Sarah ditugaskan ke sebuah desa untuk menjadi dokter di sana. Berharap menemukan ketenangan dan menjauhi stigma negatif, nyatanya dia bertemu dengan Adam. Cowok slengean yang bikin hidup Sarah tak tenang. Akan tetapi pertemuan itu menyingkap jati diri Adam, juga kasus yang menyeret nama pria itu. Akankah mereka mampu menyelesaikan masalah, yang ternyata saling berkaitan dengan masa lalu Sarah? Bisakah mereka bertahan untuk mereguk kebahagiaan? Atau menyerah, untuk kembali terpuruk? Cover by : El
Lihat lebih banyak"Suara apaan tuh, Pak?" tanya seorang wanita sembari melongokkan kepala keluar jendela mobil pick up yang membawanya. Sang supir menghentikan mobil, ikut mencari asal suara.
"Kayak orang nabrak sesuatu gak sih, Bu?""Kok nanya balik sih, Pak? Saya juga gak tahu," sahutnya sewot.Baru beberapa detik keduanya keluar dari mobil. Suara seseorang meminta tolong terdengar dari balik semak belukar lebat yang ada di seberang jalan. Keduanya berlari melewati rerumputan setinggi lutut.Si supir menuruni tanah yang agak landai. Kemudian dia berteriak, "Bu Dokter! Ada yang ketabrak pohon nih!"Dokter wanita dengan nametag Sarah itu mendekat. Mendapati seorang pria terbaring lemas di bawah kendaraan trailnya. Sarah membiarkan si supir pick up menggiring sendiri motor itu menuju mobil. Sedangkan dia kini merogoh saku jas, mengeluarkan sarung tangan karet, memakainya sebelum menyentuh pria tersebut."Pak tolongin dong!" serunya."Kirain Bu Dokter mau ngangkat sendiri.""Ya kali, Pak. Ayo tolongin, dia perlu diobatin. Lukanya lumayan loh," kata Sarah. Supir itu mengangguk, kembali turun dan membantu Sarah menyeret pria tadi ke bagian box pick up. Sarah menyusul dan duduk di sebelah kendaraan trail yang berada di antara kotak-kotak berisi obat dan keperluan lainnya."Jalan aja, Pak. Saya yang nemenin dia di sini.""Siap Bu Dokter," ujar si supir segera masuk bagian kemudi. Melaju menuju desa yang berada jauh dari area hutan pinus yang mereka lewati. Sepanjang jalan hanya ada deretan pohon yang menjulang tinggi. Tersusun rapi dengan ukuran yang sama.Sarah mengalihkan tatapan pada pria di sampingnya. Mengamati wajahnya yang cukup tampan, rambut amburadulnya, juga pada tato di bagian lengannya, kemudian beralih pada pakaiannya yang berupa kaos usang kumal dan kotor.Jemari Sarah menyeka rumput yang menyangkut di rambut hitam pria tersebut. "Dia kenapa sih, sampai pohon aja ditabrak? Heran," gerutu Sarah lalu mengalihkan tatapan ke area hutan yang mereka lewati.Matahari perlahan meredup. Kegelapan menyelimuti perjalanan mereka. Hanya ada sorot lampu mobil yang perlahan terganti cahaya di setiap rumah warga. Sarah tersenyum lebar waktu melihat bangunan beton bercat putih tampak kokoh di depan sana.Ada beberapa orang yang menunggu mereka datang. Saat melihat Sarah turun melompati pembatas box, mereka menghampiri. Terkejut mendapati seorang pria terbaring bersama motor trailnya."Loh, kok si Adam bisa ikut Mang Udin sih?" tanya salah satu warga, kebingungan."Dia tadi nabrak pohon... terus pingsan, makanya kita bawa. Tolong bawa masuk biar saya obati," perintah Sarah.Mereka mengangguk, segera menggotong Adam menuju ruang perawatan. Membaringkannya di bangsal."Makasih, saya akan obati dia. Bapak sekalian bisa bantu Mang Udin aja buat ngangkat beberapa barang ke dalam," kata Sarah. Dia mengambil alkohol dan membersihkan luka di tubuh Adam, membubuhkan obat merah kemudian membalutnya dengan perban.Selesai, dia berkemas dan