Share

BAB 9. TEMAN SEPUH

"Yakin, Bos!" tegasnya lagi. "Dia sudah masuk dalam pengawasan saya baik di sini dan ketika kembali nanti," imbuh sang informan

Andaru mengangguk-angguk puas meski hatinya tidak yakin sampai kapan rencana ini akan bertahan. "Oke lanjutkan."

Sebagai menantu almarhum, sudah menjadi kewajiban Andaru untuk berbakti dengan membantu urusan keluarga Yara. Terlebih dia mampu melakukan itu. Meskipun niatan sebelum menikah, sang CEO mengatakan sebaliknya.

Pandangannya tertuju ke sekeliling sebelum bangkit. Dia melihat jam tangannya lalu meraih rokok dari atas meja dan keluar meninggalkan resto masih dengan ponsel yang menempel di telinga.

"Jam berapa eksekusi?" tanya Andaru lagi. Jemarinya menekan remote sambil terus melangkah mendekati mobil.

"Setelah makan siang," sahutnya cepat. "Tapi, saya sudah minta dia bekerja mulai malam ini, Bos," sambung sang informan.

Pimpinan Garvi Corp telah duduk di belakang kemudi dan menutup pintu mobilnya, tanda harus mengakhiri sambungan udara dengan si pria di ujung sana.

"Bagus. Tetap waspada," pesan Andaru.

Namun, ketika mulai menyalakan mesin dan kakinya akan menginjak pedal gas, ucapan pria di seberang membuat langkah Andaru terjeda.

"Bakal makin waspada kalau ada bonus lagi, Bos," kekehnya tanpa dosa.

Dia berdecak, menggeleng kepala sambil mengelus dada. "Ck, sekalian kamu carikan Aspri yang nggak mata duitan," kesal Andaru memutus panggilan sepihak.

Mulutnya ikut menggembung, membuang napas panjang bermuatan aura negatif petang itu, Sesaat sebelum Porsche Baxter perlahan meninggalkan resto. Membaur dengan kemacetan Jakarta ditemani semburat sinar jingga senja dari balik awan yang mulai redup di penghujung hari.

Aryan Garvi sedang duduk menonton televisi di ruang keluarga saat Yara datang. Dia sekilas melihat kecanggungan gadis itu, menoleh ke kanan kiri kala baru memasuki apartemen cucunya.

Pendiri Garvi Corp berpura tidak mengetahui kedatangan Yara dan bergeming. Fokus melihat ke arah televisi meski bola matanya sesekali melirik.

"Assalamualaikum." Yara menghampiri Aryan dan berdiri di sisi sofa.

Dewi dan seorang wanita berseragam hitam, sibuk membawa koper marun tua entah milik siapa, menuju lantai dua.

Sepuh Garvi tersenyum melihat Yara. "Wa alaikumussalaam, baru pulang Nduk?" tanya Aryan. "Duduk sini, Yara." Jemari tua itu menepuk sisi sofa kosong di sampingnya.

Putri Jaedy tersenyum seraya mengangguk, dia lantas membungkukkan badan, meraih tangan kakek Aryan untuk salim.

Ingin duduk sejenak menemani sang sepuh, tapi panggilan maid membuat Yara mengurungkan niat sebab wanita itu seakan menunggunya.

"Salam kenal, Nyonya. Saya Dedeh," ucap maid, wanita paruh baya yang menyapanya. Dia sedikit membungkuk di hadapan Yara.

Yara mengangguk dengan tatapan lembut, mulai rindu ibunya lagi. Mungkin, usia wanita ini juga sebaya sang mama, pikir Yara.

"Salam kenal juga, saya Kakak," jawab Yara asal, cengengesan seperti biasa sambil mengacungkan dua jari membentuk huruf V.

Aryan menoleh, dia tertawa geli mendengar celotehan cucu menantunya. "Dedek dan Dedeh itu beda, Nduk."

Kakek Andaru itu sampai menepuk lengan sofa karena candaan Yara. "Sekretaris kok rodo nganu," kekehnya lagi.

"Yang penting ayu, Kek." Dia jadi ikutan tertawa. "Pinter itu nomer urut sekian," imbuh Yara, nyengir memamerkan giginya yang putih dan rapi.

Baru satu hari mengenal cucu menantunya tapi Aryan sudah dibuat tertawa keki akibat celotehan Yara. Kali ini, dia merasa cocok dengan istri pilihan Andaru. Hatinya berharap, pernikahan mereka akan langgeng.

Kebahagiaan kecil Yara tak berlangsung lama. Jantungnya mulai berdegup kencang manakala mendengar pintu apartemen dibuka seseorang.

"Assalamualaikum." Suara berat terdengar.

"Wa alaikumussalaam," jawab ketiganya. Dedeh ikut menyahuti sebab dia masih di sana.

"Mari, Nyonya. Kita ke atas," ajak Dedeh, menunjuk dengan jempolnya ke arah tangga.

Andaru menyalami sang kakek dan duduk disampingnya. Dia lalu melihat ke arah Yara yang masih berdiri mematung. "Ehhemm!"

Yara tidak peka, justru berbalik badan dan meminta pada Dedeh agar menunjukkan letak dapur lebih dulu. Dia haus, ingin minum air dingin dari kulkas sembari melihat persediaan bahan makanan untuk membuat kudapan bagi anak jalanan esok pagi.

'Aku gak sempat belanja, apalagi ke kostan buat ngambil baju, laptop dan bahan-bahan masakan. Kira-kira besok diizinkan bikin cemilan di sini nggak, ya?' batin Yara, saat mengekori Dedeh.

