Abian berdiri di ujung ruang rapat, matanya menatap grafik merah yang terpampang di layar. Lima belas persen saham Brawijaya Group anjlok dalam semalam. Bukan hanya angka, tetapi reputasi, kredibilitas, dan kepercayaan investor yang dipertaruhkan.
Ia menarik napas dalam, lalu menatap sekeliling meja panjang. Direksi dan pemegang saham menatapnya penuh cemas. Beberapa menunduk, beberapa bersandar, tapi semua tahu satu hal bahwa Abian tidak akan ragu, tidak akan terhuyung.Abian memulai rapat dengan nada tegas yang menegakkan wibawanya. “Selamat sore,” ucapnya, suaranya dingin, berat, menembus setiap kepala yang menunduk.“Kita menghadapi krisis serius beberapa hari lalu. Saham kita anjlok 15% dalam semalam akibat peretasan sistem internal yang tidak meninggalkan satu jejak pun. Ini bukan kesalahan kecil, ini serangan langsung ke kredibilitas kita,” lanjutnya.Hening sesaat. Semua mata menatapnya, menunggu gerakan berikutnya. AbiMata Reina tak lepas dari sosok Arga. Ada sesuatu yang mengganggu di balik ketenangannya, seolah pria itu menyembunyikan ratusan pintu rahasia. Tinggal menunggu waktu untuk membukanya satu per satu.Semakin lama Reina berdiri di balkon bersama Arga, semakin berat perasaan itu menekan dadanya. Setiap kata yang terucap darinya menggantung, seolah menyimpan arti yang tak mau dibuka. Jejak misteri itu menempel erat, membuat pikirannya kacau dan penuh tanya.Reina membalas dengan senyum kecil, meski hatinya jauh dari tenang. “Kak, kayaknya aku harus kembali sekarang. Asistenku sudah nunggu di depan,” ucapnya, berusaha terdengar ringan.Arga hanya mengangguk, memberi ruang tanpa memaksa. Namun justru sikap diam itu yang membuat Reina merasa seperti terkunci. Ia melangkah masuk, membiarkan dinginnya malam menutup percakapan yang masih menggantung di udara.Begitu pintu balkon menutup, wajah Reina berubah drastis. Senyum tipisnya lenya
Keheningan mendadak menyelimuti ballroom. Musik yang mengalun dari denting biola terdengar jauh lebih samar, seolah tenggelam oleh kejutan yang baru saja terjadi. Semua mata membelalak, menatap Reina yang dengan penuh percaya diri mengecup pipi Abian di depan Cindy, tunangan resmi di mata publik.Wajah Cindy mendadak pucat, jemarinya bergetar saat menggenggam lengan Abian semakin erat, berusaha agar tidak meledak. Amarah bergejolak di matanya, namun ia hanya mampu menahannya dengan senyum getir. Sementara itu, suara bisik-bisik tamu menyebar cepat, membuat pesta megah itu berubah menjadi arena penuh teka-teki.Reina justru tersenyum manis, bibirnya masih melengkung nakal setelah kecupan singkat yang penuh tantangan. Tatapannya begitu tenang, seolah ia tahu panggung malam itu kini sepenuhnya miliknya. Dengan gerakan anggun, ia menoleh pada Arga lalu meraih lengannya, menegaskan bahwa ia bebas memilih siapa yang layak di sisinya.“Sudah cukup
