"Darimana Anda tahu semua ini?" tatap Yara nanar ke arah Andaru, dia tak percaya dengan data di tangannya. "Nggak mungkin, 'dia' bilang semua aman, tapi ini-" gumam Yara, menggeleng samar.
Seringai penuh kemenangan Andaru kian lebar melihat respon sekretarisnya itu. Dia lalu duduk di hadapan Yara seraya menyandarkan punggung serta menopang kaki, seakan mengukuhkan posisinya sebagai pemegang kendali."Deal, kan?" ujarnya.Yara mendongak, meletakkan dokumen tadi di atas meja. Putri Jaedy tidak ingin terlalu kentara bahwa dia terintimidasi oleh Andaru. "Deal apanya?" balas Yara ikut bersedekap disertai tatapan remeh.Cemas, tapi Yara ingin memastikan bahwa dirinya sedang tak melakoni peran dalam pepatah, lepas dari kandang harimau lalu masuk ke mulut buaya darat berdasi bagai sosok di hadapan."Ekspresi wajahmu itu sudah menjawab semua. Akad akan dilangsungkan besok siang bada duhur. Untuk hal lain, kau baca dulu ini," ucap Andaru dengan muka datar saat menyerahkan satu map ke atas meja.Yara mendengus. Ingin tak menyentuh file tersebut tapi kata hati mendorongnya melakukan hal di luar perintah otak. Dia membaca pelan.Tertulis jelas di sana, semua yang Andaru beri dinyatakan sebagai hadiah pernikahan untuknya tanpa perjanjian apapun. Binar mata Yara bersinar, bibir pun mengulas senyum samar, cita-citanya bakal satu per satu terwujud."Liat duit, langsung ijo!" sindir Andaru, mendecih melihat ekspresi sang sekretaris. "Oke, kan?!" tegasnya lagi.Yara menutup file tadi, lalu duduk tegak memberanikan diri menatap sang bos. "Nggak sabar amat." Seringai manis dia berikan untuk pria di hadapan.Andaru berdecak, dia terlalu buru-buru. "Ck, Ya kalau mau, andaipun enggak juga bukan aku yang rugi!" tegasnya kali ini, ikut menegakkan tubuhnya.Yara menghela napas dan berniat bangkit. "Sebegitu ingin Anda menikahiku, ada apa dibalik semua ini?" selidik Yara memicingkan kedua mata bulatnya.Andaru tak menjawab, akan jauh lebih aman bagi Yara jika tak mengetahui tujuan dia menikahinya. 'Karena kamu tangguh!'"Hoy! kamu melepaskan kesempatan ini begitu saja?" tanya Andaru menatap punggung Yara ketika menjauh.Gadis ayu itu berhenti sebelum menarik tuas pintu. Dia menoleh ke arah Andaru yang juga tak melepas pandang padanya. "Aku butuh wali nasab, Pak," ucap Yara lemah tidak sepercaya diri tadi. Mendadak hatinya diliputi kesedihan.Tiba-tiba menikah, jauh dari keluarga, bahkan sekedar mengabarkan pun tak mampu. Gadis itu menunduk, netranya mulai mengembun, tepat saat pintu ruangan Andaru menutup.**"Loh, Mbak Yara masih di sini? saya kira nggak jadi lembur," tegur satpam, saat melihat Yara baru keluar dari lift khusus pimpinan.Yara berhenti dan menoleh ke arah kanan. "Jadi, kok." Dia curiga, kepalanya celingukan. "Kenapa memangnya, Pak?" tanyanya lagi.Telunjuk pria sepuh itu mengarah ke luar lobby. "Tadi ada yang nyari, nunjukin foto mirip Mbak Yara." Dia melongok ke arah depan lalu menoleh ke kanan dan kiri. "Kayaknya masih di sana," imbuhnya.Yara terjengit. "Ter-us?" gagapnya seraya menggigit bibir bawah, jemari pun reflek memilin ujung pashmina karena gugup."Saya bilang, balik lagi aja besok pagi atau ditelepon minta ketemu," balas sang penjaga, dengan wajah tak bersalah.Yara menepuk jidat. "Mampus!" desisnya sambil menengadah. Dia lalu menghentakkan kakinya ke lantai seraya berbalik badan menghadap lift.Ingin marah