Kenna menatap pria yang baru saja keluar dari dalam panti. Jantungnya berdegup tak karuan saat melihat sosok yang ramah memberi salam itu.
"Aku sudah kirim pesan, tapi kamu abaikan." Suara bariton Rangga segera terdenga lagi.
Kenna masih terdiam tak percaya.
"Aku pikir aku mau mengajakmu ke panti ini. Tak tahunya kamu juga ke sini. Jodoh ya?"
"Maaf, aku tadi langsung ke sini. Kangen emak-emak aku," jawab Kenna, mencoba terdengar wajar. Tapi ia tahu, ia mulai tak bisa menghindar dari sorot mata Rangga.
"Jadi kamu dari panti ini?" tanya Rangga menyipit, seolah tak percaya. Padahal mulanya dia mau mengajak Kenna ke sana, seolah itu dunia baru yang harus dikunjungi Kenna.
"Iya, di sinilah rumahku. Aku dibesarkan oleh orang-orang hebat yang menyayangi aku seolah aku ini bagian dari hidup mereka." Dengan terharu Kenna merangkul kedua orang tua yang kini juga menatapnya dengan bangga.
"Dalam keterbatasan kami membesarkannya. Dia tumbuh menjadi gadis hebat. Belajar agama, bisa kuliah tanpa biaya, dan menjadi mubaligh muda yang duluh amat dicintai anak-anak muda. Sayang, perkawinan membuat Kenna meninggalkan dunianya," kelu Bu Firdaus sedih.
Dan saat Bu Khodijah dengan polosnya berkata, "Sepertinya kalian sudah pernah kenal ya?"
Kenna reflek menatap Rangga yang juga makin sering menatapnya. Jangtungnya berdetak keras. Wajah itu terbayang sampai Kenna kembali ke rumahnya.
"Assalamualaikum!" ucap Kenna setiap masuk rumahnya. Walau tak ada orang.
Kenna menghela napas panjang. Matanya memandang ke dalam rumah yang terasa lebih hampa dari biasanya. Udara siang masih mengendap di antara dinding-dinding bisu.
Siang itu Kenna masih merasa gelisah. Ia duduk di meja makan, menatap kosong ke arah cangkir kopi yang tinggal separuh. Jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan gelas itu, seolah mencari irama yang bisa mengusir sunyi di hatinya.
Sejak pertemuan singkat itu, pikirannya tak berhenti bekerja.
Kegiatan live masaknya yang biasa menjadi pelarian kini mulai terasa hambar. Ia memang masih membuka DM, masih menggulir komentar, masih membalas sapaan penggemar. Tapi semangatnya menipis.
"Kak, kok sekarang nggak seberapa sering live? Kenapa?" tanya salah satu penggemar.
Kenna tersenyum tipis. Ia tak mungkin menjawab bahwa jiwanya sedang penat, bahwa pernikahan yang ia coba pertahankan pelan-pelan mulai meretakkan dinding hatinya.
"Ditunggu live-nya ya, Kak!" harap yang lain.
Kenna membalas dengan emoji senyum dan kalimat pendek: "InsyaAllah ya."
Tak lama, ponselnya bergetar. Nama Rangga muncul di layar. Kenna menatapnya sejenak, lalu membuka pesan itu.
["Terimakasih, saat kita bertemu tadi, kamu sudah tak asing denganku. Sampai detik ini, aku tak dapat melupakan pertemuan tak sengaja itu. Aku makin mengagumimu. Kamu wanita hebat yang pernah aku temui"]
Kenna tak membalas. Ada yang berdebar saat dia membacanya.
"Astaghfirullah, kenapa aku menjadi seperti ini? Ampuni aku, ya Allah! Aku hanya manusia biasa yang berada dalam ambang kebingungan. Dan dia datang seolah menjadi penghiburku."
["Kenna, jawab dong!"]
Kenna masih diam.
Rasa bersalah pada suaminya membuat dada Kenna terasa sesak. "Mungkin memang sudah waktunya aku mencoba memperbaiki lagi," tekadnya.
Dengan sisa semangat yang terkumpul, Kenna melangkah ke dapur. Ia menyiapkan makan malam. Memotong wortel, menumis bumbu, dan menggoreng ikan kesukaan Barel. Makanan hangat ia masukkan ke dalam kotak, dibungkus rapi.
Ponselnya menyala. ["Kenna, kamu kenapa?"]
["Maaf, aku janjian bertemu dengan suamiku. Dia sedang lembur di kantor."] Kenna berbohong untuk menghentikan detak hatinya pada Rangga.
Malam itu, hujan gerimis turun perlahan saat Kenna memesan taksi online dan menuju kantor suaminya. Sengaja dia tak bawa mobil dengan harapan bisa pulang bersama Barel. Di kepalanya, ia membayangkan senyum Barel, pelukan hangat, atau setidaknya obrolan ringan yang bisa menghidupkan kembali bara cinta mereka.
Setibanya di kantor, suasana tampak sepi. Hanya beberapa lampu di lantai atas yang masih menyala. Kenna masuk dengan pelan, sapaan satpam yang mengenalnya hanya dijawab anggukan singkat. Ia menaiki lift, membawa harapan dalam genggaman.
Saat sampai di lantai tempat ruang kerja Barel, langkahnya melambat. Dari balik pintu yang tak sepenuhnya tertutup, terdengar suara.
Tawa perempuan. Lalu suara berat seorang pria.
Kemudian... desahan.
Tubuh Kenna membeku.
Suara itu bukan halus, bukan bisik, melainkan suara jelas yang menghantam gendang telinganya dengan kejam. Napasnya memburu, matanya membelalak. Tangannya gemetar saat menyentuh gagang pintu, namun ia tak sanggup membukanya lebih lebar.
"Mas..." bisiknya nyaris tak terdengar.
Ia menelan ludah. Suara itu makin nyata. Ada rintihan tertahan, tawa pelan, dan gesekan kursi yang membuat jantungnya seolah terjatuh.
Kenna melepas sepatunya. Di telapak kakinya, dinginnya lantai marmer menyengat—mengingatkannya, ini bukan mimpi.
Air matanya menetes tanpa bisa ditahan. Tangannya terlepas dari gagang pintu. Ia melangkah mundur, pelan, seperti tubuhnya tidak lagi memiliki tulang.
Sunyi.
Sunyi yang memekakkan.Dengan langkah gontai, ia kembali ke lift. Kotak makanan masih digenggamnya erat.
Pintu lift tertutup perlahan, memisahkan kenyataan dari mimpi buruk yang baru saja menghancurkan hatinya.
Dalam sekat sempit itu, tubuh Kenna gemetar hebat. Ia memejamkan mata, berusaha menenangkan diri.
"Kalau pintu ini tertutup... apa masih ada 'kami' besok pagi?"
Apa aku harus lari dari semua ini? Apa aku tidak salah ruang, hingga tidak terdengar suara Barel?"
Kenna yang tidak percaya suaminya bertindak yang macam-macam, kembali lagi.
Sementara beberapa saat yang lalu di tempat lain...
["Kiandra, kamu di mana?"]
["Aku di tempat orang yang lebih bisa menghargai aku, Rangga."]
Rangga tersenyum.
Dan saat Kenna masuk lift.. ada sepasang mata menatap angka lift yang turun.
Bibirnya melengkung samar—antara puas dan cemas.
Rangga menatap Kemna dengan khawatir, tetapi ia tetap menjaga jarak aman. Ia memegang payung besar itu di atas kepala mereka, melindungi tubuh perempuan itu yang sudah setengah basah. Mata Kemna, yang memerah dan sembap, tetap terpaku pada tanah. Napasnya berat, seolah kata-kata yang ingin keluar tertahan di tenggorokan."Ayo, aku antar pulang. Nggak baik kamu di sini terus," ajak RanggaPerempuan itu tetap diam. Tangannya menggenggam tas dengan kuat, jari-jarinya memutih. Rangga menunggu, sabar, tanpa mendesak. Beberapa detik berlalu sebelum akhirnya suara serak itu keluar."Rangga... aku nggak mau pulang."Pria itu mengernyitkan dahi. "Kenapa?"Kenna mengangkat wajahnya sedikit, matanya menatap Rangga dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Ada luka yang begitu dalam di sana, tetapi juga kelelahan. Ia menggigit bibir, berusaha keras menahan isak."Dia selingkuh," kata Kenna akhirnya, suaranya hampir tidak terdengar. "Di ruang kerjanya... dengan perempuan lain."Rangga terdiam. Ternyat
Kenna berhenti di depan lift, air matanya mengaburkan pandangan. Tetapi sesuatu dalam dirinya menuntut kepastian. Mungkin aku salah dengar, pikirnya. Ia menarik napas panjang, menghapus air matanya dengan punggung tangan, lalu memutar tubuh. Langkahnya kembali mengarah ke ruang kerja Barel." Apa sekarang ruangan Barel dipindah? Kenapa aku tadi tidak membaca?" Dia berharap dia salah ruang.Saat dia sampai dan berdiri lagi di depan pintu, tangannya gemetar saat netranya menangkap nama yang tertera. Ini benar ruangannya. Ia mengumpulkan keberanian, kemudian mendorong pintu perlahan. Masih tidak terkunci."Bukannya Sabtu kemarin kita sudah menghabiskan waktu bersama. Kita bahkan sampai melakukannya berkali kali, apa itu kurang?" Suara wanita itu terdengar manja."Jadi Sabtu itu Barel tak ke luar kota karena pekerjaan tapi karena..." gumam Kenna. Kenna tahu betul tabiat suaminya yang selalu menuntut perhatian lebih di tempat tidur hingga dia kemarin sempat heran kalau Barel tak respon pad
Kenna menatap pria yang baru saja keluar dari dalam panti. Jantungnya berdegup tak karuan saat melihat sosok yang ramah memberi salam itu."Aku sudah kirim pesan, tapi kamu abaikan." Suara bariton Rangga segera terdenga lagi. Kenna masih terdiam tak percaya."Aku pikir aku mau mengajakmu ke panti ini. Tak tahunya kamu juga ke sini. Jodoh ya?""Maaf, aku tadi langsung ke sini. Kangen emak-emak aku," jawab Kenna, mencoba terdengar wajar. Tapi ia tahu, ia mulai tak bisa menghindar dari sorot mata Rangga."Jadi kamu dari panti ini?" tanya Rangga menyipit, seolah tak percaya. Padahal mulanya dia mau mengajak Kenna ke sana, seolah itu dunia baru yang harus dikunjungi Kenna."Iya, di sinilah rumahku. Aku dibesarkan oleh orang-orang hebat yang menyayangi aku seolah aku ini bagian dari hidup mereka." Dengan terharu Kenna merangkul kedua orang tua yang kini juga menatapnya dengan bangga."Dalam keterbatasan kami membesarkannya. Dia tumbuh menjadi gadis hebat. Belajar agama, bisa kuliah tanpa
Makin hari, Kenna merasa Barrel bukanlah lelaki yang dia kenal. Bahkan saat mereka menghadiri sebuah acara, Kenna merasa Barrel tidak lagi bisa menjadi pembelanya."Mas, bisa nggak kamu membelaku?" tanya Kenna setelah mereka sampai di rumah."Apanya yang dibela? Benar kan kata mereka, kamu masih belum juga memberiku anak?""Apa kamu pikir ini salahku?""Sudahlah, Ken. Aku ada kerjaan."Kenna melempar sepatunya. Hampir mengenai kaki suaminya. Tetapi lelaki itu hanya melangah menjauh. Tanpa kata-kata..Air mata tak lagi dapat dibendung Kenna. Di menelungkupkan wajahnya di bantal sofa.Handphone-nya berkedip.["Ada yang ingin kau ceritakan? Aku di sini."]Kenna menutup mata sejenak. Jarinya mengetik balasan, tanpa sadar bahwa ia membuka ruang yang semakin sulit ia tutup.["Kadang aku merasa kosong. Apa itu wajar?"]Balasan datang cepat.[ "Lebih dari wajar. Dan aku tahu betapa beratnya jika kau harus memikul itu sendirian."]Air mata jatuh kembali. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama,
Langkah Kenna cepat meninggalkan kafe. Jantungnya berdetak begitu keras sampai terasa di telinga. Udara sore itu sejuk, tapi telapak tangannya basah. Ia tidak tahu apa yang baru saja terjadi."Satu jam," bisiknya. "Hanya satu jam."Tapi mengapa rasanya seperti ia membuka pintu yang seharusnya tetap tertutup rapat?Di parkiran, ia duduk di dalam mobil tanpa langsung menyalakan mesin. Ia butuh waktu untuk menenangkan diri. Mencoba memutar ulang percakapan tadi. Wajah pria itu... sorot matanya, kata-katanya—terlalu jujur, terlalu tepat menyentuh sisi rapuhnya. "Aku hanya ingin tahu kenapa senyummu tetap muncul meski matamu sering kosong.""Siapa dia, sebenarnya?" Kenna bertanya-tanya.Kenna menghela napas panjang. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ini bukan salah Rangga. Bukan juga salah siapa-siapa. Ia yang datang. Ia yang membuka ruang.Dan untuk pertama kalinya sejak Barel berubah dingin, seseorang menatapnya dengan penuh perhatian. Bukan sebagai istri yang gagal punya
Di lain tempat.Malam itu Rangga sulit memejamkan matanya. Keinginannya untuk bertemu dengan Kenna begitu kuat. Hinggah tak perduli malam-malam dia menghubungi seseorang. Dia ingin tahu, siapa Kenna sebenarnya."Bagaimana?" Pagi belumlah hilang, saat Rangga sudah menelpon Pak Anang, orang kepercayaannya. "Bos, wanita itu namanya Kenna Humairah. Istrinya Barel. Iya, Barel Herlambang dari Jaya Persada Group."Rangga menatap layar laptopnya dalam diam. Pria itu baru saja menyimak laporan dari anak buah kepercayaannya yang ia tugaskan menyelidiki sosok Kenna yang akhir-akhir ini muncul terus di pikirannya."Apa? Kamu yakin?""Saya cek dua kali. Pernah ada dokumentasi waktu mereka diundang acara penghargaan pengusaha muda. Lengkap. Nama, perusahaan, juga akun media sosialnya. Semua mengarah ke satu titik. Kenna adalah istri dari rival utama bisnis Bapak."Rangga menyandarkan tubuhnya ke kursi. Untuk sesaat, ia terdiam. Tangannya menyentuh dagu, berpikir dalam. Hatinya sempat berdebar wak