Bimo buru-buru menjawab panggilan yang menggantung tadi. "Tolong minta nomer ponselnya," ucap sang asisten.
Sedetik kemudian, senyum mengembang menghias wajah Bimo ketika panggilan berakhir. Otaknya tanggap menyusun sebuah rencana untuk mengetahui motif pria itu."Saatnya misi pengalihan." Seringai tipis sang asisten masih terukir saat memasuki mobilnya.Suasana di ruang privat perlahan terasa akrab. Ekspresi Andaru pun berubah-ubah. Kadang tertawa, tersenyum bahkan mengejek Yara saat Jamila dan Jazli menceritakan masa kecil sang istri yang tidak diperoleh dari informannya."Oh, ternyata nyandu sama risoles?" Bibirnya membentuk huruf O seiring mata yang melebar melihat ke arah Jamila. "Pantas bekalnya sama setiap hari," kekeh Andaru.Risoles, kudapan favorit Yara sejak kecil. Jamila kerap mengajak putrinya belajar membuat kulit serta varian isi agar hasil masakan cantik dan nikmat. Karena hal itulah, Yara sangat ahli dalam membuat camilan satu ini.Kangen masakan mama, alasan yang melatari Yara selalu membuat risoles setiap pagi untuk dibagikan ke anak jalanan, sebagai bekal, sekaligus pengobat rindu.Yara mendengus kesal, wajahnya ditekuk hingga bibir tipis itu terlihat cemberut. "Maa! Kaak!" rengekya saat ibu dan Jazli menguliti habis-habisan.Bos sekaligus suaminya itu duduk di sebelah kanan mama, sementara Yara berada di kiri. Dia diapit oleh Andaru dan Aryan, berhadapan dengan keluarganya.Lirikan penuh makna Andaru ditangkap oleh mata bulat Yara, lelaki itu seakan mengatakan, "Kena, kamu!"Yara mendesis, sesekali melotot ke arahnya jika kaki Andaru menyenggol ujung sepatu dari bawah meja. "Ish! Nggak ngaruh!" decak Yara.Namun, alih-alih berhenti, sikap Yara malah dijadikan bulan-bulanan para anggota keluarga di sana."Ciyeee! Yara malu-malu," goda Aryan, menyenggol lengan cucu mantunya.Setelah ashar, pasangan Garvi berniat mengantar keluarga Yara kembali ke Bandara. Andaru berpesan pada Jazli untuk mendampingi mama di rumah, toh, dia sudah lulus kuliah dan menjadi khidmah selama 3 tahun di pesantrennya."Tolong ya, Kak," kata Andaru, menepuk lengan Jazli. "Pura-pura nggak tahu aja," sambungnya seraya berbisik saat mereka memutari mobil.Jamila sudah duduk di mobil, Yara berdiri disamping kanan jok belakang, berat melepas ibunya pulang tapi ini adalah keputusan terbaik. Linangan air mata pun mulai menggenang lagi, Sang gadis lalu bersimpuh, meraih dan menggenggam jemari Jamila."Maafin aku," lirihnya sambil menunduk menyembunyikan tangis yang akan muncul. "Pelan-pelan semua masalah ini bakal beres," ucap Yara, mendongak perlahan sehingga tetes butir beningnya turun."Iya. Mama tahu, putri kami semata ingin melindungi diri." Jamila menyeka air mata dari wajah Yara. Senyum teduhnya terbit, dia lalu membubuhkan kecupan di dahi si anak bungsu. "Mama pulang dulu, sampai ketemu lagi, Sayang," lirihnya.Keduanya saling memeluk, menguatkan satu sama lain. Sementara para pria berbincang di sisi mobil sebelah kiri."In sya Allah, Mas," jawab Jazli, mengangguk. "Titip dia. Samawa, ya." Lirikan dan senyum menawan Jazli, persis Yara, terulas jelas ketika dia memasuki mobil.Andaru mengangguki ucapan kakak iparnya, meski dalam hati tidak yakin akan menjalani pernikahan ini dengan mudah.Dia memutari mobil, lalu menggamit pinggang Yara sedikit menjauh. Ketukan di kap mobil