Share

BAB 7. KELEMAHAN TERBESAR

Bimo buru-buru menjawab panggilan yang menggantung tadi. "Tolong minta nomer ponselnya," ucap sang asisten.

Sedetik kemudian, senyum mengembang menghias wajah Bimo ketika panggilan berakhir. Otaknya tanggap menyusun sebuah rencana untuk mengetahui motif pria itu.

"Saatnya misi pengalihan." Seringai tipis sang asisten masih terukir saat memasuki mobilnya.

Suasana di ruang privat perlahan terasa akrab. Ekspresi Andaru pun berubah-ubah. Kadang tertawa, tersenyum bahkan mengejek Yara saat Jamila dan Jazli menceritakan masa kecil sang istri yang tidak diperoleh dari informannya.

"Oh, ternyata nyandu sama risoles?" Bibirnya membentuk huruf O seiring mata yang melebar melihat ke arah Jamila. "Pantas bekalnya sama setiap hari," kekeh Andaru.

Risoles, kudapan favorit Yara sejak kecil. Jamila kerap mengajak putrinya belajar membuat kulit serta varian isi agar hasil masakan cantik dan nikmat. Karena hal itulah, Yara sangat ahli dalam membuat camilan satu ini.

Kangen masakan mama, alasan yang melatari Yara selalu membuat risoles setiap pagi untuk dibagikan ke anak jalanan, sebagai bekal, sekaligus pengobat rindu.

Yara mendengus kesal, wajahnya ditekuk hingga bibir tipis itu terlihat cemberut. "Maa! Kaak!" rengekya saat ibu dan Jazli menguliti habis-habisan.

Bos sekaligus suaminya itu duduk di sebelah kanan mama, sementara Yara berada di kiri. Dia diapit oleh Andaru dan Aryan, berhadapan dengan keluarganya.

Lirikan penuh makna Andaru ditangkap oleh mata bulat Yara, lelaki itu seakan mengatakan, "Kena, kamu!"

Yara mendesis, sesekali melotot ke arahnya jika kaki Andaru menyenggol ujung sepatu dari bawah meja. "Ish! Nggak ngaruh!" decak Yara.

Namun, alih-alih berhenti, sikap Yara malah dijadikan bulan-bulanan para anggota keluarga di sana.

"Ciyeee! Yara malu-malu," goda Aryan, menyenggol lengan cucu mantunya.

Setelah ashar, pasangan Garvi berniat mengantar keluarga Yara kembali ke Bandara. Andaru berpesan pada Jazli untuk mendampingi mama di rumah, toh, dia sudah lulus kuliah dan menjadi khidmah selama 3 tahun di pesantrennya.

"Tolong ya, Kak," kata Andaru, menepuk lengan Jazli. "Pura-pura nggak tahu aja," sambungnya seraya berbisik saat mereka memutari mobil.

Jamila sudah duduk di mobil, Yara berdiri disamping kanan jok belakang, berat melepas ibunya pulang tapi ini adalah keputusan terbaik. Linangan air mata pun mulai menggenang lagi, Sang gadis lalu bersimpuh, meraih dan menggenggam jemari Jamila.

"Maafin aku," lirihnya sambil menunduk menyembunyikan tangis yang akan muncul. "Pelan-pelan semua masalah ini bakal beres," ucap Yara, mendongak perlahan sehingga tetes butir beningnya turun.

"Iya. Mama tahu, putri kami semata ingin melindungi diri." Jamila menyeka air mata dari wajah Yara. Senyum teduhnya terbit, dia lalu membubuhkan kecupan di dahi si anak bungsu. "Mama pulang dulu, sampai ketemu lagi, Sayang," lirihnya.

Keduanya saling memeluk, menguatkan satu sama lain. Sementara para pria berbincang di sisi mobil sebelah kiri.

"In sya Allah, Mas," jawab Jazli, mengangguk. "Titip dia. Samawa, ya." Lirikan dan senyum menawan Jazli, persis Yara, terulas jelas ketika dia memasuki mobil.

Andaru mengangguki ucapan kakak iparnya, meski dalam hati tidak yakin akan menjalani pernikahan ini dengan mudah.

Dia memutari mobil, lalu menggamit pinggang Yara sedikit menjauh. Ketukan di kap mobil oleh Aryan, menjadi tanda agar kendaraan itu melaju perlahan. Lambaian tangan Yara terangkat ke udara, melepas pergi keluarga yang masih dia rindukan.

Tak lama setelah itu, Mercedes Benz berhenti tepat di depan mereka. Aryan bergegas membuka pintu bagian depan dan masuk ke dalamnya. "Duluan, ya."

Andaru mengetuk kaca mobil kakek Aryan, dua kali. "Mau langsung balik ke Jogja, Kek?" tanya sang cucu.

Aryan menurunkan kaca mobil, mendelik ke arah Andaru. "Enggaklah." Senyum jahilnya muncul.

Andaru memutar bola mata jengah. "Ngapain lagi, sih? kan udah lunas," ujarnya.

Kekehan pria tua itu terdengar. Kerlingan mata nakalnya menjadi penyedap niatan Aryan. "Mau ngawal proses produksi cicit."

Huft.

CEO GC menghela nafas sambil mengibaskan tangannya, meminta supir segera jalan. Tawa pria tua itu masih terdengar bertepatan ketika kaca mobil menutup.

Yara melongo mendengar hal tersebut, telunjuknya diangkat hendak bertanya. "P-pak?" lirihnya.

