"Wa alaikumussalaam, Maa-maaa," balas Yara terbata. "Aku nggak mimpi, kan?"
Anggukan samar serta senyum Jamila-ibu kandungnya, yang membentangkan kedua lengan, langsung Yara sambut. "Ma-maa!" Dia memeluk erat disertai isakan. "Mama!" sebut Yara berkali-kali."Anakku sayang," balas Jamila. Mendekap sang putri bungsu teriring tetes bening membasuh pipi. "Mama rindu." Jemari yang mulai mengeriput lalu mengusap lembut mulai dari kepala hingga punggung Yara. "Alhamdulillah, kita masih bisa bertemu." Wajah senja itu kemudian terbenam di pundak anak gadisnya.Kedua wanita melebur tangis serta kerinduan. Para pria yang berdiri di sana hanya mengulas senyum samar menyaksikan adegan tersebut. Andaru tahu sebagian kisah masa lalu istrinya itu. Tempo hari, dia meminta Bimo diam-diam menjemput keluarga Yara.Pelukan itupun perlahan terurai. Jamila merangkum wajah ayu putrinya dengan kedua telapak tangan. Memeta setiap inci rupa yang dirindukan. "Cantiknya anak mama." Dia lalu membubuhkan kecupan di kedua pipi Yara. "Jadi istri yang baik, ya, Nak," pesan Jamila, sekali lagi memeluknya.Yara mengangguk, sesekali tersenyum dibalik punggung Jamila meski sisa tangis dan sedu masih terlihat."Dek!" panggil seseorang dari arah kanannya.Yara melepas pelukan sang ibu, buru-buru menoleh ke sumber suara. "Kakak?" Dia menyeka netra dari genangan air mata agar dapat melihat jelas. "Kak Jazli?" ulangnya lagi, sembari menjulurkan tangan kanan.Pria berusia 25 tahun itu mengangguk seraya tersenyum. "Iya, nggak kangen sama aku?" kekehnya sambil membuka lengan.Yara pun menghambur ke pelukan sang kakak yang dia rindukan.Jazli mengusap kepala adiknya. "Alhamdulillah, jumpa lagi.""Tapi, kok, terlihat beda?" cicitnya saat melepas pelukan dan memandang wajah teduh Jazli."Vibe calon mantu yai, ya begini," tawa Jazli, seraya memencet hidung mancung Yara. "Lesung ini harusnya jadi ciri khasku, satu-satunya pria tampan dan saleh yang kamu kenal," seloroh Jazli lagi, menunjuk ke pipi kirinya.Yara tertawa kecil. Satu hal yang amat jarang dia tampakkan selama pelarian. Hari ini dia dapat mendengar lagi suara tawanya yang khas.Andaru berdeham. Dia sudah cukup lama diabaikan dan hal itu membosankan baginya. Dia menggamit pinggang Yara dan meremasnya sedikit keras sebagai tanda skenario mulai dijalankan."Kak Jazli wali kamu, Sayang. Mereka tiba semalam dan pagi tadi aku baru menemani sebentar," tutur Andaru, tersenyum manis melihat istrinya.'Cih, Sayang. Keluar dari mulutnya kenapa jadi nggak enak didengar, ya.' Yara memutar bola mata malas dan menanggapi dengan deheman. "He em!""Mari kita makan dulu sambil ngobrol lagi," timpal Aryan, menyilakan keluarga Yara kembali ke meja depan.Saat Andaru berniat mengikuti mereka, Yara menepukkan buket bunga ke punggungnya. Lelaki tampan itu menoleh, menaikkan satu alisnya sebagai isyarat bertanya.Yara menghela napas. "Bisa bicara dulu, Pak?" telunjuknya diayunkan ke depan dan belakang di antara tubuh mereka."Apalagi?" Andaru mulai jengah.Yara menarik lengan jas suaminya agar bersedia membungkuk sedikit. Namun, tetap saja dia harus berjinjit saat akan berbisik. "Ngapain panggil sayang segala?" kepalanya celingukan, cemas jika ada yang mendengar. "Mama masih iddah, meski keluar rumah ditemani mahram dan darurat. Baiknya ditahan di sini atau pulang?""Pulang. Kata mama biar 'dia' nggak curiga," jawab Andaru datar. "Aku sudah bahas sebagian masalah kalian, tapi tidak tentang kita. Pelan-pelan saja," sambungnya menepis cekalan tangan Yara di lengan jas.Pimpinan Garvi Corp lalu berbalik badan, melanjutkan langkahnya. Namun, lagi-lagi Yara menahan, kali ini dia menarik bagian belakang jasnya."Apa maksud Anda, Pak?" Yara menyipitkan mata bulatnya. "Anda tahu tentang keluargaku?" tuduh putri Jaedy lagi, masih menatap lekat suaminya.Andaru segera memutar badan, dia mencondongkan tubuh