"Shiitt!" umpatnya.
Dia menatap tajam ke arah dua orang satpam seraya menunjuk wajah mereka satu per satu. "Awas kalian!" ancamnya, sebelum berbalik badan menjauh.Langkahnya panjang dan tergesa menuju mobil. Dering ponsel yang membuatnya stres, sejenak berhenti tepat saat dia menarik gagang pintu. Namun, beberapa detik kemudian, benda itu berbunyi lagi.Sang pemilik netra sekelam malam, duduk dibalik kemudi mengatur napas agar terdengar wajar saat bicara. Dia perlahan menggeser tombol hijau setelah menghembus panjang."Ya?""Dimana?" suara berat terdengar di ujung sana, bersiap-siap melampiaskan emosi."Jakarta." Dia menunggu respon lawan bicaranya sebelum melanjutkan. Tidak terdengar jawaban apapun, membuatnya bicara lagi, "Aku sedang berusaha, sabarlah," timpalnya mencoba mengulur waktu."Satu pekan atau pesanan ditarik, sekaligus uang ganti rugi dan wanprestasi."Matanya membelalak. Dia buru-buru bicara, "Tunggu-"Tut.Terlambat, panggilan itu diputus sepihak. Pria di telepon adalah klien utama usaha Jaedy sejak awal merintis. Pesanan tadi guna memenuhi permintaan perhiasan lokal di pasar Eropa dengan jumlah omset ratusan juta, sekali ekspor. Seharusnya, ini pekan kedua kiriman berjalan.Designer perhiasan perak telah dia pecat sebab meminta kenaikan gaji. Kini, dirinya kesulitan mencari pegawai pengganti yang bersedia tetap mengusung ciri khas ukiran milik Jaedy.Selain itu, modal peninggalan almarhum tidak dapat memenuhi kebutuhan belanja bahan, sementara buyer telah membayar penuh. Dia kelimpungan."Aarrghhh!" teriaknya kencang sambil melempar ponsel ke jok samping dan memukuli stir mobil berkali.Dia lalu meremat rambutnya, membenturkan kepala ke headband jok, berharap menemukan solusi cepat bila tidak dapat menyeret Yara pulang.Tok. Tok. Kaca mobilnya diketuk seseorang, membuat dia kembali tersulut emosi.Jari tengahnya mengacung, di arahkan ke satpam yang berdiri di sisi mobilnya. Wajah tampan pun kini merah padam, bersungut-sungut memaki security.Corolla Altis itu perlahan meninggalkan basemen, menuju ke satu tempat.**Dewi menenangkan Yara di dalam lift. Menggenggam jemari yang masih gemetar."Nona," cemasnya melihat Yara memucat akibat muncul banyak peluh di dahi, meski masker masih menutup wajahnya.Dia melirik ke arah gadis disamping. "A-aku baik saja. Dia ng-nggak boleh merampas kebebasanku," gumam Yara dengan bibir bergetar dari balik masker.Dewi mengangguk cepat tepat saat pintu kotak besi itu terbuka. Namun, ketika melangkah keluar, tatapan sendu Yara ditangkap oleh seniornya ketika mereka berpapasan di depan lift."Ra, kukira kamu nggak balik lagi, nemenin pak Andaru dinas luar," ucapnya, sambil membenarkan tali sling bag di lengan.Yara menggeleng tanpa membalas ucapan Arin. Dia terus berjalan menuju kubikelnya untuk melihat job desk esok pagi, barangkali ada tugas susulan sebelum pulang."Ra? tamu?" tanya Arin lagi, melirik sekilas saat melihat Dewi berdiri di belakang juniornya.Yara menoleh ke arah Dewi. "Oh, iya. Nyari pak Bimo," jawab Yara, mengulas senyum manis untuk seniornya, dan menyilakan Dewi duduk di sofa.Dewi ikut tersenyum simpul sambil mengangguk lalu duduk di ruang tunggu depan meja para sekretaris. Dia