Kenna masih terjaga meski jam dinding telah lewat tengah malam. Tirai putih di kamar bergoyang pelan tertiup angin dari jendela yang lupa ditutup. Tapi hatinya lebih dingin dari angin malam manapun.
Ia duduk di sisi ranjang, mengenakan mukena yang belum sempat ia lepas. Usai tahajud, ia tak bisa menahan diri untuk tidak kembali merenung.
Barel belum pulang.
Lagi.
Sudah dua minggu ini pria itu pulang lewat jam dua dini hari. Dan setiap kali pulang, tak ada lagi kecupan di kening, tak ada lagi bisik doa, hanya langkah berat dan keheningan yang memekakkan.
Dulu, Barel yang selalu mengusap rambutnya sambil berkata,
"Kenna kamu itu rumahku. Bahkan kalau dunia menolakmu, aku tetap memelukmu."Tapi itu... sebelum semuanya berubah.
Keguguran pertama Kenna, membuatnya jatuh dalam kesedihan, tapi ia tetap merasa dicintai. Waktu itu, Barel memeluknya sepanjang malam. Menghapus air matanya dengan ciuman sabar.
"Aku minta maaf," bisik Kenna saat itu, nyaris tak terdengar.
Barel menghela napas. "Untuk apa?"
"Untuk... semuanya."
"Ini bukan salahmu." Barel pun memeluknya hangat dengan menciumnya berkali-kali.
"Kita pasti bisa mendapatkannya kembali. Yang penting kamu sehat dan tetap bahagia. Dan satu pintaku, maukah kamu mundur dengan tidak menjadi muballigh keliling lagi?"
Kenna terperanjak sebentar. Namun dengan berat dia pun mengangguk. "Tapi kalau di medsosku?"
Kali ini Barel yang mengangguk dan lagi-lagi mendaratkan ciumannya di ubun-ubun Kenna.
Namun keguguran kedua... mengubah segalanya.
Hari itu di rumah sakit, tubuh Kenna masih lemah usai tindakan kuret. Saat ia membuka mata, yang pertama ia dengar bukanlah doa atau pelukan.
Tapi suara ibu mertuanya.
"Sudah kubilang dari awal, perempuan ini tak membawa untung, kamu saja yang masih ngotot menjadikannya istri, bahkan melawan kami, Barel."
Barel menyingkir.
"Badannya lemah, tapi pikirannya banyak. Semua masalah orang dia urusi dan dia pecahkan. Tak becus jadi istri. Dua kali hamil, gagal terus. Wanita tak berguna!"
Kenna ingin bangun dan membela diri, tapi mulutnya kelu. Air matanya menetes perlahan. Tak satu pun membelanya-bahkan suaminya hanya diam sambil menggenggam ponsel di sudut ruangan.
"Mas..." panggil Kenna lirih saat itu.
Tapi Barel hanya menoleh sebentar lalu kembali mengusap wajahnya sendiri, seperti enggan melihat istrinya.
Sejak hari itu, semua berubah.
Kenna tahu... cinta Barel mulai surut. Ia merasakannya dari tatapan yang makin dingin, dari genggaman yang makin jarang, dan dari kata-kata yang pelan tapi tajam seperti duri.
Malam itu, ketika Barel akhirnya pulang, Kenna menatap jam dinding. Hampir jam tiga pagi.
Pintu kamar terbuka. Barel masuk sambil melepas dasinya dengan kasar.
"Maaf... aku lembur lagi," katanya tanpa menatap istrinya.
Kenna mengangguk pelan. "Kamu... sudah makan?"
"Udah di luar."
Hening.
Kenna mengumpulkan keberaniannya.
"Mas..." suaranya serak. "Aku rindu kita yang dulu."
Pria itu berhenti di depan cermin, membenahi rambutnya.
"Kita yang dulu?" ia terkekeh pelan. "Kenna... kamu berubah."
"Berubah?" mata Kenna membesar. "Aku kehilangan dua anak kita, Mas. Kamu pikir aku tak sedih? Apa itu salahku? Bukan aku yang berubah, tapi kamu."
Barel menatapnya dari cermin. Mata itu tak lagi menyimpan cinta.
"Kenna, aku butuh istri yang kuat untuk melahirkan bayi, bukan pasien rumah sakit tiap kali kandungan membesar. Aku capek. Capek lihat kamu terus seperti itu."
Seketika dada Kenna sesak.
"Maaf kalau aku mengecewakanmu," lirihnya. "Aku juga ingin jadi kuat, tapi rahimku... tubuhku..."
"Ssstt," Barel mengangkat tangannya. "Sudah. Jangan mulai drama tengah malam lagi. Aku kerja seharian, bukan buat denger keluhan kamu tiap malam."
Air mata Kenna tumpah. Ia memeluk dirinya sendiri.
"Aku hanya ingin didengar... Dianggap ada..."
Barel menghela napas keras, lalu tidur memunggunginya.
