Seorang pria berusia sekitar 25 tahun, memakai sweater turtle neck warna abu-abu mengenakan masker warna hitam, berkacamata, terlihat berdiri tegap di belakang Maeera.Dia adalah pria baik hati yang mengatakan akan membayar tagihan makanan Maeera. Begitu melihat sosok yang telah menolongnya, Maeera segera membalikkan badan lalu menghampiri pria itu."Terima kasih, terima kasih banyak," ucap Maeera sambil berkali-kali membungkukkan badan. Pria itu menatap tajam Maeera melalui lensa kecamatanya, kemudian berkata, "Temani aku makan," perintahnya. Pria itu lalu balik badan dan berjalan menuju kursi kosong yang tersedia di luar tenda. Dengan ekspresi bingung, Maeera berjalan mengikuti pria itu dari belakang sembari berkata, "Kau ingin aku menemanimu makan?" tanya Maeera penasaran. Pria itu hanya diam lalu duduk di kursi plastik berwarna orange di luar tenda. "Duduklah," pinta pria itu sembari menarik satu kursi plastik di sampingnya. Maeera melihat kursi itu kemudian mendudukinya. S
Malam sudah semakin larut, jam di dinding bahkan telah menunjukkan pukul 23:00. Tapi Avani, masih belum bisa memejamkan mata. Pikirannya masih carut marut dipenuhi berbagai pertanyaan, terutama setelah apa yang terjadi antara dirinya dengan Rin Leung, di padang bunga sore tadi.Kini, satu per satu pertanyaan mengenai siapa Rin Leung, mulai muncul di benaknya, dan entah bagaimana, pertanyaan-pertanyaan itu muncul secara otomatis di otaknya, tanpa bisa ia cegah. Ini membuatnya gelisah dan sulit tidur."Apa dia benar-benar menyukaiku?" tanya Avani pada dirinya sendiri. "Ini pertama kalinya seorang pria begitu blak-blakan menyatakan cintanya padaku."Iihhh... aku bahkan masih merinding jika mengingatnya," ucap Avani sembari bergidik.Gadis cantik itu, lalu memiringkan tubuhnya ke sisi kiri, sembari menggigit ujung kukunya."Tapi, apa pria di Oxford itu benar-benar dia?" Avani terlihat ragu. "Tapi memang terlihat sama," belanya.
Avani duduk bersandar diatas tempat tidur, sembari mengenakan selimut tebal menutupi tubuhnya. Ia letakkan album foto besar itu di atas bantal, lalu mulai melihat satu per satu foto yang ada di dalamnya dengan penuh antusias. Avani tersenyum kecil begitu membuka bagian awal photobook, yang penuh berisi dengan foto masa kecil Rin Leung. Dengan pipi chubby, kulit putih dan mata berwarna hijau tosca, Rin Leung kecil tampak sangat lucu dan menggemaskan. "Wah, dia terlihat sangat menggemaskan," seru Avani saat melihat deretan foto Rin Leung berseragam kindergarten. Tak sabar, ia segera membuka halaman photobook berikutnya yang penuh berisi foto masa kanak-kanak Rin Leung. Terlihat deretan foto Rin kecil membawa botol minuman, sedang berpose bersama seekor kura-kura besar di sebuah kebun binatang. "Wajah tampannya sudah terlihat sejak kecil," komentar Avani saat melihat foto-foto itu. Usai melihat foto itu, perhatian Avani langsung teralihkan pada foto Rin kecil bersama Ayah ibunya
Asisten Eri kembali ke Lotus Hall seorang diri, setelah meninggalkan Maeera sendirian di tepi trotoar kota Bulan. Ia kembali ke mansion mewah itu untuk menemui bosnya, Gin Yuta. Berada di kediaman utama, pria berkacamata itu terlihat berjalan terburu-buru masuk ke sebuah ruangan besar di lantai dua mansion. Sebuah ruangan besar nan mewah bergaya modern, dengan desain home office, berdinding panel kayu warna cokelat, dengan langit-langit plafon berwarna putih. Sebuah meja kerja lengkap dengan segala pernak perniknya, terlihat membelakangi rak dinding dari kayu jati berwarna cokelat tua yang berisi buku-buku tebal dan tertata rapi. Sebuah laptop mahal, tampak masih menyala di atas meja, saat asisten Eri berjalan masuk ke ruangan tersebut. Sang pemilik rumah, Gin Yuta, terlihat sedang duduk di sofa panjang, menghadap ke arah laut sembari menyeruput teh hangat dari cangkirnya. "Bagaimana? Apa kalian pergi ke rumah sakit?" tanya Gin begitu mendengar derap langkah kaki Eri mendekat