hampir menyentuh wajah Yara. Bayang adegan mencium paksa bagai di film Korea, memenuhi benak sang wanita.Deg. Deg. Deg.Yara mundur selangkah tapi punggungnya membentur meja. Terpaksa, dia langsung menutup mata seraya mengatupkan bibirnya. Pasrah.Andaru menyeringai, merasa lucu melihat sikap tengil istri kecilnya. Akan tetapi, di jarak ini dia justru dapat melihat betapa mulus kulit wajah Yara meski tersapu make up. Mencium wangi parfum juga napasnya yang sedikit tertahan.Cucu Aryan Garvi menarik tubuhnya sedikit menjauh lalu menjentikkan telunjuknya ke dahi Yara.Pletak!Yara seketika membola dan mengaduh kencang. "Awh!" serunya. Tangan kiri mengusap kening akibat sentilan Andaru, sedangkan jemari kanan memukulkan buket ke dada pria di depannya. "Sakiittt!"Dia menahan tangan Yara yang memukulinya, di udara. "Otakmu mesum." Andaru tertawa, sambil berbalik badan, dia pun menarik lengan sang istri. "Ayo, makan dulu, biar kuat ngadepin permintaanku nanti."Bimo yang sedari tadi duduk menunggu di sudut ruangan, tiba-tiba bangkit saat ponselnya berdering.Satu nomer familira muncul di layar gawai membuat Bimo segera menggeser tombol hijau. "Ya!""Pak ... ada yang mencari nona Jiera tapi fotonya kok mirip mbak Yara, ya. Kemarin kata satpam juga beliau ke sini." Suara gadis frontline menjelaskan situasi di kantor.Bimo terdiam sesaat. "Pastikan dulu, itu Yara atau bukan?" jawab sang asisten. "Jangan buka identitas Yara sebelum dia membuktikan secara jelas siapa yang dicari," titahnya lagi."Baik, Pak." Panggilan terputus sepihak.Bimo menatap lekat sang pimpinan yang baru saja akan duduk. Andaru peka, dia melihat ke arahnya lalu bangkit, izin pada keluarga untuk keluar ruangan sejenak dengan sang asisten.Andaru mengikuti langkah Bimo ke sudut koridor. "Ada apa?" tanyanya."Dia nyariin nyonya, Bos. Kemarin Pak Agus nyuruh dia balik lagi ke sini, sih. Jadi gimana?" cemas Bimo. Susah payah dia mengelabui anak buah pria itu saat di Semarang kemarin.Sang CEO menyandarkan punggungnya ke dinding. Kaki kanan dia silangkan seraya berpikir. "Legalitas, identitas sedang diurus." Andaru bersedekap lalu meletakkan telunjuk di bibir. "Tahan dan alihkan saja dengan gadis lain yang dibuat mirip dengan Yara. Itu dulu," titahnya. Dia pun melenggang pergi kembali ke ruangan.Saat Bimo mulai menjauh, Andaru memanggilnya lagi. "Bim!" Dia lantas berbalik arah menghampiri sang asisten.Bimo berhenti dan berbalik badan. "Ya, Bos!""Minta semua proses dipercepat. Tetap senyap, ingat itu!" ujarnya, menepuk lengan Bimo dan langsung putar badan lagi menuju arah semula."Oke, Bos!" sahut sang asisten.Ketika melewati pintu basement, ponsel Bimo berdering lagi. Nomer yang sama kembali muncul. Kali ini, dia tak menjawabnya langsung. Ingin mendengar suara si pengusik nyonya mudanya."Jangan menyembunyikan Jiera!" sentak suara sang pria. "Aku tahu dia kerja di sini ... sekalian ingin ketemu pimpinan," imbuhnya.Brak. Sebuah kegaduhan terdengar."Tolong sopan sedikit, Pak. Foto Anda tidak valid. Lagipula harus memiliki janji temu lebih dahulu jika ingin bertatap muka dengan pimpinan kami," jawab petugas frontline bernada ramah."Buatkan janji untukku kalau begitu," suaranya mulai kembali tenang.Petugas frontline membuka daftar tamu, jadwal kosong Andaru tersedia di awal bulan depan. Dia lantas memberikan informasi tersebut.Sang tamu tak terima, dia memaksa. "Bilang padanya, aku punya sesuatu yang membuat dia harus menemuiku," tegasnya, menatap tajam gadis cantik di balik meja.Panggilan senyap Bimo masih berlangsung. Dahinya mengernyit. "Apa yang dia maksud?"