"Tidur aja, Ken. Besok kamu masih bisa main TikTok dakwahmu itu, kan? Sana tumpahin isi hati ke followers kamu. Mungkin mereka masih mau dengar, karena aku... jujur aja, aku udah nggak kuat dengar apapun darimu."
Kenna menggigit bibir bawahnya menahan tangis. Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari jarum infus.
Sementara di dalam dada, sebuah luka lama kembali menganga.
Ia ingat saat mertuanya memaksanya pakai jamu penyubur kandungan dan mengancam akan mencarikan istri kedua untuk Barel jika Kenna tak juga hamil dalam enam bulan. Ia diam. Menerima. Ia pikir, mungkin ini bagian dari ujian.
Tapi ternyata... yang hancur bukan hanya tubuhnya.
Jiwanya ikut remuk.
Siangnya, Mbak Wati datang seperti biasa. Satu-satunya suara di rumah itu selain suara jangkrik adalah dia, pembantu yang kalau malam dia pulang.
"Mbak Kenna... habis nangis lagi, ya?" tanyanya lirih, meletakkan teh di meja.
Kenna tersenyum kecil, menatap layar ponselnya.
"Enggak kok... cuma mata bengkak aja."
Ia membuka TikTok-nya. Sebuah konten pendek yang dia rekam kemarin telah ditonton puluhan ribu orang. Isinya tentang sabar dalam kehilangan.
"Kadang... bukan tubuhmu yang sakit, tapi hatimu yang kosong. Dan itu... tak semua orang bisa pahami." Begitu narasi videonya.
"Tapi percayalah, Allah akan selalu bersama kita. Dia tak pernah meninggalkan kita seperti orang yang akan pergi dari kita jika kita tak sesuai harapannya."
Komentar demi komentar masuk. Ada yang tanya apakah ini cuma kata-kata penenang atau memang hidup Kenna?
Tapi satu komentar membuatnya terdiam lama:
Akun RG.
"Aku telah lama memperhatikanmu. Aku merasa, di balik senyummu, ada luka yang tak semua orang lihat. Benarkah itu?"
Kenna memegang dadanya. Aneh... komentar itu sederhana. Tapi seperti pelukan di saat ia hampir runtuh.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama... ia merasa terlihat.
"Siapakah dia?" tanya Kenna dalam hati.
Beberapa saat yang lalu, saat Kenna beranjak ke mushola."Mi, hentikan," ujar Wijaya dengan nada tegas. "Sudah cukup menyalahkan orang lain. Rangga butuh tenang, bukan kebencian. Hanya gadis itu yang bisa memberinya semangat untuk hidup, jadi biarkan dia menemaninya."Wieke menatap suaminya tak percaya. "Kamu membelanya? Setelah semua yang dilakukan Kimmi, perempuan yang berkali-kali berusaha menghancurkan hidup kita?""Kau pikir, Kenna itu Kimmi?" Wijaya menatap istrinya lama. "Buka matamu, Wieke. Lihatlah siapa dia.""Dia mirip Kimmi!" seru Wieke, matanya merah karena tangis. "Setiap kali aku melihat wajahnya, aku seperti melihat perempuan itu lagi.""Okelah kalau dia memang mirip Kimmi, bahkan kalaupun sejatinya dia memang anak Kimmi. Tapi sekarang, lihatlah keadaannya,.." Wijaya menghela nafas panjang. "Kalau memang dia anak Kimmi, seharusnya dia bergelimang harta. Tapi kenyataannya? Dia dibesarkan di panti asuhan. Sejak bayi, Wieke. Makan seadanya. Tidak pernah tahu siapa orang
Kenna segera mendekat, "Saya, Dok. Bagaimana dengan Rangga? Apa dia sadar?"Dokter tak langsung menjawab. Ia hanya menatap Kenna lama, seolah sedang menimbang kalimat."Dok, tolong katakan... dia masih bisa diselamatkan, kan?"Namun, belum juga dokter itu menjawab, Kimmi yang berdiri agak jauh bersama suaminya segera beranjak dan menyilah Kenna dengan tangannya, "Dok, bagaimana dengan anak saya?""Kami sudah berusaha, Pak, Bu. Saya,..""Maksud Dokter?" Wieke yang tak sabar, menyela. "Kita hanya bisa berdo'a sekarang. Kalau dalam dua puluh empat jam dia belum sadar, kemungkinan nyawanya tertolong sangatlah kecil."Wanita yang tetap cantik di usianya yang tak lagi muda itu, terhuyung. Setetes airmata jatuh di pipinya. Untunglah sebuah tangan lembut merengkuhnya. "Mi,... Sabar, Mi," ucap Rieke, adik Rangga."Kakak kamu, Rieke. Duluh, saat dia tidak memperdulikan bisnis keluarga, dan kerjaannya hany berfoya-foya, Mami berdo'a siang malam. Dan setelah kini do'a itu terjawab dengan dia te
