Satu minggu berlalu. Kini, hatiku perlahan mulai pulih dan menerima kenyataan, kalau aku memang tidak diterima oleh keluargaku sendiri.
Saat ini, kuserahkan seluruh hidupku hanya untuk keluarga kecil kami. Aina, Abi dan juga ibu mertuaku.
Karena mulai sibuk berdagang, aku terus berusaha melupakan semua kejadian demi kejadian yang membuatku semakin merasa dikucilkan.
Kuminta juga Aina untuk memblokir kontak seluruh keluargaku, seperti yang aku lakukan lebih dahulu.
Kios kecil di ujung gang tak jauh dari rumah kami, disewa dengan biaya tiga ratus ribu per bulan. Baru beberapa hari saja, setidaknya, paling sedikit aku bisa menjual seratus potong ayam goreng setiap harinya. Dengan keuntungan dua ribu rupiah per potong, cukup untuk menutup biaya hidup sehari-hari dan sedikit tabungan.
Sedangkan Aina, dia lebih sering dirumah dan melanjutkan kegiatan menulisnya sambil mengurus Abi. Hanya saat jam makan siang dia mengantarkan makanan yang dimasak oleh Ibu mertuaku.
"Mas, kata Bang Faiz, dia tertarik juga buat buka usaha disini, biar nggak jauh-jauh kerja di Bandung," beritahu Aina, yang datang dengan membawa serantang makan siang.
"Bagus, Yang, biar Mas ada temennya di sini. Tuh, mumpung kios sebelah masih kosong!"
"Dia mau urus surat pengunduran diri dulu, Mas. Mungkin minggu depan baru kesini. Tapi sebelum itu, dia minta masukan, baiknya buka franchise apa?"
"Bisa minuman, mungkin. Disini kan belum ada! Tinggal disesuaikan aja dengan modal yang mau dia gunakan," jelasku.
Wajah Aina langsung terlihat ceria dan penuh semangat. Dia memang sangat dekat dengan Bang Faiz.
"Kata Bang Faiz, sekalian cariin kontrakan juga, Mas. Dia mau ngontrak rumah petakan buat sendiri."
"Lho, kenapa harus ngontrak? Kalaupun ada yang keluar dari rumah itu kan seharusnya kita, Yang ... Bang Faiz lebih berhak tinggal di rumah itu."
"Ya tapi maunya dia begitu, Mas. Katanya, kalau dia gampang, wong tinggal bawa badan sendiri."
"Mas salut sama Bang Faiz. Dia tidak seperti keluarga Mas, Yang. Senang lihat orang susah, tapi susah lihat orang senang."
"Udah nggak usah dipikirin! Mending cepetan dimakan, kasihan tuh makanan dari tadi di anggurin!"
"Eh, iya juga ya. Masa makanan enak begini dicuekin!"
Setelah menyantap makan siang, Aina kembali merapikan ramtang kosong untuk dibawa pulang kembali. Sementara aku, kembali berkutat dengan sebaskom paha ayam yang siap diberi tepung.
"Mas Andra, mau dada dua sama sayap satu ya!" pinta Bu Rina, tetangga kami yang datang bersama Bu Irma.
Tanpa diminta, Aina langsung bergerak membungkus pesanan, karena tanganku masih berbalut tepung.
"Mbak Aina sama Mas Andra makin ramai ya, usahanya," kata Bu Irma.
"Alhamdulillah Bu. Mungkin karena disini belum banyak yang buka usaha seperti ini."
"Saya juga kalau punya modal mau usaha kemitraan begini, Mbak. Pasti mahal ya?" Kali ini Bu Rina terlihat ingin tahu. "Katanya, modalnya sampai puluhan juta!'
"Mas Andra, kan, anak orang kaya, Bu. Uang segitu mah, kecil buat Bapaknya ya, Mas?" tebak Bu Irma asal.
Andaikan saja mereka tahu, jangankan untuk membantu, bahkan untuk bersikap baik dengan orang sepertiku saja mereka tidak mampu.
"Nggak Bu, ini semua hasil kerja keras Aina sebagai penulis. Bukan campur tangan Bapak saya," kataku menjelaskan. Sementara Aina lebih memilih diam. Dia memang paling malas menanggapinya.
