Sendok di tangan Abian beradu pelan dengan piring porselen, suaranya nyaris tenggelam di tengah tawa lembut Bu Kasih dan bisik mesra Raka. Namun di telinga Reina, denting itu terdengar jauh lebih keras, seolah memberi peringatan samar. Ia menegakkan punggung, mencoba bersikap santai, meski tatapan tajam dari sisi kirinya membuat bulu kuduknya berdiri.
“Tambah lagi, Sayang?” Raka sudah setengah berdiri, menyendokkan kuah soto ke mangkuk Reina tanpa diminta. Gerakannya penuh perhatian, bahkan ia dengan sengaja meniup sesendok kuah sebelum menyuapkannya lagi.Reina terkikik kecil, membiarkan dirinya diperlakukan bak putri manja. Ia sengaja melirik sekilas ke arah Abian, ingin melihat bagaimana ekspresi pria itu. Yah, ia mendapati rahang Abian mengeras, urat halus di lehernya tampak menegang.“Enak, ‘kan?” Raka tersenyum penuh kemenangan, seolah memberi sinyal bahwa ia mampu membuat Reina bahagia.Reina menutup mulut dengan tangan,“Jawab aku, Reina,” suara Abian rendah, nyaris seperti geraman binatang buas yang siap menerkam. Reina tak gentar. Senyum miringnya muncul, penuh tantangan. Ia menyandarkan tubuh ke kursi mobil, seolah sedang menikmati permainan. “Kamu sungguh lucu, Abian. Takut kehilangan aku pada pria lain? Atau—” Reina menekankan nada suaranya. “Kamu baru sadar kalau aku bukan milikmu sepenuhnya?” Tatapan Abian makin tajam, pupilnya menggelap. Ia membungkuk, mendekat begitu cepat hingga napas panasnya membelai wajah Reina. “Jangan bermain api dengan aku,” desisnya. Reina terkekeh pelan. “Kalau aku memang suka main api, apa kamu sanggup memadamkannya?” Kata-kata itu bagai sumbu dinyalakan di tengah bensin. Tanpa memberi kesempatan lagi, Abian langsung menangkap bibir Reina dengan ciuman kasar. Tidak ada kelembutan, hanya rasa lapar, kemarahan, dan kepemilikan yang membakar. Reina terperangah, tubuhnya tersentak. Tangannya sempat mendorong dada bidang pria itu, tapi Abian menahan kedua per
Mata Reina tak lepas dari sosok Arga. Ada sesuatu yang mengganggu di balik ketenangannya, seolah pria itu menyembunyikan ratusan pintu rahasia. Tinggal menunggu waktu untuk membukanya satu per satu.Semakin lama Reina berdiri di balkon bersama Arga, semakin berat perasaan itu menekan dadanya. Setiap kata yang terucap darinya menggantung, seolah menyimpan arti yang tak mau dibuka. Jejak misteri itu menempel erat, membuat pikirannya kacau dan penuh tanya.Reina membalas dengan senyum kecil, meski hatinya jauh dari tenang. “Kak, kayaknya aku harus kembali sekarang. Asistenku sudah nunggu di depan,” ucapnya, berusaha terdengar ringan.Arga hanya mengangguk, memberi ruang tanpa memaksa. Namun justru sikap diam itu yang membuat Reina merasa seperti terkunci. Ia melangkah masuk, membiarkan dinginnya malam menutup percakapan yang masih menggantung di udara.Begitu pintu balkon menutup, wajah Reina berubah drastis. Senyum tipisnya lenya