..Bimo buru-buru menjawab panggilan yang menggantung tadi. "Tolong minta nomer ponselnya," ucap sang asisten.Sedetik kemudian, senyum mengembang menghias wajah Bimo ketika panggilan berakhir. Otaknya tanggap menyusun sebuah rencana untuk mengetahui motif pria itu."Saatnya misi pengalihan." Seringai tipis sang asisten masih terukir saat memasuki mobilnya.Suasana di ruang privat perlahan terasa akrab. Ekspresi Andaru pun berubah-ubah. Kadang tertawa, tersenyum bahkan mengejek Yara saat Jamila dan Jazli menceritakan masa kecil sang istri yang tidak diperoleh dari informannya."Oh, ternyata nyandu sama risoles?" Bibirnya membentuk huruf O seiring mata yang melebar melihat ke arah Jamila. "Pantas bekalnya sama setiap hari," kekeh Andaru.Risoles, kudapan favorit Yara sejak kecil. Jamila kerap mengajak putrinya belajar membuat kulit serta varian isi agar hasil masakan cantik dan nikmat. Karena hal itulah, Yara sangat ahli dalam membuat camilan satu ini.Kangen masakan mama, alasan yang mela
"Shiitt!" umpatnya.Dia menatap tajam ke arah dua orang satpam seraya menunjuk wajah mereka satu per satu. "Awas kalian!" ancamnya, sebelum berbalik badan menjauh.Langkahnya panjang dan tergesa menuju mobil. Dering ponsel yang membuatnya stres, sejenak berhenti tepat saat dia menarik gagang pintu. Namun, beberapa detik kemudian, benda itu berbunyi lagi.Sang pemilik netra sekelam malam, duduk dibalik kemudi mengatur napas agar terdengar wajar saat bicara. Dia perlahan menggeser tombol hijau setelah menghembus panjang. "Ya?" "Dimana?" suara berat terdengar di ujung sana, bersiap-siap melampiaskan emosi. "Jakarta." Dia menunggu respon lawan bicaranya sebelum melanjutkan. Tidak terdengar jawaban apapun, membuatnya bicara lagi, "Aku sedang berusaha, sabarlah," timpalnya mencoba mengulur waktu. "Satu pekan atau pesanan ditarik, sekaligus uang ganti rugi dan wanprestasi." Matanya membelalak. Dia buru-buru bicara, "Tunggu-" Tut. Terlambat, panggilan itu diputus sepihak. Pria di telepo
"Yakin, Bos!" tegasnya lagi. "Dia sudah masuk dalam pengawasan saya baik di sini dan ketika kembali nanti," imbuh sang informanAndaru mengangguk-angguk puas meski hatinya tidak yakin sampai kapan rencana ini akan bertahan. "Oke lanjutkan."Sebagai menantu almarhum, sudah menjadi kewajiban Andaru untuk berbakti dengan membantu urusan keluarga Yara. Terlebih dia mampu melakukan itu. Meskipun niatan sebelum menikah, sang CEO mengatakan sebaliknya.Pandangannya tertuju ke sekeliling sebelum bangkit. Dia melihat jam tangannya lalu meraih rokok dari atas meja dan keluar meninggalkan resto masih dengan ponsel yang menempel di telinga."Jam berapa eksekusi?" tanya Andaru lagi. Jemarinya menekan remote sambil terus melangkah mendekati mobil."Setelah makan siang," sahutnya cepat. "Tapi, saya sudah minta dia bekerja mulai malam ini, Bos," sambung sang informan.Pimpinan Garvi Corp telah duduk di belakang kemudi dan menutup pintu mobilnya, tanda harus mengakhiri sambungan udara dengan si pria di
"Dih, aneh," gerutu Yara melihat sikap Andaru tadi. Pintu lift terbuka, dia masuk dan disambut senyum beberapa penghuni di dalamnya. Seperti biasa, Dewi telah menunggunya di lobby apartemen. Gadis itu berjalan di depan sang nyonya muda menuju mobil. Kali ini, pakaian Dewi lebih kasual, sehingga mereka terlihat bagai rekan kerja.Yara memilih duduk di depan agar tidak terkesan bossy dan berharap dapat menjalin pertemanan. Yara hanya memiliki satu sahabat sejak kuliah. Fay, berada di divisi yang berbeda dengannya. Dari gadis itulah, dia mendapat informasi lowongan pekerjaan di Garvi Corp.Meski satu gedung, mereka jarang bersua karena kesibukan masing-masing. Sebelum tidur biasanya para gadis saling berkirim chat. Namun, beberapa hari ini dunia Yara teralihkan akibat seseorang, juga Andaru."Silakan, Nona." Dewi menurunkan kaca mobil bagian kiri."Eh!" Lamunan Yara buyar. Pandangan nyonya muda Garvi menyapu sekitar. Rupanya dia tak menyadari kapan mobil mereka berangkat dan kini tela
