"Mas butuh bantuan kamu, Ndra. Aina juga!" ucapnya dengan bibir bergetar.
"Kenapa?"
"Mas ditipu!"
"Ditipu bagaimana sih, Mas?" Aku semakin penasaran dan tiba-tiba saja teringat soal pemesan kaos yang belum memberikan uang muka padanya.
"Teman Mas yang pesan nggak bisa dihubungi. Ayo antar Mas ke rumahnya yang di Bogor. Tolong, Ndra, Mas gemetar ini. Bagaimana kalau sampai Feli tahu?" kata Mas Gani memohon, dengan wajah yang tidak bisa menutupi kepanikannya.
"Memang, kaosnya sudah di ambil?"
"Belum, Ndra. Masih dalam proses pengerjaan. Kemarin dia janji mau kasih DP, tapi sampai pagi ini nggak ada kabar. Mas hanya butuh kepastian. Masalahnya, jumlahnya nggak main-main. Uang Mas habis untuk bayar bahan kain!"
"Kenapa Mas bisa percaya begitu saja?"
"Dia teman baik Mas, lagipula Mas tahu dia orang kaya."
"Oalah Mas, giliran sama orang kaya, dengan mudahnya mempercayakan uang ratusan juta. Coba kalau sama orang susah, dua ratus ribu saja susahnya minta ampun! Orang kaya juga belum tentu bisa dipercaya, Mas. Sama dengan orang miskin, jangan selalu diragukan!" sungutku kesal.
"Ya ampun, Ndra. Ini bukan saatnya nyindir begitu!"
"Mungkin teman Mas itu lupa. Tunggu saja sampai besok!"
"Masalahnya, dia itu pesan kaos untuk partai. Dan tadi, Mas lihat berita kalau salah satu anggotanya ditangkap karena terlibat kasus korupsi. Mas takut dia terlibat dan kabur juga."
"Astaghfirullah ...!"
Walau kesal, aku kasihan juga sama Mas Gani. Terlebih, Mbak Feli dan anaknya masih di rumah sakit sekarang.
"Aina, Mas bisa minta tolong kembali ke rumah sakit, kan? Tolong jaga Feli dulu di rumah sakit. Dia nggak ada yang jaga disana," pinta Mas Gani, langsung dengan Aina. Tumben.
"Bagaimana, Bu?" tanya Aina pada Ibunya.
"Tenang saja, Ai. Biar Abi sama Ibu."
"Maaf ya Bu, Andra selalu merepotkan Ibu." Aku sengaja berucap begitu sama Ibu demi menyindir Mas Gani. Selama ini bukan hanya Aina yang dipandang rendah, tapi juga Ibunya.
Bahkan setiap lebaran pun, mereka suka pura-pura sibuk untuk menghindari bersalaman dengan Ibunya Aina.Entah merasa atau tidak, aku tidak tahu. Yang pasti, Ibu adalah tipikal orang yang selalu berpikir positif."Udah nggak apa-apa. Tapi, Ndra, apa nggak bahaya kalau kalian yang nyetir? Kan, habis jaga di rumah sakit semalaman? Baiknya, sewa supir saja, anaknya Pak RT juga bisa," saran Ibu.
"Betul, Mas. Jangan ambil resiko!" tambah Aina.
"Bagaimana, Mas?' tanyaku pada Mas Gani.
"Terserah. Mas ikut saja."
"Kalau sudah oke, kamu siap-siap aja, Ndra, biar Ibu yang ngomong sama anaknya Pak R!."
***
Setelah mengantar Aina ke rumah sakit, aku dan Mas Gani meneruskan perjalanan ke Bogor, bersama Tian, anak Pak RT yang biasa dimintai tolong jika ada yang memerlukan jasa supir.
"Mas, coba hubungi yang lain, barangkali ada kenalan Bapak atau Dani yang bisa bantu," usulku pada Mas Gani yang terlihat melamun sejak tadi.
"Mereka nggak bisa di hubungi dari kemarin!"
"Coba telepon Adel, Mas. Sekalian minta dia untuk gantian jaga Mbak Feli. Kasihan Abi kalau terus-terusan Aina yang jaga."
"Adel mana mau, Ndra?"