tapi tidak tega melihat wajah tanpa dosa pak satpam. Lelaki ini tak tahu apapun."Saya salah, ya?" sambung satpam merasa ada yang aneh dengan respon gadis muda di hadapannya.Yara buru-buru memutar tubuh. Dia berdehem, menggeleng tapi kemudian mengangguk sambil cengengesan seperti biasa.Saat akan melangkah, sebuah suara dari arah belakang mengagetkannya. Lagi-lagi Yara membeku persis adegan kejadian lalu."Bada duhur, private room UnyilVista. Jangan telat!"Pria yang masih mengenakan setelan kerja itu melenggang melewatinya begitu saja, dengan tangan kiri yang dia masukkan ke dalam saku celana.Tiada pilihan, Yara menghempas napas kasar ke udara seakan melepas guratan nasib, kala menyusuri koridor menuju Musala.Malam terasa panjang dilalui. Dia tidak dapat tidur dengan baik hingga suara azan subuh dari ponselnya menyadarkan Yara yang masih mengantuk.Dia melangkah gontai menuju toilet, lalu menyemangati diri sendiri. "Bad day but keep going, Yara!" kepalan tangannya terangkat meski sedetik kemudian loyo lagi.Seakan tak terjadi percakapan apapun di antara mereka, keduanya bersikap biasa saja. Bahkan, Yara hampir tidak melihat sosok pimpinannya itu duduk di ruangan pagi ini.Menjelang duhur, debaran jantung mulai abnormal. Yara bolak balik toilet hingga membuat Arin terheran."Kenapa, Ra? sakit?" tanyanya saat melihat Yara kembali ke kubikel dan berkemas."Eh, nggak apa, Mbak. Aku izin keluar bentar, ya," ucap Yara tersenyum, sembari merapikan penampilannya. "Oh iya, tugasku sudah selesai, Mbak." Lalu menunjuk dengan ibu jari ke arah tumpukan file di meja Arin."Ehm. Hati-hati!" pesannya tepat saat gadis itu melambaikan tangan.Entah ini tindakan bodoh atau bukan, yang jelas saat Yara menyentuh basement, Dewi sudah menunggunya. Pun, ketika dia masuk ke gedung itu, Yara langsung digelandang menuju venue tanpa diberi kesempatan bertanya apapun."Sah!" Suara para saksi terdengar.Yara kini duduk seorang diri di dalam ruangan berdekorasi backdrop mawar putih dan babybreath. Buket bunga serupa pun telah dia genggam di atas pangkuan.Gamis putih dipadu tudung berenda bertengger cantik di atas kepalanya. Sapuan make up flawles oleh MuA kian menyempurnakan penampilan Yara Falmira siang itu.Sesaat dia mendengar nama aslinya di sebut lengkap dengan nasab sang ayah. Entah siapa walinya, Yara tidak tahu. Hati terlalu sibuk merapal doa agar pernikahan ini sah dimata hukum dan agama."A-ba, mama!" lirih Yara menunduk, meneteskan air matanya.Sekat ruangan terbuka, Andaru masuk sambil membawa dokumen legalitas yang harus Yara tanda tangani. Pria dewasa itu mengenakan setelan bagai dirinya, jubah putih di padu jas hitam serta kopiah.Sungguh tampan nan gagah. Yara terpesona sampai hampir lupa mengedip. "I-ini sah secara agama, kan?" tanya Yara gugup, sekilas melirik Andaru lalu menunduk menyembunyikan rona malu.Tangannya gemetar saat akan membubuhkan tanda tangan di atas kertas.Karena tak ada jawaban, Yara memastikan lagi. "P-pak!" Dia mendongakkan kepala pada sosok yang berdiri disampingnya."He-em! lekas Yara, ditunggu petugas," desak Andaru, menunjuk bagian kolom yang harus segera terisi.Petugas catatan sipil ikut masuk dengan dua orang pria lainnya yang Yara tak ketahui. Mereka meminta Andaru membacakan doa kebaikan setelah akad, menyerahkan mahar juga sighat untuk Yara."Alhamdulillah!" seru mereka serempak.Sapaan seseorang