Share

BAB 4. TAWARAN

["Ayahmu meninggalkan utang milyaran. Dalam perjanjian kerja menyatakan, bahwa pewaris mempunyai kewajiban untuk melanjutkan piutang tersebut.]

[Mamamu shock dan jatuh sakit, pulanglah, Sayang, karena menghilang pun percuma. Aku akan tetap menemukanmu."]

Yara membaca pesan susulan setelah dirinya tenang. Ingatannya kembali ke masa menjelang kelulusan.

Dia pernah mendengar tanpa sengaja, bahwa ayahnya memiliki simpanan khusus, juga sebuah asuransi jaminan hari tua bilamana terjadi satu musibah dengan keluarga Jaedy.

Dalam klausa dua polis itu, tersebut nama Yara dan Jazli sebagai penerima dana manfaat. Yara menduga, total uang pertanggungan itu tidak dapat dicairkan sebab dirinya menghilang.

"Dia gila, tega sekali. Jangan-jangan, Aba tiada karena dia apa-apakan!" gumam Yara masih menggigit ujung kukunya. "Darimana dia tahu nomerku?"

Kepala Yara berdenyut nyeri memikirkan bagaimana cara mencairkan dana itu jika memang kecurigaannya terbukti.

Dokumen asli miliknya telah berubah. Pihak asuransi tentu akan menuduh dia sebagai penipu, bahkan bisa saja dirinya malah ikut terjerat kasus hukum.

Tak kunjung mendapat solusi, Yara pun terlelap. Tidurnya sangat nyenyak hingga melewatkan salat malam, bahkan subuh pun kesiangan.

Ini adalah hari Minggu. Saking lelahnya, dia hanya menghabiskan weekend dengan tidur sepanjang hari. Bangun hanya untuk salat dan makan, nonton film sebentar lalu memejam kembali.

Keesokan pagi, Yara merasa lebih bugar. Dia siap menyongsong hari berat. Tepat pukul tujuh, gadis ayu keluar kamar seraya menenteng snack box.

Yara berlari kecil menuju depan gang agar ojolnya lebih mudah mendapatkan titik penjemputan.

Saat sedang berkonsentrasi menunggu pergerakan driver ojol di tepi jalan, tiba-tiba suara seseorang dari arah belakang, mengejutkannya.

"Pagi, Sayang?"

Retina coklat tua itu melebar. Yara seketika membeku. Otaknya buntu, bahkan jemari tangan ikut diam tak berani bergerak.

Mimpi buruknya telah datang.

"Mau kuantar?" bisiknya dari belakang tubuh Yara.

Posisi mereka sungguh sangat dekat. Tubuh sang gadis bagai robot, kaku. Sekedar menoleh pun tak sanggup. Jantungnya seakan berhenti berdetak, membuat napas serasa tidak terhembus.

Yara dipaksa menghadapi trauma kelamnya.

Bak mendapat hadiah dari kediaman Yara, pria tersebut lalu mengendus tengkuk gadis yang tertutup hijab itu.

Putri Jaedy bisa merasakan bahwa lelaki ini tengah tersenyum setelah menghidunya. Sang lelaki pun lalu memutari tubuh Yara dan menatap wajah ayu yang sedang menegang.

"Mau pakai make-up ataupun tidak, kamu tetap cantik di mataku. Ayo kita pulang, menyelamatkan usaha keluarga bersama-sama. Kasihan mamamu ... aku janji takkan lagi mengganggumu."

Dia berdiri tegap memasukkan kedua tangan ke saku celana sembari tersenyum menawan kala memandang wajah ayu gadis idamannya. Intonasi suaranya juga lembut bukan main.

Jika saja situasinya normal, mungkin Yara akan mudah luluh dan jatuh dalam pelukan lelaki bertubuh atletis itu. Wajah tampan dengan garis rahang tegas, mata sekelam malam juga bibir sensual, menyempurnakan tampilan sang pria. Dapat dibayangkan oleh Yara, betapa hangat rengkuhannya di malam hari.

Yara menepis semua itu, dia sadar semua hanya tipuan yang coba dilakukan sang pria.

