LOGIN“Ugh~” erang Reina. Ia bergerak pelan di atas ranjang, matanya masih berat, tubuhnya hangat berbalut selimut tebal.
Sunyi pagi seharusnya jadi momen paling nyaman. Hanya di pagi hari ia bisa mencuri sedikit waktu istirahat sebelum kembali menghadapi hari. Namun, ketenangan itu buyar ketika dering ponsel berulang kali memecah udara.Nada deringnya menusuk telinga, membuatnya merengut kesal. Dengan mata masih terpejam, Reina meraba-raba nakas di samping tempat tidur, mencari sumber kegaduhan itu. Jantungnya berdegup lebih kencang ketika melihat nama yang terpampang di layar adalah sang asisten pribadi.Reina mengerutkan kening. Di antara banyak orang, kenapa harus Jay yang meneleponnya pagi-pagi begini?Ia menatap layar itu beberapa detik. Jari-jarinya menggantung di atas tombol hijau tanpa benar-benar berniat menekan. Ada rasa enggan, bercampur dengan kesal. Jika Jay sudah menelepon di pagi buta, pasti itu urusan penting.Jay mengakhiri panggilannya lalu melempar ponsel Reina ke lantai. Sekali injak, layar itu retak dan padam tanpa sisa. Ia mengangkat wajah, menatap wanita yang selama ini ia panggil nonanya. Tatapannya dingin dan kosong, seolah semua kedekatan yang pernah ada tak pernah berarti apa-apa.“Kamu dengar semuanya,” ucap Jay pelan. Bukan bertanya, tapi menyatakan.Reina menelan ludah, menahan gemetar yang merayap pelan di dadanya. Tangannya terikat di sandaran kursi, tubuhnya masih lemah, namun ia memaksa punggungnya tetap tegak. Matanya tidak lepas dari Jay, tajam dan waspada, seolah menolak tunduk meski posisinya terperangkap.“Jadi ini caramu membalas semua yang sudah keluarga kami lakukan?”Jay terkekeh singkat. Tidak ada humor di sana. “Keluargamu tidak pernah memberi apa pun tanpa mengambil lebih dulu.”Ia melangkah mendekat, lalu berhenti tepat di hadapan Reina. Jarak yang tercipta terlalu dekat, menekan napas dan ruang geraknya. Reina me
“Abian! Apa kamu yakin?” Arga menahan pergelangan tangan Abian dengan tegas.“Aku sangat yakin. Tolong jaga Papa dan Mama. Aku akan kembali dengan membawa Reina dan anakku,” jawab Abian mantap, tatapannya lurus ke depan, tanpa keraguan sedikit pun.“Kalau begitu, bawa ini bersamamu. Biarkan aku melacak—”Abian langsung mengambil alat pelacak yang disodorkan Arga. “Kamu bisa melakukannya. Jay aku serahkan ke kamu, lakukan apa pun untuk melampiaskan amarahmu padanya.”Arga terdiam, menahan kata-kata yang ingin terucap. Abian menatapnya sebentar, kemudian senyum tipis muncul di bibirnya. Senyum itu tulus, tapi sarat tekad yang membara.“Aku tahu kalian menyimpan sesuatu di belakangku, tapi aku tidak akan bertanya. Tanggung jawabku di sini bukan sebagai CEO atau pebisnis, melainkan seorang suami dan ayah yang harus menyelamatkan keluarga kecilnya,” ucap Abian sambil menepuk pundak Arga.“Pa, Ma, aku pergi jemput istri dan anak dulu,”