oleh Aryan, menjadi tanda agar kendaraan itu melaju perlahan. Lambaian tangan Yara terangkat ke udara, melepas pergi keluarga yang masih dia rindukan.Tak lama setelah itu, Mercedes Benz berhenti tepat di depan mereka. Aryan bergegas membuka pintu bagian depan dan masuk ke dalamnya. "Duluan, ya."Andaru mengetuk kaca mobil kakek Aryan, dua kali. "Mau langsung balik ke Jogja, Kek?" tanya sang cucu.Aryan menurunkan kaca mobil, mendelik ke arah Andaru. "Enggaklah." Senyum jahilnya muncul.Andaru memutar bola mata jengah. "Ngapain lagi, sih? kan udah lunas," ujarnya.Kekehan pria tua itu terdengar. Kerlingan mata nakalnya menjadi penyedap niatan Aryan. "Mau ngawal proses produksi cicit."Huft.CEO GC menghela nafas sambil mengibaskan tangannya, meminta supir segera jalan. Tawa pria tua itu masih terdengar bertepatan ketika kaca mobil menutup.Yara melongo mendengar hal tersebut, telunjuknya diangkat hendak bertanya. "P-pak?" lirihnya.Andaru melirik. "Apalagi?" ketusnya. Tangan kanan itu lalu terangkat ke udara memanggil seseorang."Beneran tinggal serumah?" cicit Yara, mulai takut bila harus tunduk pada semua ucapan Andaru saat di Semarang."Hem, biar irit!" jawab Andaru asal, sambil melihat jam tangannya.Yara bengong, mengerjap beberapa kali mendengar jawaban tadi. 'Nggak salah?' satu sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk senyum remeh. "Bersyanda!"Dia lalu memainkan ujung kuku jemari, menunduk melihat ke pucuk sepatu dari balik gamis. "Pisah kamar, kan?""Nggak denger apa kata kakek tadi?" Andaru bergegas melangkah maju, menarik tuas pintu mobil yang dikendarai Dewi saat berhenti tepat di hadapan. "Yara!" panggilnya.Gadis itu mendongak. "Ke mana?""Kerja!" Kepalanya meneleng ke kiri, isyarat agar Yara lekas masuk mobil."Yaelah, Pak." Yara menghentakkan kaki saat melangkah, ogah kembali ke kantor dengan baju seperti ini. "Lumayanan amat, sejam lagi juga bubar," gerutunya memanyunkan bibir ke arah Andaru."Ganti di jalan. Dilarang makan gaji buta!" Andaru menatap tajam Yara si pembantah.Bluk. Pintu mobil ditutup kencang sang CEO.Kepergian Honda city membuat Andaru bergegas menuju mobilnya. Dia lantas mengaktifkan ponsel tepat saat pintu Porche Baxter menutup. Chat dari Bimo menjadi pilihan pertama yang dia buka.Pesan suara sang asisten mengudara. "Bos, izin melakukan 'operasi plastik' esok di jam istirahat."Beberapa gambar dan rekaman suara telah Andaru lihat dan dengar. Dia mengangguk meski Bimo tak melihatnya."Bagus, Bim. Aku oke," ucap Andaru sembari mengetik pesan balasan untuk sang asisten.Mobil sport itu lalu meninggalkan basemen menuju salah satu resto hotel mewah. Dia akan bertemu klien untuk menanyakan sesuatu yang menjadi motif terkuat pria itu mencari Yara.Sementara di kantor.Sang tamu misterius masih ada di basement, memutar pandangan dari dalam mobilnya berharap menemukan celah pintu keluar lain. Dia penasaran karena tidak melihat Yara keluar masuk gedung megah itu."Nggak mungkin kalau pindah kerja," gumamnya dengan telunjuk menempel di bibir. "Kris bilang tidak ada pergerakan dia pergi dari sini."Bosan menunggu, dia memukul stir mobilnya karena kesal. Cara halus ternyata tidak membuahkan hasil. Dia sudah terlalu lama meninggalkan Semarang demi mencari Yara, sementara tagihan mulai intens muncul dari berbagai kalangan.Saat kunci