Share

PART 6. BUKAN SEPERTI INI

“Dasar manusia bodoh! Otak udang! Bisa-bisanya dia terpikat dengan wanita taruhan seperti Agnes. Astaga, anakmu itu memang senang sekali membuat ulah.” Darren mengacak rambutnya frustrasi. “Lihatlah! Gara-gara si anak sialan itu, rencana yang sudah aku susun matang-matang, harus gagal seperti ini.”

Elena tak menyahuti. Dia telah mengenal karakter suaminya lebih dari seperempat abad lamanya, hanya bisa menghela napas panjang kemudian membenarkan anak rambut yang terurai ke wajah. Ucapan Darren memang benar. Kerjasama yang akan dijalani oleh kedua bisnis keluarga itu terancam batal. Ah, bukan terancam lagi, memang benar-benar sudah batal.

Semua karena ulah anak lelaki satu-satunya, Evan Mattew.

Saat pertama kali Elena mendengar jika Evan mengencani Agnes, dia menyangkal berita itu mentah-mentah. Bahkan Elena sempat memarahi anak tertuanya dan menuduh Erica berbicara yang bukan-bukan tentang Evan. Namun, setelah dirinya menyaksikan video tersebut, jantungnya seakan berhenti berdetak, kepalanya seakan berhenti berpikir. Mendadak dunia seakan berhenti berputar.

“Sekarang, kemana anak sialan itu? Sudah jam segini dia belum pulang juga. Awas saja, kalau dia tidak berhasil membujuk Tamika kembali, aku akan mencoret namanya dari daftar pewaris perusahaan.” Darren kembali mengambil alih perhatian Elena, kemudian wanita itu menghampiri pria yang sedang dirundung amarah.

“Sudahlah, kau jangan terlalu menekan Evan seperti itu! Kita cari saja peternakan lain yang mau memakai pakan yang pabrik kita produksi. Aku yakin, pasti masih ada peternakan yang masih mau memakai pakan produksi kita,” usul Elena. Tentu saja itu membuat Darren meradang.

“Enteng sekali kau bicara! Kalau kita menjualnya pada peternakan lain, mereka akan mematok harga murah jauh dari pasaran. Pabrik kita tidak akan mendapat keuntungan besar seperti yang akan kita dapatkan jika bekerjasama dengan peternakan milik Adam.

Walaupun peternakan miliknya tidak terlalu besar, dia satu-satunya sumber kekuatan bagi pabrik kita. Lagipula, Sebagian besar peternakan di wilayah ini sudah tidak mau mengambil pakan dari pabrik kita.” Nada bicaranya melemah seiring dengan matanya menerawang, menatap lurus ke depan.

Benar apa yang Darren katakan. Sudah tidak ada lagi yang mempercayai pabrik pakan miliknya, imbas dari kesalahan teknis tempo lalu. Dimana kecerobohan salah satu karyawannya berakibat fatal bagi perusahaan menengah tersebut. Berkat bantuan Adam, mungkin saja perusahaan miliknya sudah gulung tikar.

Beruntung, saat itu Tamika jatuh cinta pada Evan. Jadi, Darren mengambil kesempatan itu untuk memperpanjang umur pabrik dengan dalih menyatukan bisnis keluarga. Namun, sekarang … semua rencana itu sudah pupus. Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan selain memohon pada Tamika.

Terdengar suara pintu utama di dorong dengan kasar, membuat Elena melirik ke arah Darren. Kemudian keduanya pergi memeriksa apa yang telah terjadi.

Di ambang pintu, Evan berjalan dengan sempoyongan, wajahnya sudah tidak berbentuk lagi. Penuh luka lebam dan darah yang mulai tampak mengering. Pemuda itu meracau tidak jelas, kadang tertawa sendiri lalu tiba-tiba berteriak bak kesetanan.