menghindari tatapan Arin dengan berpura membaca majalah yang tertata rapi di atas meja.Arin hanya membalas dengan senyuman samar, sedikit tak suka dengan cara juniornya. "Jangan bawa orang asing sembarangan naik ke sini, ya, Ra!" tegas si sekretaris utama, sebelum pergi."Maaf, Mbak. Dia punya kepentingan, kok." Yara menatap lekat Arin saat maskernya dibuka. "Aku ke meja dulu," kata Yara, menggoyang jempolnya di udara.Arin tak menanggapi, dia melanjutkan langkah menuju lift.Tubuhnya dia hempaskan di kursi. Yara menyandarkan punggung seraya menengadahkan kepala sambil memutar-mutar kursi kerjanya menghadap tembok.'Aku harus belajar menghadapinya. Nggak bisa bersembunyi dibalik punggung Dewi melulu. Tapi, bagaimana caranya, Tuhan? aku takut!'Yara menekuk kedua lengan di depan dada. Dia meringis, seolah rabaan itu baru terjadi dan masih membekas.'Kenapa Engkau datangkan kembali dirinya di saat lukaku belum kering benar ... Eh, tapi bentar lagi musim hujan, goresan itu bakal basah. Artinya, mungkin Allah ingin aku menghadapinya.'Yara membatin, sekaligus terkekeh menertawai kisah hidupnya meski hati diliputi ketakutan.15 menit dalam kesunyian, membuat Dewi harus mengingatkan sang nyonya muda. Dia bangkit menuju meja Yara."Nona, Anda harus ada di rumah sebelum tuan muda pulang." Dewi berdiri di sisi meja, berbisik meski tiada siapapun di sana kecuali mereka berdua.Tidak ada jawaban, hanya helaan napas yang samar terdengar."Mari," ajaknya sambil meraih tas Yara dari atas meja."Kemana?" tanya Yara, masih memejam dengan kepala menengadah seraya melakukan butterfly hug.Dewi diam, setia berdiri di sisi meja dan menunggu Yara melihatnya.Yara menghela nafas panjang beberapa kali lalu bangun tanpa komentar, berjalan mengacuhkan Dewi. Harinya sudah berwarna-warni. Dia ingin pasrah sebentar saja, karena menjadi berpura-pura kuat ternyata melelahkan."Maaf, Nona. Green palace, apartemen tuan muda." Dewi mengalah, memberitahu tujuan mereka saat menuju lift."Hem, asal jangan bawa ke rumah Izrail. Aku belum beli oleh-oleh sebagai upeti," ucap Yara asal dengan wajah datar.Dewi yang berjalan di belakang Yara, tertawa kecil. Nona mudanya kocak juga. "Upeti memangnya untuk apaan, Nona?" timpal Dewi masih dengan kekehan."Nyogok, biar dia move on dan lupa sama aku." Yara tertawa kecil, tapi nadanya sumbang. "Atau ngasih tiket terusan rekreasi ke neraka doang, tapi nggak pake nginep di sono," sambungnya.Celotehan tadi dinilai Dewi sebagai candaan ringan tapi sebetulnya sebagai pengingat diri akan dosa empat tahun silam. Yara tak kuat, dia pun memukul dinding kotak besi sebagai pelampiasan kelemahannya.Blam.Tepat pukul 17.30, di sebuah resto hotel, Andaru bangkit berdiri ketika klien yang dia tunggu menghampiri mejanya. Dia berjabat tangan saat kedua pasang netra mereka bersitatap."Silakan duduk." Pria yang kini mengenakan setelan casual itu menyilakan beliau duduk di hadapannya.Andaru menyingkirkan cangkir berisi kopi yang masih mengepul dari hadapan ke sisi kiri. Dia langsung menanyakan kebenaran dua polis milik Jaedy.Pihak asuransi memfasilitasi pertemuan ini, hingga disambungkan pada agent terkait."Maaf, Pak Andaru ada hubungan dengan ahli waris?" tanya