Share

Bab 8

TERNYATA, seperti dugaanku, Radit tidak bersedia menikah denganku. Om Aryo memberitahu kami bahwa rencana pernikahanku dengan Naren tetap akan dilakukan. Waktunya hari Minggu, jadi tinggal tiga hari lagi. Pernikahan akan dilakukan di sebuah hotel di pusat kota.

Kami tidak membuat undangan karena yang akan hadir hanya beberapa orang keluarga inti saja. Tidak cukup waktu untuk melakukan berbagai prosesi acara pernikahan, seperti lamaran, siraman, midodareni, dan lain-lain. Karena kesalahan yang telah aku lakukan, semua keindahan prosesi pernikahan itu tidak akan pernah aku alami, selamanya…

“Ini saja kamu harus bersyukur, Ndri, ada orang yang mau menikahimu dan menyelamatkan keluarga kita!” kata bapak seperti tanpa perasaan. Yah, aku harus menelan pil pahit dari kesalahan pergaulanku. Pernikahan di hotel ini pun agar kami tidak malu, karena merayakan pernikahan dengan mendadak akan menimbulkan kecurigaan orang.

Aku sendiri tidak memberitahukan pernikahan ini kepada teman-temanku, dan hanya kepada Fien, dengan pesan untuk tidak memberitahukannya kepada siapapun yang lain. Benar-benar hanya sebuah pernikahan rahasia agar kami dapat memiliki foto-foto prosesi pernikahan.

Tentang kuliahku? Lupakan. Sudah dua Minggu aku tidak ke kampus, dan aku juga sudah tidak perduli. Biarlah, urusan masa depan ini pun menjadi korban dari kesalahanku. Oh Tuhan, betapa mahal harga yang harus aku bayar dari kesalahan konyolku…

Di hari pernikahan, di balai pertemuan hotel tempat prosesi pernikahan akan diadakan, sebelum acara dimulai, aku bertemu Radit. Tentu dia termasuk keluarga inti dari pengantin pria.

“Selamat ya…” katanya mengejekku. Ya, jelas dia mengejekku, karena senyumnya benar-benar senyuman mengejek!

“Persetan kamu!” jawabku emosi.

Radit tambah tertawa. “Kamu memang pantasnya sama si culun!” ledeknya.

Aku tidak menjawab, dan membuang muka karena benci melihatnya. Fien yang juga ikut hadir untuk menemaniku, menuntunku menjauh darinya.

“Hei, jangan pergi dulu,” teriak Radit sambil menarik tanganku. “Aku ingin memberi ciuman perpisahan kepadamu!”

Setan alas benar! Teriakku dalam hati. Jelas aku bertambah malu dengan perlakuan Radit yang sama sekali tidak menghormatiku di depan banyak orang, dan hampir semua orang mendengar kata-katanya itu.

“Radit, kamu jangan keterlaluan!” bentak Fien tidak bisa menahan diri lagi.

“Apa urusanmu, mbok emban!” Radit balas membentak dan mengejek Fien. Mbok emban adalah sebutan untuk ibu pengasuh atau wanita pelayan dalam tradisi Jawa kuno.

Mungkin karena tidak tahan melihat perilaku Radit yang bertambah kurang ajar, om Aryo datang mendekati. “Teruslah berulah, sampai aku dapat menjerat lehermu…” gumam om Aryo sambil menatap Radit dengan penuh kebencian.

Melihat om Aryo ikut-ikutan menghadapinya, Radit tersenyum mengejek. “Bisa apa kamu?” katanya kurang ajar.

Om Aryo tentu tidak bisa melakukan apa-apa walaupun dia marah dan benci kepada Radit. Sepertinya Radit sengaja mengejek om Aryo untuk menantangnya.

Aku juga sempat melirik ke arah bapakku. Bapak juga diam saja mengatupkan mulutnya rapat-rapat, menahan amarahnya. Suasana menjadi tegang sekali dengan kelakuan Radit.

Acara pernikahan ini sederhana sekali, hanya aqad saja, yang dipimpin oleh petugas dari KUA (Kantor Urusan Agama). Aku memakai kebaya pengantin warna putih, dan mas Naren mengenakan jas lengkap. Tidak ada pagar ayu dan pagar bagus seperti pada resepsi pernikahan umumnya, juga tidak ada among tamu dan lain-lain.

Ketika pengucapan ijab-qabul, bapakku sempat tersendat karena sedihnya sehingga pengucapannya tidak jelas.

“Ulangi!” teriak seseorang, dan ternyata itu Radit!

Semua orang menoleh kepadanya sehingga pembacaan ijab-qabul itu menjadi terhenti.

“Ucapannya tidak jelas!” seru Radit lagi tanpa rasa bersalah.

“Baiklah, kita ulangi,” kata pak penghulu.

“Pak ustadz,” panggil om Aryo. “Cukup saksi saja yang menilai sah atau tidaknya ijab-qabul, jangan perdulikan orang lain!” tegurnya. Bagaimanapun, om Aryo adalah seorang pengacara sehingga mengetahui soal hukum, walaupun ini hukum agama.

“Iya, baik,” sahut pak penghulu.

Tetapi terdengar lagi suara Radit. “Saya bukan orang lain! Saya ini saudaranya pengantin pria!”