Menyaksikan Evan dengan kondisi seperti itu, napas Darren memburu dengan tangan sudah mengepal sepenuhnya. Pria yang berusia separuh abad lekas menatap Evan dengan tatapan murka. Bisa-bisanya dia mabuk-mabukan setelah apa yang sudah terjadi. Lantas Darren mendekat dengan langkah lebar.

BUGH!

Satu pukulan tepat mengenai wajah Evan. Pemuda itu terhuyung ke belakang, meringis sebentar lalu tertawa seperti orang gila. Sedangkan Elena menjerit histeris kemudian meraih tubuh Evan yang hampir limbung. Bau alcohol yang menyengat menguar dari mulut Evan, membuat wanita berambut pendek itu mengibaskan tangannya, tidak tahan dengan aroma tersebut.

“Dasar anak tidak tau diri! Berani-beraninya kau pulang dengan keadaan seperti ini?” Darren menatap Evan dengan nyalang. Tangannya sudah terkepal hendak memukul kembali, tetapi Elena sontak menghalaunya. Membawa Evan ke dalam pelukan.

Sebagai seorang ibu, dirinya tidak rela jika anak laki-laki semata wayangnya menjadi sasaran amukan ayahnya sendiri.

“Biarkan dia istirahat dulu. Mana bisa kau memarahi orang yang sedang mabuk seperti ini. Kau akan sama gilanya seperti dia,” pungkas Elena. Menarik tubuh pria jangkung itu untuk berdiri, kemudian melangkahkan kaki menyeret Evan yang seakan tidak bertulang.

Elena kesulitan dan hampir terhuyung, tetapi dia berusaha menyeimbangkan kembali langkahnya.

“Terus! Terus saja kau lindungi anak tidak tau diuntung itu. Buat apa dia hidup, kalau hanya menyusahkan saja. Bukannya semakin besar itu semakin dewasa, malah semakin bodoh. Dasar otak selangkangan!” Teriakan Darren tidak ditanggapi oleh Elena, terus saja melangkah dengan gerutuan dan umpatan kasar yang Darren lontarkan untuk anaknya.

Dengan sekuat tenaga, Elena membaringkan tubuh Evan di ranjang kamarnya. Pemuda itu berteriak-teriak memanggil nama Tamika dengan mata yang terpejam.

“Tamika … kembalilah kepadaku? Bukannya katamu kau sangat mencintaiku. Lalu kenapa kau menyudahi semuanya? Maafkan aku, aku hanya menikmati tubuhnya saja. Yang aku cinta hanya kau seorang, Tamika!” racau pemuda itu.

Menyaksikannya, Elena hanya menghela napas kasar kemudian menyelimuti pemuda itu hingga batas dada. Senyuman getir menghiasi wajahnya.

“Kenapa kau menjadi laki-laki menyedihkan seperti ini, Evan? Ini bukan yang Mama inginkan darimu. Mama hanya ingin melihatmu hidup bahagia bersama Tamika. Bukan seperti ini, Evan,” gumam Elena dengan setitik air mata jatuh dari kelopak matanya.

Menghapus kasar air mata yang jatuh, kemudian Elena melangkahkan kaki meninggalkan Evan yang mulai mendengkur pelan. Wanita itu kembali dengan sebaskom air hangat. Dengan telaten Elena membersihkan semua luka dan darah yang mulai mengering di sudut bibir. Sesekali Evan meringis dalam tidurnya.

"Semoga saja, kau bisa membawa gadis itu kembali. Hanya dia harapan satu-satunya bagi perusahaan kita, Evan." Elena bergumam dengan sesekali mengusap wajah damai Evan.

**

**

Siang hari, saat Elena tengah menyesap secangkir teh hangat di halaman belakang, Evan muncul dengan wajahnya yang nampak segar walau lebam semalam terlihat semakin pekat. Matanya bengkak dengan rintik air menetes dari rambutnya yang basah. Elena tersenyum tulus.

“Walau sarapanmu sudah kesiangan, makanlah! Jangan sampai kau sakit!” ujar wanita itu, menutup majalah yang tengah dibacanya.