menyusun barang-barang keperluan di puskesmas bersama beberapa perawat lain. Ada banyak perlengkapan yang masih kurang dan juga obat-obatan yang mesti Sarah siapkan di sana. Alhasil, dia memilih untuk menyelesaikannya sendiri."Kalian bisa pulang kok. Saya bakalan selesain ini sendiri," ujar Sarah."Tapi Bu Dokter'kan baru datang. Masa udah kerja sampai begadang sih?"Sarah mengulas senyum, menunjuk pada Adam yang masih belum sadar di bangsal. "Saya juga bakalan temenin dia.""Tapi Bu--""Gak apa-apa, saya sudah biasa kok. Kalian pulang aja dulu, besok datang lebih pagi aja buat bantu saya. Oke?"Dua perawat wanita itu akhirnya mengangguk. Meninggalkan Sarah yang kini berdiri di samping bangsal Adam. Menjulurkan tangan dengan hati-hati ke dahi Adam. Alisnya berkerut ketika merasakan kulit Adam."Panas," gumam Sarah bergegas keluar kamar tersebut.***"Akhh!""Ayah?" tanya seorang pria, memecah kegentingan antara dua orang yang saling berhadapan itu. Bercak darah memenuhi baju kemeja keduanya. Salah satu dari mereka menjulurkan tangan."A-ad-adam! Pp-pergi dari sini, Nak!" ucapnya terbata-bata.Adam yang berdiri mematung di depan pintu. Baru sadar, jika darah yang membasahi baju dua orang itu adalah darah sang ayah. Suara erangannya membuat lutut Adam bergetar. Dia melangkah mundur. Siap lari dari sana.Tubuh ayahnya jatuh, telentang dengan satu pisau menancap di dada. Namun pria itu masih sadar. Dengan sisa tenaga yang ada, dia mengangkat kepala, menatap Adam."Pergi Adam!" perintah ayahnya lagi sambil terbatuk-batuk.Darah menggenang, bau anyir menyeruak ke indra penghidu Adam. Dia mau berlari, tapi sosok yang masih membelakanginya itu bersuara, "Pengecut! Dasar lelaki pengecut!"Adam mengepalkan tangan, menatap punggung pria itu. Dalam hitungan detik dia berlari, menarik bahunya seraya bersiap melayangkan tinju. Namun...."Aaaakhhh!"Adam membuka mata saat merasakan sesuatu yang basah mengenai wajahnya. Dia bangun. Duduk dengan cepat, menoleh pada sosok berbaju putih di sebelahnya."Aaaakhhh setan!" teriaknya lagi sampai terjatuh dari bangsal. Sarah berjalan ke dekat Adam, menepuk pundak pria itu."Setan....!" teriak Adam sambil menutup wajah. Mengabaikan rasa sakit yang mendera bokongnya.Sarah memutar bola mata, sebal melihat tingkah Adam. Sekali lagi dia menepuk pundak Adam lebih keras. "Kamu mimpi apa sih sampai teriak-teriak begini? Aku bukan setan tau!"Adam mengintip dari celah jemari. "Terus kamu siapa hah?" tanyanya masih takut."Aku Sarah. Dokter baru di sini," ujarnya sembari melipat tangan di atas lutut. Tersenyum lebar pada Adam yang menganga tak percaya. Terperangah karena sosok cantik di depannya sekarang.Sarah berdiri, meninggalkan Adam yang masih mematung di bawah bangsal. Pria dengan tampilan kucel itu segera bangun dan menghampiri Sarah yang tengah membereskan botol-botol alkohol di dalam lemari."Jadi kamu dokter baru? Wah, mimpi apa aku semalam sampai ketemu bidadari surga kayak kamu!" kata Adam membuat Sarah menoleh, mengamati wajah cengengesannya yang menggelikan."By the way, kenapa kamu teriak-teriak tadi? Mimpi buruk?" tanya Sarah kemudian menutup pintu lemari. Menyandarkan punggung di sana. Mengawasi gerak gerik Adam yang kelihatan canggung."Bukan apa-apa. Udah biasa.""Mimpi buruk setiap malam?""Bisa dibilang begitu, tapi mungkin setelah malam ini... aku bakalan mimpi indah terus." Adam menyengir sekaligus mengalihkan pembicaraan mereka.Sarah menaikkan satu alisnya. "Kenapa?""Karena mungkin aku