Perlahan, usai bisa menguasai diri, Yara memundurkan langkahnya meski berat dan hanya setengah jengkal, saat pria itu mendekat.

Kelopak mata bulat Yara masih setia tak berkedip. Dia terlalu shock.

Saat itu, seorang gadis tiba-tiba menyapanya dan menggamit lengan Yara.

"Selamat pagi, Nona. Mari.”

Yara hanya menoleh, tanpa respon. Tubuhnya pasrah digelandang seorang perempuan tak dikenalnya masuk ke dalam sebuah mobil mewah.

Melihat mangsanya lari, pria itu mendengus kesal menatap kepergian sang gadis. Tatapannya yang semula lembut kini berubah kental dengan aura permusuhan.

Tangannya mengepal geram, tahu bahwa langkahnya takkan mudah dalam mengintimidasi Yara, perempuan yang dulu dia kenal bernama Jiera.

Rencananya kali ini mungkin gagal, tetapi pria itu tak lantas menyerah.

"Jiera! Aku pasti mendapatkanmu lagi."

Sementara, di dalam mobil lain yang tengah menempuh perjalanan, gadis yang tadi menggelandang Yara duduk di balik kemudi. Dia terus menanyakan kondisi Yara yang masih bungkam sejak tadi.

"Apakah Anda baik saja, Nona? Maaf saya terlambat."

Yara masih belum bisa mencerna situasi. Dia hanya beberapa kali mengerjap. Setelah lima menit berlalu, kesadarannya baru muncul.

"B-baik. S-siapa, Anda?"

Kewaspadaan kembali melingkupinya. Yara bahkan mendekap tas dan box snack di depan dada. Tak lagi memikirkan isinya yang mungkin akan berantakan.

"Dewi. Malaikat penolong Anda pagi ini." Gadis penolong itu tersenyum sembari menoleh sekilas ke arah Yara yang duduk di belakangnya.

"H-haaah. Ehm, terima kasih. Tolong turunkan saya di depan sana saja."

"Saya akan mengantar Anda hingga tujuan. Kita hanya berhenti beberapa detik di tikungan tempat Anda membagikan itu."

Dewi menunjuk dengan jempolnya ke arah box yang Yara dekap.

Bagai dihipnotis, Yara mengangguk saja sembari menunduk melihat kotak besar yang dia dekap.

"Nah, sampai. Tidak perlu keluar, silakan ulurkan dari jendela saja, Nona."

Pintu mobil yang dikunci Dewi secara sentral membuat Yara terpaksa mengikuti anjuran Dewi.

Wajah anak jalanan yang ceria seraya melambai dan memanggilnya kakak adalah mood booster Yara setiap pagi.

"Dadah Kak Yara, bahagia dan banyak rezeki untuk Kakak." Tak lupa, mereka menghaturkan doa yang hampir sama setiap pagi.

Sebuah sapaan sederhana dari anak-anak itu mampu menemani keseharian Yara yang merasa sepi selama dalam pelarian. Senyum manis Yara juga lambaian tangannya dinanti mereka.

Kaca mobil pun kembali naik, perjalanan berlanjut hingga menuju kantor GC.

Namun, ada yang berbeda di kantor hari ini.

Sepanjang hari, Yara dianggap tiada oleh Andaru yang biasanya amat gemar mengerjainya.

Hingga waktunya pulang, Yara celingukan di lobby melihat sekitar. Dia berharap sosok yang dia takutkan tidak mengejarnya hingga ke sini.

Setelah dirasa aman, dia lalu bergegas menuju halte bus.

Hatinya lega begitu dia tiba di depan gerbang kost. Namun, betapa terkejutnya Yara manakala mendapati seorang pria tengah bicara dengan ibu kost di depan kamarnya.

‘Nggak! Nggak! Dia nggak boleh melihatku lagi!'

Yara panik, dia langsung berlari memanggil taksi yang kebetulan melintas, menuju rumah salah satu kenalannya di sini. Akan tetapi, nasib malang menimpa. Orang yang diharapkannya tak ada di tempat, membuat Yara tidak lagi punya tujuan untuk bersembunyi.