sang agent.CEO Garvi mengangguk. "Tentu." Andaru menyerahkan surat kuasa bertanda tangan keluarga Yara yang diperoleh kemarin. "Tapi tidak berniat mengusik, hanya bertanya langkah klaim dengan kondisi tertentu," jelasnya dengan nada santai.Sang agent asuransi membenarkan bahwa nasabah atas nama Jaedy menjadi tertanggung di perusahaan tersebut. Almarhum memiliki nilai pertanggungan jiwa yang lumayan untuk kedua ahli warisnya."Saya cek Klaimnya, sedang dilakukan peninjauan tahap dua, Pak. Cuma butuh sign masing-masing pemegang polis. Anehnya, beliau memberikan nominal dalam jumlah besar justru pada Jiera," jelasnya.Pemegang polis harus berusia di atas 17 tahun dan Yara saat itu mungkin belum paham apapun jika diminta menandatangani dokumen penting. Jamila pasti di desak untuk mencairkan dana tersebut tapi tentulah jumlahnya tidak mencukupi guna menutup utang keluarga.Nomer rekening yang digunakan untuk pencairan klaim premi pun sudah atas nama Jiera meski terdapat CC sang ayah, karena saat itu statusnya masih pelajar.Kini, Andaru paham motif sang pengusik. Satu hal lagi, akan dia pastikan selain masalah harta. Pertemuan itupun berakhir tepat saat ponsel menantu Jamila berbunyi.Kriing. Nama seseorang yang familiar terpampang jelas di layar gawai yang tergeletak di atas meja."Hem, gimana?" tanya Andaru, sembari meraih cangkir dan meneguk kopinya yang sudah dingin."Dapat!" ucap suara di seberang, dengan nada penuh percaya diri.Andaru terkesiap. Dia menegakkan tubuhnya dan terburu meletakkan cangkir di atas meja. "Yakin?" cecar sang pimpinan...(bab 5 6 7 ada sedikit revisi. 16/9/23)"Yakin, Bos!" tegasnya lagi. "Dia sudah masuk dalam pengawasan saya baik di sini dan ketika kembali nanti," imbuh sang informanAndaru mengangguk-angguk puas meski hatinya tidak yakin sampai kapan rencana ini akan bertahan. "Oke lanjutkan."Sebagai menantu almarhum, sudah menjadi kewajiban Andaru untuk berbakti dengan membantu urusan keluarga Yara. Terlebih dia mampu melakukan itu. Meskipun niatan sebelum menikah, sang CEO mengatakan sebaliknya.Pandangannya tertuju ke sekeliling sebelum bangkit. Dia melihat jam tangannya lalu meraih rokok dari atas meja dan keluar meninggalkan resto masih dengan ponsel yang menempel di telinga."Jam berapa eksekusi?" tanya Andaru lagi. Jemarinya menekan remote sambil terus melangkah mendekati mobil."Setelah makan siang," sahutnya cepat. "Tapi, saya sudah minta dia bekerja mulai malam ini, Bos," sambung sang informan.Pimpinan Garvi Corp telah duduk di belakang kemudi dan menutup pintu mobilnya, tanda harus mengakhiri sambungan udara dengan si pria di
"Dih, aneh," gerutu Yara melihat sikap Andaru tadi. Pintu lift terbuka, dia masuk dan disambut senyum beberapa penghuni di dalamnya. Seperti biasa, Dewi telah menunggunya di lobby apartemen. Gadis itu berjalan di depan sang nyonya muda menuju mobil. Kali ini, pakaian Dewi lebih kasual, sehingga mereka terlihat bagai rekan kerja.Yara memilih duduk di depan agar tidak terkesan bossy dan berharap dapat menjalin pertemanan. Yara hanya memiliki satu sahabat sejak kuliah. Fay, berada di divisi yang berbeda dengannya. Dari gadis itulah, dia mendapat informasi lowongan pekerjaan di Garvi Corp.Meski satu gedung, mereka jarang bersua karena kesibukan masing-masing. Sebelum tidur biasanya para gadis saling berkirim chat. Namun, beberapa hari ini dunia Yara teralihkan akibat seseorang, juga Andaru."Silakan, Nona." Dewi menurunkan kaca mobil bagian kiri."Eh!" Lamunan Yara buyar. Pandangan nyonya muda Garvi menyapu sekitar. Rupanya dia tak menyadari kapan mobil mereka berangkat dan kini tela
