Share

BAB 5. DEAL!

"Darimana Anda tahu semua ini?" tatap Yara nanar ke arah Andaru, dia tak percaya dengan data di tangannya. "Nggak mungkin, 'dia' bilang semua aman, tapi ini-" gumam Yara, menggeleng samar.

Seringai penuh kemenangan Andaru kian lebar melihat respon sekretarisnya itu. Dia lalu duduk di hadapan Yara seraya menyandarkan punggung serta menopang kaki, seakan mengukuhkan posisinya sebagai pemegang kendali.

"Deal, kan?" ujarnya.

Yara mendongak, meletakkan dokumen tadi di atas meja. Putri Jaedy tidak ingin terlalu kentara bahwa dia terintimidasi oleh Andaru. "Deal apanya?" balas Yara ikut bersedekap disertai tatapan remeh.

Cemas, tapi Yara ingin memastikan bahwa dirinya sedang tak melakoni peran dalam pepatah, lepas dari kandang harimau lalu masuk ke mulut buaya darat berdasi bagai sosok di hadapan.

"Ekspresi wajahmu itu sudah menjawab semua. Akad akan dilangsungkan besok siang bada duhur. Untuk hal lain, kau baca dulu ini," ucap Andaru dengan muka datar saat menyerahkan satu map ke atas meja.

Yara mendengus. Ingin tak menyentuh file tersebut tapi kata hati mendorongnya melakukan hal di luar perintah otak. Dia membaca pelan.

Tertulis jelas di sana, semua yang Andaru beri dinyatakan sebagai hadiah pernikahan untuknya tanpa perjanjian apapun. Binar mata Yara bersinar, bibir pun mengulas senyum samar, cita-citanya bakal satu per satu terwujud.

"Liat duit, langsung ijo!" sindir Andaru, mendecih melihat ekspresi sang sekretaris. "Oke, kan?!" tegasnya lagi.

Yara menutup file tadi, lalu duduk tegak memberanikan diri menatap sang bos. "Nggak sabar amat." Seringai manis dia berikan untuk pria di hadapan.

Andaru berdecak, dia terlalu buru-buru. "Ck, Ya kalau mau, andaipun enggak juga bukan aku yang rugi!" tegasnya kali ini, ikut menegakkan tubuhnya.

Yara menghela napas dan berniat bangkit. "Sebegitu ingin Anda menikahiku, ada apa dibalik semua ini?" selidik Yara memicingkan kedua mata bulatnya.

Andaru tak menjawab, akan jauh lebih aman bagi Yara jika tak mengetahui tujuan dia menikahinya. 'Karena kamu tangguh!'

"Hoy! kamu melepaskan kesempatan ini begitu saja?" tanya Andaru menatap punggung Yara ketika menjauh.

Gadis ayu itu berhenti sebelum menarik tuas pintu. Dia menoleh ke arah Andaru yang juga tak melepas pandang padanya. "Aku butuh wali nasab, Pak," ucap Yara lemah tidak sepercaya diri tadi. Mendadak hatinya diliputi kesedihan.

Tiba-tiba menikah, jauh dari keluarga, bahkan sekedar mengabarkan pun tak mampu. Gadis itu menunduk, netranya mulai mengembun, tepat saat pintu ruangan Andaru menutup.

**

"Loh, Mbak Yara masih di sini? saya kira nggak jadi lembur," tegur satpam, saat melihat Yara baru keluar dari lift khusus pimpinan.

Yara berhenti dan menoleh ke arah kanan. "Jadi, kok." Dia curiga, kepalanya celingukan. "Kenapa memangnya, Pak?" tanyanya lagi.

Telunjuk pria sepuh itu mengarah ke luar lobby. "Tadi ada yang nyari, nunjukin foto mirip Mbak Yara." Dia melongok ke arah depan lalu menoleh ke kanan dan kiri. "Kayaknya masih di sana," imbuhnya.

Yara terjengit. "Ter-us?" gagapnya seraya menggigit bibir bawah, jemari pun reflek memilin ujung pashmina karena gugup.

"Saya bilang, balik lagi aja besok pagi atau ditelepon minta ketemu," balas sang penjaga, dengan wajah tak bersalah.

Yara menepuk jidat. "Mampus!" desisnya sambil menengadah. Dia lalu menghentakkan kakinya ke lantai seraya berbalik badan menghadap lift.

Ingin marah tapi tidak tega melihat wajah tanpa dosa pak satpam. Lelaki ini tak tahu apapun.

"Saya salah, ya?" sambung satpam merasa ada yang aneh dengan respon gadis muda di hadapannya.

Yara buru-buru memutar tubuh. Dia berdehem, menggeleng tapi kemudian mengangguk sambil cengengesan seperti biasa.

Saat akan melangkah, sebuah suara dari arah belakang mengagetkannya. Lagi-lagi Yara membeku persis adegan kejadian lalu.

"Bada duhur, private room UnyilVista. Jangan telat!"

Pria yang masih mengenakan setelan kerja itu melenggang melewatinya begitu saja, dengan tangan kiri yang dia masukkan ke dalam saku celana.

Tiada pilihan, Yara menghempas napas kasar ke udara seakan melepas guratan nasib, kala menyusuri koridor menuju Musala.

Malam terasa panjang dilalui. Dia tidak dapat tidur dengan baik hingga suara azan subuh dari ponselnya menyadarkan Yara yang masih mengantuk.

Dia melangkah gontai menuju toilet, lalu menyemangati diri sendiri. "Bad day but keep going, Yara!" kepalan tangannya terangkat meski sedetik kemudian loyo lagi.

Seakan tak terjadi percakapan apapun di antara mereka, keduanya bersikap biasa saja. Bahkan, Yara hampir tidak melihat sosok pimpinannya itu duduk di ruangan pagi ini.