Abian dan Papa Reina baru saja tiba di rumah sakit. Langkah mereka terburu-buru menyusuri lorong menuju kamar tempat Reina dirawat. Namun begitu sampai, dua bodyguard yang seharusnya berjaga tidak terlihat di depan pintu.Jantung Abian berdegup liar. Pintu kamar didorongnya tanpa pikir panjang. Ranjang kosong menyambut dengan sunyi yang menghantam dada.Mama Reina terduduk gemetar di sisi ranjang, napasnya tersengal menahan tangis. Papa Reina merengkuhnya erat, berusaha menjadi penopang saat dunianya runtuh. Abian berbalik tajam ke arah para bodyguard, rahangnya mengeras, sorot matanya dingin menuntut jawaban.“Apa yang terjadi, Bi?” tanya Arga begitu tiba di ambang pintu. Pesan singkat Abian di perjalanan sudah cukup membuatnya bergegas ke rumah sakit tanpa banyak tanya.Napas Arga masih terengah ketika pandangannya menyapu ruangan, berhenti pada ranjang kosong dan wajah-wajah yang diliputi panik. Nalurinya sebagai pewaris dun
Langkah mereka cepat dan terarah menuju lift servis, lalu turun ke basement yang sepi. Lampu neon memantul pucat di lantai semen, menyinari sebuah mobil hitam yang sudah menunggu dengan mesin menyala. Tanpa suara berlebih, Reina dipindahkan ke kursi belakang, tubuhnya diselimuti rapi seperti pasien yang dipulangkan. Dalam hitungan detik, pintu tertutup dan mobil itu bergerak, meninggalkan rumah sakit tanpa jejak.“Berhasil,” bisik salah satu dari mereka sambil menutup pintu dengan hati-hati.“Jangan buang waktu. Kita pergi sekarang,” sahut yang lain, nadanya tegang namun sarat kepuasan.Mobil itu melesat keluar dari basement, menembus jalanan kota yang mulai tenggelam dalam cahaya senja. Gedung rumah sakit perlahan mengecil di kaca spion, kembali pada kesunyian yang seolah tak pernah ternodai. Di dalam mobil, ponsel bergetar, lalu sebuah panggilan masuk tersambung.“Bos,” ujar pria yang tadi menyamar sebagai dokter, suaranya di
“Siapa kamu?” tanya Abian dengan nada dingin yang mematikan.Panggilan itu terputus begitu saja sebelum sempat ada jawaban. Abian menurunkan ponsel perlahan. Rahangnya mengeras, dan sorot matanya berubah gelap, memancarkan amarah sekaligus kekhawatiran.Papa Reina menangkap aura menantunya yang tegang dan menatapnya cemas. “Bian, ada apa?” tanyanya hati-hati.“Kita harus segera ke rumah sakit, Pa,” jawab Abian tegas, suaranya bergetar tipis menahan marah dan khawatir. “Reina, ada sesuatu yang terjadi padanya.”Dalam perjalanan menuju rumah sakit, ponsel Abian kembali bergetar di tangannya. Nama bodyguard muncul di layar, membuat dadanya menegang sebelum panggilan itu terhubung. Perasaan tidak nyaman merambat cepat, seperti firasat buruk yang baru saja menemukan bentuknya.“Tuan Abian, Nyonya Reina diculik,” lapor suara di seberang begitu sambungan terhubung, terdengar tergesa namun terkontrol. “Saat ini saya menja
“Apa rapatnya sudah disiapkan?” tanya Abian akhirnya, suaranya rendah namun tegas.“Mereka sudah menyiapkannya, Tuan,” jawab Roy tanpa ragu. “Ruang rapat utama diamankan. Link rapat daring juga sudah saya kirim ke Jay sesuai permintaan Anda dan Tuan besar.”Abian mengangguk pelan. “Pastikan tidak ada gangguan. Hari ini tidak boleh ada celah.”“Siap, Tuan.”Mobil berhenti tepat di depan gedung utama Brawijaya Group. Abian turun lebih dulu dengan langkah mantap, jasnya rapi, sorot matanya dingin dan tak tergoyahkan. Udara di sekelilingnya seolah mengeras, membawa tekanan yang tak kasatmata. Di dalam mobil, Papa Reina masih duduk tenang, wajahnya datar dan berwibawa, jelas siap menghadapi apa pun yang akan terjadi hari ini.Abian melangkah masuk ke lobi diikuti oleh Roy. Suasana mendadak berubah. Beberapa karyawan yang biasanya menyapa kini hanya menunduk hormat, merasakan ketegangan yang menggantung di udara.“Roy,” ucap Abian sing