Kalau keadaan susah begini memang Adel nggak bakal mau. Coba kalau di ajak liburan sama Mas Gani seperti biasanya, pasti maju paling depan!
***
Sampai di tempat tujuan, rumah yang ditempati temannya dalam keadaan kosong. Padahal, kata Mas Gani, rumah ini adalah rumah orangtuanya. Menurut tetangga sekitar, keluarga teman Mas Gani yang bernama Anton, sudah meninggalkan rumah itu sejak semalam.
Tubuh kakak lelaki yang usianya lebih tua tiga tahun diatasku itupun limbung seketika. Kalau saja Tian tidak sigap menangkapnya, sudah pasti dia pingsan di jalan.
Dengan tertatih, kami berdua membawa Mas Gani untuk duduk dan memberinya air putih.
"Sudah, Mas, lebih baik sekarang kita pulang. Percuma disini juga kalau orangnya sudah nggak ada."
Mas Gani bergeming sambil menatap kosong ke depan. Aku pun menuntunnya untuk masuk ke dalam mobil.
Saat perjalanan pulang, panggilan telepon dari Aina, masuk ke ponselku.
"Mas, masih lamakah disana?" tanyanya setelah mengucap salam.
"Sebentar lagi, ini arah pulang, Yang ... ada apa?"
"Mbak Feli sepertinya mengalami baby blues. Tadi pas suster minta dia menyusui anaknya, malah marah-marah dan menolak. Bagaimana ini, Mas?"
"Nanti Mas sampaikan sama Mas Gani, kamu jaga saja Mbak Feli ya?"
Setelah menutup sambungan telepon, Mas Gani langsung mencecarku dengan berbagai pertanyaan, dan langsung kujelaskan apa yang Aina sampaikan. Berharap, Mas Gani akan memahami kondisi Mbak Feli setibanya di rumah sakit. Namun, tanggapan berbeda justru dilontarkannya dan membuatku semakin gemas.
"Apa anak Mas itu bawa sial ya, Ndra? Kok masalah datang bergantian setelah dia lahir?"
"Astaghfirullah Mas, istighfar! Yang namanya anak ya bawa rejeki, bukan bawa sial!
"Tapi Mas habis-habisan, Ndra!"
"Habis-habisan kok nyalahin anak, sih? Mas yang ceroboh bisa sampai ketipu, malah bilang anak bawa sial. Kalau aku jadi dia, mending cari orangtua baru yang pikirannya sudah di upgrade!"
***
Andraina 6Tiba di rumah sakit, kami langsung menghampiri Aina. Namun, di tengah jalan Mas Gani malah berhenti dan mengurungkan niatnya."Kamu duluan saja!""Kenapa, Mas?""Ada Bapak sama Bu Asti. Males Mas nemuin!""Bu Asti siapa sih, Mas?" Dahiku mengkerut. Baru kali ini nama itu terdengar di telingaku."Calon istrinya Bapak, tapi kita semua nggak setuju. Sudah tua malah mau nikah lagi!"Kita? Apa Mas Gani dan kedua adikku tahu tentang Bu Asti? Kenapa aku tidak tahu apa-apa?Apakah berbagi kebahagiaan dan minta pendapat dari anak yang tidak berhasil ini tidak begitu penting menurut Bapak?Hatiku kembali teriris, apa lagi yang tidak kuketahui selain ini?"Mas!" Aina menepuk punggungku. Tanpa sadar, aku melamun sampai tak tahu Mas Gani kemana."Ada Dani sama Bapak!""Mas tahu."Aku berbalik badan dan mengikuti Mas Gani."Lho, mau kemana?" Aina mencoba menahanku."Cari minuman!""Nggak boleh begitu, Mas. Bukannya sudah lama Mas nggak ketemu Bapak?"Melihat wajah Aina yang tulus, hatiku
