Share

BAB 8. ALASAN

"Shiitt!" umpatnya.

Dia menatap tajam ke arah dua orang satpam seraya menunjuk wajah mereka satu per satu. "Awas kalian!" ancamnya, sebelum berbalik badan menjauh.

Langkahnya panjang dan tergesa menuju mobil. Dering ponsel yang membuatnya stres, sejenak berhenti tepat saat dia menarik gagang pintu. Namun, beberapa detik kemudian, benda itu berbunyi lagi.

Sang pemilik netra sekelam malam, duduk dibalik kemudi mengatur napas agar terdengar wajar saat bicara. Dia perlahan menggeser tombol hijau setelah menghembus panjang.

"Ya?"

"Dimana?" suara berat terdengar di ujung sana, bersiap-siap melampiaskan emosi.

"Jakarta." Dia menunggu respon lawan bicaranya sebelum melanjutkan. Tidak terdengar jawaban apapun, membuatnya bicara lagi, "Aku sedang berusaha, sabarlah," timpalnya mencoba mengulur waktu.

"Satu pekan atau pesanan ditarik, sekaligus uang ganti rugi dan wanprestasi."

Matanya membelalak. Dia buru-buru bicara, "Tunggu-"

Tut.

Terlambat, panggilan itu diputus sepihak. Pria di telepon adalah klien utama usaha Jaedy sejak awal merintis. Pesanan tadi guna memenuhi permintaan perhiasan lokal di pasar Eropa dengan jumlah omset ratusan juta, sekali ekspor. Seharusnya, ini pekan kedua kiriman berjalan.

Designer perhiasan perak telah dia pecat sebab meminta kenaikan gaji. Kini, dirinya kesulitan mencari pegawai pengganti yang bersedia tetap mengusung ciri khas ukiran milik Jaedy.

Selain itu, modal peninggalan almarhum tidak dapat memenuhi kebutuhan belanja bahan, sementara buyer telah membayar penuh. Dia kelimpungan.

"Aarrghhh!" teriaknya kencang sambil melempar ponsel ke jok samping dan memukuli stir mobil berkali.

Dia lalu meremat rambutnya, membenturkan kepala ke headband jok, berharap menemukan solusi cepat bila tidak dapat menyeret Yara pulang.

Tok. Tok. Kaca mobilnya diketuk seseorang, membuat dia kembali tersulut emosi.

Jari tengahnya mengacung, di arahkan ke satpam yang berdiri di sisi mobilnya. Wajah tampan pun kini merah padam, bersungut-sungut memaki security.

Corolla Altis itu perlahan meninggalkan basemen, menuju ke satu tempat.

**

Dewi menenangkan Yara di dalam lift. Menggenggam jemari yang masih gemetar.

"Nona," cemasnya melihat Yara memucat akibat muncul banyak peluh di dahi, meski masker masih menutup wajahnya.

Dia melirik ke arah gadis disamping. "A-aku baik saja. Dia ng-nggak boleh merampas kebebasanku," gumam Yara dengan bibir bergetar dari balik masker.

Dewi mengangguk cepat tepat saat pintu kotak besi itu terbuka. Namun, ketika melangkah keluar, tatapan sendu Yara ditangkap oleh seniornya ketika mereka berpapasan di depan lift.

"Ra, kukira kamu nggak balik lagi, nemenin pak Andaru dinas luar," ucapnya, sambil membenarkan tali sling bag di lengan.

Yara menggeleng tanpa membalas ucapan Arin. Dia terus berjalan menuju kubikelnya untuk melihat job desk esok pagi, barangkali ada tugas susulan sebelum pulang.

"Ra? tamu?" tanya Arin lagi, melirik sekilas saat melihat Dewi berdiri di belakang juniornya.

Yara menoleh ke arah Dewi. "Oh, iya. Nyari pak Bimo," jawab Yara, mengulas senyum manis untuk seniornya, dan menyilakan Dewi duduk di sofa.

Dewi ikut tersenyum simpul sambil mengangguk lalu duduk di ruang tunggu depan meja para sekretaris. Dia menghindari tatapan Arin dengan berpura membaca majalah yang tertata rapi di atas meja.

Arin hanya membalas dengan senyuman samar, sedikit tak suka dengan cara juniornya. "Jangan bawa orang asing sembarangan naik ke sini, ya, Ra!" tegas si sekretaris utama, sebelum pergi.

"Maaf, Mbak. Dia punya kepentingan, kok." Yara menatap lekat Arin saat maskernya dibuka. "Aku ke meja dulu," kata Yara, menggoyang jempolnya di udara.

Arin tak menanggapi, dia melanjutkan langkah menuju lift.

Tubuhnya dia hempaskan di kursi. Yara menyandarkan punggung seraya menengadahkan kepala sambil memutar-mutar kursi kerjanya menghadap tembok.

'Aku harus belajar menghadapinya. Nggak bisa bersembunyi dibalik punggung Dewi melulu. Tapi, bagaimana caranya, Tuhan? aku takut!'

Yara menekuk kedua lengan di depan dada. Dia meringis, seolah rabaan itu baru terjadi dan masih membekas.

