penghuninya masih berkutat dengan segudang aktifitasnya. Mantap langkah kakiku menuju satu kamar yang sangat aku hafal. Baru sekali mengetuk, pintu itu dengan cepat terbuka. Wajah yang awalnya terlihat antusias saat membuka pintu, tiba-tiba langsung menunduk lesu. Mungkin yang dia harap adalah lelaki itu, bukan aku.

Tatapanku menyapu ruangan yang kini tampak lengang. Barang-barang yang biasa tertata rapi kini telah dikemas pemiliknya. Hanya tinggal kasur busa ukuran singgel yang tergeletak tanpa seprei, di sebelahnya 2 kursi dan meja kecil tanpa taplak yang biasanya menghiasi. Kamar yang sebelumnya sangat girly ini menjadi suram.

"Masuk, Mba!" 

Akhirnya dia mampu bersuara. Tanpa menjawab aku melenggang dan duduk di kursi besi kecil. Menatap jendela kaca yang kini tak bergordin lagi. Sungguh aku tak tertarik sama sekali untuk mengeluarkan sepatah kata pun. Tak hanya hatiku, ternyata bibirku pun beku oleh kecurangan mereka.

"Hooekmm!"

Terkejut aku mendengar suara Riana kemudian menoleh kearahnya yang kini menutup mulut dan memegang perut lalu berlari ke kamar mandi. Meski pintu tertutup rapat namun jelas sekali terdengar dia muntah-muntah membuat dadaku bergemuruh tak karuan. Berbagai pikiran buruk menari-nari di kepala. Seolah mengolok kekalahan telakku. Mungkinkah Riana hamil? Ya Robbi aku tak sanggup.

Gadis itu keluar sambil menunduk. Kali ini bibirku mampu bersuara, "kamu hamil?" tanyaku dengan nada sadis.

"E ... eng ... enggak, Mba."

"Kenapa sampai muntah-muntah begitu?" ucapku masih dengan nada yang sama.

"Masuk angin, Mba," lirihnya hampir tak terdengar.

Kupandangi perempuan dengan kepala menunduk itu dari ujung kaki sampai kepala. Mungkin grogi, dia memilin ujung jilbabnya.

Suasana kamar terasa lebih tegang setelah Riana muntah tadi. Pikiranku benar-benar tak karuan dibuatnya. Bagaimana kalau sampai Riana hamil? Mungkinkah Mas Ilham masih mau meninggalkannya, sedang selama ini dia sangat menginginkan anak lagi. Terutama anak laki-laki. Entah kenapa tubuhku menjadi begitu lemas seolah tak bertulang.

Suara pintu terdengar diketuk dari luar. Canggung Riana membukakan pintu. Wajah lelaki itu muncul kemudian lembut menatapku. 

"Bunda sudah dari tadi?"

Meskipun sikapnya sedikit canggung, tapi lelaki itu berusaha terlihat biasa padaku.

Suasana kamar begitu hening tanpa ada yang bersuara lagi. Kemudian Mas Ilham mengajak untuk berangkat mengantar Riana ke kampung. 

Sepanjang perjalanan tak satupun dari kami mengeluarkan suara. Hanya Mas Ilham yang sekali menawarkan istirahat untuk makan. Tapi aku enggan menyahut dan Riana pun hanya diam. 

Ya robbi, siapa yang menyangka gadis pendiam ini tega menghancurkan rumah tangga orang? Dia yang kutahu selama ini begitu baik, sering membantuku mengerjakan pekerjaan rumah tangga, sering mengajak Delia bermain saat mendapat libur dari asrama. Ternyata dibalik kebaikannya itu karena dia mencintai suamiku.

Yang paling membuatku merasa sangat terbohongi, mereka berdua bisa bersikap biasa seolah tak ada hubungan apa-apa. Sehingga saat kami sekeluarga jalan-jalan pun tak masalah aku selalu menyetujui usul Mas Ilham atau Delia untuk mengajaknya. Tapi dengan teganya dia menikamku.

Delapan jam perjalanan terasa begitu lama. Pukul satu dini hari kami sampai di kampung. Kami mengantar Riana sampai halaman kemudian ke rumah orang tuaku. Besok pagi baru aku akan bicara dengan keluarga Riana.

Orang tuaku begitu terkejut dengan kedatangan kami tanpa mengabari terlebih dahulu. Wajah yang masih kusut karena baru bangun tidur itu berbinar dan kaget. Setelah bersalaman dan saling berpelukkan baru Ibu menegur kami, "kok tidak telepon dulu? Kan Ibu sama Bapak bisa siap-siap dulu. Delia enggak ikut?"

"Enggak, Buk. Belum libur."

"Aduh, piye to iki?"

Ibu malah kebingungan sendiri. Ekspresinya mampu membuatku tersenyum lagi setelah beberapa hari terakhir ini bibirku beku.

"Piye opo to, Buk. La wong anake pulang bukane seneng kok malah bingung?" (Gimana apanya, Bu? Anaknya pulang bukannya senang kok malah bingung?)

"La Ibu durung nyiapi opo-opo, Nduk." (Ibu belum menyiapkan apa-apa, Nak.)

"Sudah-sudah, Bu. Kami enggak diajak masuk ta?"