Satu minggu berlalu. Kini, hatiku perlahan mulai pulih dan menerima kenyataan, kalau aku memang tidak diterima oleh keluargaku sendiri.Saat ini, kuserahkan seluruh hidupku hanya untuk keluarga kecil kami. Aina, Abi dan juga ibu mertuaku.Karena mulai sibuk berdagang, aku terus berusaha melupakan semua kejadian demi kejadian yang membuatku semakin merasa dikucilkan.Kuminta juga Aina untuk memblokir kontak seluruh keluargaku, seperti yang aku lakukan lebih dahulu.Kios kecil di ujung gang tak jauh dari rumah kami, disewa dengan biaya tiga ratus ribu per bulan. Baru beberapa hari saja, setidaknya, paling sedikit aku bisa menjual seratus potong ayam goreng setiap harinya. Dengan keuntungan dua ribu rupiah per potong, cukup untuk menutup biaya hidup sehari-hari dan sedikit tabungan.Sedangkan Aina, dia lebih sering dirumah dan melanjutkan kegiatan menulisnya sambil mengurus Abi. Hanya saat jam makan siang dia mengantarkan makanan yang dimasak oleh Ibu mertuaku."Mas, kata Bang Faiz, dia
"Anak Mas Gani meninggal, Pak? Inalillahi wa Inna ilaihi raji'un ...."Bayi perempuan yang belum sempat kulihat wajahnya itu akhirnya menyerah. Mungkin dia juga merasakan kalau orangtuanya terbebani dengan kehadirannya."Bapak tahu kamu kesal, Ndra. Bapak menyesal karena tidak bisa menjadi penengah. Akan tetapi seburuk-buruknya saudara, dia tetap keluarga kamu."Aku diam. Terserah Bapak mau bicara apa. Toh, dari arah pembicaraannya Bapak masih terlihat membela mereka. Bahkan terkesan menyudutkan aku.Sepertinya penyesalan hanya terucap di bibir saja, tanpa bisa memaknainya lebih dalam."Kamu berubah semenjak menikah, Ndra. Bapak seperti kehilangan satu orang anak." Aku melirik Aina yang sedang menggantikan aku melayani pembeli. Semoga saja Aina tidak fokus menyimak. Aku tidak ingin dia merasakan sakit mendengar ucapan Bapak."Soal hubungan Bapak dan Bu Asti, sepertinya kamu lebih dewasa untuk mengerti. Bapak butuh orang untuk merawat dan menemani Bapak. Tanpa sepengetahuan mereka, Bap
Aku menatap Abidzar yang tengah tertidur pulas. Kasihan sekali putraku itu. Benar kata Aina, Abi sama sekali tidak mengenal anggota keluargaku. Saat hari kelahirannya saja, mereka hanya memberikan ucapan selamat lewat pesan. Aina tidak menaruh curiga, karena saat itu, Adel, Mas Gani dan Dani sedang berlibur ke pulau Bali dengan pasangan mereka masing-masing. Sepulang dari sana, ada saja alasan yang diberikan pada kami, untuk menghindari bertemu dengan Aina dan keponakan baru mereka.Dari keempat bersaudara, Mas Gani, menikah lebih dulu enam tahun yang lalu. Namun, sampai usia pernikahan mereka memasuki tahun keenam, Mbak Feli baru mengandung anak pertama mereka. Sayangnya, bayi perempuan itu harus meninggal dalam waktu kurang dari dua minggu. Aku nggak bisa membayangkan bagaimana perasaan Mbak Feli saat ini. Bayi yang dinanti sekian lama, meninggal dengan begitu cepat.Setelah Mas Gani, satu tahun kemudian giliran si bungsu Dani yang menikah dengan Zema. Dari pernikahannya, Dani mem
POV AINAAku menatap lekat wajah Mas Andra yang tertidur pulas di pangkuanku. Akhirnya, pertanyaan demi pertanyaan yang selama ini muncul dibenakku terjawab sudah.Semenjak menikah dengan Mas Andra, tiga tahun yang lalu, aku memang sudah merasa ada keanehan. Suamiku seperti terasingkan dan menjauhkan diri dari keluarganya. Setiap kali aku bertanya, dia hanya berkilah kalau keluarganya memang sibuk. Ternyata, dia rela menutupi semuanya demi menjaga perasaan istrinya.Semua berawal saat Mas Andra membeli handphone baru. Pesan-pesan lama yang sudah dicadangkan tetap tersimpan dan dia lupa menghapusnya lagi. Dari deretan chat yang masih ada, aku tahu kalau hubungan Mas Andra dengan keluarganya selama ini tidak baik. Namun, kasih sayang dan perhatian lebih yang dicurahkan Mas Andra, membuatku lupa dengan hal penting yang harus kuselidiki.Selama dua hari tidak memiliki handphone, Mas Andra kerapkali meminjam ponsel milikku setiap kali dia merasa bosan. Entah membuka akun IG atau Facebook,
