Share

PART 2. PENGKHIANAT DAN WANITA ULAR

“Ada apa, Tamika? Kenapa ….”

“Lihat! Ada seorang pria yang tidak sadarkan diri. Cepat, kamu periksa pria itu! Masih bernapas atau tidak,” titah Tamika. Tubuhnya bergetar melihat kondisi pria itu yang cukup mengkhawatirkan. Di wajahnya, terdapat banyak luka sayatan. Darah yang keluar dari hidung, pelipis, dan sudut bibirnya pun sudah mengering.

“Astaga. Tunggu sebentar!” Makisha mengulurkan jari telunjuk ke arah hidung pria tersebut.

“Masih bernapas. Ayo, kita bawa ke klinik dr. Ann! Tapi, bagaimana cara membawa pria ini? Kita tidak mungkin kuat menggotongnya. Apalagi, jarak dari sini ke klinik cukup jauh.” Makisha tampak berpikir. ”Oh, begini saja. Biar aku yang mencari bantuan ke perkebunan. Kamu tunggu di sini! Jaga pria itu!” titah Makisha kemudian.

“Tapi ….”

Tanpa menunggu balasan Tamika, Makisha berlari meninggalkannya begitu saja. Menghilang diantara ilalang yang menjulang tinggi sebatas dada.

“Tuan. Bangun, Tuan!” Tamika mengguncang ujung sepatu pria tersebut. Namun, pria itu tidak bergerak sama sekali.

Entah berapa lama Tamika menunggu Makisha membawa bantuan, kakinya mulai terasa kebas akibat terlalu lama berjongkok di samping pria tersebut.

Mata Tamika memicing kala melihat beberapa orang tengah yang berjalan dengan tergesa menuju ke arahnya. “Syukurlah, bantuan sudah datang. Tolong bertahan sebentar lagi, Tuan!”

Beberapa orang pria dewasa menandu tubuh tak berdaya itu. Sedangkan Tamika dan Makisha berjalan di belakangnya. Dengan tergesa, mereka membawa pria tersebut menembus ilalang tinggi.

Tiba di klinik, dr. Ann segera memeriksa pria tersebut.

Gadis berambut cokelat itu menunggu dengan gelisah, berharap dr. Ann segera keluar dari ruangan tersebut. “Apa pria itu akan baik-baik saja?” tanyanya  risau.

“Ku harap dia baik-baik saja,” sahut Makisha kemudian.

Kelima pria yang sudah membantu, pergi meninggalkan klinik dr. Ann. Tinggallah Tamika dan Makisha duduk berdua, bersisian di kursi panjang yang memang tersedia di ruang tunggu klinik.

Keduanya bergegas bangkit dari duduknya saat melihat dr. Ann keluar dari ruangan perawatan.

“Bagaimana keadaan pria itu, dok?” tanya Tamika mengawali.

 “Tidak ada yang serius, keadaannya baik-baik saja. Kemungkinan, dia korban perampokan. Sebab, saya tidak menemukan apapun tentang identitasnya.” dr, Ann menjeda ucapannya. “Apa kalian mengenal pria itu? Saya merasa tidak pernah melihatnya di sekitaran sini,” tanya dr. Ann kemudian.

Kedua dara itu menggeleng. “Sebenarnya, kami menemukan dia tidak sadarkan diri di dekat jurang tepi hutan sana. Kami juga tidak mengenalnya.”

“Baiklah, kita hanya perlu menunggu dia sadar. Kalau begitu, saya permisi dulu. Kalau ada apa-apa, segera panggil saya!"

Setelah dr. Ann pergi, Tamika dan Makisha masuk ke dalam ruang perawatan tersebut. Tamika menatap intens pria yang tengah terbaring lemah tak sadarkan diri.

“Tampan,” gumam Tamika tanpa sadar.

“Maksudmu, pria ini tampan?” tanya Makisha sedikit heran. Pasalnya, pria itu terlihat lebih tua dari mereka berdua.

“Lumayanlah! Dari auranya, sepertinya dia bukan orang sembarangan. Lihat saja, pakaian yang dia kenakan merk-merk terkenal dunia.”

Makisha mengangguk. “Benar juga. Tapi, siapa dia? Apa dia seorang mafia?”

Tamika menggeleng kemudian mendekati pria tersebut. Dalam pandangannya, pria itu sangat rupawan dan berwibawa. Hidungnya yang mancung, bulu matanya yang lentik, dan bibirnya yang keriting, menambah kesan kharismatik pria itu. Dewasa sekali.

Cklek.

Pintu terbuka dari luar memerlihatkan Agnes yang tengah bergelayut manja di lengan Evan. Makisha menatap jijik pada keduanya.

“Mau apa kalian berdua kemari? Mau mempertontonkan kemesraan kalian? Sadarlah Evan! Saat ini juga, hati Tamika sudah membeku. Dia sudah tidak mempedulikan kamu lagi. Jadi, apa yang kamu inginkan lagi dari dirinya?” tanya Makisha geram.