"Oalah ... yang waktu itu di share Mbak Aina ya? Saya kira lagi halu. Masa iya menulis pendapatannya sampai sebanyak itu?" Bu Irma yang asal ceplas-ceplos kalau berbicara itu, seolah tidak yakin dengan pencapaian istriku.
Aku dan Aina hanya bisa bertukar pandang. Meski ada sedikit kesal karena diragukan, kami lebih memilih diam.
Setelah keduanya pergi, Aina berencana pulang ke rumah. Namun, baru beberapa langkah dia berjalan meninggalkan kios, Aina kembali lagi menghampiriku.
"Kenapa, Yang?"
"Bukannya itu Bapak, Mas?"
"Bapak?"
Kulihat mobil putih yang keluar dari arah rumah kami. Setelah berhenti, Bapak turun dari mobil bersama dengan Bu Asti.
Segera kucuci tangan, dan menghentikan aktivitasku sementara. Dari wajahnya, aku bisa melihat kekecewaan. Mungkinkah karena melihatku berdagang seperti ini?
"Duduk disini, Pak, " kataku mempersilahkan, sambil merapikan kursi. Setelah Bapak duduk, Bu Asti ikut juga di sebelahnya. Mata Bapak lalu meluas ke sekeliling, melihat kios ini dan isinya.
"Sekolah sampai sarjana, kalau berakhir disini untuk apa tho, Le?" tanya Bapak pelan, tapi cukup terdengar jelas di telingaku. Semoga saja Aina tidak mendengarnya.
"Bapak jauh-jauh kesini, hanya untuk bilang begitu?"
Bapak terdiam, mungkin merasa bersalah juga.
"Kenapa kamu menjauhkan diri dari keluarga?" tanyanya kemudian.
Keluarga seperti apa yang Bapak maksud?
Aku diam sejenak. Walau kesal, jika sudah berhadapan seperti ini, mana bisa aku memperlihatkannya?
"Tidak apa-apa, Pak. Andra hanya ingin fokus berdagang dulu."
"Kamu sampai tidak tahu, kan, kalau anaknya Gani meninggal dunia?"
"Anaknya Mas Gani, meninggal?"
***
"Anak Mas Gani meninggal, Pak? Inalillahi wa Inna ilaihi raji'un ...."Bayi perempuan yang belum sempat kulihat wajahnya itu akhirnya menyerah. Mungkin dia juga merasakan kalau orangtuanya terbebani dengan kehadirannya."Bapak tahu kamu kesal, Ndra. Bapak menyesal karena tidak bisa menjadi penengah. Akan tetapi seburuk-buruknya saudara, dia tetap keluarga kamu."Aku diam. Terserah Bapak mau bicara apa. Toh, dari arah pembicaraannya Bapak masih terlihat membela mereka. Bahkan terkesan menyudutkan aku.Sepertinya penyesalan hanya terucap di bibir saja, tanpa bisa memaknainya lebih dalam."Kamu berubah semenjak menikah, Ndra. Bapak seperti kehilangan satu orang anak." Aku melirik Aina yang sedang menggantikan aku melayani pembeli. Semoga saja Aina tidak fokus menyimak. Aku tidak ingin dia merasakan sakit mendengar ucapan Bapak."Soal hubungan Bapak dan Bu Asti, sepertinya kamu lebih dewasa untuk mengerti. Bapak butuh orang untuk merawat dan menemani Bapak. Tanpa sepengetahuan mereka, Bap
Aku menatap Abidzar yang tengah tertidur pulas. Kasihan sekali putraku itu. Benar kata Aina, Abi sama sekali tidak mengenal anggota keluargaku. Saat hari kelahirannya saja, mereka hanya memberikan ucapan selamat lewat pesan. Aina tidak menaruh curiga, karena saat itu, Adel, Mas Gani dan Dani sedang berlibur ke pulau Bali dengan pasangan mereka masing-masing. Sepulang dari sana, ada saja alasan yang diberikan pada kami, untuk menghindari bertemu dengan Aina dan keponakan baru mereka.Dari keempat bersaudara, Mas Gani, menikah lebih dulu enam tahun yang lalu. Namun, sampai usia pernikahan mereka memasuki tahun keenam, Mbak Feli baru mengandung anak pertama mereka. Sayangnya, bayi perempuan itu harus meninggal dalam waktu kurang dari dua minggu. Aku nggak bisa membayangkan bagaimana perasaan Mbak Feli saat ini. Bayi yang dinanti sekian lama, meninggal dengan begitu cepat.Setelah Mas Gani, satu tahun kemudian giliran si bungsu Dani yang menikah dengan Zema. Dari pernikahannya, Dani mem