Keheningan mendadak menyelimuti ballroom. Musik yang mengalun dari denting biola terdengar jauh lebih samar, seolah tenggelam oleh kejutan yang baru saja terjadi. Semua mata membelalak, menatap Reina yang dengan penuh percaya diri mengecup pipi Abian di depan Cindy, tunangan resmi di mata publik.Wajah Cindy mendadak pucat, jemarinya bergetar saat menggenggam lengan Abian semakin erat, berusaha agar tidak meledak. Amarah bergejolak di matanya, namun ia hanya mampu menahannya dengan senyum getir. Sementara itu, suara bisik-bisik tamu menyebar cepat, membuat pesta megah itu berubah menjadi arena penuh teka-teki.Reina justru tersenyum manis, bibirnya masih melengkung nakal setelah kecupan singkat yang penuh tantangan. Tatapannya begitu tenang, seolah ia tahu panggung malam itu kini sepenuhnya miliknya. Dengan gerakan anggun, ia menoleh pada Arga lalu meraih lengannya, menegaskan bahwa ia bebas memilih siapa yang layak di sisinya.“Sudah cukup
Reina menoleh dan langsung mengenali sosoknya. “Kak Arga?” suaranya penuh nada kaget yang sengaja dibuat seolah polos.Arga tersenyum, lalu perlahan membuka topengnya. “Iya, apa kabar? Sudah merasa baik dari sebelumnya?”Reina mengangguk pelan, tapi matanya sudah bersinar penuh tantangan, membalas senyum Arga dengan senyum miringnya sendiri. “Kabar baik, Kak,” jawabnya, suaranya ringan tapi menyimpan duri.“Bagaimana kalau kita ngobrol seperti terakhir kali?” tanya Arga dengan sopan.Reina menatap Abian sebentar, kemudian menggeser pandangannya ke Cindy yang masih angkuh menggenggam lengan Abian. Sebuah tawa kecil nyaris terdengar di bibirnya, tapi ia menahannya, matanya justru berkilat penuh provokasi. Menoleh lagi ke Arga, ia menyunggingkan senyum centil.“Aku selalu punya waktu untuk kak Arga,” bisiknya manja, tapi nada suaranya menyimpan duri yang sulit diabaikan.Abian menahan pergelangan tangan
Udara malam menyergap dingin, jauh berbeda dari gemerlap pesta di dalam. Reina menempelkan punggung pada pagar balkon, mencoba bernapas lega. Namun kehadiran pria bertopeng emas di sisinya justru membuat tubuhnya merinding tanpa alasan.“Indah, bukan?” suaranya terdengar ringan, seolah mereka sekadar tamu biasa.Reina melirik cepat, waspada. “Indah, tapi terlalu ramai.”Daren terkekeh samar, nada suaranya seperti sindiran. “Justru di keramaian, rahasia paling mudah disembunyikan.”“Rahasia?” alis Reina terangkat, meski ia berusaha terdengar datar.Daren menoleh, cahaya lampu dari aula berkilau di topeng emasnya. “Tentu saja. Semua orang punya rahasia. Hanya saja, tidak semua pandai menyimpannya.” Ia mencondongkan tubuh sedikit, senyumnya samar tapi menusuk. “Termasuk kamu, ‘kan?”Reina menahan napas, menimbang kata-katanya. “Apa maksudmu?” tanyanya hati-hati.Daren terkekeh pelan, suara
Abian terdiam. Pertanyaan itu sederhana, tapi baginya terlalu berat untuk dijawab. Tatapan matanya beralih, seolah mencari jawaban di dinding ruang kerja Reina. Urat di pelipisnya menegang, dan genggaman tangannya pada jemari istrinya semakin kuat.“Karena dia bukan orang sembarangan,” ucap Abian lirih namun tegas. “Daren tidak pernah muncul tanpa rencana. Jika dia bergerak, itu berarti ada target yang sedang ia incar.”Reina menelan ludah, hatinya berdebar. “Target?”Abian menatapnya lekat, pandangan yang tajam tapi juga penuh ketakutan yang coba ia sembunyikan. “Kamu, Reina. Sejak awal, aku selalu khawatir kamu akan menjadi sasarannya. Itu sebabnya aku tidak ingin ada satu pun rahasia tentang dia yang kamu tutupi dariku.”Kata-kata itu membuat dada Reina terasa sesak. Ada rasa hangat karena perhatian Abian, tapi juga rasa bersalah yang mencubit karena di lacinya, undangan pesta Cindy tersimpan rapi. Ia menunduk, menyembunyikan kilatan ragu di matanya.“Aku mengerti,” jawabnya, berus