bakalan mimpiin wajah cantik Dokter Sarah."'Gombalmu basi!' batin Sarah dongkol. Dia mendesah kemudian menarik ujung kaos Adam menuju pintu keluar. Tak peduli pria itu terseok-seok mengikuti langkah kakinya."Sepertinya kamu udah gak perlu aku obatin lagi. Sekarang mending kamu pulang dan tidur," instruksinya sambil menunjuk ke arah motor trail Adam yang mogok."Masa aku diusir sih, Dok? Gak pengen ditemenin gitu?""Mending aku ditemenin setan daripada kamu," sahut Sarah lalu menutup pintu puskesmas. Namun belum sempat pintu itu tertutup, Adam mengganjalnya dengan tangan. Mendorong pelan hingga dia bisa melihat Sarah lagi."Dok, sebelum aku pergi. Boleh nanya gak?""Apa?""Udah punya gandengan belum?" tanya Adam.Sarah langsung menutup pintu dan menguncinya. Berjalan menuju wastafel. Dia menghela napas lega, mengamati jemarinya yang bergetar. "Kenapa wajah Adam sekilas mirip dengan si brengsek itu ya?"TBCSarah memandang mobil di depannya, kemudian pada sosok Adam yang pucat. Dia menggeleng. "Gak, aku aja yang bawa mobilnya.""Loh? Janganlah, aku kan yang ngajak Dok--""Sarah. Panggil aku, Sarah." Wanita itu menatap Adam dengan wajah serius, sementara Adam cuma bisa diam sembari mengangguk paham. Sarah melanjutkan omongannya, "Kamu gak memungkikan banget buat bawa mobil. Aku gak mau kita kecelakaan.""Bisa-bisanya kamu meragukan aku," gerutu Adam."Kata Ardi kamu menggalau beberapa hari ini. Pasti karena aku tolak waktu itukan?""Jujur banget ngomongnya.""Karena kondisi kamu yang gak memungkinkan itu, aku gak bakalan izinin kamu buat nyetir. Mending aku aja," jelas Sarah panjang lebar.Sebal, Adam pun menurut saja. Dia duduk di samping kemudi, mengamati Sarah yang sedang memasang belt. Adam tak percaya, kalau wanita yang beberapa waktu lalu menolaknya malah kini menerima tawaran untuk pergi jalan-jalan bersama. Adam bingung, sumpah!"Kenapa kamu mau terima ajakan aku?""Sebagai permin
Sarah tidak tahu kalau Adam akan jujur dengan perasaannya. Ketika pria itu mengatakan kenyataan tersebut, Sarah cuma tercengang dengan mulut menganga. Telunjuknya menunjuk diri sendiri, tak menyangka."Gak salah kamu, Dam? Jangan bilang kamu memberitahu Leila soal ini? Bisa mampus kita!" kata Sarah cemas.Adam terkekeh. "Meskipun dia bawa para preman itu, aku gak bakalan biarin mereka melukai Dokter Sarah. Aku harus menepati janji'kan?" ujarnya sambil menaik-naikkan kedua alisnya yang tebal.Sebelah tangan Sarah mengusap keningnya. Dia melipat kaki di atas kursi, mendesah sebal dengan keputusan Adam yang terlalu berisiko itu. "Bagaimana kalau kamu yang terluka? Siapa yang repot?""Dokter. Tugas kamu'kan mengobati orang yang terluka?" sahut Adam enteng sekali. "Kamu lihat? Aku juga terluka!" kata Sarah menunjuk sudut bibirnya yang luka, lalu ke keningnya yang benjol. "Aku yang obatin Dokter. Kita saling mengobati," ujar Adam langsung mendapat sahutan berupa suara muntah dari Ardi. Lel
Motor trail Adam meraung di depan rumah Leila yang terbilang mewah. Semua orang di desa itu dan tempat Adam tinggal, tahu kalau Leila bukan anak gadis dari orang sembarangan. Ayah Leila merupakan seorang tuan tanah yang punya banyak anak buah turunan dari preman pasar. Mereka juga tahu, kalau ayah Leila bukanlah pria baik. Ardi pernah bertemu dengan pria paruh baya tersebut, dan menyatakan kalau dia tak menyukai cara kerjanya. Dan sekarang Adam menemukan alasan Ardi tak menyukai ayah Leila itu. "Makanya, hutang itu dibayar dong! Berani-berani ngambil utang, tapi gak sanggup bayar. Lucu juga!" katanya sambil memelintir kumisnya yang tebal. Adam turun dari motor. Menghampiri teras beton yang tampak licin. Sejenak amarah pria itu reda, tatapannya menghunus pada Adam. Hanya dengan endikkan kepala, beberapa preman pasar yang tadi ditemui keluar dari pos mereka. Menyeringai pada Adam, seolah merasa menang. "Akhirnya datang juga. Kamu nerima tawaran kami ya?" tanya pria itu. "Gak. Aku
