Share

KECEWA DENGAN BAPAK

Andraina 6

Tiba di rumah sakit, kami langsung menghampiri Aina. Namun, di tengah jalan Mas Gani malah berhenti dan mengurungkan niatnya.

"Kamu duluan saja!"

"Kenapa, Mas?"

"Ada Bapak sama Bu Asti. Males Mas nemuin!"

"Bu Asti siapa sih, Mas?" Dahiku mengkerut. Baru kali ini nama itu terdengar di telingaku.

"Calon istrinya Bapak, tapi kita semua nggak setuju. Sudah tua malah mau nikah lagi!"

Kita? Apa Mas Gani dan kedua adikku tahu tentang Bu Asti? Kenapa aku tidak tahu apa-apa?

Apakah berbagi kebahagiaan dan minta pendapat dari anak yang tidak berhasil ini tidak begitu penting menurut Bapak?

Hatiku kembali teriris, apa lagi yang tidak kuketahui selain ini?

"Mas!" Aina menepuk punggungku. Tanpa sadar, aku melamun sampai tak tahu Mas Gani kemana.

"Ada Dani sama Bapak!"

"Mas tahu."

Aku berbalik badan dan mengikuti Mas Gani.

"Lho, mau kemana?" Aina mencoba menahanku.

"Cari minuman!"

"Nggak boleh begitu, Mas. Bukannya sudah lama Mas nggak ketemu Bapak?"

Melihat wajah Aina yang tulus, hatiku luluh. Dengan terpaksa, aku menemui Bapak sesuai permintaannya. Kucium tangan Bapak dengan takzim, meski ada rasa nyeri di dada.

Sedangkan Dani, dia duduk berjarak tanpa bertegur sapa dengan Bapak.

"Maaf, Pak, ini siapa?"

"Kamu belum kenal, tho?"

"Belum." Aku pura-pura tidak tahu.

"Ini Bu Asti, nanti Bapak jelaskan."

Aku tersenyum sambil menatap perempuan dengan wajah sayu itu. Usianya memang jauh lebih muda dari Bapak, tapi Bu Asti kelihatannya adalah orang baik. Entah apa yang membuat ketiga saudaraku tidak menyukainya.

"Mbak Feli bagaimana, Yang?"

"Sedang istirahat. Dari tadi manggil Mas Gani terus!" terang Aina.

"Bapak pulang ya, Ndra!" kata Bapak sambil beranjak dari tempat duduknya.

"Kenapa buru-buru tho, Pak?"

"Bapak sudah lama disini, tapi sepertinya kehadiran Bapak tidak diinginkan. Lebih baik Bapak pulang," katanya dengan kalimat terbata.

Bapak pergi bersama Bu Asti dengan langkah gontai. Bisa kulihat, dengan sigap wanita itu menuntun Bapak dengan hati-hati.

Semenjak kepergian Ibu, Bapak memang selalu sendirian di rumah. Hanya ada satu orang pembantu yang pulang pergi dan seorang supir. Mungkin, Bapak merasa kesepian dan membutuhkan teman untuk melanjutkan sisa hidupnya.

Padahal, kalau saja Bapak minta pendapatku, sudah pasti aku setuju.

***

"Ngapain sungkem sama Bu Asti itu, Mas? Dia itu hanya mengincar harta Bapak. Sudah tua masih mikirin nikah!" sungut Dani kesal.

"Mungkin Bapak kesepian, Dan!" kata Aina.

Tentu saja Dani tidak menghiraukan ucapan istriku. Dari dulu begitu.

"Mas sama Mbak Aina pulang duluan ya, kasihan Abidzar di rumah. Sampaikan saja pada Mas Gani kalau dia kembali," pesanku pada Dani yang datang tanpa ditemani istrinya.

Aku, Aina dan Tian, pulang kerumah dengan menaiki angkutan umum. 

Karena Mas Gani tidak menitipkan uang untuk Tian, dengan berat hati aku meminjam pada Aina sebesar tiga ratus ribu untuk jasa Tian menjadi supir kami.

"Mas pinjam ya, Yang. Mas nggak enak nagih sama Mas Gani. Pikiran dia lagi kacau banget tadi."

"Ya ampun, Mas. Nggak usah begitu ah! Selagi ada, uang aku ya uang kamu juga."

***

Dua hari kemudian, kubuka aplikasi hijau saat ponselku berbunyi. Pesan masuk yang memberitahukan kalau nomorku, telah ditambahkan ke grup keluarga lagi.

Untuk apa? Sebenarnya aku sudah merasa nyaman keluar dari sana.

[Besok istri dan anak, Mas keluar dari rumah sakit. Saat ini Mas nggak pegang uang lagi. Mas mau pinjam untuk melunasi tagihan rumah sakit]

Pesan yang dikirim Mas Gani, membuatku mengerti, kenapa dia menambahkan aku ke grup lagi.

[Berapa, Mas?] Balas Adel.

[Tiga puluh juta, buat bayar ruangan NICU]

[Aku cuma bisa sepuluh juta] Balas Dani cepat.

[Aku juga sama] Adel ikut menimpali.

Begitu cepatnya mereka memberikan pertolongan pada Mas Gani.

Airmataku menetes tanpa bisa kucegah. Kenapa denganku mereka tidak bisa berbuat demikian?

[Masih kurang sepuluh juta. Andra, kamu dan Aina sudah ngurus ATM kan?]

[Maaf, Mas, uangnya sudah habis untuk modal usaha dan beli motor second.]

[Masa nggak ada sisa? Cuma sepuluh juta]

[Cuma? Uang sebesar itu sangat berarti untuk kami, Mas. Ada dua mobil dan dua motor, kenapa Mas tidak gadaikan dulu?] Aku memberanikan diri membalasnya.

Banyak barang berharga yang masih dia milikki, kenapa harus mencuil milik Aina yang tidak seberapa?

[Biar Bapak yang tambahin, Mas. Nanti Bapak transfer ke rekening kamu]

Pesan dari Bapak semakin membuat hatiku sakit. Entah ingin menarik simpati Mas Gani atau bukan, kenapa Bapak bisa meresponnya dengan cepat?

Ah, Bapak ....

Tidak ingin menambah rasa sakit, aku memutuskan kembali keluar dari grup itu, untuk kedua kalinya ...

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
Aina wanita yg baik
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status