POV AINAAku menatap lekat wajah Mas Andra yang tertidur pulas di pangkuanku. Akhirnya, pertanyaan demi pertanyaan yang selama ini muncul dibenakku terjawab sudah.Semenjak menikah dengan Mas Andra, tiga tahun yang lalu, aku memang sudah merasa ada keanehan. Suamiku seperti terasingkan dan menjauhkan diri dari keluarganya. Setiap kali aku bertanya, dia hanya berkilah kalau keluarganya memang sibuk. Ternyata, dia rela menutupi semuanya demi menjaga perasaan istrinya.Semua berawal saat Mas Andra membeli handphone baru. Pesan-pesan lama yang sudah dicadangkan tetap tersimpan dan dia lupa menghapusnya lagi. Dari deretan chat yang masih ada, aku tahu kalau hubungan Mas Andra dengan keluarganya selama ini tidak baik. Namun, kasih sayang dan perhatian lebih yang dicurahkan Mas Andra, membuatku lupa dengan hal penting yang harus kuselidiki.Selama dua hari tidak memiliki handphone, Mas Andra kerapkali meminjam ponsel milikku setiap kali dia merasa bosan. Entah membuka akun IG atau Facebook,
"Sayang, kamu udah tidur?" tanyaku pada Aina di ujung sambungan telepon. Sehari-harinya kami selalu bersama. Jadi saat terpisah seperti ini, membuatku sangat merindukannya."Udah, Mas. Eh, kalau sekarang belum."Aina terdengar gugup. Mungkin dia merasakan hal yang sama sepertiku. Menahan rindu. Membuatku tertawa mendengar jawabannya yang terdengar menggemaskan itu."Abi sudah tidur?" tanyaku lagi. Karena biasanya, dia hanya akan tidur kalau sudah kugendong."Sudah. Mas, kapan pulang?""Malam ini Mas pulang sayang, sebentar lagi. Oya, tadi Mas dihubungi Bang Faiz dan dia bilang, mau ikut bareng sama Mas malam ini ke Jakarta. Nih, lagi nunggu di depan kontrakannya.""Nanti Adel bagaimana, Mas? Takutnya nggak nyaman kalau Bang Faiz ikut." Suara Aina terdengar cemas."Dia masih ingin menunggu Niko dirumah mertuanya. Jadi nggak ikut pulang.""Oh begitu ... Oya, Mas, tadi Bapak kesini lagi sama Bu Asti," terang Aina. "Bapak? Ngapain?""Dia bilang, dia mau ketemu Abi.""Terus?""Bapak bawa b
"Saya baru mau jualan, Pak. Kalau nanti sore bagaimana?" kataku beralasan. Mencoba mengetes Bapak. Apakah ini benar-benar darurat atau tidak."Tapi Bapak perlu sekarang, Ndra!" pintanya lagi. Suaranya kini terdengar jauh lebih tenang, tapi kenapa aku malah semakin khawatir?Prang!!!Aku menoleh cepat. Ternyata Aina baru saja menjatuhkan gelas beling."Yang, kamu nggak apa-apa?" tanyaku khawatir dan sedikit mengabaikan Bapak. Kuletakan ponsel di meja, lalu mengambil pecahan kaca.Kulihat Aina langsung menutup laptopnya dan ikut berjongkok memunguti pecahan beling."Nggak sengaja kesenggol gelasnya tadi." Suara Aina terdengar bergetar."Kamu duduk aja, biar Mas yang beresin!" perintahku setelah melihat tangannya juga gemetar saat memasukan satu persatu pecahannya ke dalam plastik "Aku aja yang beresin. Mas harus nemuin Bapak, kan?""Nggak tahu, Mas bingung. Nanti jualan bagaimana? Mana ayamnya sudah terlanjur Mas kasih bumbu!""Ya ampun, masih mikirin ayam aja. Kan ada Bang Faiz!""Ngg