Andaru melirik. "Apalagi?" ketusnya. Tangan kanan itu lalu terangkat ke udara memanggil seseorang.

"Beneran tinggal serumah?" cicit Yara, mulai takut bila harus tunduk pada semua ucapan Andaru saat di Semarang.

"Hem, biar irit!" jawab Andaru asal, sambil melihat jam tangannya.

Yara bengong, mengerjap beberapa kali mendengar jawaban tadi. 'Nggak salah?' satu sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk senyum remeh. "Bersyanda!"

Dia lalu memainkan ujung kuku jemari, menunduk melihat ke pucuk sepatu dari balik gamis. "Pisah kamar, kan?"

"Nggak denger apa kata kakek tadi?" Andaru bergegas melangkah maju, menarik tuas pintu mobil yang dikendarai Dewi saat berhenti tepat di hadapan. "Yara!" panggilnya.

Gadis itu mendongak. "Ke mana?"

"Kerja!" Kepalanya meneleng ke kiri, isyarat agar Yara lekas masuk mobil.

"Yaelah, Pak." Yara menghentakkan kaki saat melangkah, ogah kembali ke kantor dengan baju seperti ini. "Lumayanan amat, sejam lagi juga bubar," gerutunya memanyunkan bibir ke arah Andaru.

"Ganti di jalan. Dilarang makan gaji buta!" Andaru menatap tajam Yara si pembantah.

Bluk. Pintu mobil ditutup kencang sang CEO.

Kepergian Honda city membuat Andaru bergegas menuju mobilnya. Dia lantas mengaktifkan ponsel tepat saat pintu Porche Baxter menutup. Chat dari Bimo menjadi pilihan pertama yang dia buka.

Pesan suara sang asisten mengudara. "Bos, izin melakukan 'operasi plastik' esok di jam istirahat."

Beberapa gambar dan rekaman suara telah Andaru lihat dan dengar. Dia mengangguk meski Bimo tak melihatnya.

"Bagus, Bim. Aku oke," ucap Andaru sembari mengetik pesan balasan untuk sang asisten.

Mobil sport itu lalu meninggalkan basemen menuju salah satu resto hotel mewah. Dia akan bertemu klien untuk menanyakan sesuatu yang menjadi motif terkuat pria itu mencari Yara.

Sementara di kantor.

Sang tamu misterius masih ada di basement, memutar pandangan dari dalam mobilnya berharap menemukan celah pintu keluar lain. Dia penasaran karena tidak melihat Yara keluar masuk gedung megah itu.

"Nggak mungkin kalau pindah kerja," gumamnya dengan telunjuk menempel di bibir. "Kris bilang tidak ada pergerakan dia pergi dari sini."

Bosan menunggu, dia memukul stir mobilnya karena kesal. Cara halus ternyata tidak membuahkan hasil. Dia sudah terlalu lama meninggalkan Semarang demi mencari Yara, sementara tagihan mulai intens muncul dari berbagai kalangan.

Saat kunci starter dia putar, mobil SUV hitam dengan kaca hitam pekat masuk ke basement, melintas di sisinya. Netra elang Anton mengikuti ke mana arah perginya kendaraan itu. Entah mengapa dia penasaran.

"Parkir di tempat khusus?" ucapnya seraya menoleh ke arah belakang, memastikan penglihatan.

Pintu bagian belakang mobil itu perlahan dibuka seorang gadis. Tak lama, muncul sosok berhijab mengenakan setelan kerja abu tua. Meski wajahnya tertutup masker tapi dia dapat mengenali postur idamannya itu.

"Sayangku!" sebutnya menyeringai lebar. Dia lalu menarik tuas pintu perlahan agar tak menimbulkan suara, mengendap ke arah mereka.

Tiba-tiba dari arah samping, saat Yara sedang berjalan bersama Dewi menuju pintu gedung dari arah basemen, seseorang merentangkan lengan sehingga Yara tersentak dan berhenti.

"Hai, ketemu lagi!"

Bluk. Tas tangan Yara jatuh. Dia panik dan berlari ke belakang tubuh Dewi, menunduk takut. Tanpa sadar meremat kuat lengan sang gadis hingga meringis. Tubuhnya bergetar halus, pria ini adalah kelemahan terbesar Yara Falmira.

"Stay away!" Dewi menunjuk ke arah pria di hadapan. "Security!" teriaknya. Tangan kanan gadis itu menekuk ke arah belakang, melindungi Yara.

Derap langkah terdengar mendekat.

"Dia?" tanya satpam. Anggukan Dewi membuat petugas langsung mencekal kedua tangan pria itu ke belakang tubuhnya.

Gegas, Dewi menggiring pelan Yara masuk ke dalam, tak lupa membawa tas tangan sang nyonya muda Garvi.

"Aku nggak salah!" Pria itu melawan dengan menyikutan lengannya mengenai dada si petugas. "Ugh!" cekalan pun tak lagi kuat akibat menahan sakit.

Napas pria itu tersenggal saat melepaskan diri. Dia hendak mengejar Yara tapi barikade satpam menghadangnya di ambang pintu basement. Aksi saling tatap pun terjadi.

"Silakan tinggalkan gedung ini, Pak!" seru beberapa satpam.

Kriing. Ponselnya berdering. Dia mengeluarkan benda pipih dari saku celana, masih dengan sisa napas memburu. Sebuah nomer asing muncul, membuat wajah tampan itu seketika memucat.

"Shiitt!"

.

.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status