Menjelang duhur, debaran jantung mulai abnormal. Yara bolak balik toilet hingga membuat Arin terheran.

"Kenapa, Ra? sakit?" tanyanya saat melihat Yara kembali ke kubikel dan berkemas.

"Eh, nggak apa, Mbak. Aku izin keluar bentar, ya," ucap Yara tersenyum, sembari merapikan penampilannya. "Oh iya, tugasku sudah selesai, Mbak." Lalu menunjuk dengan ibu jari ke arah tumpukan file di meja Arin.

"Ehm. Hati-hati!" pesannya tepat saat gadis itu melambaikan tangan.

Entah ini tindakan bodoh atau bukan, yang jelas saat Yara menyentuh basement, Dewi sudah menunggunya. Pun, ketika dia masuk ke gedung itu, Yara langsung digelandang menuju venue tanpa diberi kesempatan bertanya apapun.

"Sah!" Suara para saksi terdengar.

Yara kini duduk seorang diri di dalam ruangan berdekorasi backdrop mawar putih dan babybreath. Buket bunga serupa pun telah dia genggam di atas pangkuan.

Gamis putih dipadu tudung berenda bertengger cantik di atas kepalanya. Sapuan make up flawles oleh MuA kian menyempurnakan penampilan Yara Falmira siang itu.

Sesaat dia mendengar nama aslinya di sebut lengkap dengan nasab sang ayah. Entah siapa walinya, Yara tidak tahu. Hati terlalu sibuk merapal doa agar pernikahan ini sah dimata hukum dan agama.

"A-ba, mama!" lirih Yara menunduk, meneteskan air matanya.

Sekat ruangan terbuka, Andaru masuk sambil membawa dokumen legalitas yang harus Yara tanda tangani. Pria dewasa itu mengenakan setelan bagai dirinya, jubah putih di padu jas hitam serta kopiah.

Sungguh tampan nan gagah. Yara terpesona sampai hampir lupa mengedip. "I-ini sah secara agama, kan?" tanya Yara gugup, sekilas melirik Andaru lalu menunduk menyembunyikan rona malu.

Tangannya gemetar saat akan membubuhkan tanda tangan di atas kertas.

Karena tak ada jawaban, Yara memastikan lagi. "P-pak!" Dia mendongakkan kepala pada sosok yang berdiri disampingnya.

"He-em! lekas Yara, ditunggu petugas," desak Andaru, menunjuk bagian kolom yang harus segera terisi.

Petugas catatan sipil ikut masuk dengan dua orang pria lainnya yang Yara tak ketahui. Mereka meminta Andaru membacakan doa kebaikan setelah akad, menyerahkan mahar juga sighat untuk Yara.

"Alhamdulillah!" seru mereka serempak.

Sapaan seseorang menjadi kejutan awal bagi Yara Falmira. "Cantiknya." Senyum sumringah pria sepuh untuk sang cucu menantu.

Yara melihat ke arah suara. Dahinya mengernyit ketika berusaha mengingat beliau. "Anda?" tebaknya dengan menunjuk jempol ke arah Aryan Garvi. "Tuan Musala, kan?" ujar Yara tersenyum malu-malu.

Tawa Aryan mengudara, panggilan Yara untuknya terdengar konyol. "Kamu lucu juga, Nduk!"

"Kakek Aryan, aku manggil beliau begitu," kata Andaru mengenalkan mereka. "Kek, lunas," imbuhnya melirik ke arah Yara.

"Eh, Kakek?" Yara menoleh bergantian ke arah Andaru dan Aryan. "Beliau pendiri GC?" tanya Yara lagi. Dia buru-buru menjulurkan tangan untuk salim saat Andaru mengangguki pertanyaannya.

'Benarkah? tapi, terlihat berbeda dengan foto di company profil.'

Aryan Garvi mengangguk-angguk senang disertai senyum lebar sehingga gigi emasnya terlihat. Dia lalu menerima uluran tangan istri cucunya itu sambil mengusap lembut kepala Yara.

WO kemudian meminta pasangan pengantin berfoto agar momen bahagia terabadikan apik. Yara sangat grogi ketika bersentuhan pertama kalinya dengan Andaru. Bahkan, dia harus menahan napas kala fotografer meminta mereka saling berpandangan saat pose intim.

'Ya Allah, aku jadi tahu warna manik mata pak Andaru dalam jarak sedekat ini. Pun, wangi napas juga parfumnya.'

Deg. Deg.

Belum juga reda dentum jantung akibat pose romantis barusan. Yara kembali dikejutkan oleh suara seseorang yang dia rindukan.

Sosok itu tersenyum sumringah, berdiri di ambang penyekat ruangan bersama seorang lainnya. Sorot mata Yara seketika berkaca-kaca ketika pandangannya tak lagi terhalang oleh Andaru.

"Aku menepati janjiku," bisik Andaru. "Sambutlah," imbuhnya, menggenggam jemari Yara yang masih menempel di dadanya.

Yara mendongak ke arah pria yang baru saja sah menjadi suaminya itu. "Te-teri-ma kassiih!" ucapnya terbata, seiring bulir bening jatuh di pipi.

Andaru tersenyum, seulas senyum manis nan menawan kali pertamanya untuk Yara.

"Assalamualaikum," ucap beliau, merentangkan kedua lengan berharap ada yang menyambutnya.

Lelehan air mata Yara kian deras, dia tertatih perlahan menghampiri. "W--"

.

.

Comments (4)
goodnovel comment avatar
QIEV
Aduddududu
goodnovel comment avatar
QIEV
Alhamdulillah selalu.
goodnovel comment avatar
Siti Chotijah
Ndak th itu cp,tp koq pngn ikut nangis🥹🥹🥹🥹
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status