Share

PART 4. TAK DISANGKA

‘Nomor siapa ini?’ gadis itu membatin. Dia ragu untuk mengangkat panggilan tersebut, hingga akhirnya dering panggilan itu mati dengan sendirinya. 

Namun, tak berselang lama ponselnya kembali menyala dengan nomor penelepon yang sama.

“Maaf, apa ini dengan Nona Tamika Douglas?” terdengar suara bariton dari sebrang sana, membuat Tamika sedikit gugup.

“I-iya, saya sendiri. Maaf Anda siapa?” 

“Saya Johan, asisten pribadi Tuan Adrian Sanders. Kita bertemu di klinik dr.Ann tempo hari. Anda yang sudah menyelamatkan Tuan Sanders. Apa Anda mengingatnya, Nona Douglass?”

Mendengar nama Adrian Sanders, Tamika menyembunyikan senyumannya di balik telapak tangan. “Ah, iya. Paman tampan. Eh, maaf! Maksud saya, paman yang hari itu terluka.” Tamika meralat ucapannya, dia merasa malu sendiri.

Di sebrang sana, Johan tersenyum tipis. 

“Begini, Nona. Tuan Sanders untuk mengajak Anda makan malam, sebagai ucapan terima kasih karena Anda sudah menolongnya.”

Tamika bergeming, dirinya ragu untuk menerima tawaran makan malam itu. Terlebih, dia tidak begitu mengenal Adrian itu siapa. Hanya lewat pertemuan satu kali itu saja, Tamika mengenal sosok Adrian.

“Tapi ….” Tamika benar-benar ragu.

“Nona tidak usah khawatir! Ini hanya makan malam biasa. Kalau Anda tetap merasa was-was, ajak saja teman atau saudarimu. Bagaimana?” 

Tamika menghela napas. “Baiklah, saya akan datang bersama saudari saya. Terima kasih banyak sudah mau mengerti.”

“Tentu saja, Nona! Nanti pukul tujuh malam, saya akan menjemput Anda.”

“Tidak perlu!” Tamika menolak dengan cepat. “Kirim saja alamatnya, biar kami sendiri yang akan datang ke sana.”

“Baiklah, kalau begitu.”

Setelah panggilan terputus, gadis itu kembali meletakkan ponselnya di atas meja. Dia tersenyum sendiri. “Astaga! Kenapa wajah paman tampan itu selalu saja terbayang. Ada apa denganku?” Kala mengingat pria itu, wajah Tamika selalu saja merah merona.

Setelah selesai berkemas, Tamika melangkahkan kakinya meninggalkan sekolah hendak segera pulang. Dia berjalan seorang diri menuju parkiran.

Tamika melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang meninggalkan pelataran sekolah. Namun, saat hendak berbelok di jalan yang bertikung, tiba-tiba saja muncul seorang gadis kecil yang akan menyebrang. 

Tamika yang terkesiap malah membanting setirnya ke arah kiri. Hampir saja dia menabrak gadis kecil tersebut. Kemudia dia bergegas turun dari mobil untuk menemuinya.

"Astaga, maafkan saya! Apa kamu tidak apa-apa?" Tamika panik. Dengan tubuhnya yang gemetar, dia memeriksa keadaan gadis kecil tersebut.

"A-aku tidak apa-apa, Tante," sahut gadis kecil itu.

"Maafkan tante, Sayang! Tante tidak sengaja." 

Tamika menarik gadis cantik itu ke dalam pelukannya. "Nama kamu siapa? Kenapa kamu sendirian di jalan seperti ini?" Tamika bertanya setelah rasa paniknya sedikit berkurang.

"Nama aku Kim. Aku tidak tahu Mommy berada di mana."

Tamika mengernyit bingung. "Apa kamu tertinggal?"

Kim mengangguk lemah dengan sisa isakannya.

"Ya, Tuhan. Ayo, tante antar sampai rumah Mommy kamu!" tawar Tamika. Namun, gadis kecil itu menggeleng.

"Aku mau pulang ke rumah Daddy saja," sahutnya kemudian.

"Maaf, orang tua kamu berpisah, Sayang?" 

Kim kembali mengangguk.

Tamika menghela napas. Dalam benak, dia merutuki kelalaian kedua orang tua Kim. Bisa-bisanya anak sekecil dia dibiarkan sendirian seperti ini. Seakan menjadi suatu kepastian, anak ‘lah yang akan menjadi korban usai perpisahan orang tuanya. 

"Baiklah! Ayo, tante antar kamu pulang. Tapi, kamu tahu alamat rumah Daddy kamu?" 

Tanpa suara, Kim mengangguk lagi. Seakan hanya anggukan yang hanya bisa ia lakukan untuk saat ini.

