 LOGIN
LOGIN“Aku tidak menghina. Aku cuma mengingatkanmu. Kamu dan aku tahu. Dunia kita kotor. Hubungan bukan cuma soal cinta, tapi reputasi, kekuasaan, dan nama baik.”
Abian melangkah mendekat. Wajah mereka kini hanya berjarak sejengkal. Ketegangan mereka semakin mencapai puncaknya. “Apa kamu cukup hebat sampai tega menyingkirkan tunanganmu sendiri hanya karena dia selingkuh? Kamu lupa jati dirimu dulu?.” “Kamu lupa selingkuhanku itu kamu?” tambah Abian santai. Reina memukul meja terlalu keras. “Kita berdua sama-sama punya alasan. Kamu ingin bebas dari tekanan keluarga dan menyelamatkan citramu. Aku ingin lepas dari seseorang dan memperbaiki citraku. Cukup.” ungkap Abian. Senyap. Dunia seperti membeku dalam kesepakatan yang tak terucapkan. Ketegangan masih menyelimuti keduanya. Namun, sesuatu di dalam diri Reina merasa ditelanjangi dalam tatapan tajam Abian. Reina menimbang sebelum bicara, sejenak menunduk seolah menakar dosa yang akan diucapkan. Reina tahu, orang tuanya tak akan pernah sudi dirinya dengan Raka. Dan kalau pernikahan ini cuma formalitas untuk menyelamatkan citra kenapa tidak sekalian dimanfaatkan? “Kalau begitu, aku punya syarat. Kita akan tinggal serumah, tapi dengan kamar terpisah. Nggak ada yang boleh ikut campur urusan pribadi masing-masing. Kalau salah satu dari kita punya hubungan lain, selama nggak diumbar ke publik, tidak masalah. Di depan keluarga kita layaknya sepasang suami-istri yang saling mencintai.” Abian menatapnya. “Baik. Satu syarat dariku.” “Apa?” tanya Reina dengan nada menyalang. “Selama kita menikah, kamu tidak boleh hamil dari pria lain,” ujar Abian tegas dan tajam. Reina mendengus. “Kamu pikir aku serendah itu?” “Kamu masih impulsif seperti dulu.” “Terserah,” jawab Reina akhirnya, menatapnya lekat. “So, are we deal?” Abian mengulurkan tangan. Reina memandang tangan itu sesaat. Lalu, dengan satu tarikan napas dalam, ia menggenggamnya. “Sepakat.” Dalam genggaman tangan itu, dua jiwa penuh luka sepakat untuk bermain peran dalam pernikahan palsu yang akan membuka kembali luka lama, dan mengguncang segalanya. ***** Langit pagi itu mendung, seolah tahu bahwa dua hati yang akan disatukan bukanlah sepasang kekasih. Dua orang dengan masa lalu yang belum sembuh. Satu minggu setelah pertemuan Abian dan Reina, kini keduanya bersiap akan mengubah status demi tujuan masing-masing. Di balik dinding vila keluarga Wicaksono, persiapan pernikahan berlangsung secara privat. Perlindungan ekstra, pengaman ganda. Bahkan, semua staf yang terlibat harus menandatangani NDA. Pernikahan mereka bukan untuk dirayakan, melainkan diselesaikan. Sebuah transaksi yang seharusnya terjadi di dalam dunia mereka. Reina duduk diam di ruang rias. Gaun putih berpotongan sederhana membalut tubuh semampainya. Namun, keseksian khas wanita itu tetap terpancar lewat pundak terbuka dan belahan dada yang sedikit menantang. Bibirnya dipulas tipis, tapi mata menatap kosong ke arah bayangannya di cermin. “Apa gaunnya terlalu sempit?” tanya sang mama dari belakang, suaranya pelan namun cukup menusuk. “Hidupku yang sempit, Ma,” jawab Reina datar. “Kita melakukan ini demi masa depanmu, Nak. Suatu saat kamu akan mengerti bahwa pilihan kita tidak salah.” Mama Reina menepuk kepala sang anak yang sudah memakai mahkota. “Bersiaplah. Abian dan keluarga sudah ada di aula.” Setelah kepergian mamanya, Reina menatap undangan bertuliskan emas. Ada namanya dan Abian, mantan dosen sekaligus mantan FWB -nya. Lalu, pandangannya mengarah pada ponsel yang sejak tadi tak tersentuh sama sekali. Tangannya dengan ragu meraih ponsel itu dan mencoba menghubungi Raka, kekasihnya. Sudah satu minggu ini