"Jiera?" ulangnya lagi, merangsek mendekati seseorang di hadapannya..Sang gadis berusaha bertindak senatural mungkin. Tangan kanannya terangkat mengacungkan keranjang sampah ke arah pria itu, lalu perlahan melangkah mundur.Kepalanya menggeleng samar, sorot mata wanita berhijab navy itu memicing tajam ke arah pria yang berdiri tak jauh darinya."Pergi! atau aku teriak," ancamnya seraya mengatupkan gigi, agar suaranya kian tegas."Pulang dulu yuk. Sebentar," bujuk sang pria, lembut seperti biasa.Suara yang disinyalir membawa angin buaian tak bakal mempan padanya. Perawakan sempurna lelaki dewasa nan maskulin di hadapan tentu sangat manjur membius gadis manapun untuk tunduk dengan mudah, terkecuali Yara. Pikirnya.Gadis cantik itu sebisa mungkin meminimalisir suara yang keluar dari mulutnya. Dia terus berusaha melangkah mundur hingga teras meski tertatih akibat batu kerikil yang tersebar di halaman kost, sesekali menusuk alas kakinya."Jiera!" sebutnya lagi.Tatapan tajam keduanya buya
"Sesuai keinginan kita, Bos." Bimo menceritakan perkembangan rencana mereka. "Meski lebih cepat dari prediksi," imbuhnya. "Ehm, dia bakal baik saja, kan?" tanya sang CEO, tersirat kekhawatiran dalam nada bicaranya."Semoga baik saja, Bos. Anak itu punya sedikit basic bela diri," imbuh Bimo.Andaru lega. "Oke. Jangan sampai membahayakan keluarga Yara," titahnya, lalu mematikan panggilan.Andaru masih berdiri di balkon kamar. Dia tengah berpikir, kisruh keluarga Yara hampir mencapai puncak sebentar lagi. Dia akan mengawal ini sampai tuntas sehingga misinya juga tercapai."Bisa-bisanya aku berpikir dia bakal menyerahkan diri dengan mudah." Andaru menyunggingkan senyum. "Apa ketampananku ini kurang memikatmu? Yara Falmira," gumamnya penuh percaya diri.Dia mengibaskan tangan seakan menepis pikiran konyolnya, sembari berbalik badan dan masuk ke kamar.Yara merasa percakapan Andaru dengan seseorang berkaitan dengannya. Dia sesekali melirik ke arah pria yang masih berada di balkon itu.Ponse
Brak. Pintu kamar itu menutup. Mendengar suara keponakan laki-lakinya, dia tergopoh keluar kamar."Mbak! Mbak!" sebut sang pria, pura-pura peduli pada Jamila."Mama!" seru Jazli, tak menghiraukan kicauan pamannya. Dia mengangkat tubuh Jamila meski tertatih. "Bentar Ali panggil dokter, ya," imbuh sang putra.Jamila mengangguk pelan, dia memegangi lengan Jazli erat. "Aku saja yang panggil dokter, Li." Pria itu lantas pergi, meminta salah satu pekerja memanggil dokter pribadi Jamila.Jazli membaringkan tubuh ibunya ke ranjang. Menyeka keringat dari dahi Jamila, memasang selang oksigen, lalu menyalakan pendingin ruangan. Setelah nafas sang mama kembali teratur, Jazli duduk di sisi ranjang. Dia memijat lembut tangan dan kaki Jamila, masih belum berani bertanya tentang kejadian barusan.Tak lama, dokter pun tiba. Kedua pria itu menepi sesaat, agar wanita berjas putih leluasa memeriksa pasien."Mama gimana, Dok?" tanya Jazli, saat melihat dokter muda itu selesai."Shock ringan, lusa wajib
