Share

BAB 6. KEJUTAN

"Wa alaikumussalaam, Maa-maaa," balas Yara terbata. "Aku nggak mimpi, kan?"

Anggukan samar serta senyum Jamila-ibu kandungnya, yang membentangkan kedua lengan, langsung Yara sambut. "Ma-maa!" Dia memeluk erat disertai isakan. "Mama!" sebut Yara berkali-kali.

"Anakku sayang," balas Jamila. Mendekap sang putri bungsu teriring tetes bening membasuh pipi. "Mama rindu." Jemari yang mulai mengeriput lalu mengusap lembut mulai dari kepala hingga punggung Yara. "Alhamdulillah, kita masih bisa bertemu." Wajah senja itu kemudian terbenam di pundak anak gadisnya.

Kedua wanita melebur tangis serta kerinduan. Para pria yang berdiri di sana hanya mengulas senyum samar menyaksikan adegan tersebut. Andaru tahu sebagian kisah masa lalu istrinya itu. Tempo hari, dia meminta Bimo diam-diam menjemput keluarga Yara.

Pelukan itupun perlahan terurai. Jamila merangkum wajah ayu putrinya dengan kedua telapak tangan. Memeta setiap inci rupa yang dirindukan. "Cantiknya anak mama." Dia lalu membubuhkan kecupan di kedua pipi Yara. "Jadi istri yang baik, ya, Nak," pesan Jamila, sekali lagi memeluknya.

Yara mengangguk, sesekali tersenyum dibalik punggung Jamila meski sisa tangis dan sedu masih terlihat.

"Dek!" panggil seseorang dari arah kanannya.

Yara melepas pelukan sang ibu, buru-buru menoleh ke sumber suara. "Kakak?" Dia menyeka netra dari genangan air mata agar dapat melihat jelas. "Kak Jazli?" ulangnya lagi, sembari menjulurkan tangan kanan.

Pria berusia 25 tahun itu mengangguk seraya tersenyum. "Iya, nggak kangen sama aku?" kekehnya sambil membuka lengan.

Yara pun menghambur ke pelukan sang kakak yang dia rindukan.

Jazli mengusap kepala adiknya. "Alhamdulillah, jumpa lagi."

"Tapi, kok, terlihat beda?" cicitnya saat melepas pelukan dan memandang wajah teduh Jazli.

"Vibe calon mantu yai, ya begini," tawa Jazli, seraya memencet hidung mancung Yara. "Lesung ini harusnya jadi ciri khasku, satu-satunya pria tampan dan saleh yang kamu kenal," seloroh Jazli lagi, menunjuk ke pipi kirinya.

Yara tertawa kecil. Satu hal yang amat jarang dia tampakkan selama pelarian. Hari ini dia dapat mendengar lagi suara tawanya yang khas.

Andaru berdeham. Dia sudah cukup lama diabaikan dan hal itu membosankan baginya. Dia menggamit pinggang Yara dan meremasnya sedikit keras sebagai tanda skenario mulai dijalankan.

"Kak Jazli wali kamu, Sayang. Mereka tiba semalam dan pagi tadi aku baru menemani sebentar," tutur Andaru, tersenyum manis melihat istrinya.

'Cih, Sayang. Keluar dari mulutnya kenapa jadi nggak enak didengar, ya.' Yara memutar bola mata malas dan menanggapi dengan deheman. "He em!"

"Mari kita makan dulu sambil ngobrol lagi," timpal Aryan, menyilakan keluarga Yara kembali ke meja depan.

Saat Andaru berniat mengikuti mereka, Yara menepukkan buket bunga ke punggungnya. Lelaki tampan itu menoleh, menaikkan satu alisnya sebagai isyarat bertanya.

Yara menghela napas. "Bisa bicara dulu, Pak?" telunjuknya diayunkan ke depan dan belakang di antara tubuh mereka.

"Apalagi?" Andaru mulai jengah.

Yara menarik lengan jas suaminya agar bersedia membungkuk sedikit. Namun, tetap saja dia harus berjinjit saat akan berbisik. "Ngapain panggil sayang segala?" kepalanya celingukan, cemas jika ada yang mendengar. "Mama masih iddah, meski keluar rumah ditemani mahram dan darurat. Baiknya ditahan di sini atau pulang?"

"Pulang. Kata mama biar 'dia' nggak curiga," jawab Andaru datar. "Aku sudah bahas sebagian masalah kalian, tapi tidak tentang kita. Pelan-pelan saja," sambungnya menepis cekalan tangan Yara di lengan jas.

Pimpinan Garvi Corp lalu berbalik badan, melanjutkan langkahnya. Namun, lagi-lagi Yara menahan, kali ini dia menarik bagian belakang jasnya.