Akhirnya, dia memutuskan kembali ke kantor dan berniat bermalam di mushala lantai dasar. Dia akan kembali ke kostan besok petang, berharap situasi sudah lebih aman.

‘Yara? Ngapain dia balik lagi?’

**

“Bos, ada yang aneh dengan Yara.”

Rupanya, Bimo memergoki sekretaris Andaru menuju mushala karyawan. Dia membuntuti gadis itu dan mengintip sekilas, lalu berlalu pergi.

Andaru tak acuh, tapi dia memberikan sebuah tugas pada Bimo.

"Kerjakan!"

Bimo terkekeh. Ekspresi dan tindakan bosnya sungguh di luar prediksi. "Oke. Siap menjalankan misi. Bonus jangan lupa, Bos."

"Ndasmu, duit terooosss!"

Andaru berlalu pergi usai Bimo bergegas menjalankan misinya.

Namun, baru beberapa langkah, panggilan seorang pria menahannya.

"Daru!"

Andaru menoleh, menghampiri sang empu suara berat tadi. "Kek, kok ke sini?"

"Mana dia?" cecar Aryan Garvi, mengabaikan pertanyaan cucunya.

"Mushala. Lihat saja sendiri, tapi dia lagi ngambek. Aku tunggu di rumah, Kek."

Andaru meninggalkan lelaki senja itu sendirian, membiarkan kakeknya menemui si dia yang tengah berada di musala.

Aryan Garvi, sang pendiri Garvi Corp menuju lokasi yang Andaru sebutkan. Dia mengambil wudhu lalu salat sunah di sana.

Suara lembut gadis mengaji terdengar saat Aryan mengucap salam. Dia duduk sejenak menikmati suguhan yang membuat hatinya tentram.

Tak lama, Aryan bangkit mencari sumber suara.

Kakek Aryan menyembulkan kepala di balik tirai pembatas. "Siapa namamu?"

Yara mendongak. Celingukan ke kanan kiri mencari sosok lain, barangkali bukan dia yang diajak bicara.

"Iya, kamu, cah ayu."

"Saya Yara. Anda mencari seseorang, atau tersesat?” Yara bangkit dan menutup mushaf di tangannya. “Mari saya antar ke divisi tujuan."

Kakek Aryan tersenyum mendengar kalimat Yara. "Ndak usah. Saya kira tadi suara speaker Qur'an."

Yara mengerjap beberapa kali, mengangguk samar lalu melanjutkan mengaji guna menghalau gelisah.

Bada Maghrib, dia berniat mencari makan sekaligus meminta izin pada satpam agar tak mematikan lampu mushala dengan alasan lembur.

Namun, Yara dibuat terkejut saat melihat pria sore tadi muncul di depan lobby, sedang berbincang dengan satpam.

"Ya Allah ucapan dia gak main-main. Tolong, selamatkan aku."

Yara mengintip dan bersembunyi di balik tembok frontline.

"Terima tawaranku, kita menikah. Secepatnya."

Yara terlonjak kaget. Dia berbalik badan dan melihat sosok pimpinannya—Andaru, berdiri tak jauh darinya, masih lengkap dengan setelan kerja.

"Naik!" titahnya lagi seraya memberi isyarat agar Yara mengikutinya.

Sesampainya di ruangan atas. Andaru menyodorkan banyak dokumen yang membuat Yara membelalak. Namun, pria itu justru tersenyum menawan sambil berdiri menyandar pada meja seraya bersedekap.

"A-anda ...." Yara menunduk, mengepal geram. Sungguh pilihan sulit, karena sama-sama memiliki risiko.

Andaru menatap tajam gadis berhijab navy yang duduk di sofa. "Yes, or No? Ini tawaran terakhir, Yara!"

Comments (4)
goodnovel comment avatar
QIEV
Tim suksesnya Yara ini...
goodnovel comment avatar
QIEV
Wakakakak tim yesss
goodnovel comment avatar
Siti Chotijah
aqqquuuuu......yesss.........
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status