"Sayang, kamu udah tidur?" tanyaku pada Aina di ujung sambungan telepon. Sehari-harinya kami selalu bersama. Jadi saat terpisah seperti ini, membuatku sangat merindukannya."Udah, Mas. Eh, kalau sekarang belum."Aina terdengar gugup. Mungkin dia merasakan hal yang sama sepertiku. Menahan rindu. Membuatku tertawa mendengar jawabannya yang terdengar menggemaskan itu."Abi sudah tidur?" tanyaku lagi. Karena biasanya, dia hanya akan tidur kalau sudah kugendong."Sudah. Mas, kapan pulang?""Malam ini Mas pulang sayang, sebentar lagi. Oya, tadi Mas dihubungi Bang Faiz dan dia bilang, mau ikut bareng sama Mas malam ini ke Jakarta. Nih, lagi nunggu di depan kontrakannya.""Nanti Adel bagaimana, Mas? Takutnya nggak nyaman kalau Bang Faiz ikut." Suara Aina terdengar cemas."Dia masih ingin menunggu Niko dirumah mertuanya. Jadi nggak ikut pulang.""Oh begitu ... Oya, Mas, tadi Bapak kesini lagi sama Bu Asti," terang Aina. "Bapak? Ngapain?""Dia bilang, dia mau ketemu Abi.""Terus?""Bapak bawa b
"Saya baru mau jualan, Pak. Kalau nanti sore bagaimana?" kataku beralasan. Mencoba mengetes Bapak. Apakah ini benar-benar darurat atau tidak."Tapi Bapak perlu sekarang, Ndra!" pintanya lagi. Suaranya kini terdengar jauh lebih tenang, tapi kenapa aku malah semakin khawatir?Prang!!!Aku menoleh cepat. Ternyata Aina baru saja menjatuhkan gelas beling."Yang, kamu nggak apa-apa?" tanyaku khawatir dan sedikit mengabaikan Bapak. Kuletakan ponsel di meja, lalu mengambil pecahan kaca.Kulihat Aina langsung menutup laptopnya dan ikut berjongkok memunguti pecahan beling."Nggak sengaja kesenggol gelasnya tadi." Suara Aina terdengar bergetar."Kamu duduk aja, biar Mas yang beresin!" perintahku setelah melihat tangannya juga gemetar saat memasukan satu persatu pecahannya ke dalam plastik "Aku aja yang beresin. Mas harus nemuin Bapak, kan?""Nggak tahu, Mas bingung. Nanti jualan bagaimana? Mana ayamnya sudah terlanjur Mas kasih bumbu!""Ya ampun, masih mikirin ayam aja. Kan ada Bang Faiz!""Ngg
Aku berteriak kencang saking kagetnya, melihat Bapak sudah berada di bawah tempat tidur dengan posisi tengkurap."Angkat, Mang!" perintahku begitu Mang Eri datang.Kami berdua langsung menggotong Bapak menuju mobil dan membawanya ke rumah sakit terdekat. Sepanjang perjalanan, Bu Asti terus menangisi Bapak yang tidak sadarkan diri."Bapak mengalami pendarahan di otak, Del. Kondisinya kritis sekarang!" Aku memberitahu Adel lewat panggilan telepon.Saat aku menemukan Bapak, dahinya memang terluka. Mungkin karena benturan yang keras ketika dia terjatuh."Kok bisa, Mas?" tanya Adel datar."Mas nggak tahu. Bapak terjatuh dari tempat tidur!""Tapi aku belum bisa pulang, Mas. Bagaimana kalau tiba-tiba Niko datang dan meminta persetujuan keluarganya untuk menikahi Findri? Bisa kecolongan aku nanti!" katanya mencari alasan.Aku hanya tertunduk lesu mendengar alasan Adel. Ini adalah ketiga kalinya menghubungi saudaraku dan mereka sama-sama menolak menemui Bapak.Sebelumnya, Dani dan Mas Gani men