Share

PART 3. NOMOR SIAPA?

“Ya, saya baik-baik saja!” sahut Adrian dingin.

Tamika memandang ke arah pria itu penuh selidik. “Apa Anda kerabat Tuan Sanders?” tanyanya kemudian.

Pria itu mengangguk hormat seraya menyunggingkan senyuman lembut di wajahnya yang terlihat sangar. “Ya. Saya Johan, asisten pribadi Tuan Sanders. Terima kasih, atas kebaikan hati Nona sudah sudi menolong Tuan Sanders.”

“Syukurlah." Tamika menghela napas lega. "Kalau begitu, saya pamit undur diri. Tuan Sanders, semoga Anda lekas sembuh!” ujarnya kemudian.

Tamika perlahan mundur dan berbalik menuju pintu, membuat senyuman tipis seperti bulan sabit tercetak jelas di wajah Adrian yang rupawan. Tak sedetik pun ia mengalihkan pandangan dari sosok gadis yang telah menolongnya itu. Menatap kepergian Tamika yang menghilang di balik pintu.

“Sudah lama saya tidak melihat Anda tersenyum seperti itu di hadapan seorang wanita. Apa Anda menyukainya?” Johan mencoba menggoda Adrian, membuat wajah pria itu merengut kemudian berdecak kesal.

“Jangan becanda! Carikan saya informasi tentang gadis itu! Semuanya.”

*

Semalaman suntuk, wajah Adrian terus saja terbayang dalam benak Tamika. Entah mengapa, dia merasa tertarik pada pria dewasa tersebut. Hal yang belum pernah terjadi sebelumnya, Tamika memikirkan pria lain selain Evan.

Mungkin karena rasa cintanya berubah haluan menjadi rasa benci bercampur jijik dalam sekejap mata. Setelah menyaksikan sendiri video panasnya dengan Agnes, yang notabene adalah sahabat Tamika sendiri.

Tamika menghela napas seraya mematut diri di depan cermin. Senyuman getir menghiasi wajahnya yang teduh, menatap pantulan wajahnya sendiri yang terlihat sedikit sembab. Bukan karena banyak menangisi Evan, melainkan sosok Adrian yang benar-benar membuat malamnya begitu berantakan.

“Kenapa Om Tampan itu mengganggu tidurku?” Tamika sedikit merutuk.

“Apa salahku, sampai hati Agnes menusukku seperti ini? Apa kurangku sampai Evan mengkhianatiku sekejam ini?” Tamika kembali menghela napas secara perlahan. Berharap, rasa sesak yang masih mendera dadanya akan berkurang.

“Tidak ada yang salah darimu, Sayang. Kamu itu pasangan yang terlalu baik untuk Evan. Kamu juga sahabat yang selalu ada untuk Agnes.”

Tamika menoleh ke arah pintu yang memang tidak tertutup rapat. Menatap Hannah yang berdiri di ambang pintu dengan senyuman lembut yang bisa membuat suasana hatinya sedikit membaik.

“Hanya saja, mereka yang terlalu jahat untukmu. Ibu paham, kamu masih belum bisa mengabaikan rasa sakitmu. Tapi, ibu yakin setelah ini akan ada hal indah yang akan  segera menyambutmu. Bersabarlah!”

“Apa akan ada pria yang mau menikahiku, Bu? Setelah semua ini terjadi kepadaku,” tanyanya menatap lekat sang ibu. “Orang-orang pasti akan mengolok-olokku. Wanita yang batal menikah.”

Dengan senyuman tulus mengembang di wajahnya, Hannah menyahuti, “tentu saja, Sayang. Kenapa kamu berpikiran seperti itu?” Hannah menoel hidung mancung anak gadisnya itu. “Jangan dengarkan perkataan orang lain, fokuslah pada kebahagiaanmu sendiri! Ibu percaya, suatu hari nanti akan ada pria yang mau menerima semua masa lalumu. Sepahit apapun masa lalumu, dia akan tetap menyayangi kamu, melebihi rasa sayang terhadap dirinya sendiri.”

Tamika bergeming, kembali menatap pantulan wajahnya di cermin. “Semoga saja, Bu!” ucapnya lirih, merasa tidak yakin dengan apa yang ia katakan.

Tak ada lagi obrolan tentang pengkhianatan itu. Kini, keduanya terlibat dalam obrolan yang menyenangkan tentang liburan minggu kemarin yang mereka jalani.

“Cantiknya anak ibu!” puji Hannah. Dia terpaku sejenak menatap penampilan anak gadisnya yang mulai beranjak dewasa itu. Kemudian, dua wanita cantik berbeda generasi itu berjalan beriringan menuju lantai bawah.

“Tamika, lebih baik kamu membantu Makisha mengurus sapi-sapi di peternakan! Semenjak ayah sakit, ayah sudah jarang pergi ke peternakan. Kasihan Makisha kalau harus mengelola semuanya sendirian,” usul Adam. “Lagipula, bayaran dari mengajar itu tidak seberapa. Tidak seimbang dengan apa yang kamu lakukan di sekolah.”

Tamika menghela napas kasar. Adam memang selalu seperti itu, membujuk Tamika agar berhenti mengajar dan membantu Makisha untuk mengurus usaha keluarga.