Om Aryo naik pitam. “Di sini sudah ada saksi dan pak penghulu. Penilaianmu tidak diperlukan di sini!”

“Sudah… sudah,” lerai pak penghulu. “Mari kita ulangi lagi.”

Ketika pembacaan ijab-qabul giliran mas Naren, kembali suara Radit mengganggu. “Ah, si culun…”

Mas Naren pun terhenti dan lupa lanjutan jawabannya.

Semua orang kembali menoleh ke Radit. “Bisa nggak sih kamu tidak mengganggu?” bentak om Aryo.

“Kok kamu yang sewot?” tantang Radit. Benar-benar anak itu sudah keterlaluan kurang ajarnya.

Mungkin semua orang kesal dengan tingkah Radit, namun ketika aku melirik pak Handoyo, papi Radit, bakal mertuaku itu hanya diam saja. Seharusnya dia melarang atau menasehati Radit, tetapi dia diam saja. Kenapa? Sebuah tanda tanya besar menyelinap ke dalam hatiku. Apakah dia kurang merestui pernikahan ini? Tetapi kenapa dia membiarkannya terjadi, dan turut hadir pula di sini bersama istrinya, mami Radit?

Tiba-tiba, tanpa aku sadari sendiri, aku berdiri. Semua mata langsung tertuju kepadaku. “Aku tidak bersedia meneruskan pernikahan ini!” kataku, membuat hampir semua orang melongo.

“Indri, duduk!” bentak bapakku. Tetapi aku tetap berdiri.

Aku melanjutkan kata-kataku sambil menunjuk Radit, “selama orang itu masih ada di sini!”

Kini semua mata melihat ke arah Radit.

Radit tertawa. Dia bangkit dari duduknya, lalu berjalan ke arahku. “Memangnya kamu siapa? Bukannya kamu yang menuntut perkawinan ini? Nggak usah sok belagu,” katanya dengan senyum mengejek.

Melihat itu, om Aryo memberi isyarat kepada teman-temannya, dan beberapa orang langsung bergerak meringkus Radit.

“Oh, kamu mau main kasar?” dengus Radit ke om Aryo.

Tetapi orang-orang itu tetap memegang Radit dan menggiringnya keluar ruangan.

“Berhenti!” tiba-tiba terdengar sebuah suara, yang ternyata suara pak Handoyo. “Dia anak saya! Dia berhak ada di sini di pernikahan kakaknya. Kalau tidak, pernikahan ini dibatalkan!”

Aku lihat, bapakku menjadi kaget dan mukanya pucat.

“Indri, tolong duduk,” perintah om Aryo.

Aku tidak mempunyai pilihan lagi. Jika pernikahan ini dibatalkan, bapakku pasti akan marah, dan semua kekacauan kembali seperti semula, atau bahkan lebih buruk lagi. Jadi, tidak ada cara lain, aku harus menurut dan terpaksa menelan pil pahit lagi.

“Hahaha…” Radit yang sudah dilepaskan tertawa terbahak-bahak. Kelihatannya dia puas sekali dengan kemenangannya terhadap kami semua.

“Jangan sok belagu kamu, gadis palsu!” cemoohnya kepadaku. “Sudah syukur ada yang mau kawin denganmu…”

Kami semua kembali menelan pil pahit tanpa bisa berbuat apa-apa mendengar cemoohan Radit. Sekarang aku mengerti, pak Handoyo rupanya menyetujui tindakan anaknya yang bergajul (kurang ajar) itu. Entah apa yang ada dalam pikiran bakal mertuaku itu sehingga menyetujui pernikahanku dengan Naren, anaknya, dan juga kakak Radit.

Selesai prosesi ijab-qabul, acara selanjutnya adalah pemberian salaman kepada pengantin. Kami berdiri di pelaminan menerima ucapan selamat dari keluarga yang hadir.

Ketika giliran Radit, aku berdebar. Walaupun anak itu kurang ajar dan tidak bertanggung jawab, namun dalam hatiku pernah ada rasa mesra kepadanya, bahkan pernah ada harapan bahwa Radit lah yang berdiri di sampingku saat ini!

Radit menngucapkan selamat dan memeluk mas Naren. Kedua saudara itu tampak akrab sebagaimana seharusnya. Aku senang melihatnya.

Namun ketika giliranku, Radit juga ingin memeluk. Tentu saja aku menjadi rikuh dan menolaknya. Radit lalu mendekatkan mulutnya ke telingaku dan berbisik, “Heh, Indri! aku juga berhak sama kamu!”

Aku tidak begitu paham apa arti kata-kata Radit itu, namun aku menjadi ngeri dengan pradugaku akan maksudnya. Benar-benar keterlaluan, benar-benar brengsek.

Aku sampai kikuk menyambut salaman dari keluarga berikutnya, karena otakku bekerja terlalu keras memikirkan kata-kata Radit. Aku bahkan tidak sadar hingga mendapat salaman terakhir.

Setelah acara salaman selesai, aku dibawa ke ruang rias untuk ganti pakaian. Mas Naren tidak perlu mengganti pakaian karena hanya memakai jas.

Tetapi di ruang rias, ternyata sudah ada Radit menungguku!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status