“Iya, Mam. Nanti saja. Papa kemana?” tanya Evan kemudian.

“Dia sedang mengunjungi kawan lamanya. Mungkin sebentar lagi pulang. Ada apa?”

Elena memindai wajah anaknya, tampak sekali ia ingin bertanya tentang Tamika. Namun, dia urung dan menahannya. Menunggu Evan sendiri yang berbicara. Tak ingin membuat perasaan Evan kembali buruk.

“Tidak. Aku pikir semalam Papa marah.” Evan terkekeh pelan, kemudian ikut duduk di samping ibunya.

“Apa yang terjadi? Kenapa wajahmu lebam seperti ini? Apa kau membuat ulah lagi?” tanya Elena, menyentuh lebam milik anaknya. Namun, Evan meringis lantas Elena menarik kembali lengannya.

“Hanya masalah kecil, Mam. Tidak usah khawatir!” jawabnya enteng.

Elena menggeleng pelan, beralih menatap sekumpulan bunga mawar yang serempak bermekaran. Dia sudah tidak tahan lagi, dia ingin segera menanyakan pada pemuda itu. Namun, saat hendak mengatakannya, tiba-tiba teriakan Darren mengalihkan perhatiannya.

“Bagus! Bagus! Bukannya merebut hati Tamika kembali, kau malah mabuk-mabukan tidak jelas dan berbuat onar di klub malam. Benar-benar hidupmu itu tidak berguna sama sekali, Evan! Bukannya menyesali apa yang sudah kau lakukan, kau malah semakin menjadi-jadi.

Dasar berandal sialan! Aku tidak pernah mengajarimu berbuat sebodoh itu! Memalukan!” cerca Darren. Amarah sudah berada di puncaknya.

Sontak, Evan menoleh ke asal suara kemudian bangkit dari duduknya, begitu pun dengan Elena. Bangkit dan mendekat pada suaminya. Wanita itu takut sewaktu-waktu Darren akan menambah luka lebam di wajah Evan.

“Aku sudah berbicara dengan Tamika, Pap. Tapi dia menolak menerimaku kembali. Dia malah mengusirku. Aku ….”

Sebelum ucapan Evan selesai, Darren terlebih dahulu menyela. Benar saja, Darren hendak menyerang anaknya, tetapi dengan sigap Elena menahan tubuh suaminya. Kemudian menariknya beberapa langkah ke belakang.

“Dasar tidak berguna!” pekik Darren menggema.

“Pelankan suaramu! Jangan menekan anakmu seperti ini. Aku yakin, Evan pasti akan mendapatkan Tamika kembali. Bersabarlah sebentar lagi! Beri dia kesempatan!” Elena mencoba meredam amarah Darren yang sudah di ambang murka. Mengusap lembut lenganya dan merapatkan tubuhnya.

Darren menghela napas kasar dengan memejamkan mata. Mencoba mengendalikan diri yang sudah dikuasai oleh amarah. Beruntung dia memiliki wanita seperti Elena, yang selalu bisa menenangkannya.

“Baiklah. Aku akan memberimu kesempatan sekali lagi. Tinggalkan jalang itu dan kembali bawa Tamika menjadi menantu di rumah ini. Kalau tidak, kau akan tau akibatnya!”

Darren menarik kembali tubuhnya, kemudian berlalu meninggalkan Elena dan Evan yang berdiri menatap kepergiannya.

Mata Evan lurus entah menatap apa. Pandangannya kosong kemudian menghela napas kasar. Tiba-tiba saja dia tersenyum penuh arti.

“Baiklah, dengan cara apapun aku akan membawa kembali Tamika menjadi menantu di rumah ini.” Evan begumam pelan.

Elena beralih menatap Evan. Dia tidak tahu arti senyuman tersebut. Namun dia yakin jika Evan akan berhasil membawa Tamika kembali.

“Mama akan mendukung semua keputusanmu, Evan.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status