"Yakin, Bos!" tegasnya lagi. "Dia sudah masuk dalam pengawasan saya baik di sini dan ketika kembali nanti," imbuh sang informan
Andaru mengangguk-angguk puas meski hatinya tidak yakin sampai kapan rencana ini akan bertahan. "Oke lanjutkan."Sebagai menantu almarhum, sudah menjadi kewajiban Andaru untuk berbakti dengan membantu urusan keluarga Yara. Terlebih dia mampu melakukan itu. Meskipun niatan sebelum menikah, sang CEO mengatakan sebaliknya.Pandangannya tertuju ke sekeliling sebelum bangkit. Dia melihat jam tangannya lalu meraih rokok dari atas meja dan keluar meninggalkan resto masih dengan ponsel yang menempel di telinga."Jam berapa eksekusi?" tanya Andaru lagi. Jemarinya menekan remote sambil terus melangkah mendekati mobil."Setelah makan siang," sahutnya cepat. "Tapi, saya sudah minta dia bekerja mulai malam ini, Bos," sambung sang informan.Pimpinan Garvi Corp telah duduk di belakang kemudi dan menutup pintu mobilnya, tanda harus mengakhiri sambungan udara dengan si pria di ujung sana."Bagus. Tetap waspada," pesan Andaru.Namun, ketika mulai menyalakan mesin dan kakinya akan menginjak pedal gas, ucapan pria di seberang membuat langkah Andaru terjeda."Bakal makin waspada kalau ada bonus lagi, Bos," kekehnya tanpa dosa.Dia berdecak, menggeleng kepala sambil mengelus dada. "Ck, sekalian kamu carikan Aspri yang nggak mata duitan," kesal Andaru memutus panggilan sepihak.Mulutnya ikut menggembung, membuang napas panjang bermuatan aura negatif petang itu, Sesaat sebelum Porsche Baxter perlahan meninggalkan resto. Membaur dengan kemacetan Jakarta ditemani semburat sinar jingga senja dari balik awan yang mulai redup di penghujung hari.Aryan Garvi sedang duduk menonton televisi di ruang keluarga saat Yara datang. Dia sekilas melihat kecanggungan gadis itu, menoleh ke kanan kiri kala baru memasuki apartemen cucunya.Pendiri Garvi Corp berpura tidak mengetahui kedatangan Yara dan bergeming. Fokus melihat ke arah televisi meski bola matanya sesekali melirik."Assalamualaikum." Yara menghampiri Aryan dan berdiri di sisi sofa.Dewi dan seorang wanita berseragam hitam, sibuk membawa koper marun tua entah milik siapa, menuju lantai dua.Sepuh Garvi tersenyum melihat Yara. "Wa alaikumussalaam, baru pulang Nduk?" tanya Aryan. "Duduk sini, Yara." Jemari tua itu menepuk sisi sofa kosong di sampingnya.Putri Jaedy tersenyum seraya mengangguk, dia lantas membungkukkan badan, meraih tangan kakek Aryan untuk salim.Ingin duduk sejenak menemani sang sepuh, tapi panggilan maid membuat Yara mengurungkan niat sebab wanita itu seakan menunggunya."Salam kenal, Nyonya. Saya Dedeh," ucap maid, wanita paruh baya yang menyapanya. Dia sedikit membungkuk di hadapan Yara.Yara mengangguk dengan tatapan lembut, mulai rindu ibunya lagi. Mungkin, usia wanita ini juga sebaya sang mama, pikir Yara."Salam kenal juga, saya Kakak," jawab Yara asal, cengengesan seperti biasa sambil mengacungkan dua jari membentuk huruf V.Aryan menoleh, dia tertawa geli mendengar celotehan cucu menantunya. "Dedek dan Dedeh itu beda, Nduk."Kakek Andaru itu sampai menepuk lengan sofa karena candaan Yara. "Sekretaris kok rodo nganu," kekehnya lagi."Yang penting ayu, Kek." Dia jadi ikutan tertawa. "Pinter itu nomer urut sekian," imbuh Yara, nyengir memamerkan giginya yang putih dan rapi.Baru satu hari mengenal cucu menantunya tapi Aryan sudah dibuat tertawa keki akibat celotehan Yara. Kali ini, dia merasa cocok dengan istri pilihan Andaru. Hatinya berharap, pernikahan mereka akan langgeng.Kebahagiaan kecil Yara tak berlangsung