"Apa maksud Anda, Pak?" Yara menyipitkan mata bulatnya. "Anda tahu tentang keluargaku?" tuduh putri Jaedy lagi, masih menatap lekat suaminya.

Andaru segera memutar badan, dia mencondongkan tubuh hampir menyentuh wajah Yara. Bayang adegan mencium paksa bagai di film Korea, memenuhi benak sang wanita.

Deg. Deg. Deg.

Yara mundur selangkah tapi punggungnya membentur meja. Terpaksa, dia langsung menutup mata seraya mengatupkan bibirnya. Pasrah.

Andaru menyeringai, merasa lucu melihat sikap tengil istri kecilnya. Akan tetapi, di jarak ini dia justru dapat melihat betapa mulus kulit wajah Yara meski tersapu make up. Mencium wangi parfum juga napasnya yang sedikit tertahan.

Cucu Aryan Garvi menarik tubuhnya sedikit menjauh lalu menjentikkan telunjuknya ke dahi Yara.

Pletak!

Yara seketika membola dan mengaduh kencang. "Awh!" serunya. Tangan kiri mengusap kening akibat sentilan Andaru, sedangkan jemari kanan memukulkan buket ke dada pria di depannya. "Sakiittt!"

Dia menahan tangan Yara yang memukulinya, di udara. "Otakmu mesum." Andaru tertawa, sambil berbalik badan, dia pun menarik lengan sang istri. "Ayo, makan dulu, biar kuat ngadepin permintaanku nanti."

Bimo yang sedari tadi duduk menunggu di sudut ruangan, tiba-tiba bangkit saat ponselnya berdering.

Satu nomer familira muncul di layar gawai membuat Bimo segera menggeser tombol hijau. "Ya!"

"Pak ... ada yang mencari nona Jiera tapi fotonya kok mirip mbak Yara, ya. Kemarin kata satpam juga beliau ke sini." Suara gadis frontline menjelaskan situasi di kantor.

Bimo terdiam sesaat. "Pastikan dulu, itu Yara atau bukan?" jawab sang asisten. "Jangan buka identitas Yara sebelum dia membuktikan secara jelas siapa yang dicari," titahnya lagi.

"Baik, Pak." Panggilan terputus sepihak.

Bimo menatap lekat sang pimpinan yang baru saja akan duduk. Andaru peka, dia melihat ke arahnya lalu bangkit, izin pada keluarga untuk keluar ruangan sejenak dengan sang asisten.

Andaru mengikuti langkah Bimo ke sudut koridor. "Ada apa?" tanyanya.

"Dia nyariin nyonya, Bos. Kemarin Pak Agus nyuruh dia balik lagi ke sini, sih. Jadi gimana?" cemas Bimo. Susah payah dia mengelabui anak buah pria itu saat di Semarang kemarin.

Sang CEO menyandarkan punggungnya ke dinding. Kaki kanan dia silangkan seraya berpikir. "Legalitas, identitas sedang diurus." Andaru bersedekap lalu meletakkan telunjuk di bibir. "Tahan dan alihkan saja dengan gadis lain yang dibuat mirip dengan Yara. Itu dulu," titahnya. Dia pun melenggang pergi kembali ke ruangan.

Saat Bimo mulai menjauh, Andaru memanggilnya lagi. "Bim!" Dia lantas berbalik arah menghampiri sang asisten.

Bimo berhenti dan berbalik badan. "Ya, Bos!"

"Minta semua proses dipercepat. Tetap senyap, ingat itu!" ujarnya, menepuk lengan Bimo dan langsung putar badan lagi menuju arah semula.

"Oke, Bos!" sahut sang asisten.

Ketika melewati pintu basement, ponsel Bimo berdering lagi. Nomer yang sama kembali muncul. Kali ini, dia tak menjawabnya langsung. Ingin mendengar suara si pengusik nyonya mudanya.

"Jangan menyembunyikan Jiera!" sentak suara sang pria. "Aku tahu dia kerja di sini ... sekalian ingin ketemu pimpinan," imbuhnya.

Brak. Sebuah kegaduhan terdengar.

"Tolong sopan sedikit, Pak. Foto Anda tidak valid. Lagipula harus memiliki janji temu lebih dahulu jika ingin bertatap muka dengan pimpinan kami," jawab petugas frontline bernada ramah.

"Buatkan janji untukku kalau begitu," suaranya mulai kembali tenang.

Petugas frontline membuka daftar tamu, jadwal kosong Andaru tersedia di awal bulan depan. Dia lantas memberikan informasi tersebut.

Sang tamu tak terima, dia memaksa. "Bilang padanya, aku punya sesuatu yang membuat dia harus menemuiku," tegasnya, menatap tajam gadis cantik di balik meja.

Panggilan senyap Bimo masih berlangsung. Dahinya mengernyit. "Apa yang dia maksud?"

.

.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status