starter dia putar, mobil SUV hitam dengan kaca hitam pekat masuk ke basement, melintas di sisinya. Netra elang Anton mengikuti ke mana arah perginya kendaraan itu. Entah mengapa dia penasaran."Parkir di tempat khusus?" ucapnya seraya menoleh ke arah belakang, memastikan penglihatan.Pintu bagian belakang mobil itu perlahan dibuka seorang gadis. Tak lama, muncul sosok berhijab mengenakan setelan kerja abu tua. Meski wajahnya tertutup masker tapi dia dapat mengenali postur idamannya itu."Sayangku!" sebutnya menyeringai lebar. Dia lalu menarik tuas pintu perlahan agar tak menimbulkan suara, mengendap ke arah mereka.Tiba-tiba dari arah samping, saat Yara sedang berjalan bersama Dewi menuju pintu gedung dari arah basemen, seseorang merentangkan lengan sehingga Yara tersentak dan berhenti."Hai, ketemu lagi!"Bluk. Tas tangan Yara jatuh. Dia panik dan berlari ke belakang tubuh Dewi, menunduk takut. Tanpa sadar meremat kuat lengan sang gadis hingga meringis. Tubuhnya bergetar halus, pria ini adalah kelemahan terbesar Yara Falmira."Stay away!" Dewi menunjuk ke arah pria di hadapan. "Security!" teriaknya. Tangan kanan gadis itu menekuk ke arah belakang, melindungi Yara.Derap langkah terdengar mendekat."Dia?" tanya satpam. Anggukan Dewi membuat petugas langsung mencekal kedua tangan pria itu ke belakang tubuhnya.Gegas, Dewi menggiring pelan Yara masuk ke dalam, tak lupa membawa tas tangan sang nyonya muda Garvi."Aku nggak salah!" Pria itu melawan dengan menyikutan lengannya mengenai dada si petugas. "Ugh!" cekalan pun tak lagi kuat akibat menahan sakit.Napas pria itu tersenggal saat melepaskan diri. Dia hendak mengejar Yara tapi barikade satpam menghadangnya di ambang pintu basement. Aksi saling tatap pun terjadi."Silakan tinggalkan gedung ini, Pak!" seru beberapa satpam.Kriing. Ponselnya berdering. Dia mengeluarkan benda pipih dari saku celana, masih dengan sisa napas memburu. Sebuah nomer asing muncul, membuat wajah tampan itu seketika memucat."Shiitt!".."Shiitt!" umpatnya.Dia menatap tajam ke arah dua orang satpam seraya menunjuk wajah mereka satu per satu. "Awas kalian!" ancamnya, sebelum berbalik badan menjauh.Langkahnya panjang dan tergesa menuju mobil. Dering ponsel yang membuatnya stres, sejenak berhenti tepat saat dia menarik gagang pintu. Namun, beberapa detik kemudian, benda itu berbunyi lagi.Sang pemilik netra sekelam malam, duduk dibalik kemudi mengatur napas agar terdengar wajar saat bicara. Dia perlahan menggeser tombol hijau setelah menghembus panjang. "Ya?" "Dimana?" suara berat terdengar di ujung sana, bersiap-siap melampiaskan emosi. "Jakarta." Dia menunggu respon lawan bicaranya sebelum melanjutkan. Tidak terdengar jawaban apapun, membuatnya bicara lagi, "Aku sedang berusaha, sabarlah," timpalnya mencoba mengulur waktu. "Satu pekan atau pesanan ditarik, sekaligus uang ganti rugi dan wanprestasi." Matanya membelalak. Dia buru-buru bicara, "Tunggu-" Tut. Terlambat, panggilan itu diputus sepihak. Pria di telepo