Selama perjalanan, Kim tak banyak bicara. Dia sering terlihat melamun oleh ekor mata Tamika. Pandangan Kim lurus seakan menembus kaca mobil.

Mobil dipandu oleh Kim menuju pusat kota lain. Sebuah bangunan minimalis, tetapi terlihat begitu megah dan asri sudah tampak di depan mata. Rumah itu terletak tidak jauh dari pabrik susu kemasan yang memang terkenal dari daerah itu.

Kim mengajak Tamika masuk ke dalam rumahnya.

"Kim, kamu sudah pulang?" tanya suara bariton yang berasal dari lantai dua rumah tersebut.

Tamika menoleh dengan tatapan tidak percaya. "A-anda ...."

Sesaat, Tamika dan Adrian saling terpaku saat keempat mata mereka beradu pandang. Namun, Tamika segera memutus pandangan. Dia beralih menatap Kim yang tengah menunduk lesu.

"Kenapa anak saya bisa bersama Anda, Nona? Kemana ibunya?" cecar Adrian kemudian.

Tamika membalas tatapan Adrian. "Harusnya saya yang bertanya, kenapa Anda membiarkan Kim berjalan seorang diri di jalan raya? Apa Anda tidak khawatir akan terjadi apa-apa kepada anak Anda?

Bayangkan saja, anak sekecil dia luntang-lantung sambil menangis di jalanan. Untung saja, saya segera menemukannya. Kalau tidak, saya tidak tahu apa yang akan terjadi kepadanya," ucap Tamika geram. Namun, Adrian terlihat kebingungan.

"Maksudmu apa, Nona? Apa yang saya tidak ketahui?" 

Adrian menghampiri Kim yang masih tertunduk lesu. "Sayang, coba cerita sama Daddy. Mommy kamu kemana? Kenapa kamu diantar oleh tante Tamika?" tanyanya kemudian.

Akhirnya Kim mendongakkan wajah. "Aku tidak tahu Mommy kemana, Dad. Setelah menelepon seseorang, Mommy marah-marah. Dia menyuruh aku menunggu Mommy di taman. Tapi, tiga jam aku menunggu, Mommy tidak kembali lagi," jelas Kim. Air matanya sudah berkumpul di pelupuk mata.

Tamika menatap iba pada gadis kecil itu. Dia baru tahu, jika ada seorang ibu yang tega meninggalkan anaknya seorang diri di luaran sana. Dirinya yang memang berprofesi sebagai pengajar, merasa geram terhadap perbuatan ibunya Kim.

Mendengar penjelasan Kim, rahang Adrian mengeras. Dia mengepalkan tangannya dengan kuat. Amarah sudah menguasai jiwanya.

Tak enak hati, Tamika segera berpamitan kepada keduanya. Namun, Kim menolak. Dia menginginkan Tamika menemaninya.

"Nanti, ya, tante main lagi ke sini. Sekarang, tante harus pulang. Ayah tante pasti sudah menunggu di rumah!" ujar Tamika dengan pinky swear.

Wajah gadis berusia sembilan tahun itu semakin murung, tetapi dia tetap menautkan jari kelingkingnya. "Baiklah. Tante sudah berjanji," ucapnya kemudian.

Setelah mengantar Kim masuk ke dalam kamarnya, Tamika segera kembali menuju mobilnya yang terparkir di halaman luas kediaman Sanders.

"Terima kasih banyak, Anda sudah menolong saya lagi, Nona. Apa yang harus saya berikan untuk membalas semua kebaikan Anda?"

"Tidak perlu, Tuan. Saya hanya meminta Agar anda lebih memerhatikan lagi Kimberly! Dia masih terlalu kecil untuk mandiri.”

Adrian tersenyum lembut. “Baiklah. Nanti malam saya tunggu kedatangan Anda,” ujarnya. “Sampai jumpa kembali!”

Tamika mengangguk sopan. “Kalau begitu, saya pamit permisi, Tuan. Semoga lekas sembuh," ucap Tamika tersenyum lembut. Dia masuk ke dalam mobilnya. "Sampai jumpa lagi, paman tampan!" gumamnya pelan. 

Johan dan salah satu rekan kerjanya, menatap Adrian yang tengah mengantar Tamika menuju mobilnya.“Lihatlah, Tuan kita! Baru kali ini, aku melihat dia tersenyum saat bersama perempuan.”

“Benar, terakhir tersenyum seperti itu, sebelum Nyonya Brenda ketahuan selingkuh.”

Keduanya menatap mobil Tamika yang mulai menjauh dari pandangan.

Sepanjang perjalanan, Tamika terus saja tersenyum tipis mengingat Kimberly. Dia tak menyangka, jika Adrian, lah, orang tua dari gadis kecil itu. 

“Astaga. Pasti ada yang tidak beres dengan otakku!” rutuknya pelan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status