lama. Jantungnya mulai berdegup kencang manakala mendengar pintu apartemen dibuka seseorang."Assalamualaikum." Suara berat terdengar."Wa alaikumussalaam," jawab ketiganya. Dedeh ikut menyahuti sebab dia masih di sana."Mari, Nyonya. Kita ke atas," ajak Dedeh, menunjuk dengan jempolnya ke arah tangga.Andaru menyalami sang kakek dan duduk disampingnya. Dia lalu melihat ke arah Yara yang masih berdiri mematung. "Ehhemm!"Yara tidak peka, justru berbalik badan dan meminta pada Dedeh agar menunjukkan letak dapur lebih dulu. Dia haus, ingin minum air dingin dari kulkas sembari melihat persediaan bahan makanan untuk membuat kudapan bagi anak jalanan esok pagi.'Aku gak sempat belanja, apalagi ke kostan buat ngambil baju, laptop dan bahan-bahan masakan. Kira-kira besok diizinkan bikin cemilan di sini nggak, ya?' batin Yara, saat mengekori Dedeh."Yara!" panggil Andaru, menggeleng pelan saat istrinya menjauh."Biarkan dulu. Dia capek, Daru," bela Aryan yang paham maksud sang cucu.Yara berhenti lalu berbalik badan. "Ya?"Andaru menolak pembelaan Aryan untuk istrinya. "Enak aja. Nggak boleh lupa meskipun sepele.""Jangan galak-galak nanti Yara kabur, kamu yang kelimpungan," timpal Aryan lagi, menepuk lengan cucunya dengan remote TV.Bola mata Andaru memutar malas. Masih duduk di sofa, dia memiringkan badan lalu mengangkat tangan kanannya ke arah Yara dengan wajah datar.Yara mengerjap, mencerna sikap Andaru. Dua detik kemudian, bibirnya membentuk huruf O dan berjalan kembali ke arah sofa. "Bilang aja, salim, gitu!"Mulai kesal karena ucapannya kerap dibantah, Andaru berdecak. Dia ingin Yara bersikap manis padanya di depan Aryan.Sang CEO lalu bangun dan menarik lengan istrinya menaiki tangga menuju lantai dua. "Ikut!""Eehh! ... aku haus!" teriak Yara."Mbak, tolong antarkan air minum ke kamar," titahnya dengan suara keras agar maid mendengar.Langkah panjang Andaru membuat Yara terseret hingga salah satu sepatunya lepas, bahkan tas tangan pun jatuh di atas anak tangga."Daru! ya ampun, kasihan anak orang," seru Aryan lantang bergegas jalan ke arah tangga. "Daru!"Pintu master bedroom terbuka, Andaru menghempaskan tubuh ramping Yara ke tempat tidur."Aahh!" pekik Yara saat badannya terduduk di sisi ranjang lalu jatuh terlentang di atas kasur.Andaru mendekat, dia meraih kedua pergelangan tangan Yara dan menahannya di atas kepala dengan tangan kiri . Kaki kanan pun ikut bertumpu di sisi ranjang, hampir menindih tubuh Yara."Kalau di rumah, perlakukan aku layaknya istri melayani seorang suami," bisiknya, menepuk pipi Yara dengan tangan kanan.Kedua netra saling bersitatap tegang. Bukankah tidak ada perjanjian di antara mereka. Ingin membantah tetapi Yara memilih diam. Bukan karena takut, hanya saja dia sadar diri belum menggosok gigi setelah lunch tadi. Juga tak ingin Andaru mengejek jika napasnya bau."Mengerti?" Tubuh atletis itu menjauh. Dia menyeringai sambil melepas bajunya di hadapan Yara yang masih melentang.Gadis itu membuang wajah ke samping saat Andaru melucuti satu per satu pakaiannya sepanjang langkah menuju kamar mandi.Yara mendesis, bangun perlahan dan melihat baju yang berserakan di lantai. "Sabar," gumamnya, mulai memunguti semua pakaian Andaru yang berceceran, lalu menumpuknya di sudut ruangan.Maghrib hingga isya, dilewati biasa saja. Mereka beribadah masing-masing. Yara masih memakai setelan kerjanya sebab dia tidak membawa baju ganti. Gadis itu duduk di sofa sambil berdzikir."Bajumu di sebelah kanan." Andaru berlalu pergi keluar kamar.Yara bergegas membersihkan diri mumpung