LOGIN
Reina membanting gelas ke meja. Cipratan air menyembur ke taplak meja dan lantai, sementara sisa air putih yang belum sempat ia telan kini mengalir dari sudut bibirnya.
“Kamu akan kami jodohkan,” ucap mama Reina membuatnya menyemburkan air putih karena kaget.
Batuknya pecah. Reina memandang ibunya dengan mata terbelalak, lalu menggeleng keras. “Ma, serius?”
Mamanya mengangguk pelan.
“Ma, kita sudah bahas ini kemarin. Aku nggak mau. Aku udah punya Raka.”
“Dia anak haram, Reina,” ujar Mama, nadanya memelan. “Kamu tahu itu akan jadi masalah dalam keluarga.”
Reina mendesah panjang. “Salahnya dimana? Dia dokter, Ma. Aku sayang sama dia dan yang menjalankan pernikahan itu juga aku.”
“Kamu gak lupa kamu anak satu-satunya WS Group, kan?,” suara sang mama semakin tinggi. “Papa sudah diskusi dengan sahabat lamanya. Besok temui dia di kantornya. Namanya Abian, CEO Brawijaya. Kamu pasti mengenalnya karena dia pernah jadi dosen di kampusmu dulu.”
Reina menatap horor mamanya. “Hah?”
Nama Abian langsung memantik kenangan buruk dari masa lalu. Dia bukan sekadar dosen pembimbing saat Reina menempuh S1—laki-laki dengan hidup yang selalu tertata, teratur, penuh rencana, dan penuh kontrol itu pernah menjalin hubungan tanpa status dengannya. Lebih buruknya lagi, Abian adalah mantan FWB Reina.
“Abian Adams? Kami punya masa lalu. Buruk—Mah.” bela Reina.
“Biarkan tetap jadi masa lalu,” ujar mamanya. “Sekarang bangun masa depan. Abian pria sempurna—untuk kamu, dan bisnis kita.”
“Ma!” potong Reina.
“Jangan membantah lagi, Reina. Nanti Pak Nan akan mengirim data Abian ke email kamu sekaligus jadwal pertemuan kalian,” ujar papanya yang sejak tadi hanya diam dan itu menjadi tanda selesainya perdebatan.
*****
Malam esoknya, Reina menghampiri kantor Abian yang berada di kawasan Menteng. Reina masuk dengan langkah tenang dan ekspresi penuh kemenangan. Gaun ketat berbahan satin berwarna ungu tua menempel sempurna di tubuhnya.
Belahan dada rendah, garis pinggang melingkar seperti ingin memperlihatkan semua yang bisa melirik detik itu juga tanpa benar-benar telanjang. Rambutnya dibiarkan tergerai, bergelombang seperti ombak liar. Bibirnya merah merona, seperti bunga mawar yang mekar di musim semi.
Dilihatnya kemeja putih laki-laki itu digulung rapi, memperlihatkan otot lengan yang kencang. Dasi gelap tergantung di lehernya dengan kerapian yang nyaris menakutkan. Beberapa berkas masih menumpuk di mejanya.
“Kantor yang bagus,” komentar Reina sambil menatap ke sekeliling. Warna abu-abu mendominasi gelap ruangannya. Warna kesukaannya. “Ternyata seleramu nggak berubah.”
Abian mendelik kecil.
Reina menarik kursi di depan meja tanpa disuruh. Kaki jenjangnya disilangkan dengan gaya menggoda. “Jadi, kita akan membahas apa kali ini?” tanyanya.
“Kamu datang dengan pakaian kurang bahan. Apakah keluarga Wicaksono tidak mampu membeli selembar kain?” ujar Abian tanpa menjawab pertanyaan yang dilontarkan Reina.
Reina tersenyum miring, seolah sudah menebak mantan dosennya itu akan menjawab seperti itu. “Kupikir ini kencan. Aku nggak mau tampil membosankan di hadapan mantan dosen yang pernah lihat aku tanpa pakaian.”
Sebuah senyum sekilas muncul di sudut bibir Abian. “Jadi kamu mengakui kita punya masa lalu?”
“Kenapa nggak? Toh, kamu juga pernah bilang aku adalah mahasiswa paling tidak terduga yang pernah kamu bimbing.”
“Tidak terduga, tidak disiplin, dan terlalu penuh konflik,” tambah Abian dingin.
Reina terkekeh. “Saking nggak terduganya, sampai kamu tidur denganku lebih dari lima kali.”
Reina membungkuk ke depan, menumpukan sikunya di atas meja, hingga belahan dadanya nyaris menyentuh permukaan kayu jati. “Atau mungkin memang kamu suka hal-hal yang berbahaya daripada terduga.”