"Yakin, Bos!" tegasnya lagi. "Dia sudah masuk dalam pengawasan saya baik di sini dan ketika kembali nanti," imbuh sang informanAndaru mengangguk-angguk puas meski hatinya tidak yakin sampai kapan rencana ini akan bertahan. "Oke lanjutkan."Sebagai menantu almarhum, sudah menjadi kewajiban Andaru untuk berbakti dengan membantu urusan keluarga Yara. Terlebih dia mampu melakukan itu. Meskipun niatan sebelum menikah, sang CEO mengatakan sebaliknya.Pandangannya tertuju ke sekeliling sebelum bangkit. Dia melihat jam tangannya lalu meraih rokok dari atas meja dan keluar meninggalkan resto masih dengan ponsel yang menempel di telinga."Jam berapa eksekusi?" tanya Andaru lagi. Jemarinya menekan remote sambil terus melangkah mendekati mobil."Setelah makan siang," sahutnya cepat. "Tapi, saya sudah minta dia bekerja mulai malam ini, Bos," sambung sang informan.Pimpinan Garvi Corp telah duduk di belakang kemudi dan menutup pintu mobilnya, tanda harus mengakhiri sambungan udara dengan si pria di
"Dih, aneh," gerutu Yara melihat sikap Andaru tadi. Pintu lift terbuka, dia masuk dan disambut senyum beberapa penghuni di dalamnya. Seperti biasa, Dewi telah menunggunya di lobby apartemen. Gadis itu berjalan di depan sang nyonya muda menuju mobil. Kali ini, pakaian Dewi lebih kasual, sehingga mereka terlihat bagai rekan kerja.Yara memilih duduk di depan agar tidak terkesan bossy dan berharap dapat menjalin pertemanan. Yara hanya memiliki satu sahabat sejak kuliah. Fay, berada di divisi yang berbeda dengannya. Dari gadis itulah, dia mendapat informasi lowongan pekerjaan di Garvi Corp.Meski satu gedung, mereka jarang bersua karena kesibukan masing-masing. Sebelum tidur biasanya para gadis saling berkirim chat. Namun, beberapa hari ini dunia Yara teralihkan akibat seseorang, juga Andaru."Silakan, Nona." Dewi menurunkan kaca mobil bagian kiri."Eh!" Lamunan Yara buyar. Pandangan nyonya muda Garvi menyapu sekitar. Rupanya dia tak menyadari kapan mobil mereka berangkat dan kini tela
"Jiera?" ulangnya lagi, merangsek mendekati seseorang di hadapannya..Sang gadis berusaha bertindak senatural mungkin. Tangan kanannya terangkat mengacungkan keranjang sampah ke arah pria itu, lalu perlahan melangkah mundur.Kepalanya menggeleng samar, sorot mata wanita berhijab navy itu memicing tajam ke arah pria yang berdiri tak jauh darinya."Pergi! atau aku teriak," ancamnya seraya mengatupkan gigi, agar suaranya kian tegas."Pulang dulu yuk. Sebentar," bujuk sang pria, lembut seperti biasa.Suara yang disinyalir membawa angin buaian tak bakal mempan padanya. Perawakan sempurna lelaki dewasa nan maskulin di hadapan tentu sangat manjur membius gadis manapun untuk tunduk dengan mudah, terkecuali Yara. Pikirnya.Gadis cantik itu sebisa mungkin meminimalisir suara yang keluar dari mulutnya. Dia terus berusaha melangkah mundur hingga teras meski tertatih akibat batu kerikil yang tersebar di halaman kost, sesekali menusuk alas kakinya."Jiera!" sebutnya lagi.Tatapan tajam keduanya buya
"Sesuai keinginan kita, Bos." Bimo menceritakan perkembangan rencana mereka. "Meski lebih cepat dari prediksi," imbuhnya. "Ehm, dia bakal baik saja, kan?" tanya sang CEO, tersirat kekhawatiran dalam nada bicaranya."Semoga baik saja, Bos. Anak itu punya sedikit basic bela diri," imbuh Bimo.Andaru lega. "Oke. Jangan sampai membahayakan keluarga Yara," titahnya, lalu mematikan panggilan.Andaru masih berdiri di balkon kamar. Dia tengah berpikir, kisruh keluarga Yara hampir mencapai puncak sebentar lagi. Dia akan mengawal ini sampai tuntas sehingga misinya juga tercapai."Bisa-bisanya aku berpikir dia bakal menyerahkan diri dengan mudah." Andaru menyunggingkan senyum. "Apa ketampananku ini kurang memikatmu? Yara Falmira," gumamnya penuh percaya diri.Dia mengibaskan tangan seakan menepis pikiran konyolnya, sembari berbalik badan dan masuk ke kamar.Yara merasa percakapan Andaru dengan seseorang berkaitan dengannya. Dia sesekali melirik ke arah pria yang masih berada di balkon itu.Ponse