"Jiera?" ulangnya lagi, merangsek mendekati seseorang di hadapannya..Sang gadis berusaha bertindak senatural mungkin. Tangan kanannya terangkat mengacungkan keranjang sampah ke arah pria itu, lalu perlahan melangkah mundur.Kepalanya menggeleng samar, sorot mata wanita berhijab navy itu memicing tajam ke arah pria yang berdiri tak jauh darinya."Pergi! atau aku teriak," ancamnya seraya mengatupkan gigi, agar suaranya kian tegas."Pulang dulu yuk. Sebentar," bujuk sang pria, lembut seperti biasa.Suara yang disinyalir membawa angin buaian tak bakal mempan padanya. Perawakan sempurna lelaki dewasa nan maskulin di hadapan tentu sangat manjur membius gadis manapun untuk tunduk dengan mudah, terkecuali Yara. Pikirnya.Gadis cantik itu sebisa mungkin meminimalisir suara yang keluar dari mulutnya. Dia terus berusaha melangkah mundur hingga teras meski tertatih akibat batu kerikil yang tersebar di halaman kost, sesekali menusuk alas kakinya."Jiera!" sebutnya lagi.Tatapan tajam keduanya buya
"Sesuai keinginan kita, Bos." Bimo menceritakan perkembangan rencana mereka. "Meski lebih cepat dari prediksi," imbuhnya. "Ehm, dia bakal baik saja, kan?" tanya sang CEO, tersirat kekhawatiran dalam nada bicaranya."Semoga baik saja, Bos. Anak itu punya sedikit basic bela diri," imbuh Bimo.Andaru lega. "Oke. Jangan sampai membahayakan keluarga Yara," titahnya, lalu mematikan panggilan.Andaru masih berdiri di balkon kamar. Dia tengah berpikir, kisruh keluarga Yara hampir mencapai puncak sebentar lagi. Dia akan mengawal ini sampai tuntas sehingga misinya juga tercapai."Bisa-bisanya aku berpikir dia bakal menyerahkan diri dengan mudah." Andaru menyunggingkan senyum. "Apa ketampananku ini kurang memikatmu? Yara Falmira," gumamnya penuh percaya diri.Dia mengibaskan tangan seakan menepis pikiran konyolnya, sembari berbalik badan dan masuk ke kamar.Yara merasa percakapan Andaru dengan seseorang berkaitan dengannya. Dia sesekali melirik ke arah pria yang masih berada di balkon itu.Ponse
Brak. Pintu kamar itu menutup. Mendengar suara keponakan laki-lakinya, dia tergopoh keluar kamar."Mbak! Mbak!" sebut sang pria, pura-pura peduli pada Jamila."Mama!" seru Jazli, tak menghiraukan kicauan pamannya. Dia mengangkat tubuh Jamila meski tertatih. "Bentar Ali panggil dokter, ya," imbuh sang putra.Jamila mengangguk pelan, dia memegangi lengan Jazli erat. "Aku saja yang panggil dokter, Li." Pria itu lantas pergi, meminta salah satu pekerja memanggil dokter pribadi Jamila.Jazli membaringkan tubuh ibunya ke ranjang. Menyeka keringat dari dahi Jamila, memasang selang oksigen, lalu menyalakan pendingin ruangan. Setelah nafas sang mama kembali teratur, Jazli duduk di sisi ranjang. Dia memijat lembut tangan dan kaki Jamila, masih belum berani bertanya tentang kejadian barusan.Tak lama, dokter pun tiba. Kedua pria itu menepi sesaat, agar wanita berjas putih leluasa memeriksa pasien."Mama gimana, Dok?" tanya Jazli, saat melihat dokter muda itu selesai."Shock ringan, lusa wajib
Yara tiba tepat saat Andaru menuju lift. Dia menunggu gadis itu turun dari mobil lalu menyeret lengannya."Lepas!" Yara memukul punggung Andaru dengan tas tangan."Siput, lamban!" gerutunya, terus berjalan tak melepas cekalan.Keduanya lalu saling diam ketika telah di dalam kotak besi yang perlahan naik. Andaru hanya melirik wanita yang berdiri disampingnya, mencuri pandang penampilan Yara malam ini. Mereka pergi terpisah sehingga tidak memperhatikan satu sama lain.Ingin bertanya perihal Dean tapi mulut sang CEO terkunci rapat. Begitupun Yara, hendak menegaskan siapa sosok cantik nan menggoda di pesta tadi, akan tetapi dia terlalu malas menerima cibiran Andaru setelahnya.Saling bungkam dan gengsi, menyertai perjalanan pasangan Garvi menuju lantai 15. Yara berjalan lebih dulu saat pintu lift terbuka. Dia bergegas menuju unit mereka guna mengambil alih kamar mandi sebelum Andaru masuk. Tubuhnya lelah, dan besok dia harus bangun lebih pagi.Tiada percakapan lagi setelah keduanya berada