menjadi kejutan awal bagi Yara Falmira. "Cantiknya." Senyum sumringah pria sepuh untuk sang cucu menantu.Yara melihat ke arah suara. Dahinya mengernyit ketika berusaha mengingat beliau. "Anda?" tebaknya dengan menunjuk jempol ke arah Aryan Garvi. "Tuan Musala, kan?" ujar Yara tersenyum malu-malu.Tawa Aryan mengudara, panggilan Yara untuknya terdengar konyol. "Kamu lucu juga, Nduk!""Kakek Aryan, aku manggil beliau begitu," kata Andaru mengenalkan mereka. "Kek, lunas," imbuhnya melirik ke arah Yara."Eh, Kakek?" Yara menoleh bergantian ke arah Andaru dan Aryan. "Beliau pendiri GC?" tanya Yara lagi. Dia buru-buru menjulurkan tangan untuk salim saat Andaru mengangguki pertanyaannya.'Benarkah? tapi, terlihat berbeda dengan foto di company profil.'Aryan Garvi mengangguk-angguk senang disertai senyum lebar sehingga gigi emasnya terlihat. Dia lalu menerima uluran tangan istri cucunya itu sambil mengusap lembut kepala Yara.WO kemudian meminta pasangan pengantin berfoto agar momen bahagia terabadikan apik. Yara sangat grogi ketika bersentuhan pertama kalinya dengan Andaru. Bahkan, dia harus menahan napas kala fotografer meminta mereka saling berpandangan saat pose intim.'Ya Allah, aku jadi tahu warna manik mata pak Andaru dalam jarak sedekat ini. Pun, wangi napas juga parfumnya.'Deg. Deg.Belum juga reda dentum jantung akibat pose romantis barusan. Yara kembali dikejutkan oleh suara seseorang yang dia rindukan.Sosok itu tersenyum sumringah, berdiri di ambang penyekat ruangan bersama seorang lainnya. Sorot mata Yara seketika berkaca-kaca ketika pandangannya tak lagi terhalang oleh Andaru."Aku menepati janjiku," bisik Andaru. "Sambutlah," imbuhnya, menggenggam jemari Yara yang masih menempel di dadanya.Yara mendongak ke arah pria yang baru saja sah menjadi suaminya itu. "Te-teri-ma kassiih!" ucapnya terbata, seiring bulir bening jatuh di pipi.Andaru tersenyum, seulas senyum manis nan menawan kali pertamanya untuk Yara."Assalamualaikum," ucap beliau, merentangkan kedua lengan berharap ada yang menyambutnya.Lelehan air mata Yara kian deras, dia tertatih perlahan menghampiri. "W--".."Wa alaikumussalaam, Maa-maaa," balas Yara terbata. "Aku nggak mimpi, kan?" Anggukan samar serta senyum Jamila-ibu kandungnya, yang membentangkan kedua lengan, langsung Yara sambut. "Ma-maa!" Dia memeluk erat disertai isakan. "Mama!" sebut Yara berkali-kali."Anakku sayang," balas Jamila. Mendekap sang putri bungsu teriring tetes bening membasuh pipi. "Mama rindu." Jemari yang mulai mengeriput lalu mengusap lembut mulai dari kepala hingga punggung Yara. "Alhamdulillah, kita masih bisa bertemu." Wajah senja itu kemudian terbenam di pundak anak gadisnya.Kedua wanita melebur tangis serta kerinduan. Para pria yang berdiri di sana hanya mengulas senyum samar menyaksikan adegan tersebut. Andaru tahu sebagian kisah masa lalu istrinya itu. Tempo hari, dia meminta Bimo diam-diam menjemput keluarga Yara.Pelukan itupun perlahan terurai. Jamila merangkum wajah ayu putrinya dengan kedua telapak tangan. Memeta setiap inci rupa yang dirindukan. "Cantiknya anak mama." Dia lalu membubuhkan kecupan d