Brak. Pintu kamar itu menutup. Mendengar suara keponakan laki-lakinya, dia tergopoh keluar kamar."Mbak! Mbak!" sebut sang pria, pura-pura peduli pada Jamila."Mama!" seru Jazli, tak menghiraukan kicauan pamannya. Dia mengangkat tubuh Jamila meski tertatih. "Bentar Ali panggil dokter, ya," imbuh sang putra.Jamila mengangguk pelan, dia memegangi lengan Jazli erat. "Aku saja yang panggil dokter, Li." Pria itu lantas pergi, meminta salah satu pekerja memanggil dokter pribadi Jamila.Jazli membaringkan tubuh ibunya ke ranjang. Menyeka keringat dari dahi Jamila, memasang selang oksigen, lalu menyalakan pendingin ruangan. Setelah nafas sang mama kembali teratur, Jazli duduk di sisi ranjang. Dia memijat lembut tangan dan kaki Jamila, masih belum berani bertanya tentang kejadian barusan.Tak lama, dokter pun tiba. Kedua pria itu menepi sesaat, agar wanita berjas putih leluasa memeriksa pasien."Mama gimana, Dok?" tanya Jazli, saat melihat dokter muda itu selesai."Shock ringan, lusa wajib
Yara tiba tepat saat Andaru menuju lift. Dia menunggu gadis itu turun dari mobil lalu menyeret lengannya."Lepas!" Yara memukul punggung Andaru dengan tas tangan."Siput, lamban!" gerutunya, terus berjalan tak melepas cekalan.Keduanya lalu saling diam ketika telah di dalam kotak besi yang perlahan naik. Andaru hanya melirik wanita yang berdiri disampingnya, mencuri pandang penampilan Yara malam ini. Mereka pergi terpisah sehingga tidak memperhatikan satu sama lain.Ingin bertanya perihal Dean tapi mulut sang CEO terkunci rapat. Begitupun Yara, hendak menegaskan siapa sosok cantik nan menggoda di pesta tadi, akan tetapi dia terlalu malas menerima cibiran Andaru setelahnya.Saling bungkam dan gengsi, menyertai perjalanan pasangan Garvi menuju lantai 15. Yara berjalan lebih dulu saat pintu lift terbuka. Dia bergegas menuju unit mereka guna mengambil alih kamar mandi sebelum Andaru masuk. Tubuhnya lelah, dan besok dia harus bangun lebih pagi.Tiada percakapan lagi setelah keduanya berada
"Lepaskan!" seru Jazli, berdiri di depan pintu seraya menunjuk ke arah pamannya. Sejak sang paman pergi pagi tadi, dia memeriksa kamarnya tapi tak menemukan gadis yang Jamila ceritakan. Ternyata, pria ini memiliki satu ruang rahasia dalam biliknya. Pantas saja saat itu, Jiera sulit ditemukan dan Jaedy murka kala menemukan foto vulgar putrinya.Pelakunya terlalu pintar dan sangat mengerti seluk beluk isi rumah serta watak sang ayah, hingga semudah itu diperdaya dan Jiera menjadi korban.Jazli juga meminta orang untuk membuntuti beliau tapi sepanjang hari ini, tidak ditemukan lokasi penyekapan si gadis."Kamu mau ikutan, Li?" ucapnya sambil melirik si gadis. "Aku dulu tapi, ya. Itung-itung kamu latihan sebelum sah." Jazli menatap geram, tangannya mengepal disamping tubuh hingga otot leher pria kalem ini menegang. Rasa jijik menjalar membayangkan kelakuan bejat pamannya. Namun, dia harus menyelamatkan gadis ini lebih dulu."Mbak. Mbaaakkk!" panggil Jazli pada asisten rumah tangga mereka