mereka tidak saling berkomunikasi karena Reina yang terpaksa sibuk mengurus pernikahannya. Namun urung, kala Papa Reina datang untuk menjemput dan mengantar anaknya menuju altar. Ketika dentingan musik dari piano mulai mengalun, Reina dan papanya melangkah. Gaunnya bergoyang anggun mengikuti langkahnya. Senyumnya tipis, tapi dagunya terangkat tinggi seolah ini adalah panggung pernikahan impiannya. Papa Reina menyerahkan genggaman tangan anaknya ke Abian. Kemudian dia menepuk bahu calon menantunya dengan tegas, seolah tepukan itu memiliki arti bahwa dia mempercayakan Reina pada Abian. Tatapan mereka bertemu. Mata Reina menantang dan mata Abian menilai. Tidak ada percikan, tidak ada cinta. Tidak ada getaran, tapi ada rasa pahit yang sama di tenggorokan mereka masing-masing. Hingga akhirnya sang pendeta berdiri di antara mereka. “Abian Adams Brawijaya, apakah engkau mau menerima Reina Indira Wicaksono sebagai istrimu dan berjanji untuk setia kepadanya dalam kaya maupun miskin, di waktu sehat maupun sakit, dan mengasihinya serta menghormatinya?” ucap sang Pendeta. “Saya bersedia,” jawab Abian mantap tanpa ada nada keraguan sama sekali. “Reina Indira Wicaksono, apakah engkau mau menerima Abian Adams Brawijaya sebagai suamimu dan berjanji untuk setia kepadanya dalam kaya maupun miskin, di waktu sehat maupun sakit, dan mengasihinya serta menghormatinya seumur hidupmu?” ucap sang pendeta, kali ini menatap ke arah Reina. “Saya bersedia.” . . . ~ To Be Continue ~



Ruang konseling itu terasa hangat dan tenang, seolah menenangkan siapa pun yang memasukinya. Aroma lavender lembut mengisi udara, membuat dada Reina sedikit lebih rileks. Ia duduk di sofa abu muda dengan tangan yang masih digenggam Abian, mencoba menenangkan diri. Di hadapan mereka, psikiater wanita paruh baya tersenyum ramah sambil mencatat sesuatu di tabletnya.“Selamat datang, Nyonya Reina. Terima kasih sudah datang hari ini,” ucap sang psikiater dengan nada lembut.Reina hanya mengangguk pelan, matanya menatap lantai sebelum akhirnya beralih ke wajah wanita itu. “Saya… belum tahu harus mulai dari mana,” ujarnya jujur, suaranya sedikit bergetar.“Tidak apa-apa,” jawab sang psikiater tenang. “Kita mulai dari hal yang membuat Anda paling tidak nyaman. Tidak harus semuanya langsung hari ini. Perlahan saja.”Abian menatap Reina dengan penuh dukungan, sorot matanya lembut dan tenang. Ibu jarinya bergerak perlahan di punggung tang
Matahari sore perlahan tenggelam di balik deretan gedung tinggi, meninggalkan semburat jingga yang mulai meredup di langit kota. Lampu jalan menyala satu per satu, memantulkan cahaya hangat di kaca mobil yang bergetar halus mengikuti ritme jalan. Reina membuka mata perlahan, masih dibalut kantuk dan sisa lelah perjalanan. Menyadari kepalanya bersandar di bahu Abian, ia cepat menegakkan duduk, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.Abian menoleh sekilas dan tersenyum kecil. “Tidur aja kalau masih ngantuk,” ucapnya pelan.Namun, Reina hanya menggeleng pelan, pandangannya menerobos kaca jendela yang dipenuhi pantulan senja. Bayangan gedung dan cahaya lampu kota berpadu, menimbulkan kesan samar di matanya yang tampak sendu. Ingatannya kembali berputar pada makam yang baru mereka kunjungi, membawa kenangan lama yang perlahan muncul ke permukaan.Begitu mobil berhenti di depan rumah, Abian sempat menepuk pelan bahu Reina yang ternyata tertidur bersand