Bimo buru-buru menjawab panggilan yang menggantung tadi. "Tolong minta nomer ponselnya," ucap sang asisten.Sedetik kemudian, senyum mengembang menghias wajah Bimo ketika panggilan berakhir. Otaknya tanggap menyusun sebuah rencana untuk mengetahui motif pria itu."Saatnya misi pengalihan." Seringai tipis sang asisten masih terukir saat memasuki mobilnya.Suasana di ruang privat perlahan terasa akrab. Ekspresi Andaru pun berubah-ubah. Kadang tertawa, tersenyum bahkan mengejek Yara saat Jamila dan Jazli menceritakan masa kecil sang istri yang tidak diperoleh dari informannya."Oh, ternyata nyandu sama risoles?" Bibirnya membentuk huruf O seiring mata yang melebar melihat ke arah Jamila. "Pantas bekalnya sama setiap hari," kekeh Andaru.Risoles, kudapan favorit Yara sejak kecil. Jamila kerap mengajak putrinya belajar membuat kulit serta varian isi agar hasil masakan cantik dan nikmat. Karena hal itulah, Yara sangat ahli dalam membuat camilan satu ini.Kangen masakan mama, alasan yang mela
"Shiitt!" umpatnya.Dia menatap tajam ke arah dua orang satpam seraya menunjuk wajah mereka satu per satu. "Awas kalian!" ancamnya, sebelum berbalik badan menjauh.Langkahnya panjang dan tergesa menuju mobil. Dering ponsel yang membuatnya stres, sejenak berhenti tepat saat dia menarik gagang pintu. Namun, beberapa detik kemudian, benda itu berbunyi lagi.Sang pemilik netra sekelam malam, duduk dibalik kemudi mengatur napas agar terdengar wajar saat bicara. Dia perlahan menggeser tombol hijau setelah menghembus panjang. "Ya?" "Dimana?" suara berat terdengar di ujung sana, bersiap-siap melampiaskan emosi. "Jakarta." Dia menunggu respon lawan bicaranya sebelum melanjutkan. Tidak terdengar jawaban apapun, membuatnya bicara lagi, "Aku sedang berusaha, sabarlah," timpalnya mencoba mengulur waktu. "Satu pekan atau pesanan ditarik, sekaligus uang ganti rugi dan wanprestasi." Matanya membelalak. Dia buru-buru bicara, "Tunggu-" Tut. Terlambat, panggilan itu diputus sepihak. Pria di telepo
"Yakin, Bos!" tegasnya lagi. "Dia sudah masuk dalam pengawasan saya baik di sini dan ketika kembali nanti," imbuh sang informanAndaru mengangguk-angguk puas meski hatinya tidak yakin sampai kapan rencana ini akan bertahan. "Oke lanjutkan."Sebagai menantu almarhum, sudah menjadi kewajiban Andaru untuk berbakti dengan membantu urusan keluarga Yara. Terlebih dia mampu melakukan itu. Meskipun niatan sebelum menikah, sang CEO mengatakan sebaliknya.Pandangannya tertuju ke sekeliling sebelum bangkit. Dia melihat jam tangannya lalu meraih rokok dari atas meja dan keluar meninggalkan resto masih dengan ponsel yang menempel di telinga."Jam berapa eksekusi?" tanya Andaru lagi. Jemarinya menekan remote sambil terus melangkah mendekati mobil."Setelah makan siang," sahutnya cepat. "Tapi, saya sudah minta dia bekerja mulai malam ini, Bos," sambung sang informan.Pimpinan Garvi Corp telah duduk di belakang kemudi dan menutup pintu mobilnya, tanda harus mengakhiri sambungan udara dengan si pria di
"Dih, aneh," gerutu Yara melihat sikap Andaru tadi. Pintu lift terbuka, dia masuk dan disambut senyum beberapa penghuni di dalamnya. Seperti biasa, Dewi telah menunggunya di lobby apartemen. Gadis itu berjalan di depan sang nyonya muda menuju mobil. Kali ini, pakaian Dewi lebih kasual, sehingga mereka terlihat bagai rekan kerja.Yara memilih duduk di depan agar tidak terkesan bossy dan berharap dapat menjalin pertemanan. Yara hanya memiliki satu sahabat sejak kuliah. Fay, berada di divisi yang berbeda dengannya. Dari gadis itulah, dia mendapat informasi lowongan pekerjaan di Garvi Corp.Meski satu gedung, mereka jarang bersua karena kesibukan masing-masing. Sebelum tidur biasanya para gadis saling berkirim chat. Namun, beberapa hari ini dunia Yara teralihkan akibat seseorang, juga Andaru."Silakan, Nona." Dewi menurunkan kaca mobil bagian kiri."Eh!" Lamunan Yara buyar. Pandangan nyonya muda Garvi menyapu sekitar. Rupanya dia tak menyadari kapan mobil mereka berangkat dan kini tela