Yara tiba tepat saat Andaru menuju lift. Dia menunggu gadis itu turun dari mobil lalu menyeret lengannya."Lepas!" Yara memukul punggung Andaru dengan tas tangan."Siput, lamban!" gerutunya, terus berjalan tak melepas cekalan.Keduanya lalu saling diam ketika telah di dalam kotak besi yang perlahan naik. Andaru hanya melirik wanita yang berdiri disampingnya, mencuri pandang penampilan Yara malam ini. Mereka pergi terpisah sehingga tidak memperhatikan satu sama lain.Ingin bertanya perihal Dean tapi mulut sang CEO terkunci rapat. Begitupun Yara, hendak menegaskan siapa sosok cantik nan menggoda di pesta tadi, akan tetapi dia terlalu malas menerima cibiran Andaru setelahnya.Saling bungkam dan gengsi, menyertai perjalanan pasangan Garvi menuju lantai 15. Yara berjalan lebih dulu saat pintu lift terbuka. Dia bergegas menuju unit mereka guna mengambil alih kamar mandi sebelum Andaru masuk. Tubuhnya lelah, dan besok dia harus bangun lebih pagi.Tiada percakapan lagi setelah keduanya berada
"Lepaskan!" seru Jazli, berdiri di depan pintu seraya menunjuk ke arah pamannya. Sejak sang paman pergi pagi tadi, dia memeriksa kamarnya tapi tak menemukan gadis yang Jamila ceritakan. Ternyata, pria ini memiliki satu ruang rahasia dalam biliknya. Pantas saja saat itu, Jiera sulit ditemukan dan Jaedy murka kala menemukan foto vulgar putrinya.Pelakunya terlalu pintar dan sangat mengerti seluk beluk isi rumah serta watak sang ayah, hingga semudah itu diperdaya dan Jiera menjadi korban.Jazli juga meminta orang untuk membuntuti beliau tapi sepanjang hari ini, tidak ditemukan lokasi penyekapan si gadis."Kamu mau ikutan, Li?" ucapnya sambil melirik si gadis. "Aku dulu tapi, ya. Itung-itung kamu latihan sebelum sah." Jazli menatap geram, tangannya mengepal disamping tubuh hingga otot leher pria kalem ini menegang. Rasa jijik menjalar membayangkan kelakuan bejat pamannya. Namun, dia harus menyelamatkan gadis ini lebih dulu."Mbak. Mbaaakkk!" panggil Jazli pada asisten rumah tangga mereka
"Yara!" seru Andaru ikut lari mengejar istrinya keluar unit.Di dalam lift, Andaru memegang dahi yang terasa pusing akibat benturan. Dia tak menduga, sosok ramping itu memiliki keberanian dan tenaga cukup kuat untuk ukuran badannya.Yara berpapasan dengan kakek Aryan saat baru keluar dari lift. Dia tetap berlari dan mengabaikan sepuh Andaru itu ketika melewatinya."Nduk!" panggil Aryan, memutar badan seiring cucu menantunya menjauh.Tak enak hati, Yara berhenti, menoleh sekilas lalu berbalik badan menghampiri beliau. Dia meraih tangan Aryan dan salim dengan tergesa kemudian kembali lari keluar lobby."Raaa!" panggil Andaru baru keluar dari lift, hampir menabrak kakeknya.Aryan menahan lengan sang cucu. "Kejar pake mobil kakek!" ucapnya seraya menyerahkan kunci pada Andaru.Sang CEO mengejar Yara yang sudah naik taksi, dia menduga wanitanya akan menuju Bandara. Dalam perjalanan tersebut, Andaru melakukan panggilan pada Bimo agar menyiapkan dokumen yang sudah dia siapkan sejak kemarin.