"Yara!" panggil Andaru, menggeleng pelan saat istrinya menjauh.

"Biarkan dulu. Dia capek, Daru," bela Aryan yang paham maksud sang cucu.

Yara berhenti lalu berbalik badan. "Ya?"

Andaru menolak pembelaan Aryan untuk istrinya. "Enak aja. Nggak boleh lupa meskipun sepele."

"Jangan galak-galak nanti Yara kabur, kamu yang kelimpungan," timpal Aryan lagi, menepuk lengan cucunya dengan remote TV.

Bola mata Andaru memutar malas. Masih duduk di sofa, dia memiringkan badan lalu mengangkat tangan kanannya ke arah Yara dengan wajah datar.

Yara mengerjap, mencerna sikap Andaru. Dua detik kemudian, bibirnya membentuk huruf O dan berjalan kembali ke arah sofa. "Bilang aja, salim, gitu!"

Mulai kesal karena ucapannya kerap dibantah, Andaru berdecak. Dia ingin Yara bersikap manis padanya di depan Aryan.

Sang CEO lalu bangun dan menarik lengan istrinya menaiki tangga menuju lantai dua. "Ikut!"

"Eehh! ... aku haus!" teriak Yara.

"Mbak, tolong antarkan air minum ke kamar," titahnya dengan suara keras agar maid mendengar.

Langkah panjang Andaru membuat Yara terseret hingga salah satu sepatunya lepas, bahkan tas tangan pun jatuh di atas anak tangga.

"Daru! ya ampun, kasihan anak orang," seru Aryan lantang bergegas jalan ke arah tangga. "Daru!"

Pintu master bedroom terbuka, Andaru menghempaskan tubuh ramping Yara ke tempat tidur.

"Aahh!" pekik Yara saat badannya terduduk di sisi ranjang lalu jatuh terlentang di atas kasur.

Andaru mendekat, dia meraih kedua pergelangan tangan Yara dan menahannya di atas kepala dengan tangan kiri . Kaki kanan pun ikut bertumpu di sisi ranjang, hampir menindih tubuh Yara.

"Kalau di rumah, perlakukan aku layaknya istri melayani seorang suami," bisiknya, menepuk pipi Yara dengan tangan kanan.

Kedua netra saling bersitatap tegang. Bukankah tidak ada perjanjian di antara mereka. Ingin membantah tetapi Yara memilih diam. Bukan karena takut, hanya saja dia sadar diri belum menggosok gigi setelah lunch tadi. Juga tak ingin Andaru mengejek jika napasnya bau.

"Mengerti?" Tubuh atletis itu menjauh. Dia menyeringai sambil melepas bajunya di hadapan Yara yang masih melentang.

Gadis itu membuang wajah ke samping saat Andaru melucuti satu per satu pakaiannya sepanjang langkah menuju kamar mandi.

Yara mendesis, bangun perlahan dan melihat baju yang berserakan di lantai. "Sabar," gumamnya, mulai memunguti semua pakaian Andaru yang berceceran, lalu menumpuknya di sudut ruangan.

Maghrib hingga isya, dilewati biasa saja. Mereka beribadah masing-masing. Yara masih memakai setelan kerjanya sebab dia tidak membawa baju ganti. Gadis itu duduk di sofa sambil berdzikir.

"Bajumu di sebelah kanan." Andaru berlalu pergi keluar kamar.

Yara bergegas membersihkan diri mumpung kondisi sepi. Melihat kamar mandi yang begitu luas, dia begidik ngeri dan buru-buru keluar dari sana.

Karena kelelahan dan bingung tidak tahu ingjn mengerjakan apa, akhirnya Yara melewatkan makan malam dan tertidur di sofa.

Maid mengantar menu sehat ke kamar saat Yara sudah memejam, sehingga makanan itu masih utuh di serving table.

Andaru masuk ke kamar menjelang tengah malam. Dia mendekati sofa dan melihat isi pinggan masih utuh. Tatapannya lalu beralih, tertuju pada gadis ayu yang sudah terlelap.

"Cantik. Benarkah masa lalumu begitu kelam, Yara?"

Semalam, tidurnya sangat pulas sampai membuat Yara bangun kesiangan. Dia tidak menjumpai siapapun di dalam kamar. Hingga menjelang sarapan, suasana apartemen begitu sepi.

"Masih pada olah raga, Nyonya. Silakan duluan," kata Dedeh, hendak menarik kursi ketika melihat majikannya turun.

Yara menggeleng, menahan lengan Dedeh. Dia melihat jam tangannya lalu bergegas keluar apartemen.

"Nyonya!" panggil Dedeh lagi.

Yara menoleh, lalu binar matanya berkaca-kaca. Dedeh membawa sesuatu untuknya.

"Nggak tahu rasanya enak atau tidak." Dedeh menyerahkan box snack berisi risoles pada Yara.

"Makasih banyak. A-aku berangkat ya, Mbak." Yara terbata, lalu meraih tangan Dedeh dan menciumnya sebelum membuka pintu. Membuat maid tadi terkejut.

Langkah Yara mantap, dia menyeka butir haru di ujung netra.

Saat berdiri di depan lift, tiba-tiba Andaru memanggilnya. Lelaki itu mengatakan bahwa dia harus bersiap jika siang nanti bertemu seseorang.

"Siapa?" tanya Yara.

Andaru hanya mengendikkan bahu dan berlalu pergi.

.

.

Komen (4)
goodnovel comment avatar
QIEV
Makasih ayanggku
goodnovel comment avatar
Hariantini Banati
wooow mantap
goodnovel comment avatar
Nur Azizah Cirebon
slalu kereen pokoe
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status