Abian mengulang pertanyaannya pelan. “Mau ke mana, Sayang?” Suaranya lembut, mencoba menembus hening yang masih menggantung di antara mereka.Reina menatap tangannya sendiri, jemarinya saling menggenggam seolah takut melepaskan sesuatu. “Ke rumah baru Mama.”Abian tidak langsung menjawab. Ia tahu apa yang dimaksud Reina bukan rumah dalam arti sebenarnya. “Makamnya?” tanyanya pelan.Reina mengangguk tanpa menatap. “Aku belum pernah ke sana lagi sejak Mama meninggal. Udah tujuh belas tahun.”Suara itu bergetar halus. Abian mengulurkan tangannya, menyentuh bahu Reina pelan. “Kalau kamu yakin kuat, aku antar sekarang.”Reina mengangguk lagi, kali ini dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Abian putar arah saat Reina menyebutkan salah satu nama pemakaman elit. Perjalanan menuju makam berlangsung dalam diam.Jalanan pagi menjelang siang itu sepi, langit berwarna pucat dengan awan bergerak lambat. Reina menatap keluar jendela, matanya ses
Cahaya pagi menembus tirai tipis kamar rumah sakit, membentuk pola lembut di lantai dan di wajah Abian yang tertidur di kursi. Kemeja yang sama sejak kemarin masih melekat di tubuhnya, dengan lengan tergulung dan rambut yang sedikit berantakan. Namun di balik kelelahan itu, ada ketenangan yang membuat Reina terdiam lama. Senyum kecil muncul di bibirnya tanpa sadar karena untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar aman.Ia mengulurkan tangan pelan, menyentuh jemari Abian yang terkulai di tepi ranjang. Sentuhan kecil itu cukup membuat pria itu tergerak. Abian mengangkat kepala, mata hazelnya langsung bertemu pandangan Reina. Seketika seluruh kelelahan di wajahnya menguap.“Kamu udah bangun?” suaranya serak, tapi lembut.Reina mengangguk pelan. “Iya. Kamu mau tidur lagi?”Abian tersenyum samar, lalu menggeleng. Begitu jam dinding menunjukkan pukul 09:00 am, ia segera menatap istrinya. “Dokternya sudah datang?” tanyanya.Reina mengangguk pe
Reina membuka mata perlahan, kelopak matanya terasa berat seolah baru terlepas dari mimpi panjang. Pandangannya masih kabur, hanya siluet samar cahaya lampu yang menembus kelopak matanya. Ruangan di sekitarnya terasa asing, terlalu tenang untuk disebut nyaman. Ada sesuatu di udara yang membuat dadanya sesak, jantungnya berdetak tak beraturan, sementara pikirannya masih berusaha memahami di mana ia berada.Dengan sisa tenaga, ia menggerakkan tangan pelan, berusaha memastikan dirinya masih ada di dunia nyata. Pandangannya berhenti pada sosok Abian yang duduk di samping ranjang, diam, nyaris tanpa gerak. Dalam hening itu, Reina tahu tatapan Abian bukan sekadar cemas, ada sesuatu yang lebih dalam, seperti janji yang belum sempat terucap.“Abian,” panggilnya pelan, nyaris hanya berupa bisikan.Suara itu terdengar rapuh, tapi cukup untuk mengguncang dunia kecil di antara mereka. Abian sontak menegakkan tubuh, sorot matanya membulat tidak percaya, seolah tidak ya
Arga terdiam sejenak, menatap wajah Abian yang tegang. Ia tahu pertanyaan itu bukan sekadar rasa ingin tahu, tapi luapan emosi yang sulit disembunyikan. Pandangannya beralih ke Reina yang masih terbaring lemah di ranjang, wajahnya pucat, bibirnya kering, napasnya pelan namun tidak teratur.“Ya,” jawab Arga akhirnya, pelan tapi tegas. “Aku tahu sedikit tentang traumanya.”Abian mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, berusaha menahan diri agar tidak meledak. “Dan kamu tidak berpikir untuk memberitahuku?” suaranya datar, tapi tajam, seolah menuntut jawaban panjang yang tak ia dapatkan.Arga menarik napas dalam, menahan gemuruh emosinya sendiri. “Karena bukan tempatku untuk bercerita, Abian,” ujarnya dengan nada hati-hati. “Reina sendiri yang memutuskan menutup masa lalunya. Aku cuma menghormati itu.”Jawaban itu membuat dada Abian sesak. Ia tahu Arga tidak salah, tapi hatinya menolak menerima kenyataan. Ada bagian dari dirinya yang terganggu karena ora