Napas Makisha naik turun seraya menahan amarahnya. Kedua mata hazelnya beradu pandang dengan Agnes yang tanpa malu semakin erat menggenggam jemari Evan.

“Lihat, Evan! Tamika sudah memutar balikkan fakta. Mereka berdua pasti memiliki hubungan terlarang di belakang kalian,” tuduh Agnes.

Evan menatap tajam Tamika yang tengah tersenyum penuh arti.

“Astaga, Agnes. Bicara apa kau ini?” bentak Makisha tidak suka.

Sementara itu, Tamika tetap berdiam diri, berdiri di samping pria yang masih terbaring lemah. Tanpa mereka sadari, pria itu sudah membuka mata akibat keributan yang terjadi di sana.

“Evan, sebenarnya aku tahu satu rahasia besar milik Tamika. Selama ini, aku menutup rapat-rapat semua itu darimu. Aku menghargai dia sebagai sahabatku.”

Tamika mengernyitkan kening.

“Sebenarnya, beberapa kali aku melihat Tamika sedang bermesraan dengan pria lain, saat kamu sedang pergi ke luar kota. Aku … aku tidak menceritakan itu padamu karena aku menyayangi Tamika. Dia ….”

“Omong kosong macam apa ini, Agnes? Kamu memfitnah Tamika agar dia terlihat buruk di depan kekasihmu itu? Cih, menjijikan sekali permainanmu! Tidak tahu malu. Dasar wanita ….” Ucapan Makisha terhenti saat Tamika menyentuh pundak miliknya. Dia pun menoleh.

“Sudahlah! Kamu tidak perlu menanggapi ucapan wanita gila itu. Biarkan dia merasa di atas angin. Biarkan dia merasa menjadi pemenang. Toh, semua orang di kota ini sudah mengetahui kebusukan mereka berdua, kan?”

Tamika tersenyum sinis menatap Agnes yang sudah mengepalkan tangan. Wajahnya sudah terlihat memerah, menahan amarah.

“Percayalah! Jalang tetaplah jalang. Tidak akan pernah bisa berubah menjadi wanita terhormat. Mereka tetaplah sampah, menjijikan.”

Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Tamika tersenyum menyeringai menatap keduanya. Sedangkan Evan, rahangnya mulai mengeras. Kilatan amarah terpancar dari sorot matanya yang tajam.

Tangan Agnes sudah terangkat bebas hendak menampar Tamika. Namun, dengan sigap Makisha menahan lengannya sebelum menyentuh pipi Tamika. Dia menampar balik pipi Agnes dengan sangat kencang dan membuat gadis itu terhuyung ke belakang.

Agnes meringis kesakitan.

Setelah peristiwa penamparan itu, Makisha mengusir Evan dan Agnes keluar ruangan. Dia mendorong-dorong tubuh keduanya bersamaan.

“Pergi kalian berdua! Dasar pengkhianat! Wanita ular!” Makisha memaki keduanya.

Tamika menghela napas kasar melihat ketiganya keluar dari ruangan tersebut, kemudian beralih menatap pada pria tadi. Tubuhnya sedikit terperanjat melihat dia sudah membuka matanya.

“Syukurlah, Anda sudah sadar, Tuan. Bagaimana perasaanmu saat ini?” tanya Tamika semakin mendekat pada pria tersebut.

“Saya berada di mana?” tanyanya tanpa menjawab pertanyaan Tamika.

“Anda sekarang berada di klinik dekat perkebunan apel. Anda berasal dari mana? Siapa nama Anda?” cecar Tamika, tak memberi ruang pria itu untuk bernapas.

Pria tersebut terkekeh pelan. “Saya Adrian Sanders.”

Mata Adrian terus saja tertutup, membuat Tamika kembali khawatir. “Apa yang Anda keluhkan, Tuan? Kenapa Anda terus saja menutup mata? Apa mata Anda terasa sakit?” cecar Tamika lagi.

Lagi lagi, Adrian terkekeh pelan. “Saya baik-baik saja. Kamu tidak perlu khawatir seperti itu, Nona …?”

“Douglass, saya Tamika Douglass. Syukurlah kalau Anda tidak mengalami keluhan apapun. Oh, iya. Apa ada kerabat Anda yang bisa saya hubungi? Atau, istri Anda mungkin?”

“Saya hanya ingin memberi kabar pada putri saya, Kimberly,” ujar Adrian. Dia menatap lurus ke arah gorden putih yang ada di ruangan tersebut.

“Baiklah, bisa Anda sebutkan nomor yang bisa saya hubungi?” pinta Tamika kemudian.

Terdengar suara pintu dibuka dari luar membuat Tamika dan Adrian menoleh secara bersamaan. Terlihat, seorang pria masuk ke dalam ruangan tersebut membuat mata Tamika sedikit mengkerutkan kening.

“Tuan Adrian Sanders, apa Anda baik-baik saja?” tanya pria tersebut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status