"Jaga dia untukku, Ya Allah,.. jaga dia untukku!" Kenna terus berdo'a sampai dia tak sadar kalau mereka telah tiba di rumah sakit."Hati-hati Mbak!" seru Jerry saat Kenna mau terhuyung, tersandung gamisnya. Namun dia tak berhenti, berlari ke dalaam rumah sakit, mencari petugas."Cepat, tolong, dia terluka!" seru Kenna panik saat tiba di rumah sakit. Petugas yang berada di depan segera membawa ranjang. Tak lama, para perawat segera berlarian mendorong ranjang dorong menuju ruang gawat darurat. Tubuh Rangga tampak lemas, wajahnya pucat, darah di seragamnya belum mengering.Kenna masih berlari di belakang mereka, air matanya bercucuran. "Rangga... jangan tinggalin aku... aku pingin ngomong bukankah kamu belum dengar jawabanku..." suaranya pecah di antara langkah-langkah yang tergesa."Harap tunggu di luar, Mbak" ucap suster "kami akan segera melakukan tindakan.""Mbak, yang sabar," hibur Jerry.Ruang tunggu hening. Bau obat dan cairan antiseptik menusuk hidung. Kenna duduk memeluk lutut
Belum sempat Rahma bicara, suara langkah-langkah terdengar di luar gudang. Lampu-lampu senter menembus celah pintu. Anak buah Rangga datang, kurang lebih sepuluh orang, semuanya berpakaian hitam. Dalam keadaan tersungkur, Rangga menatap Rahma tajam. "Kamu,...kamu udah habis waktumu. Dan setelah ini, kamu akan lama mendekam di penjara." Rahma masih berkacak pinggang. "Kalau kamu pikir aku akan menyerah, kamu salah besar, Rangga." "Aku pastikan kalian akan. Membusuk di penjara karena berkali-kali berusaha menculik Kenna." "Kamu pikir penjara bisa menembus ku? " "PD sekali kamu. Mengatakan itu? Sekarang, katakan, apa hubunganmu dengan Kiandra!" Rangga sudah kehilangan kesabaran. Salah seorang anak buah Rangga mendekat. "Pak, maaf, kami terlambat. Kami kehilangan jejak." Rangga baru ingat kalau dia mematikan handphone-nya saat dia sholat. "E,.. iya, maaf,..Nggak apa, tolong bantu Kenna. Cepat,.. to,.. long dia." Nafas Rangga tersengal, perut dan kepalanya tak lagi bisa ko
"Kembalikan Kenna, bi4d4b!" teriak Rangga saat mobil yang membawa Kenna telah melaju. Dengan cepat dia kembali ke mobilnya, lalu melajukannya dengan kencang menembus jalanan kota yang masih gelap.Angin malam menghantam kaca, tapi pikirannya jauh lebih berisik. Satu hal saja yang berputar di kepalanya, wajah Kenna yang teriak minta tolong.Rangga menekan gas lebih dalam. Tangannya gemetar di setir lalu menekan tombol, menghubungi seseorang. "Bertahan, Kenna... tolong bertahan." "Baik, Pak. Saya tahu. Saya akan terus mengikuti sinyal ponsel Bapak, dan segera membawa anak buah saya ke sana." Suara di sebran segera menyahut.Tak lama, suara azan Subuh terdengar. Hati Rangga bergolak, antara terus atau sholat duluh."Ini bagaimana sholat Subuhnya kalau gini?" guman Rangga bingung. Akhirnya, dia menghentikan mobilnya yang tak jauh dari mobil penculik berhenti. "Bismillah, aku niat sholat Subuh. Jaga dia, Tuhan!" Rangga lalu meletakkan tangan di kaca mobilnya hendak tayamum dan megerjaka
Malam itu, Kenna baru menyadari, kalau masa lalunya akan kembali lagi. Susah payah dia membuang Barel, ternyata dia juga mendapatkan calon mertua yang pemikirannya sama dengan keluarga mantan suaminya itu."Kenna, kamu kenapa diam terus dari tadi?" tanya Rangga. Suaranya yang kuat memecah hening di dalam mobil. Jalanan sore itu padat, tapi yang lebih padat adalah pikirannya.Kenna tetap menatap keluar jendela, mengikuti bayangan pepohonan yang melintas cepat di kaca. "Aku cuma capek," jawabnya pelan."Capek atau kecewa sama Mami?" Rangga menoleh sekilas. "Kamu tahu, kan, aku udah tahu semua tentang kamu, dan aku nerima kamu apa adanya. Jangan berubah, Ken."Kenna menarik napas panjang. "Aku gak berubah, Rangga. Aku cuma takut. Aku gak mau ngulang kesalahan yang sama.""Kesalahan?" alis Rangga naik."Dulu aku juga pernah nggak disukai keluarga suamiaku karena aku tak bisa memberi mereka keturunan," suaranya mulai bergetar. "dan sekarang, mami kamu... bahkan menuntut hal yang sama, yang