kondisi sepi. Melihat kamar mandi yang begitu luas, dia begidik ngeri dan buru-buru keluar dari sana.Karena kelelahan dan bingung tidak tahu ingjn mengerjakan apa, akhirnya Yara melewatkan makan malam dan tertidur di sofa.Maid mengantar menu sehat ke kamar saat Yara sudah memejam, sehingga makanan itu masih utuh di serving table.Andaru masuk ke kamar menjelang tengah malam. Dia mendekati sofa dan melihat isi pinggan masih utuh. Tatapannya lalu beralih, tertuju pada gadis ayu yang sudah terlelap."Cantik. Benarkah masa lalumu begitu kelam, Yara?"Semalam, tidurnya sangat pulas sampai membuat Yara bangun kesiangan. Dia tidak menjumpai siapapun di dalam kamar. Hingga menjelang sarapan, suasana apartemen begitu sepi."Masih pada olah raga, Nyonya. Silakan duluan," kata Dedeh, hendak menarik kursi ketika melihat majikannya turun.Yara menggeleng, menahan lengan Dedeh. Dia melihat jam tangannya lalu bergegas keluar apartemen."Nyonya!" panggil Dedeh lagi.Yara menoleh, lalu binar matanya berkaca-kaca. Dedeh membawa sesuatu untuknya."Nggak tahu rasanya enak atau tidak." Dedeh menyerahkan box snack berisi risoles pada Yara."Makasih banyak. A-aku berangkat ya, Mbak." Yara terbata, lalu meraih tangan Dedeh dan menciumnya sebelum membuka pintu. Membuat maid tadi terkejut.Langkah Yara mantap, dia menyeka butir haru di ujung netra.Saat berdiri di depan lift, tiba-tiba Andaru memanggilnya. Lelaki itu mengatakan bahwa dia harus bersiap jika siang nanti bertemu seseorang."Siapa?" tanya Yara.Andaru hanya mengendikkan bahu dan berlalu pergi..."Dikit lagi, Sayang. Raaa," bisik Andaru di telinga Yara. "Ara-ku adalah ibu hebat, semangat sambut adek," imbuhnya dengan nada bergetar, antara tega dan tidak.Sesuai arahan dokter, Yara menarik napas pendek sebelum memulai lagi. Dia tetap tenang tanpa teriakan atau jeritan. Hanya hembusan lirih dari mulutnya meski sakit hebat terasa berdenyut di bawah sana. Tatapan mata Yara kini tak lepas dari manik mata elang yang jua tengah memandangnya. Anggukan, belaian dari Andaru juga bisikan salawat di telinga membuat Yara memiliki kekuatan lebih.Air mata sang CEO ikut menetes manakala Yara terisak. "Mas ridho, 'kan?" lirih Yara."Banget, Ra, banget," balasnya sangat pelan dan terisak tak melepas pandangan mereka."Yuk, lagi Bu. Tarik napas pelan, sambil bilang aaahh ya, lembut aja ... lembut." Perintah dokter pada Yara kembali terdengar.Pimpinan Garvi lantas ikut membimbing Yara dan tak lama. "Oeeekkk!" "Mamaaaaaa," lirih Yara lemas dan langsung didekap Andaru. "Alhamdulillah. Ibunya p
Aryan yang sedang berada di teras dengan Yono, memperhatikan mobil Andaru berhenti sejenak untuk menurunkan Dewi lalu melaju kembali."Lah, kenapa jalan lagi?" tanya Aryan pada aspri Yara yang tergesa memasuki rumah Dewi berhenti, membungkuk ke arah Aryan sekilas. "Nona kontraksi, Tuan besar. Bos Daru langsung ke rumah sakit lagi," beber Dewi. Setelah itu dia berlari ke dalam menuju kamar Andaru. Seketika Aryan ikut panik, dia meminta Yono menyiapkan mobil karena akan menyusul pasangan Garvi, konvoi dengan Dewi.Selama di perjalanan, panggilan seluler tak Andaru hiraukan karena terfokus pada Yara yang beberapa kali mendesis kesakitan. "Mo, tolong call kakak, Didin dan mama." Andaru memberi perintah saat mobil mulai masuk ke teras IGD. "Baik, Bos." Bimo mengangguk dan ikut turun ketika Andaru mulai menarik tuas pintu.Sang CEO pun gegas, berlari ke sisi kiri mobil dan membuka pintunya. Dia menggamit pinggang Yara dan menarik perlahan sembari tetap meminta Yara agar mengatur napas.