Aku berteriak kencang saking kagetnya, melihat Bapak sudah berada di bawah tempat tidur dengan posisi tengkurap."Angkat, Mang!" perintahku begitu Mang Eri datang.Kami berdua langsung menggotong Bapak menuju mobil dan membawanya ke rumah sakit terdekat. Sepanjang perjalanan, Bu Asti terus menangisi Bapak yang tidak sadarkan diri."Bapak mengalami pendarahan di otak, Del. Kondisinya kritis sekarang!" Aku memberitahu Adel lewat panggilan telepon.Saat aku menemukan Bapak, dahinya memang terluka. Mungkin karena benturan yang keras ketika dia terjatuh."Kok bisa, Mas?" tanya Adel datar."Mas nggak tahu. Bapak terjatuh dari tempat tidur!""Tapi aku belum bisa pulang, Mas. Bagaimana kalau tiba-tiba Niko datang dan meminta persetujuan keluarganya untuk menikahi Findri? Bisa kecolongan aku nanti!" katanya mencari alasan.Aku hanya tertunduk lesu mendengar alasan Adel. Ini adalah ketiga kalinya menghubungi saudaraku dan mereka sama-sama menolak menemui Bapak.Sebelumnya, Dani dan Mas Gani men
Mas Gani hanya diam melihat aku dan Dani bertengkar. Biasanya, tanpa dikomando, dia akan mengambil alih tugasnya sebagai pemimpin. Namun, kali ini dia tidak berkutik melihat pertengkaran yang terjadi. Mungkinkah dia menyesali sikapnya pada Bapak belakangan ini?Setelah aku dan Bu Asti mengurus administrasi, jenazah Bapak di bawa ke rumah untuk disemayamkan.Adel yang datang bersama mertuanya, menangis histeris melihat Bapak sudah tidak bernyawa. Tangis penyesalan pun mewarnai kedatangannya. Tangis yang tidak berarti apa-apa karena Bapak kini sudah tiada."Nak, Ibu pulang dulu ...," pamit Bu Asti padaku, setelah Bapak selesai dikebumikan."Ibu tetap disini dulu!" pintaku.Bu Asti mengembuskan napas kasar. Dia sempat melirik ketiga saudaraku."Ibu nggak mau menambah kesedihan saudara kalian. Insya Allah doa dari Ibu akan terus mengalir untuk Bapak, walaupun Ibu tidak di sini, Nak!"Bu Asti mungkin menyadari. Kehadirannya di sini tidak diharapkan mereka."Tapi, Bu!" Aku masih berusaha me
"Itu kelamaan Andra! Jual rumah itu nggak seperti jual cabai! Kita bisa bicarakan ini dulu!" sela Mas Gani tak mau kalah."Mas! Ini bukan masalah itu. Aku tahu rumah ini nggak akan langsung terjual, tapi etika, Mas! Bapak baru meninggal tadi!""Susah memang ngajak Mas Andra kalau berunding soal beginian. Jangan salahkan kami kalau kita bertindak di belakang kamu, Mas!" kata Dani mengompori."Silahkan! Toh, kalian pasti juga butuh tanda tangan saya sebagai salah satu ahli waris! Dan saya nggak akan pernah menandatanganinya sebelum seratus hari Bapak!" sahutku kasar, sambil berlalu meninggalkan mereka.Aku berjalan keluar. Langkahku terasa berat sekali. Di teras, keluarga dari kedua kakak Bapak masih berkumpul. Aku tidak yakin kalau mereka tidak mendengar perdebatan kami yang cukup keras itu."Andra, sepertinya Pak De harus pamit. Maaf nggak bisa bermalam disini," kata Pak De Wirya, kakak Bapak yang pertama. "Nggih, Pak De!"Mereka semua jauh-jauh dari kampung kesini menggunakan bus ya