Reina menoleh dan langsung mengenali sosoknya. “Kak Arga?” suaranya penuh nada kaget yang sengaja dibuat seolah polos.Arga tersenyum, lalu perlahan membuka topengnya. “Iya, apa kabar? Sudah merasa baik dari sebelumnya?”Reina mengangguk pelan, tapi matanya sudah bersinar penuh tantangan, membalas senyum Arga dengan senyum miringnya sendiri. “Kabar baik, Kak,” jawabnya, suaranya ringan tapi menyimpan duri.“Bagaimana kalau kita ngobrol seperti terakhir kali?” tanya Arga dengan sopan.Reina menatap Abian sebentar, kemudian menggeser pandangannya ke Cindy yang masih angkuh menggenggam lengan Abian. Sebuah tawa kecil nyaris terdengar di bibirnya, tapi ia menahannya, matanya justru berkilat penuh provokasi. Menoleh lagi ke Arga, ia menyunggingkan senyum centil.“Aku selalu punya waktu untuk kak Arga,” bisiknya manja, tapi nada suaranya menyimpan duri yang sulit diabaikan.Abian menahan pergelangan tangan
Udara malam menyergap dingin, jauh berbeda dari gemerlap pesta di dalam. Reina menempelkan punggung pada pagar balkon, mencoba bernapas lega. Namun kehadiran pria bertopeng emas di sisinya justru membuat tubuhnya merinding tanpa alasan.“Indah, bukan?” suaranya terdengar ringan, seolah mereka sekadar tamu biasa.Reina melirik cepat, waspada. “Indah, tapi terlalu ramai.”Daren terkekeh samar, nada suaranya seperti sindiran. “Justru di keramaian, rahasia paling mudah disembunyikan.”“Rahasia?” alis Reina terangkat, meski ia berusaha terdengar datar.Daren menoleh, cahaya lampu dari aula berkilau di topeng emasnya. “Tentu saja. Semua orang punya rahasia. Hanya saja, tidak semua pandai menyimpannya.” Ia mencondongkan tubuh sedikit, senyumnya samar tapi menusuk. “Termasuk kamu, ‘kan?”Reina menahan napas, menimbang kata-katanya. “Apa maksudmu?” tanyanya hati-hati.Daren terkekeh pelan, suara
Abian terdiam. Pertanyaan itu sederhana, tapi baginya terlalu berat untuk dijawab. Tatapan matanya beralih, seolah mencari jawaban di dinding ruang kerja Reina. Urat di pelipisnya menegang, dan genggaman tangannya pada jemari istrinya semakin kuat.“Karena dia bukan orang sembarangan,” ucap Abian lirih namun tegas. “Daren tidak pernah muncul tanpa rencana. Jika dia bergerak, itu berarti ada target yang sedang ia incar.”Reina menelan ludah, hatinya berdebar. “Target?”Abian menatapnya lekat, pandangan yang tajam tapi juga penuh ketakutan yang coba ia sembunyikan. “Kamu, Reina. Sejak awal, aku selalu khawatir kamu akan menjadi sasarannya. Itu sebabnya aku tidak ingin ada satu pun rahasia tentang dia yang kamu tutupi dariku.”Kata-kata itu membuat dada Reina terasa sesak. Ada rasa hangat karena perhatian Abian, tapi juga rasa bersalah yang mencubit karena di lacinya, undangan pesta Cindy tersimpan rapi. Ia menunduk, menyembunyikan kilatan ragu di matanya.“Aku mengerti,” jawabnya, berus
“Jay—”Jay segera memotong ucapan Nona mudanya, seolah tahu persis apa yang ingin dikatakannya. “Saya sudah melacaknya, Nona. IP nya berasal dari luar negeri, tepatnya London. Ini rute bersih. Saya bisa pastikan bahwa dia sepupu Tuan Abian.”Reina terdiam sesaat, mencoba mencerna informasi itu. Sebelum ia sempat mengucapkan sepatah kata pun, terdengar ketukan pintu. Ia menoleh, dan dengan suara tegas namun tenang, menyuruh siapa pun di balik pintu itu masuk.Sekretarisnya melangkah masuk, membawa sebuah kotak misterius. Pemandangan itu membuat Reina terhenti sejenak, merasakan deja vu yang aneh. Rasanya seperti kembali ke masa ketika Jay sempat menghilang tanpa kabar.“Maaf Nona, baru saja resepsionis menerima paket yang ditujukan kepada Anda,” ujar sekretaris itu sopan.Reina tidak langsung bereaksi. Tangannya menggenggam kursi, napasnya sedikit tertahan. Ada rasa takut, tapi juga penasaran. Perasaannya berbisik