Gelisah, Maeera seharian merasa gelisah. Hatinya tak tenang, pikirannya belingsatan, ia masih belum bisa berpikir jernih jika belum mendapat jawaban pasti mengenai apa terjadi. Apakah Gin sudah tau siapa dirinya yang sebenarnya atau tidak. Dengan perasaan tak menentu, ia mondar-mandir mengitari kamar besar itu sembari terus menganalisa semua kemungkinan yang mungkin saja terjadi. "Jika dia sudah tau aku bukan istrinya, kenapa dia masih bersikap baik padaku?" Maeera mencoba mencari jawaban lain dari apa yang terjadi. "Atau jangan-jangan asisten Eri masih belum memberitahunya?—" Maeera tersenyum senang "—Jika ya, sebaiknya aku segera berkompromi dengan asisten Eri?" ujar Maerra sembari mencoba mencari sesuatu untuk berkomunikasi dengan asisten Eri, tapi sadar ia tak memiliki ponsel. "Tapi, aku tidak bisa bertemu dengannya jika tidak pergi ke kantor, Arrggghh... " keluh Maeera lalu membanting dirinya ke atas sofa. Ia benar-benar putus asa. "Apa yang harus aku lakukan jika pria buta
Menahan rasa takutnya, Maeera mulai memainkan ujung kukunya, menggesekkan kedua kuku jarinya dengan gerakan yang sangat cepat tanpa jeda. Ia gelisah sangat gelisah. Bibir pucatnya tampak gemetar, dengan telapak tangan mulai terasa dingin. Ia takut, sangat-sangat takut. Lebih takut dibandingkan saat di teror oleh para rentenir penagih hutang. "Kenapa diam," seru Gin. "Apa pertanyaanku kurang jelas, aku bertanya padamu, apa kau tak penasaran kenapa aku masih tetap membiarkanmu tinggal di sini?" tanya pria bermata biru itu dengan nada suara yang sedikit lebih tinggi. Maeera tak bergeming, ia masih tetap mematung tanpa memberikan respon apapun. Ia masih bergelut dengan pikirannya dan rasa takutnya. Rasa takut yang bermuara dari rasa bersalahnya pada Gin Yuta. Ia merasa berdosa telah membohongi pria buta itu. Menghancurkan pernikahannya dan tak pernah jujur mengatakan bahwa ia bukan Avani. Andai ia jujur, mungkin semua tak akan serumit ini. Kini ia di hadapkan pada dilema, menga
Gin mengernyitkan dahinya mendengar perkataan Maeera. Ia tak percaya jika gadis miskin itu tak menginginkan apa-apa, disaat ia terang-terangan menyembunyikan cincin berlian pernikahannya. "Benarkah kau tak menginginkan apapun?" tanya Gin sembari melepas pelukannya, kemudian berjalan menjauhi Maeera menuju jendela besar yang menghadap ke laut. "Kalo kau tak menginginkan apapun, kenapa kau berpura-pura menjadi Avani, "Gadis miskin sepertimu, berani-beraninya kau berpura-pura menjadi istriku. Kau pikir, karena aku buta, kau bisa membohongiku," cerca Gin. Maeera hanya diam mendengar omelan suami palsunya. Ia tak memberi sanggahan apa-apa. "Kenapa hanya diam? Takut?!!" cibir Gin. "Tenang saja,aku tak akan memasukkanmu ke penjara," ujarnya sembari menatap kosong deburan ombak Samudra Hindia melalui mata butanya. "Aku hanya akan memastikan, kau—Maeera—tak akan pernah hidup bahagia." Ia menoleh ke arah gadis manis itu. "Kau telah menghancurkan pernikahanku, maka aku juga akan mengha
Avani Lie terbangun dengan perasaan campur aduk memikirkan siapa Rin Leung sebenarnya. Kini ia sangat penasaran dengan masa lalu pria keturunan Cina-Amerika itu, terutama setelah ia melihat album foto lawas milik pria berandal itu. Di atas tempat tidur, meski matanya telah terbuka, tapi Avani masih malas untuk bangun. Ia masih merasa lelah setelah tidur hanya beberapa jam saja. Perlahan kini ia mulai merasa nyaman tinggal di kastil besar ini. Jauh dari hiruk pikuk kota dan selalu dapat menikmati indahnya pantai tropis Samudra Hindia. "Pagi," sapa Rin yang muncul tiba-tiba dari balik pintu yang tertutup. Terlihat ia datang membawa nampan berisi semangkuk bubur dan segelas susu, serta sebuah medical box. Tak seperti biasanya, hari ini Avani tersenyum melihat kedatangan Rin. Entah mengapa, saat melihat pria berandal itu, kini yang tampak adalah Rin Leung kecil dengan pipi chubby, imut dan menggemaskan. "Pagi," balas Avani. Perlahan ia bangun dari tidurnya kemudian duduk bersand