"Jiera?" ulangnya lagi, merangsek mendekati seseorang di hadapannya..Sang gadis berusaha bertindak senatural mungkin. Tangan kanannya terangkat mengacungkan keranjang sampah ke arah pria itu, lalu perlahan melangkah mundur.Kepalanya menggeleng samar, sorot mata wanita berhijab navy itu memicing tajam ke arah pria yang berdiri tak jauh darinya."Pergi! atau aku teriak," ancamnya seraya mengatupkan gigi, agar suaranya kian tegas."Pulang dulu yuk. Sebentar," bujuk sang pria, lembut seperti biasa.Suara yang disinyalir membawa angin buaian tak bakal mempan padanya. Perawakan sempurna lelaki dewasa nan maskulin di hadapan tentu sangat manjur membius gadis manapun untuk tunduk dengan mudah, terkecuali Yara. Pikirnya.Gadis cantik itu sebisa mungkin meminimalisir suara yang keluar dari mulutnya. Dia terus berusaha melangkah mundur hingga teras meski tertatih akibat batu kerikil yang tersebar di halaman kost, sesekali menusuk alas kakinya."Jiera!" sebutnya lagi.Tatapan tajam keduanya buya
"Sesuai keinginan kita, Bos." Bimo menceritakan perkembangan rencana mereka. "Meski lebih cepat dari prediksi," imbuhnya. "Ehm, dia bakal baik saja, kan?" tanya sang CEO, tersirat kekhawatiran dalam nada bicaranya."Semoga baik saja, Bos. Anak itu punya sedikit basic bela diri," imbuh Bimo.Andaru lega. "Oke. Jangan sampai membahayakan keluarga Yara," titahnya, lalu mematikan panggilan.Andaru masih berdiri di balkon kamar. Dia tengah berpikir, kisruh keluarga Yara hampir mencapai puncak sebentar lagi. Dia akan mengawal ini sampai tuntas sehingga misinya juga tercapai."Bisa-bisanya aku berpikir dia bakal menyerahkan diri dengan mudah." Andaru menyunggingkan senyum. "Apa ketampananku ini kurang memikatmu? Yara Falmira," gumamnya penuh percaya diri.Dia mengibaskan tangan seakan menepis pikiran konyolnya, sembari berbalik badan dan masuk ke kamar.Yara merasa percakapan Andaru dengan seseorang berkaitan dengannya. Dia sesekali melirik ke arah pria yang masih berada di balkon itu.Ponse
Brak. Pintu kamar itu menutup. Mendengar suara keponakan laki-lakinya, dia tergopoh keluar kamar."Mbak! Mbak!" sebut sang pria, pura-pura peduli pada Jamila."Mama!" seru Jazli, tak menghiraukan kicauan pamannya. Dia mengangkat tubuh Jamila meski tertatih. "Bentar Ali panggil dokter, ya," imbuh sang putra.Jamila mengangguk pelan, dia memegangi lengan Jazli erat. "Aku saja yang panggil dokter, Li." Pria itu lantas pergi, meminta salah satu pekerja memanggil dokter pribadi Jamila.Jazli membaringkan tubuh ibunya ke ranjang. Menyeka keringat dari dahi Jamila, memasang selang oksigen, lalu menyalakan pendingin ruangan. Setelah nafas sang mama kembali teratur, Jazli duduk di sisi ranjang. Dia memijat lembut tangan dan kaki Jamila, masih belum berani bertanya tentang kejadian barusan.Tak lama, dokter pun tiba. Kedua pria itu menepi sesaat, agar wanita berjas putih leluasa memeriksa pasien."Mama gimana, Dok?" tanya Jazli, saat melihat dokter muda itu selesai."Shock ringan, lusa wajib