Sarah menatap Adam yang berjalan membelah kerumunan para preman tersebut. Menimbang rasio kemungkinan Adam menang dari delapan preman yang sedang menjagalnya. Meski agak tipis, Sarah yakin Adam bisa melawan orang-orang berotot besar itu."Menjauh dari Dokter Sarah," perintah Adam dengan nada menusuk tajam.Pimpinan preman yang berada di depan Sarah akhirnya berbalik badan, menghadap Adam yang sedang menyingsing lengan baju lusuhnya. Seulas senyum tipis terukir, dia melangkah maju ke depan Adam. Mendorong pundak pria itu dengan kencang. "Jadi ini yang bikin neng Leila sakit hati? Cowok dekil ini rupanya?"Tak terima disebut dekil, Adam balas mendorong dada si preman. Namun hasilnya nihil. Tak ada pergerakan apapun, selain Adam yang ditertawakan seluruh kawanan preman tersebut."Kenapa? Heran karena gak bisa ngedorong aku? Jelaslah, orang macam kamu... aku tonjok sekali juga pasti jiun!" ujarnya sombong.Adam mengepalkan tangannya. Mencoba membuktikan ucapan si preman dan hasilnya... me
"Leila keknya marah banget sama kamu, Dam."Adam mengendikkan bahunya, tak peduli dengan perasaan Leila yang terluka akibat ulahnya. Bagi Adam, Leila bukan siapa-siapa, hanya sebatas langganan ojeknya sebelum kedatangan Sarah. "Masa bodoh. Aku capek ketemu sama dia. Manjanya kebangetan," keluh Adam lalu menghentikan motornya di depan beranda rumah Sarah. Wanita itu turun dari jok. Membuka dompetnya lalu menyerahkan beberapa lembar uang pada Adam. Namun Adam justru mendorong balik uang tersebut seraya berkata lirih pada Sarah, "Gak usah. Makan bareng Dokter Sarah tadi udah jadi imbalan paling berharga.""Cih, gak usah gombal. Kamu udah perbaikin atapnya sendirian. Masa gak aku bayar," kata Sarah menarik tangan Adam, lalu meletakkan uang tersebut di telapak tangannya.Ketika Adam menggenggam uang pemberian Sarah, dia sontak memukul jidatnya sendiri. "Ampun dah! Kita lupa bayar makanan tadi!"Ikut-ikutan, Sarah menepuk jidatnya juga. Tersadar kalau mereka belum bayar sepersen pun makan
"Udah jadi?"Suara Sarah mengagetkan Adam yang tengah membersihkan kekacauan akibat pecahan genteng yang jatuh ke dalam rumah. Dia mengelus dada, menetralkan detak jantungnya yang bertalu-talu."Kenapa gak salam dulu sih, Dok? Kaget tau. Kalau aku jantungan gimana? Dokter mau aku tinggalin di sini? Nanti gak ada yang gombalin Dokter Sarah lagi... mau?""Pengen banget!" sahut Sarah pendek. Dia terkekeh melihat muka Adam yang merengut."Jahat juga ya," gerutu Adam seraya melanjutkan aktivitasnya. Pria itu mengambil serokan dan mengumpulkan debu tebal tersebut. Selesai membuang sampah-sampah dan merapikan beberapa barang, Adam menengok kedatangan Sarah dengan pakaian casualnya."Mau ke mana?""Nyari makan. Mau ikut? Tapi nebeng," kata Sarah menunjukkan motor Adam yang terparkir di depan teras. Tak mau membuang kesempatan besar, Adam mengangguk antusias. Segera dia meletakkan kembali sapu di sudut ruangan, berlari kecil menuju dapur dan mencuci tangannya yang berdebu.Kembali dari dapur,
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen