Share

PPRS 05

Author: HaniHadi_LTF
last update Last Updated: 2025-07-14 21:57:02

Makin hari, Kenna merasa Barrel bukanlah lelaki yang dia kenal. Bahkan saat mereka menghadiri sebuah acara, Kenna merasa Barrel tidak lagi bisa menjadi pembelanya.

"Mas, bisa nggak kamu membelaku?" tanya Kenna setelah mereka sampai di rumah.

"Apanya yang dibela? Benar kan kata mereka, kamu masih belum juga memberiku anak?"

"Apa kamu pikir ini salahku?"

"Sudahlah, Ken. Aku ada kerjaan."

Kenna melempar sepatunya. Hampir mengenai kaki suaminya. Tetapi lelaki itu hanya melangah menjauh. Tanpa kata-kata..

Air mata tak lagi dapat dibendung Kenna. Di menelungkupkan wajahnya di bantal sofa.

Handphone-nya berkedip.

["Ada yang ingin kau ceritakan? Aku di sini."]

Kenna menutup mata sejenak. Jarinya mengetik balasan, tanpa sadar bahwa ia membuka ruang yang semakin sulit ia tutup.

["Kadang aku merasa kosong. Apa itu wajar?"]

Balasan datang cepat.[ "Lebih dari wajar. Dan aku tahu betapa beratnya jika kau harus memikul itu sendirian."]

Air mata jatuh kembali. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia merasa ada yang mendengarkan. Ada yang peduli, meski ia tahu semuanya salah.

Pesan kembali dari RG88 dengan pertanyaan sederhana. ["Kapan kamu akan berhenti berpura-pura bahagia?"]

Pesan itu menghantamnya keras, seakan menyibak tirai yang selama ini menutupi kenyataan. Ia menutup ponselnya, tetapi pertanyaan itu terus menggema. 

"Kapan ia akan berhenti berpura-pura?"

["Aku bisa menjadi sandaranmu saat kamu menangis."]

["Kenapa aku harus menangis?"]

Kenna meletakkan handphone-nya. Rumah ini besar dan megah, tetapi terasa kosong. Ia melangkah ke kamar tidur dan melemparkan dirinya ke tempat tidur, memandang langit-langit yang terasa gelap. Dalam keheningan itu, ponselnya berbunyi kembali. Sebuah pesan masuk dari Rangga lagi.

["Bagaimana makan malamnya? Semoga tidak terlalu membosankan sampai kamu keluar dengan tergesa begitu dan membanting pintu mobil dengan keras."]

Kenna tertegun. Bagaimana Rangga tahu tentang makan malam itu? Tangannya bergetar saat ia mengetik balasan.

"Dari mana kamu tahu?"

["Seseorang sepertimu pasti sering diundang ke acara-acara besar. Lagipula, aku bisa menebak dari unggahan terakhirmu. Kamu tampak begitu mempesona dalam balutan gaun itu. Entah kenapa malam ini tak biasanya kamu memakai baju seperti itu, namun tetap saja bagiku, kamu luar biasa."]

["Malam ini memang acara resepsi teman suami aku. Pengusaha juga."]

["O, pantas dengan baju pilihanmu itu. Ternyata kamu cantik juga ya dengan baju glamour itu."]

["Terimaksaih atas pujianmu."]

["Tapi kamu memang selalu mempesona dengan apapun yang kamu kenakan. Bahkan jika aku bisa bayangkan, kalau kamu memakai pakaian jika mau tidur, yang tentunya dengan pakaian yang,.."]

["Ish, apaan sih yang kamu bahas?"]

["Ayolah Kenna, kita sama-sama dewasa, walau aku belum pernah menikah. Tapi soal yang begituan, aku bisa merasakannya. Kamu akan terlihat makin mempesona dengan balutan baju tidur yang,..."]

Kalimat itu menusuk, membuat perasaan Kenna campur aduk. Ada rasa takut, ada rasa tersanjung.

Kata-kata Rangga penuh pujian, perhatian, dan rasa ingin tahu yang dalam, seolah-olah ia benar-benar peduli. Sesuatu yang tidak lagi ia rasakan dari Barel. Bahkan saat Barel masuk kamar mereka dan langsung tidur begitu saja dengan memunggunginya. 

Tak ada lagi candaaannya, tak ada lagi kecupan sayang jika dia mau tidur, apalagi pelukan hangatnya seperti yang duluh selalu Kenna dapatkan.

Hari demi hari berlalu, pesan-pesan Rangga semakin sering muncul. Ia merasakan dorongan untuk merespons, meskipun tahu ia sedang bermain dengan api. Hubungan virtual mereka semakin intens, menggoda, dan penuh ketegangan yang tidak bisa ia abaikan. 

Pagi itu, Barel  mendekatinya saat ia sedang membaca di ruang tengah. "Nanti aku ada  lembur. Mungkin sampai malam, barangkali kamu mau ditemani Mbak Wati," katanya singkat.

Kenna hanya mengangguk, seperti biasa. Hubungan mereka seperti garis lurus-tanpa gelombang, tanpa dinamika.

"Kamu tidak mengatakan sesuatu?" tanya  Barel kemudian saat merasa Kenna hanya diam, tak lagi merespon.

"Perkataan  apa menurutmu yang bisa membuatmu memperdulikan aku lagi? Aku tak butuh apapun darimu, lingeri yang selalu kamu bawa tiap dari bepergian, walau aku pakai, itu tak membuatmu ingin mendekatiku."

Kenna lalu berusaha mendekati suaminya. "Aku hanya butuh kamu, Mas." 

Kenna mendaratkan ciuman di bibir suaminya. Berusaha membangkitkan kebersamaan mereka kembali yang duluh selalu hangat.

"Kenna, .. maaf, aku harus segera ke kantor."

Kenna yang merasakan keinginannya ditolak suaminya, dengan cepat dia mendorong tubuh tegap itu. "Kalau begini bagaimana bisa punya anak, Mas, kalau kamu sendiri selalu bilang ini itu tiap aku ajak." 

"Tapi aku mau kerja, Ken."

"Apakah duluh kamu pernah mengatakan itu? Kamu bahkan tak pernah kenal waktu dan tempat."

Barel beranjak ke pintu. Kenna melemparnya dengan benda yang ada di dekatnya.

"Ya Allah, aku bisa gila dengan semua ini!" Air mata begitu saja mengalir di pipinya. Dengan segera Kenna menyambar tasnya, hendak pergi ke tempat yang dia rasa tenang. Tak perduli dengan pesan sekilas dari Rangga yang terlihat di layar handphine-nya.

"Mbak, kalau aku nanti belum pulang,  Mbak pulang saja. Ghak usah nunggu aku," pesan Kenna pada Mbak Wati , orang yang membersihkan rumah mereka bersama suaminya, yang datang pagi dan pulang sore.

"Ghak masak, Mbak?"

"Ngak usah. Itu nasi sama ikan yang semalam juga masih ada. Kalau mbak mau, bisa bawa pulang."

"Baiklah, Mbak. Terimaksih." 

Mbak Wati memang membawa kunci cadangan rumah itu. Dia membantu di rumah itu sejak Kenna dan Barel menikah. Kos-kosannya pun tak jauh dari perumahan tempat Kenna tinggal. Hanya karena mesranya hubungan Kenna dan Barel, mereka tak ingin ada pembantu di rumah mereka.

Pagi itu, Kenna mengenakan gaun sederhana. 

"Kenna, sehat, Nak?" peluk Bu Khodijah segera didapatkan Kenna. Demikian juga dengan Bu Firdaus. Mereka mengelola panti itu sejak Kenna ada di sana.

"Kebetulan ,Nak, kamu bisa bertemu dengan orang yang akan membantu merenovasi panti ini."

"Direnofasi, Bu?"

"Iya. Itu orangnya."

"Assalamualaikum, Kenna!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PESONA PRIA RIVAL SUAMIKU   PPRS 08

    Rangga menatap Kemna dengan khawatir, tetapi ia tetap menjaga jarak aman. Ia memegang payung besar itu di atas kepala mereka, melindungi tubuh perempuan itu yang sudah setengah basah. Mata Kemna, yang memerah dan sembap, tetap terpaku pada tanah. Napasnya berat, seolah kata-kata yang ingin keluar tertahan di tenggorokan."Ayo, aku antar pulang. Nggak baik kamu di sini terus," ajak RanggaPerempuan itu tetap diam. Tangannya menggenggam tas dengan kuat, jari-jarinya memutih. Rangga menunggu, sabar, tanpa mendesak. Beberapa detik berlalu sebelum akhirnya suara serak itu keluar."Rangga... aku nggak mau pulang."Pria itu mengernyitkan dahi. "Kenapa?"Kenna mengangkat wajahnya sedikit, matanya menatap Rangga dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Ada luka yang begitu dalam di sana, tetapi juga kelelahan. Ia menggigit bibir, berusaha keras menahan isak."Dia selingkuh," kata Kenna akhirnya, suaranya hampir tidak terdengar. "Di ruang kerjanya... dengan perempuan lain."Rangga terdiam. Ternyat

  • PESONA PRIA RIVAL SUAMIKU   PPRS 07

    Kenna berhenti di depan lift, air matanya mengaburkan pandangan. Tetapi sesuatu dalam dirinya menuntut kepastian. Mungkin aku salah dengar, pikirnya. Ia menarik napas panjang, menghapus air matanya dengan punggung tangan, lalu memutar tubuh. Langkahnya kembali mengarah ke ruang kerja Barel." Apa sekarang ruangan Barel dipindah? Kenapa aku tadi tidak membaca?" Dia berharap dia salah ruang.Saat dia sampai dan berdiri lagi di depan pintu, tangannya gemetar saat netranya menangkap nama yang tertera. Ini benar ruangannya. Ia mengumpulkan keberanian, kemudian mendorong pintu perlahan. Masih tidak terkunci."Bukannya Sabtu kemarin kita sudah menghabiskan waktu bersama. Kita bahkan sampai melakukannya berkali kali, apa itu kurang?" Suara wanita itu terdengar manja."Jadi Sabtu itu Barel tak ke luar kota karena pekerjaan tapi karena..." gumam Kenna. Kenna tahu betul tabiat suaminya yang selalu menuntut perhatian lebih di tempat tidur hingga dia kemarin sempat heran kalau Barel tak respon pad

  • PESONA PRIA RIVAL SUAMIKU   PPRS 06

    Kenna menatap pria yang baru saja keluar dari dalam panti. Jantungnya berdegup tak karuan saat melihat sosok yang ramah memberi salam itu."Aku sudah kirim pesan, tapi kamu abaikan." Suara bariton Rangga segera terdenga lagi. Kenna masih terdiam tak percaya."Aku pikir aku mau mengajakmu ke panti ini. Tak tahunya kamu juga ke sini. Jodoh ya?""Maaf, aku tadi langsung ke sini. Kangen emak-emak aku," jawab Kenna, mencoba terdengar wajar. Tapi ia tahu, ia mulai tak bisa menghindar dari sorot mata Rangga."Jadi kamu dari panti ini?" tanya Rangga menyipit, seolah tak percaya. Padahal mulanya dia mau mengajak Kenna ke sana, seolah itu dunia baru yang harus dikunjungi Kenna."Iya, di sinilah rumahku. Aku dibesarkan oleh orang-orang hebat yang menyayangi aku seolah aku ini bagian dari hidup mereka." Dengan terharu Kenna merangkul kedua orang tua yang kini juga menatapnya dengan bangga."Dalam keterbatasan kami membesarkannya. Dia tumbuh menjadi gadis hebat. Belajar agama, bisa kuliah tanpa

  • PESONA PRIA RIVAL SUAMIKU   PPRS 05

    Makin hari, Kenna merasa Barrel bukanlah lelaki yang dia kenal. Bahkan saat mereka menghadiri sebuah acara, Kenna merasa Barrel tidak lagi bisa menjadi pembelanya."Mas, bisa nggak kamu membelaku?" tanya Kenna setelah mereka sampai di rumah."Apanya yang dibela? Benar kan kata mereka, kamu masih belum juga memberiku anak?""Apa kamu pikir ini salahku?""Sudahlah, Ken. Aku ada kerjaan."Kenna melempar sepatunya. Hampir mengenai kaki suaminya. Tetapi lelaki itu hanya melangah menjauh. Tanpa kata-kata..Air mata tak lagi dapat dibendung Kenna. Di menelungkupkan wajahnya di bantal sofa.Handphone-nya berkedip.["Ada yang ingin kau ceritakan? Aku di sini."]Kenna menutup mata sejenak. Jarinya mengetik balasan, tanpa sadar bahwa ia membuka ruang yang semakin sulit ia tutup.["Kadang aku merasa kosong. Apa itu wajar?"]Balasan datang cepat.[ "Lebih dari wajar. Dan aku tahu betapa beratnya jika kau harus memikul itu sendirian."]Air mata jatuh kembali. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama,

  • PESONA PRIA RIVAL SUAMIKU   PPRS 04

    Langkah Kenna cepat meninggalkan kafe. Jantungnya berdetak begitu keras sampai terasa di telinga. Udara sore itu sejuk, tapi telapak tangannya basah. Ia tidak tahu apa yang baru saja terjadi."Satu jam," bisiknya. "Hanya satu jam."Tapi mengapa rasanya seperti ia membuka pintu yang seharusnya tetap tertutup rapat?Di parkiran, ia duduk di dalam mobil tanpa langsung menyalakan mesin. Ia butuh waktu untuk menenangkan diri. Mencoba memutar ulang percakapan tadi. Wajah pria itu... sorot matanya, kata-katanya—terlalu jujur, terlalu tepat menyentuh sisi rapuhnya. "Aku hanya ingin tahu kenapa senyummu tetap muncul meski matamu sering kosong.""Siapa dia, sebenarnya?" Kenna bertanya-tanya.Kenna menghela napas panjang. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ini bukan salah Rangga. Bukan juga salah siapa-siapa. Ia yang datang. Ia yang membuka ruang.Dan untuk pertama kalinya sejak Barel berubah dingin, seseorang menatapnya dengan penuh perhatian. Bukan sebagai istri yang gagal punya

  • PESONA PRIA RIVAL SUAMIKU   PPRS 03

    Di lain tempat.Malam itu Rangga sulit memejamkan matanya. Keinginannya untuk bertemu dengan Kenna begitu kuat. Hinggah tak perduli malam-malam dia menghubungi seseorang. Dia ingin tahu, siapa Kenna sebenarnya."Bagaimana?" Pagi belumlah hilang, saat Rangga sudah menelpon Pak Anang, orang kepercayaannya. "Bos, wanita itu namanya Kenna Humairah. Istrinya Barel. Iya, Barel Herlambang dari Jaya Persada Group."Rangga menatap layar laptopnya dalam diam. Pria itu baru saja menyimak laporan dari anak buah kepercayaannya yang ia tugaskan menyelidiki sosok Kenna yang akhir-akhir ini muncul terus di pikirannya."Apa? Kamu yakin?""Saya cek dua kali. Pernah ada dokumentasi waktu mereka diundang acara penghargaan pengusaha muda. Lengkap. Nama, perusahaan, juga akun media sosialnya. Semua mengarah ke satu titik. Kenna adalah istri dari rival utama bisnis Bapak."Rangga menyandarkan tubuhnya ke kursi. Untuk sesaat, ia terdiam. Tangannya menyentuh dagu, berpikir dalam. Hatinya sempat berdebar wak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status