"Oh iya, iya. Masuk-masuk Nak Ilham!" ajak Ibu sambil menggandeng lengan menantunya itu. Disusul aku dan bapak.

Setelah membuatkan teh panas, ibu langsung merapikan kamarku sewaktu gadis. Aku membuntutinya yang sibuk berbenah. Sungguh ingin kumenangis memeluk wanita yang kini sudah cukup tua ini, tapi aku tak mau menambah beban pikirannya. Biarlah orang tuaku tahunya semua baik-baik saja. Aku tak ingin menambahi beban pikiran di masa tua mereka.

"Nduk, ra ono opo-opo, to?" (Nak, enggak ada apa-apa, kan?)

Akhirnya Ibu bertanya juga. Aku yakin perasaan orang tuaku sangat tidak karuan. Anaknya pulang dini hari begini bahkan bisa dibilang masih tengah malam tanpa memberi kabar terlebih dahulu.

"Enggak, Bu. Cuma ngantar Riana."

"La ngopo si Riana iku muleh?" (Kenapa Riana pulang?)

"Hhhmmm Ibu ini, ya pasti banyak alasannya lah, Bu. Pingin ketemu orang tuanya kayak Mayang mungkin. Emang Ibu enggak kangen sama Mayang?" sengaja kualihkan pembicaraan kami agar Ibu tidak tanya-tanya lebih jauh lagi.

"Yo kangen to, Nduk. Iku bapake Riana yo ngono-ngono wae, Nduk. Durung ono perkembangane. Mesakne."

(Ya kangaen, Nak. Itu bapak Riana juga masih seperti itu, Nak. Belum ada perkembangan. Kasian.)

Aku cuma mangut-mangut tak ingin membahas tentang mereka. Takut tak bisa menahan diri dan akhirnya orang tuaku akan tahu masalah kami.

.

Udara begitu segar saat kubuka jendeka dan disapa oleh terpaanya pada wajah. Hijau dedaunan menambah sejuk suasana. Seekor induk ayam tampak mengais-ngais tanah direcoki anak-anaknya yang masih bulat. Si Blaki kucing peliharaan Ibu duduk mengawasi. Lama sekali aku tak menikmati pemandangan seperti ini walau sering berkunjung kesini.

Pintu kayu berderit, Mas Ilham muncul dari baliknya. Tampak dia mengenakan kaos abu-abu polos dengan celana jeans selutut. Rambutnya masih basah digosok-gosok dengan handuk biru kecil.

Mas Ilham memang cukup tampan. Mungkin sebenarnya tak serasi saat bersanding denganku yang biasa saja. Bahkan hampir semua teman-temanku mengatakan aku sangat beruntung bisa menjadi istri lelaki lembut dan tampan seperti Mas Ilham. Tapi itu dulu sebelum dia berhianat.

"Bunda mandi dulu gih, airnya seger banget lo!" ucapnya sambil mencium pucuk kepalaku.

Enggan menjawab aku berlalu ke luar kamar. Perasaanku masih beku padanya. Entah kapan akan bisa mencair lagi. Dan hari ini aku harus menghindarinya agar orang tuaku tak curiga.

.

Rumah dengan dinding kayu mulai lapuk itu tampak begitu sepi. Jika Riana tak berulah tak mungkin tega aku memulangkannya. Setan memang selalu membuat manusia sengsara. Benarkah ini semua salah setan? Bukankah karena manusianya yang tidak bisa bersyukur? 

Mas Ilham mengetuk pintu dan mengucap salam. Tak lama perempuan dengan tubuh kurus mengenakan kebaya biru kusam dan kain jarik sebagai bawahannya tergopoh membuka pintu. Bibirnya tersenyum lebar melihat kedatangan kami. Mata tuanya berbinar terlihat sangat bahagia. Mungkin dia belum mengetahui bahwa kami akan mengembalikan Riana.

"Mba Mayang, Mas Ilham silahkan masuk!" perintahnya tanpa melepas senyum dan binar bahagianya.

Ruangan itu masih sama. Kursi kayu panjang reot berada di sebelah pintu masuk. Meja cukup lebar membuat ruangan semakin sempit. Kemudian ranjang kayu kecil berada di seberangnya. Tampak tubuh kurus tergolek tak berdaya di atasnya.

"Ba Ayang," ucapnya sambil berusaha tersenyum ketika aku menghampiri untuk bersalaman dengannya.

Melihat kondisi keluarga ini hatiku kembali tersentuh. Bagaimana jika Riana tak bekerja lagi? Bagaimana nasib mereka selanjutnya? Sawah mereka sudah tak punya. Hanya tinggal tanah sepetak tempat tinggal mereka ini harta yang mereka punya. Ya robbi, hatiku gerimis memikirkan nasib mereka.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
pantas aja suami mu yg selingkuh selama 1,5 th krn khikaf, ternyata kau selain g pandai merawat diri juga lemot,tolol,plin plan dan banyak drama. matilah kau njing
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
kmu jangan teroengaruh dgn keadaan Riana dia udah banyak ngambil duit kmu minta k ilham dn ilham selalu ngasi brp pun yg Riana minta .kmu jangan mau bujuk rayu ilham .bisa aja setiap 1 minggu se x pasti dtng k rmh Riana ..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status