Share

Bab 7

AKU kenal mas Naren, kakaknya Radit, karena pernah bertemu waktu Radit mengajakku ke rumahnya. Mas Naren orangnya pendiam, slow, tidak seperti Radit yang grusa-grusu (bahasa Jawa yang artinya suka tergesa-gesa tanpa banyak berpikir).

Mas Naren tampak lebih kurus dari Radit, mungkin karena badannya tinggi dengan rambut panjang yang kadang menutupi mukanya. Dia juga berkacamata, dan lebih suka pakai kemeja --kata Radit mencemooh kakaknya. Radit bahkan sering menyebut kakaknya itu ‘si culun’.

Jadi, aku akan kawin dengan ‘si culun’? Betapa akan bahagianya Radit menertawakan aku nanti!

“Om, aku tidak mengerti…” gumamku setengah sadar, karena aku sibuk membayangkan si culun Naren.

“Begini Indri. Seperti yang tadi aku bilang, kita dikejar waktu, karena umur kehamilanmu yang terus bertambah. Jadi kami menuntut pertanggungjawaban dari orang tua Radit. Orang tua Radit, pak Handoyo, tadinya menolak urusan ini karena dia tidak tahu-menahu perbuatan anaknya. Lagi pula mereka tidak bisa mengkonfirmasi kebenaran informasi yang sepihak. Tetapi, entah bagaimana, muncul Naren yang menyatakan bahwa dia akan mewakili adiknya, mengambil alih tanggung jawab itu untuk menikahimu.” Papar om Aryo panjang lebar.

Aku terdiam cukup lama untuk dapat mencerna informasi itu, membuat bapakku menjadi tidak sabar. “Apalagi yang kamu pikirkan, Indri? Kamu sudah melakukan kesalahan, dan sekarang kamu harus menanggung akibatnya!”

“Tapi, pak…” aku ingin membantah, aku tidak bisa menerima pernikahan yang tidak karuan ini.

“Tapi apa?” sergah bapakku tidak senang.

Aku tidak bisa meneruskan kata-kataku. Bagi bapak, aku sudah tidak berhak lagi atas kehidupanku, dan harus menerima nasib apa adanya. Aku menjadi sedih sekali menghadapi kenyataan ini. Bapakku benar-benar sudah ingin membuang anaknya yang berdosa ini, dan lebih mementingkan nama baik keluarga…

Untunglah ibuku masih ada hati dan mau membelaku. “Pak, Indri nanti yang akan menjalani kehidupan rumah-tangganya. Bagaimana bisa kita serahkan dia kepada orang yang asing baginya?”

Namun bapakku tidak mau mengalah. “Seharusnya dia memikirkan itu sebelum dia melakukan perbuatan nista itu!”

Ibu masih berusaha. “Iya pak, Indri bersalah. Tetapi kita akan…”

“Ah, sudah!” bentak bapak sehingga ibu menjadi terdiam. “Pokoknya Indri secepatnya menikah, punya suami, sebelum dia melahirkan anak haramnya itu!”

Ibu menghela napas. Lalu kepada om Aryo, ibu berkata, “Dik Aryo, apakah tidak bisa diusahakan lagi… menemukan nak Radit. Bujuk dia baik-baik agar mempertanggung-jawabkan perbuatannya.”

Om Aryo menjawab, “Iya, mbakyu. Sebenarnya team kami masih terus memburu Radit. Mudah-mudahan secepatnya ditemukan, dan dia mau bertanggung jawab. Tetapi Radit ini sudah menghilang sejak dua hari yang lalu, tidak pulang ke rumah, dan juga tidak bisa dihubungi. Mungkin benar dia kabur setelah tahu kami akan datang ke rumahnya untuk menuntut tanggung jawabnya. Bahkan dia tidak terlihat di kampus juga. Teman-temannya juga tidak tahu dia di mana!”

Hening. Kami tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hanya sesekali terdengar suara helaan napas bapak yang tidak sabar.

“Apakah orang tuanya… Radit, eh… siapa, Naren… sudah setuju?” tanya bapak ingin ketegasan.

“Iya, betul, mas. Pak Handoyo, orang tua Radit dan Naren, sudah setuju,” jawab om Aryo.

“Tapi… kok aneh juga, ya…” gumam bapak pelan.

“Maksud mas?” tanya om Aryo.

“Pak Handoyo itu… yang punya perusahaan Handy Jaya, kan?” bapak malah terus bertanya.