Andini mengirimkan pesan pada Andaru berisi berita tentang Afreen yang tengah sakit dan dalam kondisi koma saat ini. Dia ingin menjenguknya esok hari bila diizinkan. Pesan telah terkirim, sang designer pun mematikan ponsel lalu bersiap tidur.Andini baru sekilas membaca balasan DM dari pria yang dia kenali. Tadi, pikirannya langsung terpusat pada sang sahabat sekaligus mantan istri Andaru itu, sehingga dia belum mencerna dengan benar informasi dari Chris.Bada subuh, Andaru meminta Yara mengambilkan ponsel, setelah berhasil mengaji dua halaman di mushaf kesayangan. "Bacain aja Ra, kalau ada pesan. Sandinya tanggal lahir kamu," kata Andaru masih duduk di sofa."Lah, nanti ketauan sama aku dong," balas Yara yang berdiri disamping nakas lalu berjalan menghampiri suaminya. "Ketauan apaan? ... ponsel dan hatiku bersih dari para hama," sahut Andaru sambil merentang lengan menyambut istrinya."Ya kali pake aplikasi discord juga," kekeh Yara, keki dengan berita viral di aplikasi goyang.And
Dua hari berlalu, Andaru bersiap pulang dengan Yara ke Jakarta. Dia sedang duduk di lantai, memakaikan kaus kaki Istrinya ketika Brotoyudho menegur sang cucu menantu, dan ikut bergabung dengan mereka."Mas, kakek barusan dapat telpon dari pengacara kalau Andra sedang diajukan pindah rutan," ujarnya setelah mendaratkan bokongnya disamping Yara.Andaru mendongak sekilas lalu kembali fokus merapikan jempol kaki Yara agar masuk ke lubangnya. "Terus?" Brotoyudho menatap lembut sang cucu mantu. "Makasih ya, Mas." Andaru bergeming, dia enggan menanggapi. Semua itu dilakukan untuk mejauhkan Anton dari Yara sekaligus agar Brotoyudho leluasa menjenguk setiap hari bila sang paman dipindahkan ke Jogja.Mereka akan intens pergi pulang Semarang Jakarta, rasanya segan jika menolak ajakan Jamila untuk mengunjungi pria bejat itu karena alasan masih satu kota dan jaraknya dekat dengan kediaman Jaedy, sementara Yara masih sedikit trauma."Kenapa, Kek?" tanya Jazli ikut duduk di lantai menghadap punggu
Jazli berdecak sebal karena usaha melabuhkan stempel di pipi Faiqa digagalkan seorang bocah yang mengetuk kaca mobilnya dari luar.Faiqa tertawa kecil melihat wajah suaminya menahan kesal. Dia lantas menurunkan kaca mobil dan menyapa pelaku penggerebekan kemesraan mereka."Kamu pulang, Dek?" tanya Faiqa pada seorang remaja pria yang sumringah.Kopiah yang tak terpasang dengan benar di kepala, rambut jabrik basah menyembul di sana sini, tak lupa senyuman manis di wajah bulat, membuat paras remaja pria itu terlihat lucu. Tampan tapi berpenampilan slebor. Faiqa mengelus pipinya yang chubby, lalu membenarkan rambut dan letak kopiahnya saat dia meminta salim."Iya, dijemput jiddah-nenek. Mbak lagi apa?" tanyanya malu-malu seraya mengintip ke sosok di sebelah sang kakak.Jazli menekan tombol di pintu lalu keluar dari balik kemudi. Dia berdiri dan menyandarkan satu lengan di atas kap mobilnya. "Faisal, ya?" Lelaki muda yang masih memakai sarung itu berdiri tegak, melempar pandang ke arah p
Andini menggerutu kala masuk ke mobil dan meninggalkan cafe tadi. Dia kira ketika meminta bertemu dengannya tadi, mereka bakal membahas pekerjaan, tapi malah unfaedah."Gue dah diwanti Dadar buat jauhin lu. Bisa digorok kalau bantuin lagi, Af. Lagian salah lu ngapa buang waktu gitu aja padahal effort Dadar buat pertahanin lu dulu nggak main-main." "Dadar rela nyusulin kemanapun lu transit meski harus pergi pulang di hari yang sama. Lu nggak komit dan malah puter fakta kalau ini salah Dadar. Kurang apa abang gue itu ... sekarang dia bucinin neng geulis, aaah so sweet, mukanya girang mulu saban hari. Gue nggak mau mereka pisah," omel Andini, menghela napas berat sembari mencengkeram erat stir mobil.Tiiin. Suara klakson dari belakang. Andini terkejut, buru-buru melaju pelan. Tiba-tiba seorang pria mengendarai motor CBR 250R berhenti di sebelah Honda Civic yang Andini kendarai, dia mengetuk kaca mobilnya dua kali. Tuk. Tuk."Menepi di depan, ban kiri Nona kempes parah," katanya lantang