“Seperti kamu dengan yang lain saat sudah punya pacar, misalnya?” imbuhnya.
Suasana di ruangan itu berubah tegang. Tak ada yang bicara beberapa detik. Hanya bunyi jam di dinding dan napas yang tertahan.
Lalu Abian berdiri, berjalan ke arah jendela besar. Punggungnya membelakangi Reina. Suaranya terdengar rendah.
Reina berdecak kesal, menatap punggung Abian lekat-lekat. “Mari kita persingkat saja dan tidak perlu pura-pura lagi. Aku tahu kamu pasti nggak mau perjodohan ini. Jadi, kenapa kamu tiba-tiba mau dijodohkan sama aku?”
“Jangan-jangan karena kamu belum move on?” lanjutnya menyerocos. “Yah, aku ngerti sih. Aku memang sulit dilupakan Aku maafkan.”
Abian masih diam. Matanya mengalir ke tumpuan tangan Reina yang menunduk.
“Nggak mungkin dong... penyelingkuh diselingkuhi?” sindirnya.
Kini tawa sinis melingkupi ruangan Abian yang masih menatap lawan bicaranya. Melihat Abian yang terdiam Reina berdeham. “Wow impressive. Aku cuma asal nebak.”
“Kita di pihak yang sama.” tukas Abian.
Tatapan mereka bertemu. Mata hazel pria itu menembus Reina, seolah ingin mencabik lapisan terluar dirinya. “Kamu masih dengan Raka?” tanyanya.
Reina membeku. “Kamu menyelidiki aku?” tanyanya tajam.
Abian tersenyum miring, menyombongkan diri. “Bukan hal sulit bagiku mencari informasi kecil seperti ini.”
Reina menyandarkan tubuhnya. Kali ini, ekspresinya berubah. Tak lagi menggoda. “Ya.”
Abian mengangguk pelan. “Orang tuamu jelas menolak karena dia tidak bisa menunjukkan siapa ayahnya. Apa kamu yakin dia bisa bertahan dalam dunia seperti kita?” Abian menatap Reina tajam.
“Dunia seperti kita mana yang kamu maksud?.”
.
.
.
~ To Be Continue ~
“Siapa kamu?” tanya Abian dengan nada dingin yang mematikan.Panggilan itu terputus begitu saja sebelum sempat ada jawaban. Abian menurunkan ponsel perlahan. Rahangnya mengeras, dan sorot matanya berubah gelap, memancarkan amarah sekaligus kekhawatiran.Papa Reina menangkap aura menantunya yang tegang dan menatapnya cemas. “Bian, ada apa?” tanyanya hati-hati.“Kita harus segera ke rumah sakit, Pa,” jawab Abian tegas, suaranya bergetar tipis menahan marah dan khawatir. “Reina, ada sesuatu yang terjadi padanya.”Dalam perjalanan menuju rumah sakit, ponsel Abian kembali bergetar di tangannya. Nama bodyguard muncul di layar, membuat dadanya menegang sebelum panggilan itu terhubung. Perasaan tidak nyaman merambat cepat, seperti firasat buruk yang baru saja menemukan bentuknya.“Tuan Abian, Nyonya Reina diculik,” lapor suara di seberang begitu sambungan terhubung, terdengar tergesa namun terkontrol. “Saat ini saya menja
“Apa rapatnya sudah disiapkan?” tanya Abian akhirnya, suaranya rendah namun tegas.“Mereka sudah menyiapkannya, Tuan,” jawab Roy tanpa ragu. “Ruang rapat utama diamankan. Link rapat daring juga sudah saya kirim ke Jay sesuai permintaan Anda dan Tuan besar.”Abian mengangguk pelan. “Pastikan tidak ada gangguan. Hari ini tidak boleh ada celah.”“Siap, Tuan.”Mobil berhenti tepat di depan gedung utama Brawijaya Group. Abian turun lebih dulu dengan langkah mantap, jasnya rapi, sorot matanya dingin dan tak tergoyahkan. Udara di sekelilingnya seolah mengeras, membawa tekanan yang tak kasatmata. Di dalam mobil, Papa Reina masih duduk tenang, wajahnya datar dan berwibawa, jelas siap menghadapi apa pun yang akan terjadi hari ini.Abian melangkah masuk ke lobi diikuti oleh Roy. Suasana mendadak berubah. Beberapa karyawan yang biasanya menyapa kini hanya menunduk hormat, merasakan ketegangan yang menggantung di udara.“Roy,” ucap Abian sing
Papa Reina menggenggam tangan itu perlahan, penuh kehati-hatian. Jemarinya gemetar, membawa penyesalan yang akhirnya tak bisa lagi ia sembunyikan. Tatapannya jatuh, sarat rasa bersalah yang terlambat disadari.“Boleh, Sayang,” ucap Papa Reina lirih, suaranya penuh kehati-hatian. “Kita jalani pelan-pelan. Papa akan sabar dan ada untukmu.”Ia menatap putrinya dengan mata basah. “Papa ingin mendengar semuanya, setiap luka yang selama ini kamu pendam sendiri.”Reina mengangguk kecil. Air mata kembali jatuh, namun kali ini tidak disertai ketakutan yang melumpuhkan. Ada gemetar di bahunya, ada luka yang masih terbuka, tetapi juga ada keberanian yang baru saja tumbuh.Mama Reina mendekat dan duduk di sisi ranjang, tangannya menyentuh pundak Reina dengan kehangatan yang menenangkan. “Kita keluarga, Nak,” ucapnya lembut. “Luka lama memang tidak bisa hilang seketika, namun kita bisa berjalan bersama, pelan-pelan, sambil saling menjaga.”