'Kenapa Engkau datangkan kembali dirinya di saat lukaku belum kering benar ... Eh, tapi bentar lagi musim hujan, goresan itu bakal basah. Artinya, mungkin Allah ingin aku menghadapinya.'

Yara membatin, sekaligus terkekeh menertawai kisah hidupnya meski hati diliputi ketakutan.

15 menit dalam kesunyian, membuat Dewi harus mengingatkan sang nyonya muda. Dia bangkit menuju meja Yara.

"Nona, Anda harus ada di rumah sebelum tuan muda pulang." Dewi berdiri di sisi meja, berbisik meski tiada siapapun di sana kecuali mereka berdua.

Tidak ada jawaban, hanya helaan napas yang samar terdengar.

"Mari," ajaknya sambil meraih tas Yara dari atas meja.

"Kemana?" tanya Yara, masih memejam dengan kepala menengadah seraya melakukan butterfly hug.

Dewi diam, setia berdiri di sisi meja dan menunggu Yara melihatnya.

Yara menghela nafas panjang beberapa kali lalu bangun tanpa komentar, berjalan mengacuhkan Dewi. Harinya sudah berwarna-warni. Dia ingin pasrah sebentar saja, karena menjadi berpura-pura kuat ternyata melelahkan.

"Maaf, Nona. Green palace, apartemen tuan muda." Dewi mengalah, memberitahu tujuan mereka saat menuju lift.

"Hem, asal jangan bawa ke rumah Izrail. Aku belum beli oleh-oleh sebagai upeti," ucap Yara asal dengan wajah datar.

Dewi yang berjalan di belakang Yara, tertawa kecil. Nona mudanya kocak juga. "Upeti memangnya untuk apaan, Nona?" timpal Dewi masih dengan kekehan.

"Nyogok, biar dia move on dan lupa sama aku." Yara tertawa kecil, tapi nadanya sumbang. "Atau ngasih tiket terusan rekreasi ke neraka doang, tapi nggak pake nginep di sono," sambungnya.

Celotehan tadi dinilai Dewi sebagai candaan ringan tapi sebetulnya sebagai pengingat diri akan dosa empat tahun silam. Yara tak kuat, dia pun memukul dinding kotak besi sebagai pelampiasan kelemahannya.

Blam.

Tepat pukul 17.30, di sebuah resto hotel, Andaru bangkit berdiri ketika klien yang dia tunggu menghampiri mejanya. Dia berjabat tangan saat kedua pasang netra mereka bersitatap.

"Silakan duduk." Pria yang kini mengenakan setelan casual itu menyilakan beliau duduk di hadapannya.

Andaru menyingkirkan cangkir berisi kopi yang masih mengepul dari hadapan ke sisi kiri. Dia langsung menanyakan kebenaran dua polis milik Jaedy.

Pihak asuransi memfasilitasi pertemuan ini, hingga disambungkan pada agent terkait.

"Maaf, Pak Andaru ada hubungan dengan ahli waris?" tanya sang agent.

CEO Garvi mengangguk. "Tentu." Andaru menyerahkan surat kuasa bertanda tangan keluarga Yara yang diperoleh kemarin. "Tapi tidak berniat mengusik, hanya bertanya langkah klaim dengan kondisi tertentu," jelasnya dengan nada santai.

Sang agent asuransi membenarkan bahwa nasabah atas nama Jaedy menjadi tertanggung di perusahaan tersebut. Almarhum memiliki nilai pertanggungan jiwa yang lumayan untuk kedua ahli warisnya.

"Saya cek Klaimnya, sedang dilakukan peninjauan tahap dua, Pak. Cuma butuh sign masing-masing pemegang polis. Anehnya, beliau memberikan nominal dalam jumlah besar justru pada Jiera," jelasnya.

Pemegang polis harus berusia di atas 17 tahun dan Yara saat itu mungkin belum paham apapun jika diminta menandatangani dokumen penting. Jamila pasti di desak untuk mencairkan dana tersebut tapi tentulah jumlahnya tidak mencukupi guna menutup utang keluarga.

Nomer rekening yang digunakan untuk pencairan klaim premi pun sudah atas nama Jiera meski terdapat CC sang ayah, karena saat itu statusnya masih pelajar.

Kini, Andaru paham motif sang pengusik. Satu hal lagi, akan dia pastikan selain masalah harta. Pertemuan itupun berakhir tepat saat ponsel menantu Jamila berbunyi.

Kriing. Nama seseorang yang familiar terpampang jelas di layar gawai yang tergeletak di atas meja.

"Hem, gimana?" tanya Andaru, sembari meraih cangkir dan meneguk kopinya yang sudah dingin.

"Dapat!" ucap suara di seberang, dengan nada penuh percaya diri.

Andaru terkesiap. Dia menegakkan tubuhnya dan terburu meletakkan cangkir di atas meja. "Yakin?" cecar sang pimpinan.

.

.

(bab 5 6 7 ada sedikit revisi. 16/9/23)

Komen (2)
goodnovel comment avatar
QIEV
Jangan sampai kena doooorrr xixixi
goodnovel comment avatar
Siti Chotijah
awalannya SJ SDH bikin dag...Dig...dug....deeeerrr...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status