“Betul, mas,” jawab om Aryo. “Dia juga memiliki beberapa BPR di kota-kota di wilayah Jawa Timur!”

“Mengapa dia begitu mudah menyetujui anaknya kawin begitu saja?”

“Wah, kalau yang itu aku kurang tahu, mas. Memang jika dipikir itu terlalu mudah. Kami hanya sedikit menggertaknya untuk membawa perkara ini ke wilayah hukum pidana, yaitu perkosaan, jika apa yang diceritakan Indri itu benar. Tetapi itu lemah sekali, karena tidak ada bukti visum, dan tidak ada saksi.”

“Hmm… jadi seperti apa perkawinan yang mereka inginkan?” tanya bapak lagi.

“Hal yang itu belum kami rumuskan. Malam ini aku ingin mendapat persetujuan Indri dulu, dan juga keinginan mas dan mbakyu,” jawab om Aryo.

Bapak degan cepat menyahut. “Jelas Indri harus mau!”

“Pak…” tegur ibu.

“Apa lagi? Ini satu-satunya jalan keluar!” tegas bapak.

Aku memberanikan diri bertanya kepada om Aryo. “Om, apakah… pernikahan ini hanya sandiwara saja?”

Mendengar pertanyaanku, om Aryo tersenyum. Aku merasakan kasih sayangnya masih tetap ada dalam senyum pamanku itu. “Nduk… aku kasihan padamu. Om juga kan punya anak perempuan, Fitri. Om akan lebih ketat lagi mengawasi dia, supaya tidak terulang kejadian yang menimpamu ini.”

Om Aryo menarik napas dulu sebelum melanjutkan. “Kamu cerdas. Kita bisa membuat pernikahan ini sebagai sandiwara saja, jika itu yang kamu mau, hanya untuk menutupi rasa malu karena kehamilanmu yang di luar nikah.”

“Terima kasih, om,” sahutku tulus berterima kasih.

“Apa bisa begitu?” tanya bapak kepada om Aryo.

“Aku akan mencoba membicarakan ini dengan Naren dan pak Handoyo. Tetapi, bagaimanapun, pernikahan ini adalah resmi, baik berdasarkan agama maupun negara. Terserah nanti Indri memperlakukannya seperti apa, itu terserah mereka nanti.”

“Nduk…” panggil ibu sambil meraihku. Aku tahu ibu mulai merasa sedih akan kehilangan anak perempuannya, meskipun pernikahan ini hanya sandiwara dan terpaksa dilakukan. Ibu pasti sedih, pasti trenyuh hatinya melihat nasibku yang malang.

“Yah, ini semua apa boleh buat,” gumam bapak. Bagaimanapun tegar dan kerasnya pendirian bapak, namun tetaplah hatinya akan iba juga melepaskan anak perempuannya, menikah sebelum waktunya, dan dalam keadaan yang demikian ternoda. Bapak tentu malu dengan keluarga besarnya, namun akan lebih malu lagi jika anaknya melahirkan seorang diri tanpa suami. Itu benar-benar akan mencoreng mukanya di mata keluarga maupun masyarakat.

“Nasi sudah menjadi bubur…” terdengar ayah bergumam lagi. “Kamu tentu tidak bisa mendapatkan pernikahan yang istimewa, Ndri. Bapak tidak siap, dan bapak juga malu untuk merayakannya pernikahan yang mendadak ini…”

Kini bapak berlinang air mata. Ketegarannya sudah sampai ambang batas. Deburan ombak dan gelombang yang melandanya dengan keras, mengikis karang di hati dan egonya.

Aku menyesal… menyesal… tetapi apa yang bisa aku lakukan untuk membalikkan waktu dan memperbaiki kesalahanku?

“Sudahlah mas, mbakyu, dan kamu juga Indri… kita berharap semua bisa berjalan lancar…” ujar om Aryo menasehati.

Tiba-tiba ponsel om Aryo berdering. “Ya… " jawab om Aryo mengangkat teleponnya. Namun mendadak om Aryo seperti berteriak kaget. "Apa??”

Om Aryo menutup telepon itu setelah mendengarkan berita dari penelepon. Dia terlihat tegang. Katanya, “Radit ditemukan!”

Aku ikut berdebar mendengar khabar itu. Bisakah om Aryo dan kawan-kawannya membujuk Radit untuk mau menikah denganku? Jika memang harus nikah, tentu aku lebih memilih nikah dengan Radit ketimbang dengan mas Naren. Paling tidak, anakku yang akan lahir nanti mempunyai ayah yang sebenarnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status