Abian menegang seketika, dadanya seolah berhenti berdetak selama satu detik sebelum melangkah maju tanpa ragu. “Apa dia sudah sadar, Dok?” tanyanya cepat, suaranya tertahan di antara harap dan takut.Dokter menatapnya sejenak, lalu menjawab pelan, “Tadi sempat sadar sebentar dan pasien meminta bertemu dengan Tuan Abian. Kondisinya masih lemah, tetapi pendarahan sudah berhasil dikendalikan. Tanda vitalnya mulai stabil, jadi Anda boleh masuk sebentar, bicara padanya, tapi jangan membuatnya terkejut.”Abian melangkah masuk ke ruang tindakan tanpa menoleh ke belakang. Bau antiseptik langsung menyergap inderanya, menusuk hidung dan tenggorokan. Di tengah ruangan, Reina terbaring lemah, wajah pucat, dengan selang dan alat medis menempel di tubuhnya.Langkah Abian melambat saat mendekat, tangannya gemetar saat menggenggam jemari Reina yang dingin. “Maafkan Mas,” bisiknya lirih, suaranya pecah. “Mas terlambat, tapi Mas di sini sekarang. Mas janji, k
“Pa-papa?” gumam Abian, terkejut melihat Papa Reina berdiri di lorong rumah sakit.“Nak Bian, apa yang terjadi pada anak mama, Sayang?” tanya Mama Reina, suaranya bergetar, penuh kecemasan dan kasih sayang.Abian terdiam sejenak, menahan emosi yang mendidih di dadanya. Menatap lelaki paruh baya itu membuat darahnya bergejolak. Jika saja dia tidak mengingat status mertuanya, sudah pasti ia akan meledak tanpa pikir panjang.“Tuan,” gumam Roy di sampingnya, menyadari wajah Abian memerah menahan amarah.“Aku bisa menahannya,” sahut Abian lirih, menatap kedua orang tua istrinya dengan mata yang menahan bara kemarahan.Bodyguard dan Roy merasakan ketegangan itu dengan jelas. Tangan Abian mengepal erat, rahangnya mengeras, setiap tarikan napasnya terasa berat dan tajam. Udara di sekitarnya seolah ikut menegang, siap pecah kapan saja.“Reina mencoba bunuh diri,” ujar Abian pelan, suaranya nyaris seperti peng
Abian menoleh pada Roy. “Bawa semua data ini ke ruang aman. Jangan biarkan siapa pun mengaksesnya tanpa izinku. Termasuk keluargaku sendiri.”Roy mengangguk tegas. “Siap, Tuan. Semua akan diamankan.”“Gabungkan dengan semua bukti yang sudah kita punya,” lanjut Abian tanpa jeda. “Mulai sekarang, semuanya masuk ke perintah darurat.”“Baik, Tuan,” jawab Roy cepat, ekspresinya berubah lebih serius.Abian mengembuskan napas berat, lalu menatap mereka berdua. Sorot matanya dingin namun penuh tekad. “Kalau Cindy pikir dia bisa menutup semua jejak dan bermain-main dengan nyawa orang, dia salah besar. Aku akan pastikan semuanya tersingkap dengan caraku.”Tidak ada satu pun yang berani menanggapi. Aura Abian berubah tajam, dingin, seperti badai yang baru saja menemukan arah pasti untuk menghantam. Roy hanya mampu menunduk dalam, memahami bahwa sesuatu yang jauh lebih besar baru saja bergerak.Setelah memberikan perintah terakhir, Abian ber