“Ayah, aku lebih suka mengurus anak-anak manusia, dibanding dengan mengurus anak-anak sapi. Jadi, aku mohon berhentilah membujukku!”

Setelah mengatakan hal tersebut, Tamika mencium pipi kedua orang tuanya dan bergegas berlari keluar rumah. Tak ingin berlama-lama dengan semua bujuk rayu yang Adam lontarkan.

*

“Astaga, dasar anak nakal!” Adam berteriak cukup kencang membuat gadis berusia 22 tahun itu terbahak kencang.

“Aku tidak menyangka, nasib pernikahan anak gadis kita akan berujung tragis.” Hannah menghela napas. “Sebenanya, dari awal aku sedikit curiga pada Agnes. Di mataku, anak itu sering mencuri-curi perhatian pada Evan. Bahkan, aku pernah melihat mereka berduaan di sebuah tempat perbelanjaan.”

“Mau bagaimana lagi? Yang paling penting,  sekarang Tamika baik-baik saja!” Adam menyeruput kembali kopinya yang tinggal setengah.

*

“Apa kau sudah mendengar kabar kalau pernikahan Miss Tamika terancam batal? Video mesum calon suaminya sudah tersebar luas. Sumpah, aku tidak menyangka kalau pemeran perempuan dalam video itu Miss Agnes, teman dekatnya sendiri.”

“Ya, aku dengar. Dia benar-benar tega menusuk teman dekatnya sendiri dari belakang. Apa dia lupa, kalau Miss Tamika yang membantu biaya operasi ayahnya dulu?”

“Miris sekali, kebaikan Miss Tamika dibalas dengan pengkhianatan.”

“Betul. Kasihan Miss Tamika. Padahal pernikahan mereka sudah di depan mata. Kartu undangan juga sudah disebar. Benar-benar biadab. Semoga saja, Miss Tamika akan mendapatkan pria yang jauh lebih baik dari mantan calon suaminya itu.”

“Lalu, bagaimana dengan Miss Agnes sekarang? Aku dengar, dia sudah diberhentikan secara tidak hormat.”

“Ya, aku juga dengar itu. Syukurlah, kalau Kepala Sekolah langsung bertindak. Secara tidak langsung, Miss Agnes sudah mencemarkan nama baik sekolah kita. Dia memang pantas dipecat.”

Tamika menghela napas panjang mendengar semuanya. “Ternyata, semua orang sudah mengetahuinya,” gumamnya pelan hampir tak terdengar. Kini, dia sedang bersandar di balik pintu menyimak semua obrolan rekan kerjanya tentang perselingkuhan yang dilakukan oleh calon suami Tamika dengan sahabat Tamika sendiri, yang memang merupakan salah satu pengajar di sana juga.

Gadis itu kembali menghela napas panjang meredam semua kegundahan yang ia rasakan, sebelum melangkah masuk ke dalam ruangan tersebut.

Menyadari akan kehadiran Tamika, mereka yang tengah membicarakannya terperangah. Wajah para wanita itu berubah panik, tetapi Tamika bersikap seolah-olah dia tidak mendengar apapun yang mereka katakan.

"Selamat pagi, semuanya!" sapa Tamika kepada mereka.

“Eh, Miss Tamika! Selamat pagi juga,” balas Angela. Dia tersenyum canggung, begitu pun dengan para pengajar lain yang berada di ruangan tersebut.

Tamika tak menghiraukan kecanggungan mereka dan bergegas menyiapkan buku yang akan ia bawa ke dalam kelas. Sebab, bel sebentar lagi akan berbunyi. Menandakan jika jam pertama pelajaran akan segera dimulai.

“Saya ke ruang kelas dulu kalau begitu, permisi semuanya,” pamit Tamika pada semua pengajar yang berada di sana. Dia melangkahkan kaki ke luar dari ruangan tersebut.

Sebelum masuk ke dalam kelas, Tamika berdehem, mengurangi rasa kering di tenggorokannya.

"Selamat pagi, anak-anak!"

"Pagi, Miss!" jawab para siswa dengan serempak.

Pelajaran pun dimulai. Di sekolah itu, Tamika mengajar di kelas musik. Dulu, saat dirinya masih kecil, cita-cita Tamika adalah menjadi musisi yang terkenal.

Berhubung kendala izin dari sang ayah, Tamika harus merelakan cita-citanya itu menguap begitu saja dan terkubur dalam-dalam. Alhasil, kini Tamika hanya bisa menjadi pengajar kelas musik berbekal kepiawaiannya memainkan berbagai macam alat musik.

Jam di tangan Tamika sudah menunjukkan pukul empat sore hari. Dengan kasar, Tamika mengusap wajahnya yang terlihat begitu lelah. Lelah karena semua omongan yang ditujukan kepadanya. Dia yakin pembicaraan-pembicaraan tentang Agnes ataupun hubungannya dengan Evan akan senantiasa ia dengar untuk beberapa hari kedepan.

Tamika semakin larut dalam lamunan, hingga gadis itu tersadar saat dering telepon mengagetkannya.

‘Nomor siapa ini?’ Gadis itu membatin.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status